Saat berlangsung rapat dewan direksi, Mytha tersentak melihat Devan, diperkenalkan menggantikan Pak Dedy sebagai presiden direktur. Entah Mytha harus senang, bangga atau sedih pasalnya ia dinodai oleh presdir baru itu, namun tentu saja tanpa keinginan dirinya.
Devan yang sedari tadi mengetahui Mytha mengamati dirinya pun membalas senyuman, dan membuat Mytha salah tingkah antara kesal dan malu.
Hampir satu jam rapat dewan direksi berlangsung, setelah usai Mytha gugup membereskan berkas yang ada di hadapannya, karena konsentrasi Mytha tertuju pada Devan.
Kegugupan Mytha mengakibatkan berkas diatas mejanya jatuh kekolong meja, Devan hanya tersenyum melihat tingkah Mytha.
"Gue akan bertanggung jawab atas malam itu," bisik Devan lirih saat berpapasan, ketika Mytha akan berlalu keluar ruangan rapat. Mata Mytha membulat sempurna, akan tetapi dirinya tak berkata, memendam kesal di dada dan segera berlalu sebelum kekesalan itu tumpah.
Setibanya di meja kerjanya, Mytha meletakkan berkas laporannya dengan kasar, meluapkan emosi yang sedari tadi dibendungnya. "Aagrh...." teriak Mytha spontan.
"Ada apa Myth?" tanya Uci heran setelah mendekat ke meja kerja Mytha karena mendengar teriakan temannya barusan.
"Gak papa," ucap Mytha, celingukan salah tingkah karena semua orang dalam ruangan CFO memperhatikan tingkahnya.
"Nanti gue ceritakan pas jam rehat kantor," lanjut Mytha sembari berbisik pada telinga Uci.
"Ok," kata Uci dan berlalu menuju meja kerjanya yang tak jauh dari meja kerja Mytha.
Setelah jam istirahat kantor, Uci pun tak sabar ingin mendengarkan curahan hati Mytha atas teriakan sahabatnya tadi. Uci menghampiri meja kerja Mytha, mengajaknya kekantin. "Yuk, buru kekantin," ajak Uci bersemangat.
"Bentar, gue save dulu laporan ini," jawab Mytha sembari meng-klik tombol save, memakai mouse yang ada digenggamannya kemudian men-shut down komputer kerjanya, mulai menggunakan jam istirahatnya.
"Buru, penasaran gue tadi denger loe berteriak."
Setibanya di kantin mereka langsung memesan makanan, tuk sekedar mengganjal perut yang mulai keroncongan minta diisi nutrisi. Mytha memilih duduk di meja pojok yang tak begitu ramai pembeli agar pembicaraan mereka tak begitu terdengar oleh teman sekantornya yang lain.
"Ayo buru cerita!" ucap Uci penasaran.
"Lo inget kemarin gue cerita bahwa yang sudah merenggut mahkota gue berada dalam kantor ini?" ucap Mytha serius namun pelan.
"Iya, giman? Dia kerja di kantor ini juga? Di bagian apa? Divisi apa dia?" cecar Uci dengan beberapa pertanyaan.
"Ih, satu-satu tanyanya," jawab Mytha agak kesal.
"Dia ternyata anak Pak Dedy, presdir kita yang lama. Dan kini dia menggantikannya," lanjut cerita Mytha serius.
"Apa?" seru Uci kaget, secara tadi dia tidak mengikuti rapat dewan direksi. Mytha sebagai wakil CFO di divisi keuangan menggantikan Bu Diyah, menghadiri rapat karena Bu Diyah sedang cuti melahirkan.
"Sstt... jangan keras-keras," Mytha menutup mulut Uci dengan telapak tangannya.
"Eh, maaf. Abisnya gue kaget," lirih Uci. "Beruntung bener lo langsung dapet CEO," lanjut Uci sembari menyenggol bahu Mytha dengan bahunya, secara mereka duduk berdampingan.
"Beruntung apa? buntung lah ia," jawab Mytha sedikit emosi.
"Eh, gimana dia? Cakep kan? Pak Dedy juga cakep, pasti anaknya lebih cakep dong," tanya Uci penasaran karena memang belum sekali pun melihatnya.
"Ntar juga loe liat sendiri," jawab Mytha datar.
Usai jam kantor Mytha masih saja sibuk mengerjakan laporan, rekapan laporan keuangan yang diminta Pak Dedy atas pergantian presdir. Pak Dedy sangat kritis, ingin melihat statistik keuangan perusahaan saat dialihkannya pada Devan.
Uci yang mengajaknya pulang pun diabaikan Mytha, hingga Uci meninggalkan Mytha sendirian dalam ruangan CFO. Tak terasa hari mulai senja, Mytha menggeliat seakan meregangkan ototnya yang kaku. "Dah sore, lanjut besok aja lah," gumam Mytha sembari merapikan meja kerjanya.
Ternyata Devan sedari tadi dalam ruangan itu memperhatikan Mytha sembari tersenyum. "Anak yang rajin. Tak heran prestasinya mengagumkan," guamam Devan.
Diam-diam Devan mencari tahu tentang Mytha melalui asisten pribadinya yang ditunjuk Pak Dedy untuknya. Satrio, sosok yang sedikit kaku dan usianya lumayan jauh diatas Devan.
"Tuan, dari tadi saya mancari Anda. Sudah sore Tuan, Saya pamit pulang dulu," ucap Rio sembari membungkuk pada Devan.
"Hei tunggu, Pak Rio," seru Devan tatkala Rio hendak berlalu.
"Ada apa Tuan?" Rio menghentikan langkahnya dan berbalik menuju Devan.
"Dah, gak usah panggi Tuan. Kaku banget, panggil aja Devan," pinta Devan pada Rio agar lebih akrab.
"Tapi Tuan."
"Dah, ini perintah," ujar Devan menegaskan.
Percakapan kedua orang itu menarik perhatian Mytha, memperhatikannya dengan tersenyum kecut. Melihat Devan mengingatkannya kembali akan kejadian malam itu. "Hemm...." Mytha menghembuskan nafas pendek tuk membuang rasa sesaknya mengingat telah menemukan orang yang menodainya, namun bingung mau berbuat apa.
"Habis ne mampir di apotik sebentar, untuk memastikan tidak ada benih lelaki itu dalam rahimku," gumam Mytha dalam hati.
Saat perjalanan pulang Mytha singgah di apotik tak jauh dari kantornya, membeli test-pack untuk memastikan hubungan badan malam itu tak membuahkan makhluk dalam rahimnya.
"Ada yang bisa dibantu?" tanya pelayan apotik melihat mytha menghampiri etalase obat.
"Eh... a---nu, mo beli test-pack," jawab Mytha gugup karena malu seakan takut aibnya terbongkar.
"Tunggu sebentar," pelayan apotik itu membungkuk dan mencari pesanan Mytha. Sedangkan Mytha celingukan seakan malu, walaupun tak ada orang yang dikenalnya.
"Ini Mba, ada lagi?" ucap pelayan sembari memberikan beberapa merek test pack pada Mytha.
"O, ia... ini aja," jawab Mytha lagi-lagi gugup sembari memilih salah satu merek, dan menunjukkannya pada pelayan bahwa merek itu yang dia pilih.
"Maaf Mba, bayarnya di kasir," ucap pelayan apotik sembari menunjukkan tempat pembayaran, tempat kasir.
Setelah mendapatkan dan membayar barang itu, Mytha buru-buru memasukkannya dalam tas dan dengan langkah cepat keluar dari apotik.
"Asaalamu'alaikum," sapa Mytha saat memasuki rumah.
"Wa'alaikumsalam," jawab Bu Tari menghampiri. "Ko sore pulangnya Nak?" lanjut Bu Tari bertanya.
"Iya Bu, nyelesein laporan dulu. Atasan Mytha sedang cuti sehingga kerjaanya dialihkan Mytha sebagian," jawab Mytha sembari menciup punggung Bu Tari, bersalaman.
"Assalamu'alaikum Yah," Mytha bersalam sapa dengan Pak Yuda, saat hendak menuju kamar melihat ayahnya sedang membaca koran di ruang tengah.
"Baru pulang Myth?" tanya Pak Yuda basa-basi.
"Iya Yah, Mytha ke kamar dulu," jawab Mytha singkat dan segera berlalu menuju kamarnya dengan perasaan cemas. Akhir-akhir ini Mytha takut berbincang bahkan bertemu dengan ayahnya, karena Mytha takut ketahuan bahwa dirinya sudah tak lagi perawan, dan merasa sangat bersalah telah mengecewakan ayahnya.
Saat Mytha masuk kamar, ia langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Seakan tak kuat lagi menahan masalah dalam hidupnya.
Sejenak Mytha memandangi langit kamarnya, seraya berfikir akan kejadian tadi siang di kantornya. Mytha terperanjat tak kala teringang perkataan Devan, bahwa dirinya akan bertanggung jawab, Mytha buru-buru mengambil pakaian ganti di dalam lemari. Menyambar handuk yang tergantung, serta tak lupa memasukkan test-pack yang ia beli tadi dalam gulungan handuk tersebut dan berlalu menuju kamar mandi.
Didalam kamar mandi Mytha mulai mengeluarkan alat tes kehamilan itu, membaca petunjuknya dan mulai menggunakannya sesuai aturan yang tertera dalam bungkusnya.
Jantung Mytha berdetak kencang menunggu hasil yang akan ditunjukkan alat itu. Cukup lama Mytha memperhatikan garis merah dalam test pack,
To be continue,
Alat tersebut menunjukkan hasil positif atau negatif? Mari lanjut kisahnya. ☺
Jantung Mytha berdetak kencang menunggu hasil yang akan ditunjukkan alat itu. Cukup lama Mytha memperhatikan garis merah dalam test pack, setelah menunggu hampir seperempat jam, Mytha melihat hasil yang ditunjukkan oleh alat yang ia beli tadi. Mytha membuang nafas panjang, sedikit lega akan hasil yang ditunjukkan test-pack itu, yakni hanya tertera satu garis merah, menandakan si pengguna dalam keadaan tidak mengandung. Ujung bibirnya spontan ditarik keatas, tersenyum karena kekhawatirannya sudah terlewati. Namun tak berselang lama senyum Mytha kembali dikulumnya, terfikir apakah ada yang menerrima dirinya, dirinya yang sudah tak perawan lagi. Air matanya seketika menetes membasahi pipi, menyesai dan meratapi nasibnya. Segayung air disiramnya dari atas kepala Mytha, berharap semua masalahnya turut terbawa aliran air, benda cair itu akan menuju lubang kecil di kamar mandi, dan entah kemana tujuan akhir air itu berlabuh. Cukup lama Mytha berkutat di kama
"Myth, rese lo yah. Kemarin gue telepon malah langsung dimatiin," ucap Uci sembari menjitak pelan kepala Mytha, tatkala berjumpa di parkiran kantor, saat akan mulai masuk kantor. "Aawww... sakit tau!" Mytha sembari mengelus kepalanya yang kena jitakan Uci. "Lagian lo nyerocos aja kaya nenek-nenek bawel," lanjut Mytha sembari menjulurkan lidah pada Uci. Wajah yang sumringah tatkala meledek Uci langsung berubah 180° menjadi muram, saat menyadari Devan memperhatikan dirinya. Devan yang kebetulan datang sesudahnya, dan berada ditempat parkir yang sama, memperhatikan tingkah Mytha dan sahabatnya sembari tersenyum. Namun saat akan menghampiri Mytha diurungkannya ketika melihat ekspresi wajah Mytha yang menghindar darinya. "Yuh, ah Ci," Mytha menggandeng Uci dan berjalan dengan langkah yang cukup cepat saat berpapasan melewati Devan. "Pagi Pak," sapa Uci ketika melewati Devan walaupun sambil melangkah karena digandeng Mytha. Sedangkan Mytha terus melaju tanpa menoleh pada Devan. Setelah
Karena terburu-burunya Mytha, ia menabrak Rio yang sedang merapikan jas kantornya tatkala baru keluar dari toilet. Rasa mualnya yang tak tertahankan, hingga ia memuntahkan sebagian isi dalam lambungnya pada jas yang dikenakkan Rio. "Maaf,” sesal Mytha. serambi membersihkan jas Rio yang terkena muntahannya. "Ngak papa Nona," jawab Rio sopan. "Biar saya bersihkan sendiri," lanjut Rio untuk menghentikan Mytha membersihkan jas-nya, yang hanya menambah kotor jas kantornya. Rio pun beranjak menuju wastafel yang berada diluar toilet, dan mulai melepas jasnya dan mengalirkan air kran tuk membersihkan sisa muntahan tersebut. Mytha yang tak enak hati mengikuti Rio dan memperhatikannya, namun tak lama rasa mual dari dalam perutnya pun kambuh lagi. Kedua manik Mytha terbentuk bulat sempurna, terbelelak sembari menutup mulutnya dengan salah satu telapak tangannya, lalu dengan langkah cepat beranjak menuju dalam toilet. Mytha memuntahkan sisa makanan dalam lambungnya di wastafel dalam ruangan t
Sebuah mobil Ayla masuk ke halaman rumah Mytha dan mulai terparkir disana."Assalamu'alaikum," ucapan salam Rio setelah mengetuk pintu rumah Mytha."Wa'alaikumsalam," jawab Pak Yuda yang sedang membaca koran di ruang tengah mendengar salam dari Rio. Pak Yuda pun membuka pintu, mempersilahkan Rio masuk dan duduk di sova ruang tamunya.Roi pun menceritakan bahwa dirinya teman sekantor Mytha yang kemarin mengantarnya pulang. Karena teringat motor Mytha masih di kantor, ia pun berinisiatif menjemput Mytha."O, gt. Tunggu sebentar yah. Tak panggilkan Mytha," tutut Pak Yuda memanggil anak gadisnya tuk segera berangkat.Pak Yuda dengan wajah sumringah memberitahu Mytha bahwa ada teman sekantornya. Mytha yang sedang menikmati sarapannya pun berlalu menuju ruang tamu."Siapa Yah?" tanya Bu Tari penasaran, apa lagi dengan wajah Pak Yuda yang sumringah."Itu temen Mytha. yang kemarin nganter anak kita pulang, pas pulang sakit itu," jawab Pak Yuda. "Bar
Rio pergi dengan wajah sedikit kesal, pasalnya ingin menghabiskan waktu istirahat dengan Mytha sambil PDKT padanya. Mumpung Devan ada perlu dengan keluarganya entah membahas masalah apa hingga ia tak diijinkan turut serta, walaupun dia asisten pribadinya.Saat Rio hendak menuju lift, ia bertemu Devan dengan wajah yang kusam seperti dirinya. Mereka pun saling menumpahkan isi hati didalam lift."Sudah selesai urusan dengan keluarga Tuan?" tanya Rio, seakan tahu Devan sedang tak baik hati."Urusan apa? Gue disuruh jemput orang dari bandara," jawab Devan kesal, ia mengira ada hal penting apa hingga sang papah meminta dirinya untuk pulang ke rumah dulu sebelum menyuruhnya menjemput seseorang di bandara."Btw dah makan belum?""Belum Tuan.""Kamu ini masih aja rikuh ama gue? Gue juga tadinya orang biasa kaya lo, cuman Mamah gue aja yang bernasib baik nikah ma pemilik perusahaan ini," cerita Devan agar Rio tak sungkan dengan dirinya, karena Rio kadang ma
Mytha dengan seksama memandang Devan yang kini tengah emosi. Bukannya takut akan meledaknya marah Devan, Mytha malah senyum-senyum teringat pertemuan dirinya dengan Devan. "Apa benar dia pria yang bantu memapahku ke toilet saat acara wisuda dahulu?" tutur batin Mytha mengingat akan kenangan saat pertemuannya dengan Devan tempo wisuda lalu.Lama Mytha memandang hingga Devan yang tengah emosi pun canggung akan tatapan Mytha terhadapnya. "Apa lo liat-liat," ucap Devan menutupi rasa canggungnya."Gak papa." Mytha membetulkan duduknya menghadap depan dan memalingkan wajahnya yang sedari tadi memandang kagum wajah Devan."Eh, maap sebelumnya loh. jangan marah ya," ucap Mytha sebelum mengungkapkan seauatu yang mungkin kurang sopan."Iya, apa?" Devan dengan juteknya."Dulu, gue liat lo kucel dan berambut panjang pokoknya nggak banget dah. Sekarang beda hampir 135°, makanya gue gak kenal lo. Lagian seka
"Gimana loe mau jadi pacar gue?" tutur Devan sembari memandang kedua bola mata Mytha."Lo gak usah khawatir, gue kaga hamil jadi lo gak usah tanggung jawab. Masalah mahkota gue yang lo ambil anggep aja gue lagi apes, toh sekarang banyak gadis tak perawan. Disini metropolitan, gak kaya di desa yang masih pada terjaga para gadisnya," ucap Mytha sinis menjawab pertanyaan Devan."Liat gue! Gue berniat baik dan mau bertanggung," lanjut ucap Devan bersungguh-sungguh.Kaki mungil Mytha beranjak dari tempat duduknya karena enggan membahas masalah keterikatan, lagian Mytha juga belum ada rasa sama sekali terhadap Devan. "Aku mau pulang!" ujar Mytha."Biar aku yang anter.""Gak, usah!" bentak Mytha "Maaf, balik aja ke kantor. Motorku disana," lanjut Mytha dengan nada menyesal karena sudah membentak.Setengah perjalanan menuju kantor suasana didalam mobil masih tegang dan mereka saling dia
"Beri aku waktu dan kesempatan agar bisa membuat lo suka sama gue"Perkataan Devan itu serasa menggema ditelinga Mytha, hingga dirinya sulit terpejam walau malam telah larut. Sudut bibirnya sedikit ditarik, tersenyum dalam benaknya ada sedikit kekaguman Mytha terhadap Devan. Disamping dia berani bertanggung jawab akan perbuatannya walaupun semua itu tak sepenuhnya dia yang salah, juga dirinya mengakui akan kesetiaan Devan yang masih mengingat dirinya dengan menyimpan high heels yang sudah dibuangnya.Lamunannya terbuyarkan dengan suara ponsel, dengan nada dering yang menandakan ada sebuah pesan masuk.📱"Belum tidur?" suatu pesan dengan nomor sama yang mengajaknya bertemu di kantin kantor.📱"Pak Rio tau dari mana nomorku?" Mytha seakan tahu nomor asing yang belum disimpan dalam kontaknya adalah Rio.📱"Loh, bukannya dirimu sendiri yang ngasih tau?"Mytha baru teringat bahwa dir
Sepasang paruh baya tengah bercengkrama di ruang keluarga, sesekali Pak Yuda membolak-balik korannya, entah berita apa lagi yang ingin dibacanya. Terdapat beberapa potongan kue lapis, berwarna hijau berseling putih yang bersanding dengan beberapa buah onde-onde kacang hijau beralaskan piring di atas meja sebagai peneman kopi tubruk kegemaran Pak Yuda. Ia seakan sudah candu dengan kopi tubruk buatan istrinya. "Wa'alailumsalam," jawab Bu Tari dan Pak Yuda hampir bebarengan menjawab salam dari anak gadisnya. "Pulang malam lagi, Myth?" tanya Pak Yuda pada putrinya. "Iya, Yah. Tadi mampir ke rumah Uci," jawab Mytha sambil mencium tangan Pak Yuda, bersalaman. "Uci sudah membaik keadaannya, Myth?" tanya Bu Tari baru sempat menengok Uci kemarin. Seakan tak enak, tak ikut serta dalam persidangan Uci karena kondisi Pak Yuda yang belum pulih. Namun, turut prihatin atas kejadian yang menimpa teman anaknya. "Alhamduliah, sudah baikan, Bu," jawab Mytha singkat, kini ganti punggung tangan Bu T
"Jadwal sekarang gue apa?" tanya Devan sinis pada Rio, sekertaris pribadinya. Rio yang profesional menjawab dengan tenang pertanyaan bosnya, sebelum masuk ke ruang presdir dan jam kantor belum dimulai, ia memang terlebih dahulu menanyakan Rosi tentang kegiatan kemarin, saat dirinya izin pulang lebih awal dari jam kerja kantor seharusnya. Devan pun kagum akan dedikasi Rio, atas jawaban yang disampaikannya. Namun, dirinya masih kesal akan kejadian kemarin, dan ditambah kejadian pagi ini di tempat parkir. Mobil Avanza biru Rio melintas tepat di sebelah mobil pajero Devan saat lampu merah telah berganti warna di perempatan, ketika mereka hendak pergi ke kantor. Devan yang mengetahui betul mobil Rio terkejut saat melihat Mytha satu mobil bersama Rio, apa lagi dilihatanya mereka sedang bercengkrama sambil tertawa, membuat dirinya semakin naik pitam karena cemburu. Cukup lama Devan memandangi mobil Avanza biru itu hingga mobil Rio melaju jauh, suara klakson kendaraan di belakang membuyar
Sesampainya di depan rumah Mytha, Pak Yuda tengah berada di teras. Menunggu anak gadisnya, karena sudah larut malam belum pulan tanpa kabar. Dan dengan amarah Pak Yuda bangkit dari duduknya. Namun, saat melihat yang mengantar putrinya adalah Rio, anak dari sahabatnya, emosinya pun berbalik 180 derajat. Gembira dan langsung menyambut Rio. "Loh, Nak Rio. Terima kasih sudah mengantar Mytha," Ucap Pak Yuda setelah Rio berada persis di hadapannya. Rio pun tersenyum dan mengulurkan tangannya, akan bersalaman. Seusai bersalaman, Rio langsung pamit pada Pak Yuda. Namun, Pak Yuda ingin menahan dengan berkata, "Loh ko buru-buru. Ayo masuk dulu." "Sudah larut malam, Pak. Besok saya ke sini lagi menjemput Mytha." Rio mengayunkan tangan, bersalaman pamit. Pak Yuda tersenyum dan menepuk bahu Rio saat bersalam dengannya. "Iya, Pak. Motor Mytha mogok jadi Rio mengantar Mytha." Mytha sedikit menerangkan alasan Rio besok akan menjemputnya. "O, begitu." Pak Yuda mengangguk-anggukkan kepalanya, tand
Malam pun hampir larut, Mytha dan Rio pun pamit pulang."Maaf, Bu. Sudah malam, kami pulang dulu, besok ke sini lagi," ucap Mytha sesudah membantu Bu Darmi membereskan dan mencuci piring."Terima kasih, Nak Mytha. Terima kasih sudah membantu urus masalah ini." Tangan Bu Darmi mengelus bahu Mytha."Gak usah bilang begitu, Bu. Uci sudah saya anggap saudara, Ibu pun aku anggap Ibuku sendiri."Aku pamit menemui Uci dulu." Mytha memberi berkata pada Rio yang hendak bersalaman dengan Bu Darmi. Rio pun mengangguk dan Mytha mulai melaju menuju kamar Uci.Uci memang sudah membaik keadaannya, akan tetapi ia sedang ingin sendiri. Mereka pun memakluminya dan tidak memaksa Uci untuk bergabung makan malam bersama.Tok... tok... tok...."Gue masuk ya, Ci." Mytha mulai membuka pintu setelah mengetuk pintu 3kali, walau tak mendapat jawaban Uci dari dalam kamar.Mytha mulai mendekat ke ranjang Uci dan berkata, "Loh, ko belum dimakan?" "Apa mau gue suapin? Hahaha...," ledek Mytha memecah kesunyian. Nam
Di tempat lain, yakni di kantor tempat Uci bekerja, Doni dijemput oleh dua petugas kepolisian karena laporan Rio, berkaitan kasus permerk*saan terhadap Uci kemarin. Doni bersikap kooperatif, dan sore itu juga langsung digelandang petugas kepolisian untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Seperti hal nya Uci, Doni pun mendapat pemeriksaan medis. Dipenghujung senja itu, darah dan urine Doni diambil untuk sampel DNA guna mensinkronkan bukti atas kasus tersebut. Tak lupa juga tubuh Doni difoto oleh petugas, dan memang terdapat beberapa cakaran di punggung Doni. Doni menyadari akan hal itu, wajahnya sontak terkejut dan murung seakan tidak bisa mengelak, ia tengah merasa semua bukti menjurus padanya, dirinya harus bertanggung jawab akan apa yang telah diperbuatnya. Setelah pemeriksaan selesai, Doni meminta izin menghubungi pengacaranya, guna membantu dalam kasusnya. Petugas kepolisian pun mengijinkan, dengan didampingi petugas, Doni mulai menelepon salah satu pengacaranya dengan mengg
Terlihat jendela kamar Uci dari semalam belum dibuka, Mytha mulai membuka tirai berwarna merah muda yang menyelimuti jendela kamar Uci. Sirkulasi udara pun mulai berganti, hawa sejuk mulai memasuki ruangan kamar. Sinar mentari dengan lancangnya langsung menerangi sebagian ruangan. Mytha mulai berbalik badan dan menghampiri Uci, mulai merapikan tatanan rambut sahabatnya yang terlihat acak-acakan, bisa dipastikan dari semalam. Sementara di luar ruangan, Rio dan Bu Darmi sedang berbincang langkah apa yang akan ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan yang tengah ditimpa Uci. "Maaf, Bu. Uci dari semalam belum diapa-apain kan? Maksudnya belum mandi atau bersih-bersih badan?" tanya Rio sedikit menyelidik akan keadaan Uci. "Belum, Nak Rio. Ibu tidak berani dan kasihan melihat sikap labil yang sedang Uci," jawab Bu Darmi. "Ibu hanya menemaninya dan menenangkannya hingga Uci tertidur. Jendela kamar pun sengaja tidak Ibu buka, takut Uci histeris." Ceri
Di parkiran, Mytha langsung melaju berbelok arah menuju tempat kendaraan beroda dua berjejer. "Myth, tunggu," panggil Rio tatkala Mytha mulai melangkah mendekati motor maticnya. Perempuan berhidung mancung dan bermata coklat itu pun berbalik badan, memutar tubuh menghadap si penyapa. "Bareng aku aja," ajak Rio, menatap intens wajah Mytha. "Aku pakai motorku saja, Mas. Biar ngga repot dan lebih leluasa." "Baiklah kalau begitu." Rio menutup pembicaraan dan dijawab oleh anggukan singkat Mytha. Meskipun memakai kendaraan mereka sendiri-sendiri, tujuan mereka satu yakni ke rumah Uci. Setibanya di rumah Uci, Mytha mengetuk pintu kemudian berlanjut berucap salam, "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam," jawab Bu Darmi dari dalam rumah dan segera membukakan pintu. Sedetik setelah membukakan pintu, Bu Darmi memeluk Mytha, menangis tersedu meluapkan isi hatinya. Mytha mengerti akan kegundahan Bu Darmi, walau belum ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut beliau, hanya isak tangis yang
Semalaman Rio tak dapat memejamkan matanya, pikirannya melayang akan keadaan Uci, khawatir terhadap dirinya. Serta memikirkan apa yang akan diperbuatanya, agar Doni mendapat ganjaran yang setimpal. Berkas sinar sang mentari menyelinap, memaksa menembus jendela kaca yang berbalut tirai tipis. Rio dengan malasnya membuka tirai tersebut, membiarkan sinar mentari menguasai kamarnya. Dirinya bergegas mandi, dan bersiap ke kantor, walau telah bersiap masih nampak kantung mata yang menyerupai mata panda, karna semalaman matanya tak dapat dipejamkan. Saat sarapan bersama, tak banyak yang mereka bertiga bicarakan. Saling sibuk dengan hidangan atau mungkin dengan pikiran masing-masing. Ya, Pak Teguh sudah mengetahui cerita tentang Uci dari istrinya tadi pagi. Namun, dirinya masih menghargai Rio dan ingin mengetahui sejauh mana anaknya melangkah terlebih dahulu. Rio terlihat buru-buru menghabiskan sarapannya, setelah meneguk segelas susu kemudian berpamitan pada
Rio pun pamit pada Bu Darmi. Setelah masuk dalam mobil raut muka Rio seakan penuh kebencian terhadap pamannya, karena kejadian yang menimpa pada Uci. Tanpa berfikir panjang, Rio menstarter mobilnya dan melaju menuju rumah pamannya untuk menuntaskan kemarahannya malam itu juga. Mobilnya melesat kencang tanpa menghiraukan gulitanya malam, karna bulan dan bintang tertutup kabut. Lolongan hewan malam pun tak mengurungkan niat Rio untuk memberi perhitungan pada pamannya. Setibanya di rumah Doni, dirinya hendak mendobrag pintu utama dengan kepalan tangannya, berkali-kali meninju papan jati tersebut dengan keras sambil berteriak memanggil pamannya. Security yang awalnya bersikap manis terhadap Rio terkaget, pasalnya dirinya mengira Rio datang seperti biasa mengunjungi tuannya. "Buka pintunya!" seru Rio sambil menggedor pintu. "Paman! Di mana kau?!" lanjut ucap Rio hampir mendobrag pintu rumah Doni dengan kepalan tangannya. Priittt....