Cahaya jingga senja menembus dinding kaca kantor, sebagian karyawan telah berlalu tuk berkumpul dengan keluarganya. Beda halnya dengan Mytha yang masih enggan beranjak dari tempat duduk, meja kerja pun menjadi tempat sandaran kepala yang seakan penuh dengan masalah. Lamunannya terbuyarkan oleh sapaan seorang sahabatnya.
"Hei, ayo pulang," ajak Uci, selain teman sefakultasnya dulu, juga merupakan teman satu teamnya di kantor. "Duluan aja, bentar lagi gue juga pulang," jawab Mytha dengan malasnya. "Kenapa lo? Lagi ada masalah?" tanya Uci dengan mata menyelidik, melihat tingkah tak biasa Mytha hari ini. "Sedikit," jawab Mytha singkat sembari menyatukan jari kelingking dengan jempolnya. "Ada masalaha apa, Myth? Mungkin gue bisa bantu," tawar Uci, lumayan lama dirinya mematung menunggu jawaban Mytha. Akhirnya pun Mytha menceritakan dari awal dia mengenal cinta. Sempat berpacaran beberapa kali, namun kandas ditengah jalan dengan alasan yang tak masuk akal, takut sama ayahnya yang galak. Pacarnya sekarang pun sampai saat ini belum berani berkunjung ke rumah, hingga masalah perjodohannya dengan anak teman ayahnya. Uci mendengarkan dengan saksama, cerita yang dituturkan sahabatnya itu. Dirinya menyarankan agar Bayu, pacar Mytha harus gentle menemui Pak Yuda. Mytha pun sedikit mempertimbangkan saran dari teman karibnya itu, dengan menganggukkan kepala sebagai jawaban. "Dah sepi loh, gue duluan yah? Dah...." Uci mengusaikan percakapan dan berlalu pergi meninggalkan ruangan sembari melambaikan tangan pada Mytha. "Apa yang harus gue katakan ke Bayu?" lirih Mytha yang kini mulai merapikan beberapa berkas di atas meja kerjanya, kemudian meraih tasnya dan beranjak pulang. *** Ting.... Pintu lift pun terbuka, Mytha masuk tanpa menunggu aba-aba dan hampir bersamaan dengan seorang pemuda yang nampaknya baru dilihatnya di kantor. Mytha tak mau ambil pusing dengan sosok pemuda itu, pemuda yang kini berada di sampingnya. Baginya pikirannya sudah berat memikirkan perjodohan dirinya. "Hei, gue mau turun ke lantai bawah!" seru Mytha berebut memijit papan tombol dalam lift. Tangan mereka beradu, hingga saking gemasnya kuku Mytha mencakar wajah sang pemuda tersebut. "Aawww...." Devan yang tak lain pemuda itu spontan berteriak, karena cakaran Mytha mengenai wajahnya. "Rasain lo," ejek Mytha membuat Devan geram. Seketika Devan langsung mengunci Mytha, tubuh kecil Mytha tak kuasa melawan Devan. Salah satu tangan kuat itu memegang tengkuk leher Mytha dan mulai menc*umnya sembari memejamkan mata, menikmati bibir ranum Mytha. Melumatnya dengan dalam hingga melepaskan cengkramannya tatkala nafasnya tengah habis. "Itu ganjaran atas dua kesalahan yang lo perbuat!" ucap Devan sesaat setelah melepaskan ciumannya dengan Mytha. Plaakkk.... Sebuah tamparan pun mendarat di pipi Devan, Mytha begitu geram dengan sosok pemuda yang baru saja mengambil ciuman pertamanya. Devan mengelus pipi merahnya sembari tersenyum sinis memandang bahu Mytha, membiarkan Mytha menguasai papan tombol lift. Pintu lift pun terbuka, Mytha tanpa menoleh berlalu keluar dari kotak lift yang membawanya turun dari lantai tiga. "Itu ganjaran atas dua kesalahan yang kau perbuat!" ucapan Devan seakan menggema di telinga Mytha. "Siapa cowo brengs*k tadi? Kenapa dia bilang begitu?" Mytha menyengrit bingung serambi mengusap-usapkan tangan di bibirnya, seakan ingin menghapus ciuman Devan. Saat berjalan menuju tempat parkir Mytha menyatukan alisnya, mencoba mengingat pemuda yang berada dalam litf tadi. "Siapa dia? Kayaknya gue pernah lihat, tapi dimana? Ah, masa bodoh. Gue lagi pusing bagaimana menjelaskan masalah perjodohan itu dengan Bayu," Jerit Mytha dalam hati , enggan sekedar mengingat akan sosok Devan. Ketika menuju tempat parkir, saking kesalnya, Mytha menendang bagian belakang mobil yang terparkir di depan gedung kantor tersebut. "Aawww...." teriak Mytha kesakitan, mengangkat satu kakinya yang tadi ia gunakan untuk menendang. Alaram mobil berbunyi dan Mytha langsung berlalu dengan kaki sedikit terpincang, takut ketahuan si pemilik mobil mewah berwarna putih elegant tersebut. Dari lantai atas bertembok kaca yang cukup lebar dan kuat, Devan berdiri memperhatikan tingkah laku Mytha yang menurutnya lucu dan unik, hingga dapat mengembangkan senyumannya yang jarang ia tampakkan. 🍂🍂🍂 Walau Mytha tak ingin pulang, tetapi langkahnya tetap membawanya untuk pulang, disamping badannya juga merasa letih tuk sekedar ingin beristirahat. "Assalamu'alaikum," salam Mytha tatkala membuka pintu rumahnya. Terlihat sosok ayah yang dihormatinya sedang duduk sambil menyeruput secangkir kopi diapitan ketiga jarinya. "Wa'alaikumsalam," jawaban yang terlontar dari Pak Yuda setelah meletakkan cangkir kopinya, menempel dengan piring kecil sebagai penyangga di atas meja. "Myth, sini sebentar. Ayah mau bicara," lanjut Pak Yuda memanggil putri kesayangannya. Mytha pun mendekat, kemudian mencium punggung tangan ayahnya. Pak Yuda sedikit menarik ujung bibirnya akan hal itu. Anak yang patuh walau sedang kesal, masih tetap menghormati orang tua pikirnya. Pak Yuda menepuk pelan samping sova pangjang yang ia duduki, seakan menyuruh Mytha duduk di sebelahnya. Mytha pun menuruti tuk duduk di sampingnya. Kedua pasang mata itu pun beradu pandang, tak lama sepasang manik Pak Yuda mengalah layu sembari berkata, "Mytha... Ayah tak ingin memaksamu lebih jauh akan perjodohan yang kita bicarakan kemarin sore." Sambil menghela nafas panjang kini manik mata Pak Yuda tertuju pada sebuah lampu hias yang menggantung persis di tengah ruang keluarga. "Ayah akan memberimu waktu, pikirkanlah," lanjut Pak Yuda sembari beranjak dari duduknya, meninggalkan Mytha yang sedang tertunduk terpaku. Seorang wanita paruh baya mendengar percakapan mereka disalah satu sudut ruangan tersebut, kemudian mendekat menghampiri. Bu Tari mulai duduk bersebelahan dengan Mytha, menggapai tangan anaknya dan membawanya dalam pangkuan. Tangan halus Mytha dielusnya dan mulai berkata, "Kenapa kamu diam saja, Sayang?" Kepala Mytha yang seakan terasa berat oleh beban pikirannya direbahkan di bahu Bu Tari, disambut oleh tangan Bu Tari yang kini berpindah membelai lembut rambut hitam anaknya. "Mytha takut, Bu," kata Mytha lirih pada Bu Tari. "Loh kenapa mesti takut, Sayang? Ayah memang tegas. Namun, bukan berarti otoriter, tidak mau mendengarkan penjelasan Mytha. Jika Mytha mau mengutarakan maksud apa yang diinginkan Mytha, pasti ayah bisa mengerti," jelas Bu Tari pada anak gadisnya. "Baik, Bu," jawab Mytha singkat, sebuah ciuman hangat pun mendarat di kening Mytha setelah Bu Tari mendengarkan jawaban Mytha yang membuatnya sedikit lega. Memang Pak Yuda kurang begitu akrab dengan Mytha lantaran beliau sering bertugas di luar kota, hingga berbulan-bulan lamanya dan jarang bertemu sapa dengan anak semata wayangnya. "Dah, sana mandi. Nanti malam utarakan keinginanmu pada Ayah," ucap Bu Tari sekali lagi menegaskan agar anaknya berani mengutarakan pendapatnya pada Pak Yuda. Mytha pun beranjak dari duduknya dan berlalu ke kamar setelah mencium pipi Bu Tari dan memeluknya. "Makasih, Bu." Kini bibir mungil Mytha mulai sedikit tersenyum. Bu Tari pun ikut tersenyum akan hal itu, pandangan kedua maniknya mengikuti langkah Mytha berlalu dari hadapannya. 🍂🍂🍂 Menjelang malam, Mytha memberanikan diri menghampiri ayahnya, yang tengah duduk bersantai seraya membaca koran yang sedari pagi belum selesai beliau baca. Lembaran demi lembaran koran pun dibaliknya hingga berita yang sedang terjadi saat ini pun telah ia baca. "Yah, Mytha boleh minta waktu sebentar?" ucap Mytha formal karena memang kurang akrab dengan ayahnya. "Duduklah," jawab Pak Yuda singkat sembari melipat koran yang tengah ia baca, dan meletakkannya di samping secangkir kopi yang terletak di atas meja dekat tempat duduknya. "Ayah, Mytha ingin membicarakan soal perjodohan itu." "Kamu keberatan dengan keputusan Ayah?" ucap Pak Yuda sedikit kaku. "Bukan begitu, Yah," sela Mytha. "Mytha sudah mempunyai kekasih," lanjut Mytha sembari tertunduk, takut akan murka ayahnya. "Ayah mengerti, Ayah juga mengira akan hal itu," terang Pak Yuda. "Ayah tidak memaksa, namun kau lihat? Ayah sudah mulai menua, ingin melihat kamu bahagia berumah tangga. Meng-estafetkan tanggung jawab Ayah pada suamimu kelak," sambung Pak Yuda menjelaskan. "Ayah jangan berbicara begitu, seakan Ayah ingin pergi jauh meninggalkan Mytha," ucap Mytha sedikit sedih. "Mytha sayang ayah," lanjut ucap Mytha kemudian memeluk ayahnya. "Kamu bicarakan dulu dengan kekasihmu dan kenalkan dia pada Ayah," kata Pak Yuda datar sembari mengusap bahu Mytha yang masih memeluknya dari samping. "Baik Yah, besok Mytha akan menemui Bayu dan mulai membicarakan tentang masalah ini," ucap Mytha senang dan bersemangat. To be continue,🎼🎼🎼 Malam minggu malam yang panjang, Malam yang asyik buat pacaran, Pacar baru, baru kenalan.... Kenal di jalan Jendral Sudirman. 🎼🎼🎼 Mytha menyanyikan lagu itu saat bersiap akan berjumpa dengan sang kekasih hatinya. Walau lagu jaman dulu dan agak aneh namun Mytha suka. Langit yang mendung tak dihiraukan Mytha. Ia meraih tas hitam kecil kemudian masukkan dompet berserta ponselnya, menggantungkan tasnya itu pada bahu kanannya sebagai pelengkap penampilannya malam ini. "Ceria bener anak Ibu," ucap Bu Tari melihat Mytha berdandan rapi dan berwajah berseri. "Mytha mau ketemu Bayu, Bu. Mau mengajaknya berkenalan dengan Ayah," jawab Mytha sembari meraih tangan Bu Tari, bersalaman serta salam tanda berpamitan. 'Ayah mana, Bu? Mytha mau berpamitan," lanjut Mytha ingin berpamitan pula dengan ayahnya. "Ayahmu sedang istirahat, jangan diganggu. Biar Ibu nanti yang menyampaikannya," jawab Bu Tari menutupi sakit suaminya yang sedang kambuh, mungkin karena akhir-akhir ini banyak
Devan Suryadiningrat merupakan anak kedua dari Dedy Suryadiningrat, pemilik perusahaan dibidang advertising ternama di kota metropolitan. Kini bisnisnya mulai merambah dibidang perhotelan. Adik dari Linda Suryadiningrat itu kini menjabat sebagai presiden direktur menggantikan posisi ayahnya, sedangkan Linda harus puas menjadi wakil presiden direktur. Seperti biasanya untuk menjaga tubuhnya agar tetap terlihat atletis, Devan selalu meluangkan waktunya untuk olahraga atau tuk sekedar joging dipagi hari dan tentunya saat week end. Devan keluar dari apartemennya dengan menggunakan stelan olahraga, langsung bergegas untuk sekedar lari pagi disekitar taman kota dekat apatermennya. Sedangkan dilain tempat, Mytha yang baru saja bangun, mulai membuka jendela kamarnya. Kedua manik Mytha terpaku memandang pemandangan diminggu pagi yang cerah ini. Tampak mentari tersenyum dengan hangat menyapa alam semesta.
Setelah jalan-jalan entah mengapa Devan tak langsung kembali ke apartemennya, ia mengemudikan mobil putih mewahnya menuju rumah utama Suryadiningrat. Sudah lama Devan meninggalkan rumah mewah milik papahnya itu, karena salah satu sebab yakni tidak mau bentrok dengan kakanya. Tin... tinnn....Suara klakson mobil Devan seakan menyuruh Mang Supri selaku security untuk membukakan pintu pagar. Mang Supri meletakkan telappak tangannya di sudut kening tanda hormat ketika melihat mobil Devan melaju disampingnya. Devan yang baru masuk rumah disambut Mamahnya dengan pelukan, sedangkan Linda hanya tersenyum sinis menatapnya. "Mamah kangen Dev," ucap Bu Vika yang tak lain mamahnya Devan. "Devan juga kangen Mah," balas Devan kemudian bersalaman mengecup punggung tangan Bu Vika. "Hai Kak," sapa Devan namun dibalas tatapan sinis dari kakanya, Linda. "Sudah sarapan Sayang?" tanya Bu Vika seraya menggandeng Devan menuju ke ruang keluarga. "B
“Assalamu’alaikum,” salam Mytha tak kala memasuki rumah, namun tak mendapat jawaban. Langkahnya terhenti tatkala mencari ibunya di teras samping, tendengar perbincangan antara ayah dan ibunya. “Tapi Yah, tak baik memaksakan kehendak anak,” sela Bu Tari kapada suaminya. “Ayah sudah berjanji sama Pak Teguh, menikahkan anak kita dengan anak beliau. Beliau pernah menolong ayah, ketika terjadi kerusuhan. Ketika ada timah panas hendak menghantam dada Ayah, Pak Teguh lah yang menyelamatkan. Beliau mendorong tubuh ayah hingga lenganya menjadi sasaran empuk timah panas itu,” tutur Pak Yuda bercerita panjang lebar. “Mamang Pak Teguh berjasa terhadap Ayah, tapi bukan dengan menjodohkan Mytha balasannya Yah. Kasihan Mytha, biar dia memilih jalan hidupnya sendiri.” “Dengan siapa? Lelaki yang dekat dengannya pun tak berani menghadap, meminta langsung kepadaku,” ujar Pak Yuda dengan nada sedikit meninggi. Perdebatan kecil itu pun membuat sakit hypertemsi Pak Yuda ka
Saat Bayu mulai masuk kamar hotel yang telah dipesannya, Devan pun mengikutinya. Bodohnya Bayu tak mengunci dahulu pintu kamarnya, karena kepayahan memapah Mytha ke tempat tidur. "Bayu, kenapa kamu pengecut tidak berani bertemui ayahku?" oceh Mytha diluar sadarnya. "Kau, tau! Ayahku menjodohkanku dengan pemuda yang tak kukenal," lanjut oceh Mytha. Bayu tak mendengarkan ocehan Mytha, yang ada dalam benaknya hanyalah ingin memiliki Mytha seutuhnya namun dengan cara yang salah. Dalam pikiran Bayu, jikalau dia merenggut kesucian Mytha dan Mytha hamil maka dia tak perlu lagi meminta Mytha kepada bapaknya yang galak itu. Dengan sendirinya Mytha dan ayahnya lah yang bertekuk lutut meminta dirinya menjadi suami Mytha. "Aku tuh suka kamu sejak SMA, tau! Mengapa kau tak mengerti akan hal itu!" ucap Bayu memandang tubuh Mytha dan mulai menggerayanginya. Saat Bayu akan memulai aksinya, Devan pun dengan sigap menarik Bayu dan menghadiahkan beberapa pukulan
Dalam perjalan pulang mengendarai motor maticnya, Mytha pusing memikirkan alasan apa yang akan dikemukakan nanti kepada orang tuanya jika tiba di rumah. Untungnya sebelum menemui Bayu, Mytha sempat bertukar pesan dengan Uci. Memohon seandainya orang tuanya menelepon atau sekedar menanyakan dirinya, Mytha meminta Uci berdusta bahwa dirinya sedang dengannya. Walau Uci tadinya menolak dan menasehati Mytha agar tidak menemui Bayu, namun Mytha tak menghiraukannya. Kini sesal yang ia dapat. Sesal Mytha begitu dalam, tidak patuh terhadap ayahnya, berdusta pada ibunya, serta tak menghiraukan nasihat Uci pada dirinya. Namun semua itu sudah terjadi, nasi sudah menjadi bubur. Tinggal bagaimana Mytha menjadikan bubur itu menjadi bubur ayam special. Jarum jam pendek di pergelangan tangan kiri menunjukkan angka 10, Mytha belum juga menemukan alasan apa nanti yang akan dia kemukakan saat ibunya bertanya. Hari ini pun tak mungkin dia berangkat kerja. "Ya ampun, gini banget seh
Saat berlangsung rapat dewan direksi, Mytha tersentak melihat Devan, diperkenalkan menggantikan Pak Dedy sebagai presiden direktur. Entah Mytha harus senang, bangga atau sedih pasalnya ia dinodai oleh presdir baru itu, namun tentu saja tanpa keinginan dirinya. Devan yang sedari tadi mengetahui Mytha mengamati dirinya pun membalas senyuman, dan membuat Mytha salah tingkah antara kesal dan malu. Hampir satu jam rapat dewan direksi berlangsung, setelah usai Mytha gugup membereskan berkas yang ada di hadapannya, karena konsentrasi Mytha tertuju pada Devan. Kegugupan Mytha mengakibatkan berkas diatas mejanya jatuh kekolong meja, Devan hanya tersenyum melihat tingkah Mytha. "Gue akan bertanggung jawab atas malam itu," bisik Devan lirih saat berpapasan, ketika Mytha akan berlalu keluar ruangan rapat. Mata Mytha membulat sempurna, akan tetapi dirinya tak berkata, memendam kesal di dada dan segera berlalu sebelum kekesalan itu tumpah. Setibanya di meja
Jantung Mytha berdetak kencang menunggu hasil yang akan ditunjukkan alat itu. Cukup lama Mytha memperhatikan garis merah dalam test pack, setelah menunggu hampir seperempat jam, Mytha melihat hasil yang ditunjukkan oleh alat yang ia beli tadi. Mytha membuang nafas panjang, sedikit lega akan hasil yang ditunjukkan test-pack itu, yakni hanya tertera satu garis merah, menandakan si pengguna dalam keadaan tidak mengandung. Ujung bibirnya spontan ditarik keatas, tersenyum karena kekhawatirannya sudah terlewati. Namun tak berselang lama senyum Mytha kembali dikulumnya, terfikir apakah ada yang menerrima dirinya, dirinya yang sudah tak perawan lagi. Air matanya seketika menetes membasahi pipi, menyesai dan meratapi nasibnya. Segayung air disiramnya dari atas kepala Mytha, berharap semua masalahnya turut terbawa aliran air, benda cair itu akan menuju lubang kecil di kamar mandi, dan entah kemana tujuan akhir air itu berlabuh. Cukup lama Mytha berkutat di kama
Sepasang paruh baya tengah bercengkrama di ruang keluarga, sesekali Pak Yuda membolak-balik korannya, entah berita apa lagi yang ingin dibacanya. Terdapat beberapa potongan kue lapis, berwarna hijau berseling putih yang bersanding dengan beberapa buah onde-onde kacang hijau beralaskan piring di atas meja sebagai peneman kopi tubruk kegemaran Pak Yuda. Ia seakan sudah candu dengan kopi tubruk buatan istrinya. "Wa'alailumsalam," jawab Bu Tari dan Pak Yuda hampir bebarengan menjawab salam dari anak gadisnya. "Pulang malam lagi, Myth?" tanya Pak Yuda pada putrinya. "Iya, Yah. Tadi mampir ke rumah Uci," jawab Mytha sambil mencium tangan Pak Yuda, bersalaman. "Uci sudah membaik keadaannya, Myth?" tanya Bu Tari baru sempat menengok Uci kemarin. Seakan tak enak, tak ikut serta dalam persidangan Uci karena kondisi Pak Yuda yang belum pulih. Namun, turut prihatin atas kejadian yang menimpa teman anaknya. "Alhamduliah, sudah baikan, Bu," jawab Mytha singkat, kini ganti punggung tangan Bu T
"Jadwal sekarang gue apa?" tanya Devan sinis pada Rio, sekertaris pribadinya. Rio yang profesional menjawab dengan tenang pertanyaan bosnya, sebelum masuk ke ruang presdir dan jam kantor belum dimulai, ia memang terlebih dahulu menanyakan Rosi tentang kegiatan kemarin, saat dirinya izin pulang lebih awal dari jam kerja kantor seharusnya. Devan pun kagum akan dedikasi Rio, atas jawaban yang disampaikannya. Namun, dirinya masih kesal akan kejadian kemarin, dan ditambah kejadian pagi ini di tempat parkir. Mobil Avanza biru Rio melintas tepat di sebelah mobil pajero Devan saat lampu merah telah berganti warna di perempatan, ketika mereka hendak pergi ke kantor. Devan yang mengetahui betul mobil Rio terkejut saat melihat Mytha satu mobil bersama Rio, apa lagi dilihatanya mereka sedang bercengkrama sambil tertawa, membuat dirinya semakin naik pitam karena cemburu. Cukup lama Devan memandangi mobil Avanza biru itu hingga mobil Rio melaju jauh, suara klakson kendaraan di belakang membuyar
Sesampainya di depan rumah Mytha, Pak Yuda tengah berada di teras. Menunggu anak gadisnya, karena sudah larut malam belum pulan tanpa kabar. Dan dengan amarah Pak Yuda bangkit dari duduknya. Namun, saat melihat yang mengantar putrinya adalah Rio, anak dari sahabatnya, emosinya pun berbalik 180 derajat. Gembira dan langsung menyambut Rio. "Loh, Nak Rio. Terima kasih sudah mengantar Mytha," Ucap Pak Yuda setelah Rio berada persis di hadapannya. Rio pun tersenyum dan mengulurkan tangannya, akan bersalaman. Seusai bersalaman, Rio langsung pamit pada Pak Yuda. Namun, Pak Yuda ingin menahan dengan berkata, "Loh ko buru-buru. Ayo masuk dulu." "Sudah larut malam, Pak. Besok saya ke sini lagi menjemput Mytha." Rio mengayunkan tangan, bersalaman pamit. Pak Yuda tersenyum dan menepuk bahu Rio saat bersalam dengannya. "Iya, Pak. Motor Mytha mogok jadi Rio mengantar Mytha." Mytha sedikit menerangkan alasan Rio besok akan menjemputnya. "O, begitu." Pak Yuda mengangguk-anggukkan kepalanya, tand
Malam pun hampir larut, Mytha dan Rio pun pamit pulang."Maaf, Bu. Sudah malam, kami pulang dulu, besok ke sini lagi," ucap Mytha sesudah membantu Bu Darmi membereskan dan mencuci piring."Terima kasih, Nak Mytha. Terima kasih sudah membantu urus masalah ini." Tangan Bu Darmi mengelus bahu Mytha."Gak usah bilang begitu, Bu. Uci sudah saya anggap saudara, Ibu pun aku anggap Ibuku sendiri."Aku pamit menemui Uci dulu." Mytha memberi berkata pada Rio yang hendak bersalaman dengan Bu Darmi. Rio pun mengangguk dan Mytha mulai melaju menuju kamar Uci.Uci memang sudah membaik keadaannya, akan tetapi ia sedang ingin sendiri. Mereka pun memakluminya dan tidak memaksa Uci untuk bergabung makan malam bersama.Tok... tok... tok...."Gue masuk ya, Ci." Mytha mulai membuka pintu setelah mengetuk pintu 3kali, walau tak mendapat jawaban Uci dari dalam kamar.Mytha mulai mendekat ke ranjang Uci dan berkata, "Loh, ko belum dimakan?" "Apa mau gue suapin? Hahaha...," ledek Mytha memecah kesunyian. Nam
Di tempat lain, yakni di kantor tempat Uci bekerja, Doni dijemput oleh dua petugas kepolisian karena laporan Rio, berkaitan kasus permerk*saan terhadap Uci kemarin. Doni bersikap kooperatif, dan sore itu juga langsung digelandang petugas kepolisian untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Seperti hal nya Uci, Doni pun mendapat pemeriksaan medis. Dipenghujung senja itu, darah dan urine Doni diambil untuk sampel DNA guna mensinkronkan bukti atas kasus tersebut. Tak lupa juga tubuh Doni difoto oleh petugas, dan memang terdapat beberapa cakaran di punggung Doni. Doni menyadari akan hal itu, wajahnya sontak terkejut dan murung seakan tidak bisa mengelak, ia tengah merasa semua bukti menjurus padanya, dirinya harus bertanggung jawab akan apa yang telah diperbuatnya. Setelah pemeriksaan selesai, Doni meminta izin menghubungi pengacaranya, guna membantu dalam kasusnya. Petugas kepolisian pun mengijinkan, dengan didampingi petugas, Doni mulai menelepon salah satu pengacaranya dengan mengg
Terlihat jendela kamar Uci dari semalam belum dibuka, Mytha mulai membuka tirai berwarna merah muda yang menyelimuti jendela kamar Uci. Sirkulasi udara pun mulai berganti, hawa sejuk mulai memasuki ruangan kamar. Sinar mentari dengan lancangnya langsung menerangi sebagian ruangan. Mytha mulai berbalik badan dan menghampiri Uci, mulai merapikan tatanan rambut sahabatnya yang terlihat acak-acakan, bisa dipastikan dari semalam. Sementara di luar ruangan, Rio dan Bu Darmi sedang berbincang langkah apa yang akan ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan yang tengah ditimpa Uci. "Maaf, Bu. Uci dari semalam belum diapa-apain kan? Maksudnya belum mandi atau bersih-bersih badan?" tanya Rio sedikit menyelidik akan keadaan Uci. "Belum, Nak Rio. Ibu tidak berani dan kasihan melihat sikap labil yang sedang Uci," jawab Bu Darmi. "Ibu hanya menemaninya dan menenangkannya hingga Uci tertidur. Jendela kamar pun sengaja tidak Ibu buka, takut Uci histeris." Ceri
Di parkiran, Mytha langsung melaju berbelok arah menuju tempat kendaraan beroda dua berjejer. "Myth, tunggu," panggil Rio tatkala Mytha mulai melangkah mendekati motor maticnya. Perempuan berhidung mancung dan bermata coklat itu pun berbalik badan, memutar tubuh menghadap si penyapa. "Bareng aku aja," ajak Rio, menatap intens wajah Mytha. "Aku pakai motorku saja, Mas. Biar ngga repot dan lebih leluasa." "Baiklah kalau begitu." Rio menutup pembicaraan dan dijawab oleh anggukan singkat Mytha. Meskipun memakai kendaraan mereka sendiri-sendiri, tujuan mereka satu yakni ke rumah Uci. Setibanya di rumah Uci, Mytha mengetuk pintu kemudian berlanjut berucap salam, "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam," jawab Bu Darmi dari dalam rumah dan segera membukakan pintu. Sedetik setelah membukakan pintu, Bu Darmi memeluk Mytha, menangis tersedu meluapkan isi hatinya. Mytha mengerti akan kegundahan Bu Darmi, walau belum ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut beliau, hanya isak tangis yang
Semalaman Rio tak dapat memejamkan matanya, pikirannya melayang akan keadaan Uci, khawatir terhadap dirinya. Serta memikirkan apa yang akan diperbuatanya, agar Doni mendapat ganjaran yang setimpal. Berkas sinar sang mentari menyelinap, memaksa menembus jendela kaca yang berbalut tirai tipis. Rio dengan malasnya membuka tirai tersebut, membiarkan sinar mentari menguasai kamarnya. Dirinya bergegas mandi, dan bersiap ke kantor, walau telah bersiap masih nampak kantung mata yang menyerupai mata panda, karna semalaman matanya tak dapat dipejamkan. Saat sarapan bersama, tak banyak yang mereka bertiga bicarakan. Saling sibuk dengan hidangan atau mungkin dengan pikiran masing-masing. Ya, Pak Teguh sudah mengetahui cerita tentang Uci dari istrinya tadi pagi. Namun, dirinya masih menghargai Rio dan ingin mengetahui sejauh mana anaknya melangkah terlebih dahulu. Rio terlihat buru-buru menghabiskan sarapannya, setelah meneguk segelas susu kemudian berpamitan pada
Rio pun pamit pada Bu Darmi. Setelah masuk dalam mobil raut muka Rio seakan penuh kebencian terhadap pamannya, karena kejadian yang menimpa pada Uci. Tanpa berfikir panjang, Rio menstarter mobilnya dan melaju menuju rumah pamannya untuk menuntaskan kemarahannya malam itu juga. Mobilnya melesat kencang tanpa menghiraukan gulitanya malam, karna bulan dan bintang tertutup kabut. Lolongan hewan malam pun tak mengurungkan niat Rio untuk memberi perhitungan pada pamannya. Setibanya di rumah Doni, dirinya hendak mendobrag pintu utama dengan kepalan tangannya, berkali-kali meninju papan jati tersebut dengan keras sambil berteriak memanggil pamannya. Security yang awalnya bersikap manis terhadap Rio terkaget, pasalnya dirinya mengira Rio datang seperti biasa mengunjungi tuannya. "Buka pintunya!" seru Rio sambil menggedor pintu. "Paman! Di mana kau?!" lanjut ucap Rio hampir mendobrag pintu rumah Doni dengan kepalan tangannya. Priittt....