"Sabar, Edward. Mungkin terjadi sesuatu yang membuat Rosie akhirnya telat." Ucap Alice mencoba meredakan emosi sang kekasih.
"Tapi, dia seharusnya kan bisa mengirim pesan atau telpon padaku untuk memberi kabar." Gerutu Edward masih menatap pintu keluar apartemen dengan kesal.
Akhirnya sosok yang ditunggu muncul juga. Berjalan santai keluar dari apartemen dengan wajah datar tanpa rasa bersalah. Masuk ke kursi belakang tanpa menyapa kedua orang yang sudah menunggunya seperti orang bodoh.
"Rosie, senang bertemu denganmu. Aku Alice." Alice membalik tubuhnya ke belakang lalu memanjangkan tangannya untuk bersalaman.
"Aku Rosie." Ucap gadis itu singkat, membalas uluran tangan itu cepat dan asal saja.
Edward mendengus kesal melihat tingkah bocah yang baru datang. Ia menggelengkan kepala tak habis pikir dengan sopan santun yang Rosie tunjukkan. Tapi Edward tidak mengatakan apapun, karena itulah yang paling mudah baginya, dan langsung tancap gas menuju restoran.
"Rosie, aku dengar kau bersekolah di SMA Nusa? Kebetulan aku juga memiliki saudara yang sekolah di situ. Namanya Milly. Apa kau kenal?" Alice berkata dengan ramah ketika mereka sudah duduk di restoran dan memesan makanan.
"Tidak." Satu kata singkat yang terdengar ketus keluar dari bibir gadis remaja itu. Dia bahkan tidak mau repot membalas senyum Alice. Bagi Rosie perempuan yang duduk di depannya ini sangat menyebalkan.
Lebih menyebalkan dari pada sosok pria yang duduk di sebelahnya. Senyum Alice meredup merasakan aura tidak bersahabat dari Rosie. Kemudian Alice berhenti mencoba bicara dengan gadis cantik tapi jutek itu. Rosie makan dengan tenang hampir tidak mengeluarkan suara sama sekali kecuali dari alat makan yang ia pakai.
Edward menukar mangkuk berisi es krim vanila miliknya dengan milik Alice.
"Kau kan tidak suka choco mint." kata pria itu menjawab pertanyaan tersirat Alice atas tindakannya.
"Terima kasih, Edward." Alice tersenyum malu dengan pipi merona. Edward balas senyum lalu mereka mulai makan hidangan penutup itu. Rosie yang menyaksikan drama sepasang kekasih itu cuma memutar bola matanya.
"Norak." Desis Rosie mencemooh.
Satu jam kemudian mereka sudah tiba di butik. Terlambat dari jadwal yang dijanjikan tentu saja. Mereka langsung bergegas mencoba baju yang akan dipakai di pernikahan Nyonya Eliza dan Tuan Lewis. Edward lah yang paling cepat selesai karena dia hanya mencoba dua setel tuksedo hitam dan abu-abu.
Edward sedang duduk sembari memeriksa ponsel pintar miliknya jika saja ada pesan penting dari ayah atau temannya yang lain. Ternyata ada pesan dari Bibi Eliza.
Bibi Eliza
Edward, tolong jaga Rosie untuk hari ini. Bibi tahu kalian belum akrab, tapi berusahalah untuk mengenalnya lebih dulu. Rosie memang kadang terlihat jutek dari luar, namun sebenarnya dia anak yang manis. Mohon bantuannya, Edward. Bibimengandalkanmu.Baru sedetik pria itu selesai membaca pesan itu, terdengar suara teriakan dari ruang ganti wanita. Suara Alice.
Langsung saja Edward berlari masuk ke ruang ganti karena khawatir. Kekasihnya sudah tersungkur di lantai sambil memegangi lengannya yang berdarah.
Alice bergitu kesakitan karena luka lebar di lengan kirinya terus mengeluarkan darah segar. Gaun putih yang ia pakai menunjukkan noda kemerahan di beberapa bagian.
"Edward." lirih Alice dengan mata nanar.
"Alice!" Edward berlutut di sebelah kekasihnya untuk memeriksa luka itu. Cukup besar dan parah. ia langsung berpaling menatap Rosie.
Gadis itu sejak tadi hanya berdiri terpaku dengan ekspresi dingin. Kedua tangan Rosie tersilang di dadanya.
"APA YANG KAU LAKUKAN PADA ALICE?!!"
Edward merupakan salah satu orang yang paling jarang-hampir tidak pernah-marah. Mungkin karena ia tahu diri hanya seorang anak hasil adopsi. Edward merasa wajib menjaga sikap dan perilakunya di depan orang lain. Hal itu menjadi suatu kebiasaan yang mendarah daging.
Tapi, sejak Rosie muncul di hidupnya Edward seperti kehilangan kemapuan untuk menahan diri. Gadis itu layaknya pemantik, memicu kobaran api di diri Edward. Itu bukan hal yang bagus.
"Salah sendiri kenapa dia memaksaku. Aku sudah bilang tidak perlu bantuan. Jangan sok baik seperti itu, membuatku muak saja!" cibir Rosie penuh kebencian. Tak ada setitik pun ketakutan, apa lagi rasa bersalah atas apa yang sudah dia lakukan. Memang Rosie tidak merasa melakukan kesalahan apa pun. Alice saja yang sok baik memaksa menolongnya waktu rambut Rosie tersangkut di manik-manik gaunnya.
Rosie bilang tidak perlu bantuan sejak awal. Dengan sopan, tentu saja pengertian sopan menurutnya sendiri. Tapi, Alice dengan jiwa sok baiknya itu terus memaksa sampai mereka saling tarik menarik dan akhirnya Alice berakhir di lantai karena dorongan yang terlampau kuat dari Rosie.
Rosie membanting pintu di belakangnya untuk melampiaskan amaranya. Tanpa mengucapkan salam pada pemilik apartemen, memang tidak perlu, gadis cantik itu menghempaskan tubuh letihnya ke kasur Claire..
"Aish, kau kenapa?" tanya Claire keheranan. Gadis kurus berambut silver itu sedikit bergeser supaya cukup ruang untuk pendatang baru.
Annette yang sedang duduk di kursi belajar sambil memainkan game di komputer, Claire memutar kursi itu supaya bisa menghadap dua sahabatnya di kasur.
"Tidak usah banyak tanya. Pasti, karena kakak tirinya lagi." Tebak Annette asal namun tepat seratus persen.
"Ah! Dia benar-benar menyebalkan! Aku ingin sekali memakan ususnya." dengus Rosie dengan wajah merah padam. Mata hazel-nya menatap lurus ke dinding di belakang Annette, membayangkan wajah menyebalkan Edward dan Alice.
"Kalau itu kami sudah tahu. Alasannya apa?" desah gadis ber-kontak lensa abu-abu mendekat pada Rosie. Mengelus rambut juga punggung tegang sahabatnya. Rosie bergantian menatap Claire dan Annette. Keduanya menunjukkan raut wajah penasaran dan Rosie mengerti ia tidak punya pilihan lain selain bercerita kejadian di butik.
Walaupun enggan untuk kembali mengingat momen menyebalkan itu, Rosie toh bercerita juga.
"Kau perlu belajar menahan emosimu," komentar Annette datar setelah cerita selesai. Gadis enam belas tahun itu kembali berkutat pada game di komputer.
"AISH!"
Lemparan bantal tepat sasaran mengenai belakang kepala Annette membuat gadis itu berbalik lagi sembari menggaruk rambut ikal warna coklat gelap kebanggaannya.
"Annette lebih baik kau diam saja dari pada membuat Rosie semakin panas." hardik Claire melirik tajam. Dan, mau tak mau Annette kembali diam, padahal isi otaknya sudah menyusun kalimat untuk menyemprot Rosie.
"Kau perlu belajar menahan emosimu," komentar Annette datar setelah cerita selesai. Gadis enam belas tahun itu kembali berkutatpada game di komputer."AISH!"Lemparan bantal tepat sasaran mengenai belakang kepala Annette membuat gadis itu berbalik lagi sembari menggaruk rambut ikalwarna coklat gelap kebanggaannya."Annette lebih baik kau diam saja dari pada membuat Rosie semakin panas." hardik Claire melirik tajam. Dan, mau tak mau Annette kembali diam, padahal isi otaknya sudah menyusun kalimat untuk menyemprot Rosie."Sudahlah, memang kebanyakan orang kaya seperti itu. Suka seenaknya dan memaksakan kehendak semua orang lain. Mentang-mentang berkuasa. Kamlu jangan terkejut, Rosie. Jika, mereka macam-macam padamu lagi, beri tahu aku. Biar Edward dan kekasihnya menjadi urusanku." Claire kompor mode on. Maka dari itu, Claire dan Rsoie itu cocok sampai ke DNA, cara berpikirnya persis sama.
"Sekarang kau pergi cari Rosie." Edward lantas langsung mendongak untuk menatap Alice tidak percaya. Benarkahbapa yang baru saja pendengarannya tangkap?"Kau harus cari Rosie dan antar dia pulang. Aku akan pulang naik taksi dari sini." tutur Alice mulai melangkah ke depan untuk mencari taksi."Terima kasih, Alice."Edward menghentikan langkah Alice, memeluk gadis bertubuh langsing itu sebentar, lalu berlari kecil menuju parkiran.Si gadis termenung. Memandang nanar pada satu-satunya orang yang ia cintai seumur hidupnya. Memperhatikan tubuh tegap itu menjauh pergi, mengecil, semakin jauh, dan menghilang di antara mobil yang berbarisrapih.***Mereka baru selesai nonton film. Sekarang sedang berkeliaran di mall untuk mencari tempat makan. Annette bilang mau makan pasta, tapi Rosie dan Claire kompak ingin pizza. Di sana, mereka tanpa sengajabbertemu dengan David, teman satu kelas m
"Perutmu berkata sebaliknya." Edward kembali fokus mengemudi, tapi bukan ke apartemen Rosie melainkan ke restoran favoritnya yang kebetulan jaraknya dekat.Rosie membuang muka. Menatap ke luar jendelasambil merutuki perut sialannya yang tidak bisa diajak kompromi. Mukanya merah padam dan dia bersyukur Edward tidak bisa melihatnya.Tentu saja salah besar. Karena Edward bisa melihat pantulan wajah Rosie dari kaca pintu mobil."Manis." Pikir Edward dalam hati. Rosie yang tidak tahu menahu aksi sang calon kakak tirinya masih saja menampakkan wajah salah tingkah dengan pipi yang merah padam. Terkadang, ia mengetuk kepalanya seraya menggerutu. Dan, itu semakin terlihat manis di mata Edward.***Mereka sudah sampai di restoran khas perancis favorit Edward. Sebenarnya favorit Alice juga. Malah, Alice sendiri yang memberitahu Edward restoran ini lebih dulu. Tapi, hal itu kini tidak terpikir oleh Edward. Di ben
"Ah, aku minta maaf untuk kejadian waktu itu. Aku benar-benar tidak bermaksud..." mata hazel bening itu memancarkan rasa bersalah. Tentu saja itu hanyaakting.Alice meraih tangan calon adik iparnya seraya berkata, "Tidak perlu minta maaf, Rosie. Aku tahu kamu tidak sengaja. Aku yang harusnya minta maaf karena sudah memaksamu, kau pasti merasa tidaknyaman."Kedua gadis itu saling tersenyum. Tapi dalam hati Youngjae membatin, 'Berhenti bersikap sok baik, Alice. Kau membuatku makin muak!'Rosie membenci Alice meski mereka baru dua kali bertemu. Baiklah, mungkin bukan Alice yang dia benci, melainkan kepribadiannya. Terlalu baik dan ramah pada semua orang, lugu, langsung percaya pada orang baru, bersikap layaknya dunia ini adalah surga. Sikap Alice mengingtkannya pada seseorang yangsangat ia benci. Orang yang harusnya dia singkirkan sejak awal.***Rosie membuka matanya. Masih belum terbiasa dengan ranja
Sudah jam sepuluh malam. Ayah dan Ibunya pasti sudah tidur karena seharian tadi banyak kerabat dari jauh yang datang memberi selamat. Seharian rumah penuh dengan orang yang tidak dia kenal tapi untungnya mereka tahu diri dan pergi tiga jam lalu.Rosie menenteng heels-nya, berjalan membungkuk seperti maling menuju dapur. Saat baru dua hari pindah ke sini, dia menemukan pintu rahasia di halaman belakang dekat dapur yang tidak pernah terkunci. Pintu itu sudah tua dan karatan. Tersembunyi di balik tanaman tinggi menjulang. Jalan rahasia keluar masuk yang sempurna.Saat ia masuk ke area dapur dengan percaya diri karena yakin seribu persen tidak akan ada mahluk lain berkeliaran jam segini, ia malah melihat Edward. Pemuda itu memakai kaos longgar hitam, sedang menuang air putih ke gelas."Rosie?"Sejenak gadis itu membeku. Terkejut."Edward!"' sahutnya tersenyum kikuk."Apa yang kau lakuka
"Ros, berapa lama orang tuamu pergi bulan madu?" Claire berguling ke arah Rosie untukmenatap langsung gadis itu."Seminggu. Ada apa?""Berarti satu minggu ini kau hanya berdua dengan kakakmu itu dong?" Claire menampilkan wajah mesum yang membuat Rosie ingin mencekik gadis itu."Iya. Terus?" Rosie mengangkat alis."Tidak, hanya bicara. Kakak tirimu sangat tampan, awas suka.""Tidak akan pernah."Nampaknya Claire belum mengerti juga bahwaRosie sangat, amat membenci Edward Quin. Rasa bencinya hingga ke sumsum tulang. Segala sesuatu yang ada pada pemuda itu ia benci. Ketampanannya yang selangit juga tidak bisa menawar rasa benci Rosie.Pokoknya Rosie sangat benci pemuda yang bernama Edward Quin.***Kedua sahabatnya pulang sekitar dua jam kemudian. Rosie baru kembali dari ruang tamu setelah mengantar mereka ke pintu depan. Suasana rum
"Terserah kau mau bicara apa. Aku melakukan ini juga bukan atas keinginanku. Yang jelas kau akan menuruti peraturan ini mulai sekarang. Coba saja melawan. Kakak akan memberi pelajaran untuk adiknya ini."Rosie mendengus murka. Deru nafas cepatmiliknya bisa Edward rasakan menerpa kulit wajahnya. Posisi mereka teramat dekat tetapi tidak ada yang mau mengalah untuk memalingkan muka. Jika, kau berpaling itu artinya kau takut."Kalau sudah mengerti, Kakak pergi dulu ya adikku yang manis." Edward mengulangi adeganyang Rosie lakukan beberapa hari lalu. Persis sama. Dia menepuk-nepuk pucuk kepala Rosie seperti gadis yang tingginya hanya sebahunya itu adalah anjing perliharaan lalu keluar dari ruang keluarga.***Tidak ada pesta? Tidak ada keluar sampai malam? Harus memberi kabar? Cih! Rosie pastisudah sinting kalau mengikuti maunya Edward. Dia pikir Rosie akan gentar dengan gertak sambal murahan begitu?
"Apa yang kau lakukan?!" pekik gadis itu murka setelah dia mampu bangun dan duduk. Manik hazel miliknya bisa memancarkan laser untuk membor kepala Edwardhingga bolong."Menunjukkan padamu kalau aku tidak main-main.""Sial!" umpat Rosie sembari berusaha bangkit.Tapi, Edward menahannya. Pemuda itu memegangikedua tangan Rosie di atas kepalanya, tubuhn besarnya sendiri melayang di atas gadis itu. Rosie benci tempat ini. Baunya seperti Edward Quin. Aroma mint bercampur dengan, entahlah sesuatu yang manis."Kau akan tidur di sini malam ini. Dan renungkan kesalahanmu supaya mulai besokkau bisa menjadi gadis baik,"Edward selesai bicara, tapi penganggannya di tangan Rosie masih mengungci erat. Dia menunggu Rosie berhenti menggerak-gerakkan tangannya dan menggeliat tak sabar di bawahnya."Kenapa aku harus dikurung di sini?" Rosie masih saja mencari-cari alasan, tak t
"Wah, tidak jauh dari rumah. Kapan-kapan main ya ke rumah." Lidya terkekeh di akhir kalimatnya. Angel meringis dan Damian tersenyum kecil."Iya, Tante.""Siapa tahu, bisa menjadi menantu. Belum punya pacar, 'kan?"Angel sontak menatap Lidya dengan wajah terkejut namun setelah itu kembali melunak, terkekeh lalu menunduk. Kedua tangannya terkepal hingga jari kukunya kian memutih.***"Ella."Ella menoleh saat Samuel sudah berada di hadapannya dengan sekotak susu pisang."Ini, untukmu." Samuel menyodorkannya dan Ella dengan ragu mengambilnya."Terima kasih." cicit Ella pelan.Samuel tidak menjawab, anak itu langsung mengambil posisi di samping Ella seraya melanjutkan meminum susu pisangnya. Kini, sudah lima belas menit berlalu sejak bel istirahat berbunyi. Ella dan Samuel sedang duduk di santai di bangku taman seray
"Angel, kau apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu. Ada waktu luang? Bisa kita bicara sebentar?"Angel yang tidak tahu ingin berkata apa hanya mampu tersenyum kecil dan pasrah ketika tangannya di tarik begitu saja oleh Ibu Damian. Diam-diam, Damian merasakan tatapan tajam Angel yang siap membunuhnya.***Ella menghela napas lelah selepas turun dari mobil Rere. Padahal, niatnya hari ini dia tidak ingin masuk sekolah mengingat hal mengerikan lain yang mungkin saja bisa terjadi. Kemarin, seperti biasa dia selalu mendapat perlakuan yang menjengkelkan."Ella, tidak boleh cemberut begitu. Anak cantik harus tersenyum." Rere berujar dari balik kaca mobil.Ella hanya meliriknya sekilas lalu mengangguk. "I go to school, Aunty."Rere mengangguk, "I wiil pick you up later."Setelah Ella mengangguk barulah mobil Rere melesat menuju jalan ibu kota yang padat
"Aku berangkat dulu, ya." pamit Edward pada Rosie. Mengecup kening sang istri lalu beralih ke perut buncitnya."Sayang, jaga Ibu baik-baik, ya. Jangan nakal." Setelah itu, Edward juga meninggalkan kecupan untuk si jabang bayinya."Ayo, Ayah!" Rosie kembali terkekeh menyaksikan wajah lelah Edward."Aku sudah di tunggu Kak Eros di sekolah!" Samuel kembali bersuara, kali ini dengan menunjukkan jam tangan yang memiliki fungsi seperti ponsel, hadiah dari kakeknya."Iya, sebentar sayang.""Ya sudah, kamu berangkat. Hati-hati di jalan."Edward mengangguk, melemparkan senyum. "Baiklah."Lima menit kemudian, mobil yang di kendarai Edward melaju pergi, tersisa Samuel yang melambaikan tangannya pada Rosie sampai sang ibu hilang dari pandangannya.***David melirik ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah setenga
"Kak Damian? Angel? Kalian saling kenal?" Rosie menatap sepasang pria dan wanita yang dia kenal di hadapannya. Edward sepertinya juga menatap heran keduanya dari pandangan mata.Damian yang semula berada berapa langkah di belakang Angel kini mulai berjalan hingga keduanya bersisihan."Ya, kami saling kenal. Kami pernah berpacaran semasa aku kuliah dulu." ungkap Damian secara gamblang dengan mudahnya. Sontak saja, itu memancing tiga pasang mata yang ada di sana menatap Damiam terkejut. Terlebih lagi Angel, rasanya bola mata gadis itu sebentar lagi akan melompat keluar jika tak sedetik kemudian Angel berkedip."Wah, kalian ternyata pernah berpacaran? Astaga, dunia ini benar-benar sempit." Edward berseru kalut, ikut mewakili Rosie yang juga terkejut mendengarnya.Damian hanya melemparkan tatapan tak berdosanya pada Angel seraya menampilkan senyuman terbaiknya. Sedan
"Kau masih menyukainya?"Angel membuang wajahnya tanpa sadar yang malah membuat Damian semakin yakin dengan persepsinya."Kau ada waktu sebentar di taman? Kebetulan, aku membawa makanan." Damian menunjukkan tentengan yang dia bawa, arah mata Angel mengikuti pergerakan tangan Damian.***"Kau sudah lama menjadi Dokter di sini?" Damian memulai pertanyaan seraya membuka bungkus roti yang dia bawa. Kebetulan, dia belum sarapan. Niatnya, dia ingin menjenguk Rosie dan Samuel, tapi saat dia ingin menjenguknya, dia malah menemukan sosok mantan kekasih yang sudah lama sekali tidak muncul di hadapannya. Sebuah kebetulan sekali.Ya, Damian dan Angel memang pernah memadu kasih bahkan Damian sudah mengenalkan Angel pada ayah dan ibunya. Kalian ingat saat hubungan Damian dan Rosie di tentang keras oleh kedua orang tua Damian? Bukan semata-mata hanya karena Rosie tidak memiliki Ayah dan latar bel
Pada awalnya, Rosie akan menduga bahwa Edward tidak bisa menerima Samuel sebagai anak pertamanya, tapi dugaannya salah ketika melihat senyuman Edward yang begitu tulus ketika kali pertamanya dia melihat Samuel. Hati Rosie juga ikut mencelos kala itu, merasa terharu dengan apa yang dia lihat.Edward yang merasa terusik dengan elusan di kepalanya kini perlahan mulai membuka matanya, dan langsung membeliak kaget ketika melihat wajah sang istri yang sudah kembali berseri."Kau sudah sadar? Bagaimana? Apa perutmu merasa sakit lagi?" Edward langsung mengecek keadaan Rosie, memutar tubuh sang istri, dia ingin memastikannya sendiri.Rosie tertawa geli menyadari sikap protektif Edward terhadapnya, "Aku tidak apa-apa, Edward. Aku baik-baik saja."Edward menaikkan satu alisnya, "Apa kau yakin?" Rosie tersenyum lalu mengangguk.Edward menghela napas lega, "Syukurlah
Rere berdehem dengan salah satu telunjuknya menyentuh dagu, terlihat berpikir. "Menurut Aunty, Si Bully ini seperti racun yang semakin lama akan semakin menggerogoti tubuh kita. Jadi, kita harus menghilangkan racun-racun itu. Jika, Ella merasa di rugikan maka Ella harus menjauh, Ella tidak boleh diam saja itu akan semakin membuat Ella meras lemah. Ella menjauh saja, tidak usah pedulikan apa yang dia bicarakan. Toh, mereka semakin lama akan bosan dan tidak akan mengganggu Ella lagi."Rupanya, ucapan Rere tadi belum berhasil mengundang senyuman di wajah Ella. "Tapi, aku tidak memiliki teman. Aku ingin memiliki teman seperti yang lain, Aunty."Rere mengelus punggung belakang Ella, "Ella tahu, 'kan? Kalau Ella belum lama ada di sini? Jadi, Ella memang harus beradaptasi dengan lingkungan Ella yang sekarang. Lingkungan Ella yang sekarang ini jauh berbeda dengan lingkungan Ella yang di Sydney. Aunty juga yakin pasti suatu saat Ella ak
"Kau sedang melihat apa?" tanya David yang setelah itu menegak minumannya."Aku sedang melihat anak-anak, Samuel dab Eros terlihat nampak dekat. Bahkan, Samuel sudah seperti adiknya sendiri. Apa kau tahu? Eros tidak seperti itu pada Zea dan Zelo, hanya pada Samuel dia seperti itu."David mengangkat kedua bahunya lalu bersandar pada senderan kursi di belakangnya seraya melebarkan kakinya, "Kurasa, Eros benar-benar sangat menyukai Samuel, dan Samuel juga sebaliknya. Dulu, Eros selalu bilang padaku, katanya seperti ini, aku juga ingin menjaga adikku tapi Zea sudah bersama dengan Zelo, selalu. Padahal, dia juga ingin seperti Zelo. Sedangkan, Zelo sepertinya juga bisa tanpanya. Mungkin, itulah yang menyababkan Eros sangat menyayangi Samuel."Alice mengangguk seraya tersenyum, "Kurasa begitu. Setidaknya, aku lega karena permasalahan harus berakhir seperti ini. Untung saja, takdir memang sudah di gariskan da
"Edward, kakiku lemas. Aku tidak bisa berjalan." lirih Rosie pelan tapi masih bisa di dengar oleh semua pasang telinga."Ibu! Ibu kenapa?" Samuel langsung menyeru ketika melihat wajah sang ibu yang pucat tapi masih bisa memaksakan senyum.Edward dengan siaga langsung menggendong tubuh Rosie, "Alice sebentar ya, tolong jaga anak-anak aku akan membawa Rosie ke ruangannya dan memanggil Dokter." Setelah itu, langkah Edward menghilang di balik pintu."Aku kasihan melihatnya." ujar Alice lirih. Sungguh, dia tidak bisa membayangkan bagaimana dia berada di posisi Rosie. Kandungannya yang mengalami flek dan anaknya yang habis terjatuh dari mainan bola dunia, benar-benar membuat Alice prustasi melihatnya."Tak apa, Rosie adalah gadis yang kuat." Alice mengangguk."Bibi Alice, Paman David. Ibu kenapa? Kenapa wajahnya sangat pucat sekali?" Samuel berkata dengan nada khawa