"Oi! Bangun."
Edward dengan ragu-ragu menyibak selimut dari wajahnya. Pemuda itu sekedar menunjukkan matanya yang sipit dan menemukan Rosie, berdiri dengan keangkuhan entah dari mana, bersedekap, masih tanpa busana dan tidak terlihat terganggu akan fakta tersebut, sambil menancapkan tatapan dingin padanya.
"Aku akan mandi. Kau harus enyah dari sini setelah aku selesai." Perintah itu terasa merendahkan. Begitu kontras dengan racauan dan desahan Rosie beberapa menit lalu.
"T-tunggu." Edward sudah beranjak dari ranjang dan telah menahan tangan Rosie.
Gadis itu berpaling. Tatapannya masih sedingin es tapi ada setitik tanda tanya. Rosie menunggu Edward melanjutkan kalimatnya.
Edward secara refleks memutus tatapan mereka. Tanpa sebab yang jelas merasakan panas di wajahnya dan debaran di dadanya. Dia juga langsung melepaskan pegangannya pada lengan Rosie seakan sentuhan kulit mereka membakarnya.
<"Selamat datang di dunia para pendosa, Kak Edward. Kuharap kita bisa hidup akur mulai sekarang karena sudah berada pada level yang sama."Si gadis remaja menjauhkan bibirnya dari telinga Edward untuk menghadapi wajah merah padam itu. Mungkin Edward Quin hanya bisa diam membisu menanggapi setiap pelecehan dan hinaan darinya, tapiwajah itu memancarkan rasa jijik yang begitu kental.Sorot mata hitam Edward menatap Rosie bak Rosie adalah seonggok kotoran yang mengotori pakaian mahalnya. Begitu jijik dan benci."Aku akan mandi. Aku mau kau sudah pergi dari sini setelah aku selesai. Jadilah anak baik dan jangan memancing amarahku lagi, Edward. Kau mengerti, kan?"Rosie menepuk-nepuk pipi Edward pelan. Mengulas senyum manis untuk kesekian kalinya hari itu. Dia bangkit, berbalik dengan anggun, dengan pelan berjalan masuk ke kamar mandi.***Edward menuruti perkataan Rosie. Dia menghilang dari
"Sayang, aku ingin bicara." dia berkata, membawa nada manja sembari melirik Claire. Jelas sekali hanya ingin bicara empat mata dengan Rosie yang artinya Claire harus menyingkir."Aku sedang sibuk. Tidak ada waktu." Benar sekali Rosie sibuk. Sibuk menghindari Griffin tepatnya. Sejak awal mereka memutuskan untuk 'bersenang-senang, Rosie dengan jelas mengatakan bawa dia tidak suka terikat hubungan apapun. Semua yang mereka lakukan tidak akan berlanjut ke hubungan yang lebih dari friends with benefit. Tidak boleh ada perasaan dalam hubungan itu.Tetapi, Griffin nampaknya punya pemikiran yang berbeda. Pemuda itu terus saja meminta Rosie untuk jadi pacarnya. Ralat. Griffin terus saja meminta Rosie untuk jadi pacar gelapnya. Nah, Griffin memang sudah punya pacar dan gadis itu satu sekolah dengan mereka.Luar biasa, kan?"Come on, babe. Please."Masih belum mau menyerah atau memang tidak punya urat malu ada
Rosie terus mencoba melawan, mendorong dan menghalau tangan kurang ajar pemuda itu sekuat tenaga. Namun, kekuatannya jauh di bawah kakak kelasnya. Griffin memegangi kedua tangan Rosie dan memipit tubuhnya supaya tidak bisa menghindar.Ciuman itu makin kasar dan beringas. Bibir lelaki itu mulai turun ke leher, menghisap dan menggigit kulit putih yang lembut hingga berubah kemerahan. Dia merobek seragam Rosie supaya bisa menjangkau dada Rosie dengan mulutnya. Rosie memekik kesakitan kala Griffin mulai memakai giginya untuk menandai daerah tersebut.Lalu, dalam sekejap Rosie merasakan Griffin terlempar ke udara dan tersungkur di lantai. Gadis yang masih kehabisan nafas karena perlawanan yang sia-sia tadi melihat Edward berdiri di depannya dengan tatapan nyalang.Pemuda Quin itu memasang wajah garang dan aura menakutkan. Dia menatap Rosie sekilas lalu berpaling pada Griffin. Dia mendekat pada pemuda berseragam, lalu duduk di perutnya. T
"Kubilang berhenti menemui para cowok bedebah itu! mereka hanya bisa melecehkanmu saja!" ucapnya sedikit terlalu kasar dari yang dia maksud. Salahkan amarahnya yang belum reda."Dan siapa kau berani memerintahku? Apa kau lupa kau itu bukan lagi orang suci, Edward? Kau tidak pantas mengaturku di saat hidupmu juga sama hinanya denganku!" Rosie mengangkat alis dengan berani. Seharian ini semua lelaki yang dia kenal bertindak semena-mena. Tadi Griffin dan sekarang Edward."Pokoknya kau tidak boleh menemui pria itu dan pria lain lagi! Aku punya hak! Aku adalah Kakak-mu! Apa kau lupa?! Aku bertanggung jawab atas dirimu!" suara Edward tegas dan mengintimidasi. Sang kakak tiri mencengkram kedua lengan Rosie supaya dia bisa menatapnya lekat.Rosie jadi terpesona untuk sesaat. Untuk pertama kalinya wajah mereka berada dalam jarak sedekat ini sampai Rosie bisa melihat jelas dua tanda kembar di bawah alis pemuda itu yang menur
Edward tidak pernah berpikir bahwa dirinya akan berakhir seperti ini. Melanggar janji yang baru saja dia buat beberapa jam lalu pada kekasihnya, Alice. Bagi seorang Edward, janji adalah hal yang sakral, bukan hal main-main yang sembarangan kau ikrarkan lalu kau langgar dengan mudah.Namun kembali, Rosie membuatnya melakukan hal yang tidak pernah dia bayangkan untuk lakukan. Rosie membuatnya menodai janji itu. Dengan mudah membuat Edward mengkhianati Alice untuk kedua kalinya. Membuat Edward melupakan niat awalnya untuk menghakhiri jeratan penuh dosa yang mereka mainkan. Edward malah terjerat makin kuat dan dalam. Mustahil terlepas. Atau mungkin malah Edward yang tidak maumelepasnya.Pemicunya adalah pemandangan yang dia saksikan di lorong itu. Ketika melihat si gadis pembangkang disentuh pemuda lain, hati Edward langsung panas. Dia yang tidak posesif sama sekali sontak saja merasakan gemuruh yang terasa membunuhnya kala melihat lelaki
Gadis berambut kuncir kuda duduk di bangku, "Kau bilang makanannya sudah siap. Mana? Aku kelaparan!" teriak Rosie dari meja makan.Edward berbalik. Tersenyum pada sang adik. Senyumnya cerah dan hangat. Penampilan Edward dengan celemek polkadot warna pink hampir meledakkan tawa Rosie. Edward seperti bapak rumah tangga teladan."Kubilang hampir siap. Itu artinya hampir siap." Dia berbalik lagi.Rosie mendecih dengan suara yang cukup besar supaya terdengar oleh Edward. Tapi, diam-diam senyumnya tersungging indah meladeni kelakukan kakaknya. Memang hampir setiap hari seperti ini. Mereka melemparkan komentar sarkas yang memancing kekehan tersembunyi satu sama lain. Berlagak saling benci dan terganggu tapi dalam hati siapa yang tahu apa yang mereka rasakan.Sepiring panekuk ditambah telur mata sapi lengkap dengan ayam garing ditaruh di depan Rosie. Gadis itu mengukir senyum manis menatap sarapannya. Persis seperti yang se
"Jangan diam saja! Cepat bergerak!" hardik Rosie pada Edward sembari memiting Emily yang meronta.Edward tersentak. Langsung sadar kalau dia harusnya menyelamatkan Claire dari gadis bernama Ginny. Pemuda itu berlari menghampiri Ginny dan Claire."Maaf, bocah," ia berkata pada Ginny dengan senyum agak bersalah. Melepaskan Claire dari cengkraman Ginny dengan mendorong Ginny tanpa tenaga. Agaknya Ginny sudah terpesona duluan dengan kemilau dari wajah tampan Edward, maka bocah itu tidak melawan lagi. Dia kemudian membuka ikatan di tangan Claire.Rosie melihat sahabatnya sudah bebas melontarkan tendangan terakhir pada dua lawannya. Dia memberi aba-aba untuk Edward kabur secepat kilat.Mereka bertiga lari seperti orang gila keluar dari komplek gedung kosong itu. Sesekali memeriksa tiga musuh di belakang. Tak ada yang mengikuti mereka. Edward langsung tancap gas ketika semua orang sudah berhasil masuk mobil.
"Mana ada yang seperti itu. Organisasi ini tidak pernah mengumpulkan iuran dari anggota."Dan, Edward langsung paham meski terlambat apa arti dari rasa tidak enak yang sedari tadi bergelantungan di depan matanya, mengingatkannya. Dia sudah masuk perangkap dua gadis licik itu.Rosie mengulas senyum indah menawan yang mampu menerangi Palung Mariana sekalipun, "Kau yang bayar, Kak Edward." Dia berkata dengan santai sembari berdiri. Claire pun mengikutinya dan mereka berdua berjalan keluar dari restoran meninggalkan Edward di meja itu, masih memegang kertas sial yang menunjukkan harga serarus lima puluh ribu rupiah.***Setelah mengobati luka di wajah Claire, mereka mengantarnya ke lokasi audisi. Rencananya akan kembali menjemput gadis berbibir tebal itu setelah proses audisi selesai tiga jam lagi. Namun, ternyata ada perubahan rencana. Claire menelpon Rosie dan mengatakan dia tidak bisa pulang ke Jakarta hari ini juga. Audisinya diperpanjan