Tiba-tiba saja, interaksinya dengan Edward terlintas di otaknya. Berawal dari semuanya berasal, Rosie yang mengatakan ingin membuat Edward jatuh ke dalam pesonanya malah ia yang termakan jebakan sendiri. Rosie tahu, hubungannya dengan sang kakak bukanlah hubungan yang sehat. Hubungan mereka dilandasi dengan menyakiti beberapa pihak seperti orang tua mereka dan juga Alice. ingin mengakhiri Tapi, entah mengapa rasanya sangat sulit.
Ponselnya kembali berdering, Rosie dengan sekuat tenaga mengambil ponselnya dan tertera nama Claire di sana. Gadis itu langsung mengangkatnya.
"Aku sudah sampai."
"Baiklah."
Dengan susah payah, Rosie menyeret langkahnya keluar dari bilik kamar mandi. Untung saja, darah yang semula mengalir diatas dipergelangan tangannya kini sudah mulai reda. Dengan cepat, sebelum ia ketahuan oleh Edward dan sang ayah, Rosie sedikit berlari menuju lobby kantor. Barulah ketika melihat tubuh Clair
Setiap menit berlalu, selama mereka semua membicarakan tentang pernikahan Edward dan Alice, Rosie tengah berusaha agar tetap diam di sana. Di balik sikap tenangnya dengan sesekali ikut memberi tanggapan, gadis cantik itu tengah berusaha menutupi gemuruh hatinya yang setiap kali mereka membahas tentang pernikahan itu. Jika, Rosie memilih egois, ia akan secara gamblang memberitahu semua orang tentang hubungannya dengan Edward. Tapi, Rosie tidak sanggup. ."Menurutku, akan lebih baik jika konsep pernikahan mereka menggunakan konsep Rustic. Kita bisa memilih beberapa warna kalem saja, Misalnya saja warna pink atau warna pastel lainnya, coklat, dan bunga-bunga dengan warna yang senada. Di tambah lagi dengan unsur kayu-kayu atau ranting pohon, daun-daun kering dan juga lampu yang menggantung. Itu menjadikan suasana—""Uhuk.. Uhuk..." Suara batuk Rosie membuat percakapan yang sedang asik itu sontak saja terhenti. Edward langsung bangkit, menyambar minuman
Ada Alice. Ada Edward. Namun hal yang mereka lakukanlah yang membuat hatinya remuk redam. Alice, gadis itu sedang duduk di pangkuan Edward. Mulut mereka terhubung dalam ciuman penuh gairah. Kedua mata mereka menutup, seolah terhanyut dalam cumbuan yang mereka ciptakan. Tangan Alice di rambut hitam Edward, mengusaknya, meremasnya sesuka hati.Edward pun terlihat menikmati sentuhan bibir juga tangan Alice. Tidak ada secuil pun gestur penolakan dari lelaki tersebut. Jelas saja. Alice 'kan tunangannya. Yang mereka lakukan lumrah.Kenyataan bahwa pria yang sama baru beberapa menit lalu membisikkan kalimat mesra di telinganya membuat Rosie mual. Dia belum makan sejak sore karena sibuk pergi ke salon untuk berdandan juga mewarnai rambutnya. Anehnya seperti seluruh isi perutnya ingin menerobos keluar saat itu juga.Si gadis remaja mundur perlahan. Berhati-hati untuk tidak menciptakan suara sekecil apapun. Dia menyelinap dari parkiran,
"Penampilanmu jelek sekali! Damian Marley pasti langsung kabur terbirit-birit saat melihatmu," ejeknya sudah jengkel sejak awal."Bukan urusanmu!" balas Rosie juga kesal sendiri. Belakang ini Edward Quin berubah menjadi manusia yang sangat menyebalkan. Dia suka memancing emosi adik tirinya tanpa alasan yang jelas.Gadis itu kembali pada cermin besar di depannya. Membetulkan posisi poninya yang menurutnya sedikit miring. Dia tersenyum puas melihat hasilnya."Jangan pergi."Rosie langsung menoleh. Wajah muram Edward untuk sejenak membuatnya lemah. Si gadis remaja kembali pada kewarasannya. Dia tidak boleh kembali termakan rayuan gombal pemuda itu. Edward adalah cowok brengsek! Dia tidak akan tertipu lagi."Kau tidak berhak mengaturku," jawab Rosie tanpa menoleh."Tapi aku-""Kau menyukaiku? Jangan konyol, Paman!" geram Rosie agak frustasi. Panggilan yang lama tidak te
"Hey! Jangan lama-lama keluar. Sekarang sedang banyak virus tahu."Rosie memutar bola matanya dengan malas. Dia memandang Damian lalu pasang senyum cerah untuk menghilangkan kerut keheranan di dahi pemuda itu.***Rosie menatap dengan penuh perhatian pada gambar bentuk persegi panjang yang menggantung di dinding. Mata hazel bening itu sampai pusing saking serius dan konsentrasi memindai warna-warni tak beraturan di dalam pigura. Dia belum pernah seserius dan selekat ini dalam menatap benda mati.Harga dirinya yang memang tidak terlalu tinggi menolak untuk menyerah pada gambar acak-acakan yang barusan Damian sebut sebagai lukisan termahal yang pernah terjual."Namanya No. 54783, karya dari Leonardo da Vinci, seniman terkenal dunia. Indah, 'kan?" itu yang diucapkan Damian lima menit lalu dengan senyum terpesona memandangi lukisan.Rosie masih-selama lima menit terakhir gigih mencari di mana letak keindahan
"Mungkin lima menit lagi Rosie sampai, sayang. Kau tidak perlu kuatir. Ibu lihat juga Damian itu anak baik." Eliza adalah yang paling menentang perjodohan ini awalnya namun semua itu berubah sejak negara api menyerang. Tidak! Ketika melihat Damian Marley pagi ini, dengan wajah ahli surga, sikap ramah dan sopan, suara semerdu burung beo tetangga sebelah yang suka menyanyi tiap pagi, Eliza langsung berubah pikiran."lya, 'kan sayang? Dah aku katakan Damian itu terbaik! Cocok sekali jadi mantu kita. Untung saja Edward itu seorang pria, kalau gadis pasti Edward yang aku jodohkan dengan Damian," sambar Tuan Lewis lagi sangat amat bersemangat kalau sudah membahas pemuda bernama belakang Marley itu."Sayang! Jangan buru-buru begitu kenapa sih? Rosie kan masih tahap kenalan, belum tentu mereka saling suka dan benar berpacaran." Sang istri menasehati suaminya yang justru kelihatan paling kebelet dalam perjodohan ini."Iya betul itu! Ayah jan
Dalam momen itu Edward mengambil kesempatan untuk kembali bicara. Dengan suara rendah supaya orang tua mereka tidak mendengar, Edward bertanya, "Jadi kau akan melanjutkan perjodohan ini?""Aku tidak punya alasan untuk menolak. Toh, Kak Damian juga orang yang baik." Rosie angkat bahu dengan santai. Padahal tahu pasti bahwa kalimat santainya itu berpengaruh tidak santai bagi Edward."Kau seperti ini hanya untuk buat aku cemburu, 'kan? Aku tahu kau tidak tertarik dengan pria macam Damian," bisik Edward sembari bergeser mendekat pada Rosie."Kau hanya tertarik dengan aku," suara Edward makin terdengar gelap seiring dengan seringai yang ia tampilkan.Sekilas keterkejutan di wajah pucat Rosie karena omongan Edward menumbuhkan rasa percaya diri bagi sang kakak. Dari situ Edward yakin tebakannya tepat. Rosie hanya menyukainya. Damian Marley yang malang hanya pelarian saja. Edward tahu itu.
"Harusnya kau tahu, Edward. Ini semua salah kau!" bentak si gadis di seberang sambungan. Nada suara Alice tidak kalah sinis dengan Edward barusan.Nah, Edward pernah diceritakan oleh kedua sahabatnya, Axel dan Jackson, bahwa perempuan itu merupakan mahluk paling menyebalkan di muka bumi. Mereka paling ahli membuatnya kaum adam berada di posisi yang pelik. Salah satu contohnya yakni selalu bilang 'pikir aja sendiri!' atau 'harusnya kau tuh mengerti!' ketika ditanya kenapa?- seperti Alice barusan.Edward akhirnya merasakan sendiri betapa frustasi ketika di suruh mencari tahu sendiri apa yang ada di pikiran manusia lain tanpa orang tersebut menjelaskan.Memangnya ia bisa membaca pikiran orang lain? Oh, tentu saja tidak."Aku mana tahu kalau kau tidak bilang, Sayang? Aku—""Dasar kau tidak peka!"Tut Tut Tut.***"Sabar!" dengus Rosie setelah menempelkan ponsel pintar yang s
"Kenapa Kak Damian bohong pada Tristan?" tiba-tiba Rosie bersuara setelah diam, berpikir sejak tadi."Apa? Oh... Aku hanya menyimpan kebenaran. Tristan dan kebanyakan anak lain di panti pasti belum bisa menerima bahwa mereka di tinggalkan orang tuanya. Hati mereka terlalu lembut dan lugu untuk mencerna hal kejam seperti itu. Setidaknya mereka belum siap. Kalau mereka sudah lebih besar, pasti kami akan mengatakan yang sebenarnya." Damian menjawab tanpa menoleh. Matanya berfokus pada jalan."Apa yang akan terjadi ketika mereka tahu yang sebenarnya? Bahwa orang tua mereka...meninggalkan...mereka...." Rosie bertanya lagi. Menyuarakan kekuatiran di benaknya meski dia tidak ada hubungan dengan para bocah itu."Karena mereka sudah cukup besar untuk mengerti, kebanyakan akan menerima keadaan. Lagi pula saat itu mereka sudah terbiasa bersama dengan anak panti dan pengurus, jadi tidak akan terlalu merasa sendiri.""Tapi..teta
"Wah, tidak jauh dari rumah. Kapan-kapan main ya ke rumah." Lidya terkekeh di akhir kalimatnya. Angel meringis dan Damian tersenyum kecil."Iya, Tante.""Siapa tahu, bisa menjadi menantu. Belum punya pacar, 'kan?"Angel sontak menatap Lidya dengan wajah terkejut namun setelah itu kembali melunak, terkekeh lalu menunduk. Kedua tangannya terkepal hingga jari kukunya kian memutih.***"Ella."Ella menoleh saat Samuel sudah berada di hadapannya dengan sekotak susu pisang."Ini, untukmu." Samuel menyodorkannya dan Ella dengan ragu mengambilnya."Terima kasih." cicit Ella pelan.Samuel tidak menjawab, anak itu langsung mengambil posisi di samping Ella seraya melanjutkan meminum susu pisangnya. Kini, sudah lima belas menit berlalu sejak bel istirahat berbunyi. Ella dan Samuel sedang duduk di santai di bangku taman seray
"Angel, kau apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu. Ada waktu luang? Bisa kita bicara sebentar?"Angel yang tidak tahu ingin berkata apa hanya mampu tersenyum kecil dan pasrah ketika tangannya di tarik begitu saja oleh Ibu Damian. Diam-diam, Damian merasakan tatapan tajam Angel yang siap membunuhnya.***Ella menghela napas lelah selepas turun dari mobil Rere. Padahal, niatnya hari ini dia tidak ingin masuk sekolah mengingat hal mengerikan lain yang mungkin saja bisa terjadi. Kemarin, seperti biasa dia selalu mendapat perlakuan yang menjengkelkan."Ella, tidak boleh cemberut begitu. Anak cantik harus tersenyum." Rere berujar dari balik kaca mobil.Ella hanya meliriknya sekilas lalu mengangguk. "I go to school, Aunty."Rere mengangguk, "I wiil pick you up later."Setelah Ella mengangguk barulah mobil Rere melesat menuju jalan ibu kota yang padat
"Aku berangkat dulu, ya." pamit Edward pada Rosie. Mengecup kening sang istri lalu beralih ke perut buncitnya."Sayang, jaga Ibu baik-baik, ya. Jangan nakal." Setelah itu, Edward juga meninggalkan kecupan untuk si jabang bayinya."Ayo, Ayah!" Rosie kembali terkekeh menyaksikan wajah lelah Edward."Aku sudah di tunggu Kak Eros di sekolah!" Samuel kembali bersuara, kali ini dengan menunjukkan jam tangan yang memiliki fungsi seperti ponsel, hadiah dari kakeknya."Iya, sebentar sayang.""Ya sudah, kamu berangkat. Hati-hati di jalan."Edward mengangguk, melemparkan senyum. "Baiklah."Lima menit kemudian, mobil yang di kendarai Edward melaju pergi, tersisa Samuel yang melambaikan tangannya pada Rosie sampai sang ibu hilang dari pandangannya.***David melirik ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah setenga
"Kak Damian? Angel? Kalian saling kenal?" Rosie menatap sepasang pria dan wanita yang dia kenal di hadapannya. Edward sepertinya juga menatap heran keduanya dari pandangan mata.Damian yang semula berada berapa langkah di belakang Angel kini mulai berjalan hingga keduanya bersisihan."Ya, kami saling kenal. Kami pernah berpacaran semasa aku kuliah dulu." ungkap Damian secara gamblang dengan mudahnya. Sontak saja, itu memancing tiga pasang mata yang ada di sana menatap Damiam terkejut. Terlebih lagi Angel, rasanya bola mata gadis itu sebentar lagi akan melompat keluar jika tak sedetik kemudian Angel berkedip."Wah, kalian ternyata pernah berpacaran? Astaga, dunia ini benar-benar sempit." Edward berseru kalut, ikut mewakili Rosie yang juga terkejut mendengarnya.Damian hanya melemparkan tatapan tak berdosanya pada Angel seraya menampilkan senyuman terbaiknya. Sedan
"Kau masih menyukainya?"Angel membuang wajahnya tanpa sadar yang malah membuat Damian semakin yakin dengan persepsinya."Kau ada waktu sebentar di taman? Kebetulan, aku membawa makanan." Damian menunjukkan tentengan yang dia bawa, arah mata Angel mengikuti pergerakan tangan Damian.***"Kau sudah lama menjadi Dokter di sini?" Damian memulai pertanyaan seraya membuka bungkus roti yang dia bawa. Kebetulan, dia belum sarapan. Niatnya, dia ingin menjenguk Rosie dan Samuel, tapi saat dia ingin menjenguknya, dia malah menemukan sosok mantan kekasih yang sudah lama sekali tidak muncul di hadapannya. Sebuah kebetulan sekali.Ya, Damian dan Angel memang pernah memadu kasih bahkan Damian sudah mengenalkan Angel pada ayah dan ibunya. Kalian ingat saat hubungan Damian dan Rosie di tentang keras oleh kedua orang tua Damian? Bukan semata-mata hanya karena Rosie tidak memiliki Ayah dan latar bel
Pada awalnya, Rosie akan menduga bahwa Edward tidak bisa menerima Samuel sebagai anak pertamanya, tapi dugaannya salah ketika melihat senyuman Edward yang begitu tulus ketika kali pertamanya dia melihat Samuel. Hati Rosie juga ikut mencelos kala itu, merasa terharu dengan apa yang dia lihat.Edward yang merasa terusik dengan elusan di kepalanya kini perlahan mulai membuka matanya, dan langsung membeliak kaget ketika melihat wajah sang istri yang sudah kembali berseri."Kau sudah sadar? Bagaimana? Apa perutmu merasa sakit lagi?" Edward langsung mengecek keadaan Rosie, memutar tubuh sang istri, dia ingin memastikannya sendiri.Rosie tertawa geli menyadari sikap protektif Edward terhadapnya, "Aku tidak apa-apa, Edward. Aku baik-baik saja."Edward menaikkan satu alisnya, "Apa kau yakin?" Rosie tersenyum lalu mengangguk.Edward menghela napas lega, "Syukurlah
Rere berdehem dengan salah satu telunjuknya menyentuh dagu, terlihat berpikir. "Menurut Aunty, Si Bully ini seperti racun yang semakin lama akan semakin menggerogoti tubuh kita. Jadi, kita harus menghilangkan racun-racun itu. Jika, Ella merasa di rugikan maka Ella harus menjauh, Ella tidak boleh diam saja itu akan semakin membuat Ella meras lemah. Ella menjauh saja, tidak usah pedulikan apa yang dia bicarakan. Toh, mereka semakin lama akan bosan dan tidak akan mengganggu Ella lagi."Rupanya, ucapan Rere tadi belum berhasil mengundang senyuman di wajah Ella. "Tapi, aku tidak memiliki teman. Aku ingin memiliki teman seperti yang lain, Aunty."Rere mengelus punggung belakang Ella, "Ella tahu, 'kan? Kalau Ella belum lama ada di sini? Jadi, Ella memang harus beradaptasi dengan lingkungan Ella yang sekarang. Lingkungan Ella yang sekarang ini jauh berbeda dengan lingkungan Ella yang di Sydney. Aunty juga yakin pasti suatu saat Ella ak
"Kau sedang melihat apa?" tanya David yang setelah itu menegak minumannya."Aku sedang melihat anak-anak, Samuel dab Eros terlihat nampak dekat. Bahkan, Samuel sudah seperti adiknya sendiri. Apa kau tahu? Eros tidak seperti itu pada Zea dan Zelo, hanya pada Samuel dia seperti itu."David mengangkat kedua bahunya lalu bersandar pada senderan kursi di belakangnya seraya melebarkan kakinya, "Kurasa, Eros benar-benar sangat menyukai Samuel, dan Samuel juga sebaliknya. Dulu, Eros selalu bilang padaku, katanya seperti ini, aku juga ingin menjaga adikku tapi Zea sudah bersama dengan Zelo, selalu. Padahal, dia juga ingin seperti Zelo. Sedangkan, Zelo sepertinya juga bisa tanpanya. Mungkin, itulah yang menyababkan Eros sangat menyayangi Samuel."Alice mengangguk seraya tersenyum, "Kurasa begitu. Setidaknya, aku lega karena permasalahan harus berakhir seperti ini. Untung saja, takdir memang sudah di gariskan da
"Edward, kakiku lemas. Aku tidak bisa berjalan." lirih Rosie pelan tapi masih bisa di dengar oleh semua pasang telinga."Ibu! Ibu kenapa?" Samuel langsung menyeru ketika melihat wajah sang ibu yang pucat tapi masih bisa memaksakan senyum.Edward dengan siaga langsung menggendong tubuh Rosie, "Alice sebentar ya, tolong jaga anak-anak aku akan membawa Rosie ke ruangannya dan memanggil Dokter." Setelah itu, langkah Edward menghilang di balik pintu."Aku kasihan melihatnya." ujar Alice lirih. Sungguh, dia tidak bisa membayangkan bagaimana dia berada di posisi Rosie. Kandungannya yang mengalami flek dan anaknya yang habis terjatuh dari mainan bola dunia, benar-benar membuat Alice prustasi melihatnya."Tak apa, Rosie adalah gadis yang kuat." Alice mengangguk."Bibi Alice, Paman David. Ibu kenapa? Kenapa wajahnya sangat pucat sekali?" Samuel berkata dengan nada khawa