Apa yang pertama kali terbesit di benak kalian kala pertama mendengar bahwa orang tua kalian ingin menikah lagi? Kehidupan yang bahagia karena kelengkapan keluarga? Memiliki saudara instan yang akan menemani keseharian kalian? Kemungkinan dua jawaban yang terkadang menjadi kenyataan. Namun, semua memanglah tidak pernah berjalan mulus, ada saja kurang lebih di dalamnya.
Sama seperti yang di alami Edward, memiliki adik tiri yang sangat cantik dan juga masih remaja memang terkadang menyenangkan. Tapi, bagaimana jika gadis itu seperti—
Rosie Wilkins.
Gadis aneh-bukan, ia tidak aneh, hanya sedikit mencurigakan. Sejak pertemuan pertama Edward dengannya, ia sudah bisa merasakan ada sesuatu pada bocah itu. Sesuatu yang gelap disembunyikan di balik senyum secerah mentari.
Hari ini adalah pertemuan resmi ketiga mereka. Mereka yang dimaksud adalah Edward, Rosie, Eliza Wilkins, ibu Rosie, dan Lewis Quin, ayah Edward.
Restoran mewah di hotel bintang lima milik Lewis jadi tempat langganan pertemuan keluarga, maksudnya calon keluarga berlangsung. Sekeras apapun Lewis dan Eliza berusaha mencairkan suasana, kedua anak mereka tidak bisa dengan mudah menjadi akrab begitu saja.
Edward sendiri sebenarnya sudah berusaha untuk bersikap bersahabat dengan Rosie. Menanyakan hal-hal spele dan ringan yang biasanya menarik minat gadis remaja, namun agaknya Rosie tidak berminat sama sekali untuk menyambung pembicaraan lebih lanjut dengan calon kakak tirinya.
"Rosie ingin mengambil jurusan manajemen bisnis di perguruan tinggi. Aku dengar Edward juga mengambil jurusan itu, kan? Semoga kamu bisa membantu Rosie kalau ada kesulitan, ya," Eliza kembali berusaha mencari topik yang mungkin akan bisa mengakrabkan anaknya dan calon anak tirinya. Senyum wanita yang belum bisa disebut tua itu terlihat sedikit cemas jika recananya gagal lagi.
"Tentu saja. Aku akan dengan senang hati membantu."
Kemudian semua mata di meja itu menatap Rosie, menunggu tanggapannya tentang topik yang menurutnya payah juga membosankan itu. Dalam hati gadis itu menggeram jengkel, memutar bola matanya dengan cepat supaya tidak ada yang menyadari betapa bosan dirinya ada di tengah pertemuan itu.
Sedetik kemudian bocah yang sama
memasang senyum secerah mentari yang cukup terkenal miliknya, "Terima kasih, Kak Edward! Aku senang kau mau membantuku.""Haha...lihatlah anak-anak kita! Sudah akrab seperti saudara kandung!!" seru Tuan Lewis bersemangat. Entah berpura-pura tidak tahu atau memang terlalu lugu untuk menyadari bahwa semua lagak yang ditampilkan putranya dan Rosie hanya sandiwara.
Tawa bahagia dari Nyonya Wilkins, yang sebentar lagi akan berubah menjadi Nyonya Quin menyambut kalimat pria di depannya.
Senyum di bibir Rosie langsung
menghilang ketika semua orang berpaling darinya. Tapi tidak dengan Edward. Pria itu melihat jelas Rosie memancarkan ekspresi dingin ketika ia kira semua orang tidak memperhatikannya.***"Ayah." panggil Edward ketika mereka sedangdalam perjalanan pulang dari pertemuan dua keluarga. Ia tengah duduk di belakang kemudi, membagi konsentrasi dari jalan di depan dengan pikiran tak nyaman tentang Rosie Wilkins."Hmm.." dehaman adalah yang di terima Edward dari Tuan Lewis. Ayahnya itu masih sibuk dengan smart phone-nya tanpa menoleh pada sang anak.
Sekilas Edward melirik ayahnya tersenyum bahagia menatap layar kecil yang bersinar. Tanpa dijelaskan pun ia tahu alasan hidup. Tuan Lewis tersenyum layaknya remaja yang baru mengenal cinta.
Eliza Wilkins. Perempuan baik hati yang mengisi hari-harinya sejak beberapa bulan lalu. Tidak hanya baik hati, Eliza juga anggun, keibuan, cantik, dan yang pasti sangat dicintai Lewis. Sejak mereka menjalin hubungan, Tuan Lewis menjadi lebih ceria, wajahnya selalu cerah, suasana hatinya selalu baik. Bahkan Edward bisa mengklaim bahwa ayahnya lebih bahagia dibanding ketika ibunya masih hidup dulu. Suatu perbedaan yang juga Edward turut senang melihatnya.
"Gadis itu...menurut Ayah bagaimana anak itu?"
"Gadis itu? Siapa yang kau maksud?"
"Rosie Wilkins."
"Apa maksudmu? Dia anak yang baik dan sopan. Memang kenapa, Edward?" Tuan Lewis berkata masih belum mengangkat wajahnya dari layar ponsel.
"Ah, tidak, hanya saja aku merasa aku yang sedikit-" Lewis terbahak-bahak membuat Edward berhenti bicara.
"Edward, lihat! Foto Rosie saat masih kecil. Sangat imut, 'kan?" Ayahnya menyodorkan ponsel pintar itu ke wajah Edward agar si anak bisa melihat layar.
Edward melihat sebentar foto yang dimaksud. Benar saja. Ada gadis kecil
berumur sekitar delapan tahun tersenyum lebar menunjukkan giginya yang putih, menatap kamera dengan mata hazel bening. Rosie terlihat sangat imut dan jauh lebih berisi-pipi chubby-nya begitu menarik perhatian, dibandingkan sekarang.Ia merasa malu sendiri karena sudah mencurigai ada yang tidak beres dengan gadis lucu macam Rosie. Mustahil bocah baik dengan senyum cerah itu menyembunyikan sesuatu, kan? Kalaupun ada yang disembunyikan, itu adalah hal yang wajar. Semua orang pasti punya rahasia. Dan, rahasia sebesar apa memangnya yang bisa di miliki remaja tujuh belas tahun?
Pria tampan itu memutuskan bahwa pikirannya terlalu sensitif saja.
"Oh, tadi apa yang mau kamu katakan, Edward?" Tuan Lewis selesai berkirim pesan dengan kekasihnya. Ia baru kembali lagi ke kepribadian dewasa dan berwibawa. Kini perhatiannya sepenuhnya pada sang anak.
"Tidak, lupakan saja, Ayah. Tidak penting juga." Lewis lantas mengangguk pelan atas jawaban Edward tapi kemudian kembali bersuara.
"Lain kali kita harus mengajak Alice juga ke pertemuan keluarga. Kalian akan menikah, jadi Ayah ingin Alice juga mulai mengakrabkan diri dengan Eliza dan Rosie."
"Baik. Aku akan bicara dengan Alice untuk mencari waktu yang tepat."
***Dering suara ponsel di atas nakasmenghentikan kegiatan membaca Edward.Dari jam digital di sebelah ponsel yang menyala tertera setengah sebelas malam. Si pemilik ponsel tersenyum melihat nomor penelpon lantas menutup buku di pangkuannya, mencopot kaca mata yang bertengger di hidung tingginya, kemudian meraih ponsel tersebut.
"Halo."
"Halo, Edward." Terdengar suara
seorang gadis dari seberang.''Iya, Alice. Kau belum tidur?"
"Aku tidak bisa tidur. Untuk itu menelponmu. Kau sendiri?" Suara Alice terdengar manja.
"Ah, aku juga sama sepertimu. Masih ada tugas. Kenapa tidak bisa tidur? Rindu padaku, bukan?" Edward mengakhiri ucapannya dengan kekehan.
"Astaga, kau ini terlalu percaya diri sekali, Tuan Edward. Kau beruntung karena aku baik hati, jika tidak sudah—"
"Sudah apa?" Edward langsung menyela.
"Sudah kubawa kau ke depan altar." Di seberang sana, gadis bernama Alice itu terkikik geli. Ah, selera humor yang rendah. Tak lama, di susul Edward yang menyahuti tawanya.
"Boleh aku tebak? Kurasa, itu sebuah sindiran? Right?"
"Itu suatu permohonan aku yang belum terkabul, Edward. Kau ini, memang payah dalam bahasa wanita."
"Kau ini sepertinya sudah tidak sabar sekali menjadi Nyonya Quin." Edward tertawa renyah. "Sabar sedikit, setelah lulus kuliah nanti aku akan segera melamarmu dan kita akan segera menikah. Lebih baik, mulai dari sekarang kau memikirkan pernikahan impian yang kau inginkan. Oke, cantik?"
Percakapan seperti ini sudah biasa bagi Alice dan Edward. Hanya bentuk canda di antara kedua sejoli. Namun, jauh di dalamnya terselip kecemasan Alice akan hubungan mereka. Edward dan Alice sudah hampir enam tahun menjalin kasih.
Berawal dari persahabatan kedua
orang tua mereka, mereka bertemu sepuluh tahun lalu. Saat pria itu baru di adopsi oleh pasangan Quin. Kala itu Edward dan Alice masih berumur sebelas tahun.Mereka mulai akrab, menjadi sahabat tidak terpisahkan, hingga Alice memberanikan diri untuk menyatakan cintanya pada Edward saat mereka duduk di bangku sekolah menengah.
Tentu saja Edward juga mencintai Alice, kalau tidak pemuda itu tidak mungkin menerima perasaan si gadis manis enam tahun lalu. Hanya saja pria itu masih ingin berfokus pada studinya. Ia ingin memberikan hasil memuaskan untuk
membanggakan orang tua yang telahmengangkatnya juga merawatnya sejak kecil. Karena, ia hanya anak hasil adopsi, ia merasa punya kewajiban untuk membalas semua kebaikan orang tua angkatnya ini.Berawal dari persahabatan kedua orang tua mereka, mereka bertemu sepuluh tahun lalu. Saat pria itu baru di adopsi oleh pasangan Quin. Kala itu Edward dan Alice masih berumur sebelas tahun.Mereka mulai akrab, menjadi sahabat tidak terpisahkan, hingga Alice memberanikan diri untuk menyatakan cintanya pada Edward saat mereka duduk di bangku sekolah menengah.Tentu saja Edward juga mencintai Alice, kalau tidak pemuda itu tidak mungkin menerima perasaan si gadis manis enam tahun lalu. Hanya saja pria itu masih ingin berfokus pada studinya. Ia ingin memberikan hasil memuaskan untuk membanggakan orang tua yang telah membesarkan juga merawatnya sejak kecil. Karena, ia hanya anak hasil adopsi, ia merasa punya kewajiban untuk membalas semua kebaikan orang tua angkatnya ini."Bagaimana acara tadi sore? Lancar?" Alice kembalimemulai obrolan."Semua lancar. Calon istri Ayahku sangat baik dan aku yakin dia bisa
"Sabar, Edward. Mungkin terjadi sesuatu yang membuat Rosie akhirnya telat." Ucap Alice mencoba meredakan emosi sang kekasih."Tapi, dia seharusnya kan bisa mengirim pesan atau telpon padaku untuk memberi kabar." Gerutu Edward masih menatap pintu keluar apartemen dengan kesal.Akhirnya sosok yang ditunggu muncul juga. Berjalan santai keluar dari apartemen dengan wajah datar tanpa rasa bersalah. Masuk ke kursi belakang tanpa menyapa kedua orang yang sudah menunggunya sepertiorang bodoh."Rosie, senang bertemu denganmu. Aku Alice." Alice membalik tubuhnya ke belakang lalu memanjangkan tangannya untukbersalaman."Aku Rosie." Ucap gadis itu singkat, membalas uluran tangan itu cepat dan asal saja.Edward mendengus kesal melihat tingkah bocah yang baru datang. Ia menggelengkan kepala tak habis pikir dengan sopan santun yang Rosie tunjukkan. Tapi Edward tidak mengatakan apapun, karena itulah
"Kau perlu belajar menahan emosimu," komentar Annette datar setelah cerita selesai. Gadis enam belas tahun itu kembali berkutatpada game di komputer."AISH!"Lemparan bantal tepat sasaran mengenai belakang kepala Annette membuat gadis itu berbalik lagi sembari menggaruk rambut ikalwarna coklat gelap kebanggaannya."Annette lebih baik kau diam saja dari pada membuat Rosie semakin panas." hardik Claire melirik tajam. Dan, mau tak mau Annette kembali diam, padahal isi otaknya sudah menyusun kalimat untuk menyemprot Rosie."Sudahlah, memang kebanyakan orang kaya seperti itu. Suka seenaknya dan memaksakan kehendak semua orang lain. Mentang-mentang berkuasa. Kamlu jangan terkejut, Rosie. Jika, mereka macam-macam padamu lagi, beri tahu aku. Biar Edward dan kekasihnya menjadi urusanku." Claire kompor mode on. Maka dari itu, Claire dan Rsoie itu cocok sampai ke DNA, cara berpikirnya persis sama.
"Sekarang kau pergi cari Rosie." Edward lantas langsung mendongak untuk menatap Alice tidak percaya. Benarkahbapa yang baru saja pendengarannya tangkap?"Kau harus cari Rosie dan antar dia pulang. Aku akan pulang naik taksi dari sini." tutur Alice mulai melangkah ke depan untuk mencari taksi."Terima kasih, Alice."Edward menghentikan langkah Alice, memeluk gadis bertubuh langsing itu sebentar, lalu berlari kecil menuju parkiran.Si gadis termenung. Memandang nanar pada satu-satunya orang yang ia cintai seumur hidupnya. Memperhatikan tubuh tegap itu menjauh pergi, mengecil, semakin jauh, dan menghilang di antara mobil yang berbarisrapih.***Mereka baru selesai nonton film. Sekarang sedang berkeliaran di mall untuk mencari tempat makan. Annette bilang mau makan pasta, tapi Rosie dan Claire kompak ingin pizza. Di sana, mereka tanpa sengajabbertemu dengan David, teman satu kelas m
"Perutmu berkata sebaliknya." Edward kembali fokus mengemudi, tapi bukan ke apartemen Rosie melainkan ke restoran favoritnya yang kebetulan jaraknya dekat.Rosie membuang muka. Menatap ke luar jendelasambil merutuki perut sialannya yang tidak bisa diajak kompromi. Mukanya merah padam dan dia bersyukur Edward tidak bisa melihatnya.Tentu saja salah besar. Karena Edward bisa melihat pantulan wajah Rosie dari kaca pintu mobil."Manis." Pikir Edward dalam hati. Rosie yang tidak tahu menahu aksi sang calon kakak tirinya masih saja menampakkan wajah salah tingkah dengan pipi yang merah padam. Terkadang, ia mengetuk kepalanya seraya menggerutu. Dan, itu semakin terlihat manis di mata Edward.***Mereka sudah sampai di restoran khas perancis favorit Edward. Sebenarnya favorit Alice juga. Malah, Alice sendiri yang memberitahu Edward restoran ini lebih dulu. Tapi, hal itu kini tidak terpikir oleh Edward. Di ben
"Ah, aku minta maaf untuk kejadian waktu itu. Aku benar-benar tidak bermaksud..." mata hazel bening itu memancarkan rasa bersalah. Tentu saja itu hanyaakting.Alice meraih tangan calon adik iparnya seraya berkata, "Tidak perlu minta maaf, Rosie. Aku tahu kamu tidak sengaja. Aku yang harusnya minta maaf karena sudah memaksamu, kau pasti merasa tidaknyaman."Kedua gadis itu saling tersenyum. Tapi dalam hati Youngjae membatin, 'Berhenti bersikap sok baik, Alice. Kau membuatku makin muak!'Rosie membenci Alice meski mereka baru dua kali bertemu. Baiklah, mungkin bukan Alice yang dia benci, melainkan kepribadiannya. Terlalu baik dan ramah pada semua orang, lugu, langsung percaya pada orang baru, bersikap layaknya dunia ini adalah surga. Sikap Alice mengingtkannya pada seseorang yangsangat ia benci. Orang yang harusnya dia singkirkan sejak awal.***Rosie membuka matanya. Masih belum terbiasa dengan ranja
Sudah jam sepuluh malam. Ayah dan Ibunya pasti sudah tidur karena seharian tadi banyak kerabat dari jauh yang datang memberi selamat. Seharian rumah penuh dengan orang yang tidak dia kenal tapi untungnya mereka tahu diri dan pergi tiga jam lalu.Rosie menenteng heels-nya, berjalan membungkuk seperti maling menuju dapur. Saat baru dua hari pindah ke sini, dia menemukan pintu rahasia di halaman belakang dekat dapur yang tidak pernah terkunci. Pintu itu sudah tua dan karatan. Tersembunyi di balik tanaman tinggi menjulang. Jalan rahasia keluar masuk yang sempurna.Saat ia masuk ke area dapur dengan percaya diri karena yakin seribu persen tidak akan ada mahluk lain berkeliaran jam segini, ia malah melihat Edward. Pemuda itu memakai kaos longgar hitam, sedang menuang air putih ke gelas."Rosie?"Sejenak gadis itu membeku. Terkejut."Edward!"' sahutnya tersenyum kikuk."Apa yang kau lakuka
"Ros, berapa lama orang tuamu pergi bulan madu?" Claire berguling ke arah Rosie untukmenatap langsung gadis itu."Seminggu. Ada apa?""Berarti satu minggu ini kau hanya berdua dengan kakakmu itu dong?" Claire menampilkan wajah mesum yang membuat Rosie ingin mencekik gadis itu."Iya. Terus?" Rosie mengangkat alis."Tidak, hanya bicara. Kakak tirimu sangat tampan, awas suka.""Tidak akan pernah."Nampaknya Claire belum mengerti juga bahwaRosie sangat, amat membenci Edward Quin. Rasa bencinya hingga ke sumsum tulang. Segala sesuatu yang ada pada pemuda itu ia benci. Ketampanannya yang selangit juga tidak bisa menawar rasa benci Rosie.Pokoknya Rosie sangat benci pemuda yang bernama Edward Quin.***Kedua sahabatnya pulang sekitar dua jam kemudian. Rosie baru kembali dari ruang tamu setelah mengantar mereka ke pintu depan. Suasana rum
"Wah, tidak jauh dari rumah. Kapan-kapan main ya ke rumah." Lidya terkekeh di akhir kalimatnya. Angel meringis dan Damian tersenyum kecil."Iya, Tante.""Siapa tahu, bisa menjadi menantu. Belum punya pacar, 'kan?"Angel sontak menatap Lidya dengan wajah terkejut namun setelah itu kembali melunak, terkekeh lalu menunduk. Kedua tangannya terkepal hingga jari kukunya kian memutih.***"Ella."Ella menoleh saat Samuel sudah berada di hadapannya dengan sekotak susu pisang."Ini, untukmu." Samuel menyodorkannya dan Ella dengan ragu mengambilnya."Terima kasih." cicit Ella pelan.Samuel tidak menjawab, anak itu langsung mengambil posisi di samping Ella seraya melanjutkan meminum susu pisangnya. Kini, sudah lima belas menit berlalu sejak bel istirahat berbunyi. Ella dan Samuel sedang duduk di santai di bangku taman seray
"Angel, kau apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu. Ada waktu luang? Bisa kita bicara sebentar?"Angel yang tidak tahu ingin berkata apa hanya mampu tersenyum kecil dan pasrah ketika tangannya di tarik begitu saja oleh Ibu Damian. Diam-diam, Damian merasakan tatapan tajam Angel yang siap membunuhnya.***Ella menghela napas lelah selepas turun dari mobil Rere. Padahal, niatnya hari ini dia tidak ingin masuk sekolah mengingat hal mengerikan lain yang mungkin saja bisa terjadi. Kemarin, seperti biasa dia selalu mendapat perlakuan yang menjengkelkan."Ella, tidak boleh cemberut begitu. Anak cantik harus tersenyum." Rere berujar dari balik kaca mobil.Ella hanya meliriknya sekilas lalu mengangguk. "I go to school, Aunty."Rere mengangguk, "I wiil pick you up later."Setelah Ella mengangguk barulah mobil Rere melesat menuju jalan ibu kota yang padat
"Aku berangkat dulu, ya." pamit Edward pada Rosie. Mengecup kening sang istri lalu beralih ke perut buncitnya."Sayang, jaga Ibu baik-baik, ya. Jangan nakal." Setelah itu, Edward juga meninggalkan kecupan untuk si jabang bayinya."Ayo, Ayah!" Rosie kembali terkekeh menyaksikan wajah lelah Edward."Aku sudah di tunggu Kak Eros di sekolah!" Samuel kembali bersuara, kali ini dengan menunjukkan jam tangan yang memiliki fungsi seperti ponsel, hadiah dari kakeknya."Iya, sebentar sayang.""Ya sudah, kamu berangkat. Hati-hati di jalan."Edward mengangguk, melemparkan senyum. "Baiklah."Lima menit kemudian, mobil yang di kendarai Edward melaju pergi, tersisa Samuel yang melambaikan tangannya pada Rosie sampai sang ibu hilang dari pandangannya.***David melirik ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah setenga
"Kak Damian? Angel? Kalian saling kenal?" Rosie menatap sepasang pria dan wanita yang dia kenal di hadapannya. Edward sepertinya juga menatap heran keduanya dari pandangan mata.Damian yang semula berada berapa langkah di belakang Angel kini mulai berjalan hingga keduanya bersisihan."Ya, kami saling kenal. Kami pernah berpacaran semasa aku kuliah dulu." ungkap Damian secara gamblang dengan mudahnya. Sontak saja, itu memancing tiga pasang mata yang ada di sana menatap Damiam terkejut. Terlebih lagi Angel, rasanya bola mata gadis itu sebentar lagi akan melompat keluar jika tak sedetik kemudian Angel berkedip."Wah, kalian ternyata pernah berpacaran? Astaga, dunia ini benar-benar sempit." Edward berseru kalut, ikut mewakili Rosie yang juga terkejut mendengarnya.Damian hanya melemparkan tatapan tak berdosanya pada Angel seraya menampilkan senyuman terbaiknya. Sedan
"Kau masih menyukainya?"Angel membuang wajahnya tanpa sadar yang malah membuat Damian semakin yakin dengan persepsinya."Kau ada waktu sebentar di taman? Kebetulan, aku membawa makanan." Damian menunjukkan tentengan yang dia bawa, arah mata Angel mengikuti pergerakan tangan Damian.***"Kau sudah lama menjadi Dokter di sini?" Damian memulai pertanyaan seraya membuka bungkus roti yang dia bawa. Kebetulan, dia belum sarapan. Niatnya, dia ingin menjenguk Rosie dan Samuel, tapi saat dia ingin menjenguknya, dia malah menemukan sosok mantan kekasih yang sudah lama sekali tidak muncul di hadapannya. Sebuah kebetulan sekali.Ya, Damian dan Angel memang pernah memadu kasih bahkan Damian sudah mengenalkan Angel pada ayah dan ibunya. Kalian ingat saat hubungan Damian dan Rosie di tentang keras oleh kedua orang tua Damian? Bukan semata-mata hanya karena Rosie tidak memiliki Ayah dan latar bel
Pada awalnya, Rosie akan menduga bahwa Edward tidak bisa menerima Samuel sebagai anak pertamanya, tapi dugaannya salah ketika melihat senyuman Edward yang begitu tulus ketika kali pertamanya dia melihat Samuel. Hati Rosie juga ikut mencelos kala itu, merasa terharu dengan apa yang dia lihat.Edward yang merasa terusik dengan elusan di kepalanya kini perlahan mulai membuka matanya, dan langsung membeliak kaget ketika melihat wajah sang istri yang sudah kembali berseri."Kau sudah sadar? Bagaimana? Apa perutmu merasa sakit lagi?" Edward langsung mengecek keadaan Rosie, memutar tubuh sang istri, dia ingin memastikannya sendiri.Rosie tertawa geli menyadari sikap protektif Edward terhadapnya, "Aku tidak apa-apa, Edward. Aku baik-baik saja."Edward menaikkan satu alisnya, "Apa kau yakin?" Rosie tersenyum lalu mengangguk.Edward menghela napas lega, "Syukurlah
Rere berdehem dengan salah satu telunjuknya menyentuh dagu, terlihat berpikir. "Menurut Aunty, Si Bully ini seperti racun yang semakin lama akan semakin menggerogoti tubuh kita. Jadi, kita harus menghilangkan racun-racun itu. Jika, Ella merasa di rugikan maka Ella harus menjauh, Ella tidak boleh diam saja itu akan semakin membuat Ella meras lemah. Ella menjauh saja, tidak usah pedulikan apa yang dia bicarakan. Toh, mereka semakin lama akan bosan dan tidak akan mengganggu Ella lagi."Rupanya, ucapan Rere tadi belum berhasil mengundang senyuman di wajah Ella. "Tapi, aku tidak memiliki teman. Aku ingin memiliki teman seperti yang lain, Aunty."Rere mengelus punggung belakang Ella, "Ella tahu, 'kan? Kalau Ella belum lama ada di sini? Jadi, Ella memang harus beradaptasi dengan lingkungan Ella yang sekarang. Lingkungan Ella yang sekarang ini jauh berbeda dengan lingkungan Ella yang di Sydney. Aunty juga yakin pasti suatu saat Ella ak
"Kau sedang melihat apa?" tanya David yang setelah itu menegak minumannya."Aku sedang melihat anak-anak, Samuel dab Eros terlihat nampak dekat. Bahkan, Samuel sudah seperti adiknya sendiri. Apa kau tahu? Eros tidak seperti itu pada Zea dan Zelo, hanya pada Samuel dia seperti itu."David mengangkat kedua bahunya lalu bersandar pada senderan kursi di belakangnya seraya melebarkan kakinya, "Kurasa, Eros benar-benar sangat menyukai Samuel, dan Samuel juga sebaliknya. Dulu, Eros selalu bilang padaku, katanya seperti ini, aku juga ingin menjaga adikku tapi Zea sudah bersama dengan Zelo, selalu. Padahal, dia juga ingin seperti Zelo. Sedangkan, Zelo sepertinya juga bisa tanpanya. Mungkin, itulah yang menyababkan Eros sangat menyayangi Samuel."Alice mengangguk seraya tersenyum, "Kurasa begitu. Setidaknya, aku lega karena permasalahan harus berakhir seperti ini. Untung saja, takdir memang sudah di gariskan da
"Edward, kakiku lemas. Aku tidak bisa berjalan." lirih Rosie pelan tapi masih bisa di dengar oleh semua pasang telinga."Ibu! Ibu kenapa?" Samuel langsung menyeru ketika melihat wajah sang ibu yang pucat tapi masih bisa memaksakan senyum.Edward dengan siaga langsung menggendong tubuh Rosie, "Alice sebentar ya, tolong jaga anak-anak aku akan membawa Rosie ke ruangannya dan memanggil Dokter." Setelah itu, langkah Edward menghilang di balik pintu."Aku kasihan melihatnya." ujar Alice lirih. Sungguh, dia tidak bisa membayangkan bagaimana dia berada di posisi Rosie. Kandungannya yang mengalami flek dan anaknya yang habis terjatuh dari mainan bola dunia, benar-benar membuat Alice prustasi melihatnya."Tak apa, Rosie adalah gadis yang kuat." Alice mengangguk."Bibi Alice, Paman David. Ibu kenapa? Kenapa wajahnya sangat pucat sekali?" Samuel berkata dengan nada khawa