“Assalamu’alaikum,” salam Mytha tak kala memasuki rumah, namun tak mendapat jawaban. Langkahnya terhenti tatkala mencari ibunya di teras samping, tendengar perbincangan antara ayah dan ibunya.
“Tapi Yah, tak baik memaksakan kehendak anak,” sela Bu Tari kapada suaminya.
“Ayah sudah berjanji sama Pak Teguh, menikahkan anak kita dengan anak beliau. Beliau pernah menolong ayah, ketika terjadi kerusuhan. Ketika ada timah panas hendak menghantam dada Ayah, Pak Teguh lah yang menyelamatkan. Beliau mendorong tubuh ayah hingga lenganya menjadi sasaran empuk timah panas itu,” tutur Pak Yuda bercerita panjang lebar.
“Mamang Pak Teguh berjasa terhadap Ayah, tapi bukan dengan menjodohkan Mytha balasannya Yah. Kasihan Mytha, biar dia memilih jalan hidupnya sendiri.”
“Dengan siapa? Lelaki yang dekat dengannya pun tak berani menghadap, meminta langsung kepadaku,” ujar Pak Yuda dengan nada sedikit meninggi. Perdebatan kecil itu pun membuat sakit hypertemsi Pak Yuda kambuh dan merasakan pening dibagian lepalanya.
“Ayah... Ayah baik-baik saja?” Khawatir Bu Tari melihat sang suami menahan sakit diarea kepalanya, Bu Tari pun memapah Pak Yuda ke kamar. Membaringkan Pak Yuda di ranjang dan menyelimutinya. “Ayah istirahat, jangan terlalu banyak pikiran. Ingat kesehatan Ayah,” lanjut Bu Tari, diakhiri kecupan hangat di kening Pak Yuda.
“Masalah perjodohan itu, biar Mytha yang menentukan dengan siapa Mytha akan berumah tangga. Toh yang ngejalanin Mytha, biar dia yang memilih,” Ucap Bu Tari sesudah mendaratkan kecupannya dan berlalu dengan senyum keluar dari kamar.
Mytha masih berdiam diri dipojok ruangan, ia bingung entah apa yang mau diperbuat. Bayu kekasihnya pun tak bisa menolongnya dari perjodohan ini.
“Ini bukan jaman 'Siti Nurbaya', sekarang sudah jaman 'Layar Terkembang'. Namun harus bagai mana lagi agar perjodohan itu tak terjadi?” pikir Mytha dalam hati
Dengan langkah yang lunglai Mytha menuju kamarnya, langkahnya kembali terhenti oleh sapaan Ibunya. “Dah pulang Myth?”
“Iya, Bu,” jawab Mytha sembari mendekat lalu bersalaman mencium punggung tangan Bu Tari.
“Mytha pamit mandi dulu, Bu,” sela Mytha karena tidak ingin membahas apapun, badannya terasa letih dan pikirannya terasa penuh dengan satu masalah yang besar, yakni perjodohan yang tak diinginkannya.
Rintikan air shower melarutkan kesedihan Mytha, sedih itu seakan terbawa air yang mengalir membasahi tubuhnya. Cukup lama Mytha di dalam kamar mandi, sesekali air matanya tak kuasa dibendung dan ikut mengalir bersama rintikan air shower.
🍂🍂🍂
Ponsel Mytha berbunyi, muka yang tadi sendu berubah menjadi memerah karena emosi.
"Hallo Sayang," sapa Bayu di sebrang telepon.
"Mau apa lagi kamu?" jawab Mytha omosi. "Udah berani yah bilang SAYANG," lanjut Mytha, menegaskan kata sayang. Heran karena biasanya Bayu memanggil dirinya hanya dengan menyebutkan nama.
"Jangan gitu dong, Sayang. Aku kangen," rayu Bayu kepada Mytha.
"Oyah, tapi maaf. Namamu dalam hatiku sudah terhapus!"
"Bisa kita ketemuan malam ini? Aku mau ketemu."
"Buat apa?" ketus Mytha.
"Kali ini saja, Aku ingin bertemu. Mungkin ini untuk yang terakhir kali," kata Bayu beralasan, agar Mytha mau percaya dan menemuinya.
"Baiklah, ini untuk terakhir kalinya dan Aku enggan bertemu Kamu lagi!" jawab Mytha dan langsung memutuskan sambungan ponselnya.
Bayu pun tak lama mengirimkan pesan di mana dia ingin bertemu. "Restoran Rembulan?" gumam Mytha dalam hati sembari mengeryit bingung karena tak biasanya diajak ketempat formal macam itu.
"Bukannya Resto Rembulan itu hotel? mau ngapain dia ngajak gue kesana?" pikir Mytha akan pesan dari Bayu.
Lama Mytha dalam kebimbangan antara menerima ajakan dari Bayu atau mengabaikannya. "Apa yang ia rencanakan? Ah, gak mungin. Bilang sayang aja dia takut, gak mungkin dia macam-macam denganku," ucap Mytha bermonolog dalam batin.
Malam itu pun Mytha pergi menerima ajakan dari Bayu. Mytha berpamitan kepada Ibunya dengan alasan diajak makan malam oleh keluarga Uci, sehingga Bu Tari pun mengijinkan.
Keluarga Uci dan Mytha sudah lumayan akrab, dari SD sampai Universitas mereka selalu bareng dan kini bekerja pun mereka dalam satu divisi di perusahaan yang sama pula.
Sesaat memasuki restoran, Mytha dihampiri pelayan dan menanyakan sudah pesan kursi atau belum. Saat Mytha akan menjawab terhenti tatkala Bayu menghampirinya.
"Ayo, Sayang." Bayu menggandeng tangan Mytha menuju kursi tempat mereka duduk.
Terlihat romantis, kursi dekat tembok kaca, hingga dapat melihat suasana taman restoran. Taman yang menyajikkan kerlap-kerlip lampu disekitar kolam, ditengahnya nampak cipratan air keluar dari pancuran patung.
Pancuran patung berbentuk seorang ibu yang sedang menuangkan kendi berisi air kedalam kolam ikan. Seakan terlihat patung sang ibu sedang mengisi air dalam kolam tersebut. Mytha cukup terhanyut dalam suasana yang cukup romantis itu.
"Ayo, dimakan. Aku pesankan khusus untukmu malam ini," ucap Bayu setelah pramusaji menyajikan makanan di atas mejanya.
Tak disangka Devan berkunjung kesalah satu anak perusahaannya yakni di Hotel Rembulan, tak sengaja pula melihat Mytha sang pujaan hatinya bersama lelaki lain. Walau hatinya hancur namun Devan masih saja memperhatikan Mytha dari jauh.
"Tuan, acara sudah selesai. Mari kita pulang," ajak Rio sebagai asisten pribadi Devan.
"Lo duluan aja, gue masih ada urusan," jawab Devan yang ingin menganggap Rio sang asisten sebagai sahabatnya, dan masih memperhatikan Mytha.
Walaupun Mytha bersikap acuh namun tak dipungkiri Mytha masih menyimpan rasa dan mulai terbuai oleh rayuan Bayu. "Maaf, gue mau kebelakang sebentar," pamit Mytha.
Saat Mytha beranjak dan berlalu ke toilet, Bayu dengan sengaja memasukkan obat ke dalam gelas minuman Mytha. Dua tablet obat dimasukkan Bayu, semacam obat perangsang dan obat teler atau memabukkan. Senyum sinis pun ditampakkannya setelah melihat obat tersebut sudah terlarut menyatu dengan segelas jus jambu kesukaan Mytha.
Devan yang menyaksikan itu ingin menghentikan namun ditahannya, Devan ingin tahu sejauh mana Bayu bermain dalam aksinya.
"Kenapa Bayu begitu romantis malam ini, andaikan dari dulu kau begitu," gumam Mytha di toilet. "Hmm... Namun kau terlambat, Yu," lanjut kata Mytha sambil menghembuskan nafas panjang. Bimbang akan suasana hatinya malam ini.
Saat kembali Mytha dan mulai duduk, ia seakan disuruh Bayu untuk minum, meminum minuman yang telah dicampuri dua tablet obat tadi.
"Gerah yah Myth, yuk bersulang," ajak Bayu sembari mengangkat gelasnya. "Ayo donk, sebagai salam persahabatan kita," pinta Bayu untuk bersulang, menginginkan Mytha agar cepat meminum ramuan itu.
"Baiklah." Mytha pun mulai mengangkat gelasnya, bunyi senggolan gelas merekapun membuat Bayu tersenyum.
Senyum miring dan sorot mata Bayu yang mengandung kebencianpun mulai diperlihatkannya. "Ayo, minum lagi. Untuk persahabatan kita," ajak Bayu lagi agar Mytha menghabiskan minumannya.
Tak lama kemudian,
"Aduh, ko gue pusing Yu," ucap Mytha sembari memijit pelipisnya.
"Rasakan Myth, Kau akan kumiliki selamanya. Aku cinta padamu Myth, namun kau tak mengerti diriku," ungkap Bayu. "Kau bilang Aku pengecut, Kau menghinaku, kini kau dalam genggamanku," lanjut Bayu namun Mytha tak mendengarnya, karena sudah dalam keadaan setengah sadar.
Bayu mulai memapah Mytha yang sedang nge-fly tak sadarkan diri. Kamar hotel pun sudah dipesan Bayu, sedemikian rupa rencana Bayu nampak tertata rapi.
to be continue
Saat Bayu mulai masuk kamar hotel yang telah dipesannya, Devan pun mengikutinya. Bodohnya Bayu tak mengunci dahulu pintu kamarnya, karena kepayahan memapah Mytha ke tempat tidur. "Bayu, kenapa kamu pengecut tidak berani bertemui ayahku?" oceh Mytha diluar sadarnya. "Kau, tau! Ayahku menjodohkanku dengan pemuda yang tak kukenal," lanjut oceh Mytha. Bayu tak mendengarkan ocehan Mytha, yang ada dalam benaknya hanyalah ingin memiliki Mytha seutuhnya namun dengan cara yang salah. Dalam pikiran Bayu, jikalau dia merenggut kesucian Mytha dan Mytha hamil maka dia tak perlu lagi meminta Mytha kepada bapaknya yang galak itu. Dengan sendirinya Mytha dan ayahnya lah yang bertekuk lutut meminta dirinya menjadi suami Mytha. "Aku tuh suka kamu sejak SMA, tau! Mengapa kau tak mengerti akan hal itu!" ucap Bayu memandang tubuh Mytha dan mulai menggerayanginya. Saat Bayu akan memulai aksinya, Devan pun dengan sigap menarik Bayu dan menghadiahkan beberapa pukulan
Dalam perjalan pulang mengendarai motor maticnya, Mytha pusing memikirkan alasan apa yang akan dikemukakan nanti kepada orang tuanya jika tiba di rumah. Untungnya sebelum menemui Bayu, Mytha sempat bertukar pesan dengan Uci. Memohon seandainya orang tuanya menelepon atau sekedar menanyakan dirinya, Mytha meminta Uci berdusta bahwa dirinya sedang dengannya. Walau Uci tadinya menolak dan menasehati Mytha agar tidak menemui Bayu, namun Mytha tak menghiraukannya. Kini sesal yang ia dapat. Sesal Mytha begitu dalam, tidak patuh terhadap ayahnya, berdusta pada ibunya, serta tak menghiraukan nasihat Uci pada dirinya. Namun semua itu sudah terjadi, nasi sudah menjadi bubur. Tinggal bagaimana Mytha menjadikan bubur itu menjadi bubur ayam special. Jarum jam pendek di pergelangan tangan kiri menunjukkan angka 10, Mytha belum juga menemukan alasan apa nanti yang akan dia kemukakan saat ibunya bertanya. Hari ini pun tak mungkin dia berangkat kerja. "Ya ampun, gini banget seh
Saat berlangsung rapat dewan direksi, Mytha tersentak melihat Devan, diperkenalkan menggantikan Pak Dedy sebagai presiden direktur. Entah Mytha harus senang, bangga atau sedih pasalnya ia dinodai oleh presdir baru itu, namun tentu saja tanpa keinginan dirinya. Devan yang sedari tadi mengetahui Mytha mengamati dirinya pun membalas senyuman, dan membuat Mytha salah tingkah antara kesal dan malu. Hampir satu jam rapat dewan direksi berlangsung, setelah usai Mytha gugup membereskan berkas yang ada di hadapannya, karena konsentrasi Mytha tertuju pada Devan. Kegugupan Mytha mengakibatkan berkas diatas mejanya jatuh kekolong meja, Devan hanya tersenyum melihat tingkah Mytha. "Gue akan bertanggung jawab atas malam itu," bisik Devan lirih saat berpapasan, ketika Mytha akan berlalu keluar ruangan rapat. Mata Mytha membulat sempurna, akan tetapi dirinya tak berkata, memendam kesal di dada dan segera berlalu sebelum kekesalan itu tumpah. Setibanya di meja
Jantung Mytha berdetak kencang menunggu hasil yang akan ditunjukkan alat itu. Cukup lama Mytha memperhatikan garis merah dalam test pack, setelah menunggu hampir seperempat jam, Mytha melihat hasil yang ditunjukkan oleh alat yang ia beli tadi. Mytha membuang nafas panjang, sedikit lega akan hasil yang ditunjukkan test-pack itu, yakni hanya tertera satu garis merah, menandakan si pengguna dalam keadaan tidak mengandung. Ujung bibirnya spontan ditarik keatas, tersenyum karena kekhawatirannya sudah terlewati. Namun tak berselang lama senyum Mytha kembali dikulumnya, terfikir apakah ada yang menerrima dirinya, dirinya yang sudah tak perawan lagi. Air matanya seketika menetes membasahi pipi, menyesai dan meratapi nasibnya. Segayung air disiramnya dari atas kepala Mytha, berharap semua masalahnya turut terbawa aliran air, benda cair itu akan menuju lubang kecil di kamar mandi, dan entah kemana tujuan akhir air itu berlabuh. Cukup lama Mytha berkutat di kama
"Myth, rese lo yah. Kemarin gue telepon malah langsung dimatiin," ucap Uci sembari menjitak pelan kepala Mytha, tatkala berjumpa di parkiran kantor, saat akan mulai masuk kantor. "Aawww... sakit tau!" Mytha sembari mengelus kepalanya yang kena jitakan Uci. "Lagian lo nyerocos aja kaya nenek-nenek bawel," lanjut Mytha sembari menjulurkan lidah pada Uci. Wajah yang sumringah tatkala meledek Uci langsung berubah 180° menjadi muram, saat menyadari Devan memperhatikan dirinya. Devan yang kebetulan datang sesudahnya, dan berada ditempat parkir yang sama, memperhatikan tingkah Mytha dan sahabatnya sembari tersenyum. Namun saat akan menghampiri Mytha diurungkannya ketika melihat ekspresi wajah Mytha yang menghindar darinya. "Yuh, ah Ci," Mytha menggandeng Uci dan berjalan dengan langkah yang cukup cepat saat berpapasan melewati Devan. "Pagi Pak," sapa Uci ketika melewati Devan walaupun sambil melangkah karena digandeng Mytha. Sedangkan Mytha terus melaju tanpa menoleh pada Devan. Setelah
Karena terburu-burunya Mytha, ia menabrak Rio yang sedang merapikan jas kantornya tatkala baru keluar dari toilet. Rasa mualnya yang tak tertahankan, hingga ia memuntahkan sebagian isi dalam lambungnya pada jas yang dikenakkan Rio. "Maaf,” sesal Mytha. serambi membersihkan jas Rio yang terkena muntahannya. "Ngak papa Nona," jawab Rio sopan. "Biar saya bersihkan sendiri," lanjut Rio untuk menghentikan Mytha membersihkan jas-nya, yang hanya menambah kotor jas kantornya. Rio pun beranjak menuju wastafel yang berada diluar toilet, dan mulai melepas jasnya dan mengalirkan air kran tuk membersihkan sisa muntahan tersebut. Mytha yang tak enak hati mengikuti Rio dan memperhatikannya, namun tak lama rasa mual dari dalam perutnya pun kambuh lagi. Kedua manik Mytha terbentuk bulat sempurna, terbelelak sembari menutup mulutnya dengan salah satu telapak tangannya, lalu dengan langkah cepat beranjak menuju dalam toilet. Mytha memuntahkan sisa makanan dalam lambungnya di wastafel dalam ruangan t
Sebuah mobil Ayla masuk ke halaman rumah Mytha dan mulai terparkir disana."Assalamu'alaikum," ucapan salam Rio setelah mengetuk pintu rumah Mytha."Wa'alaikumsalam," jawab Pak Yuda yang sedang membaca koran di ruang tengah mendengar salam dari Rio. Pak Yuda pun membuka pintu, mempersilahkan Rio masuk dan duduk di sova ruang tamunya.Roi pun menceritakan bahwa dirinya teman sekantor Mytha yang kemarin mengantarnya pulang. Karena teringat motor Mytha masih di kantor, ia pun berinisiatif menjemput Mytha."O, gt. Tunggu sebentar yah. Tak panggilkan Mytha," tutut Pak Yuda memanggil anak gadisnya tuk segera berangkat.Pak Yuda dengan wajah sumringah memberitahu Mytha bahwa ada teman sekantornya. Mytha yang sedang menikmati sarapannya pun berlalu menuju ruang tamu."Siapa Yah?" tanya Bu Tari penasaran, apa lagi dengan wajah Pak Yuda yang sumringah."Itu temen Mytha. yang kemarin nganter anak kita pulang, pas pulang sakit itu," jawab Pak Yuda. "Bar
Rio pergi dengan wajah sedikit kesal, pasalnya ingin menghabiskan waktu istirahat dengan Mytha sambil PDKT padanya. Mumpung Devan ada perlu dengan keluarganya entah membahas masalah apa hingga ia tak diijinkan turut serta, walaupun dia asisten pribadinya.Saat Rio hendak menuju lift, ia bertemu Devan dengan wajah yang kusam seperti dirinya. Mereka pun saling menumpahkan isi hati didalam lift."Sudah selesai urusan dengan keluarga Tuan?" tanya Rio, seakan tahu Devan sedang tak baik hati."Urusan apa? Gue disuruh jemput orang dari bandara," jawab Devan kesal, ia mengira ada hal penting apa hingga sang papah meminta dirinya untuk pulang ke rumah dulu sebelum menyuruhnya menjemput seseorang di bandara."Btw dah makan belum?""Belum Tuan.""Kamu ini masih aja rikuh ama gue? Gue juga tadinya orang biasa kaya lo, cuman Mamah gue aja yang bernasib baik nikah ma pemilik perusahaan ini," cerita Devan agar Rio tak sungkan dengan dirinya, karena Rio kadang ma
Sepasang paruh baya tengah bercengkrama di ruang keluarga, sesekali Pak Yuda membolak-balik korannya, entah berita apa lagi yang ingin dibacanya. Terdapat beberapa potongan kue lapis, berwarna hijau berseling putih yang bersanding dengan beberapa buah onde-onde kacang hijau beralaskan piring di atas meja sebagai peneman kopi tubruk kegemaran Pak Yuda. Ia seakan sudah candu dengan kopi tubruk buatan istrinya. "Wa'alailumsalam," jawab Bu Tari dan Pak Yuda hampir bebarengan menjawab salam dari anak gadisnya. "Pulang malam lagi, Myth?" tanya Pak Yuda pada putrinya. "Iya, Yah. Tadi mampir ke rumah Uci," jawab Mytha sambil mencium tangan Pak Yuda, bersalaman. "Uci sudah membaik keadaannya, Myth?" tanya Bu Tari baru sempat menengok Uci kemarin. Seakan tak enak, tak ikut serta dalam persidangan Uci karena kondisi Pak Yuda yang belum pulih. Namun, turut prihatin atas kejadian yang menimpa teman anaknya. "Alhamduliah, sudah baikan, Bu," jawab Mytha singkat, kini ganti punggung tangan Bu T
"Jadwal sekarang gue apa?" tanya Devan sinis pada Rio, sekertaris pribadinya. Rio yang profesional menjawab dengan tenang pertanyaan bosnya, sebelum masuk ke ruang presdir dan jam kantor belum dimulai, ia memang terlebih dahulu menanyakan Rosi tentang kegiatan kemarin, saat dirinya izin pulang lebih awal dari jam kerja kantor seharusnya. Devan pun kagum akan dedikasi Rio, atas jawaban yang disampaikannya. Namun, dirinya masih kesal akan kejadian kemarin, dan ditambah kejadian pagi ini di tempat parkir. Mobil Avanza biru Rio melintas tepat di sebelah mobil pajero Devan saat lampu merah telah berganti warna di perempatan, ketika mereka hendak pergi ke kantor. Devan yang mengetahui betul mobil Rio terkejut saat melihat Mytha satu mobil bersama Rio, apa lagi dilihatanya mereka sedang bercengkrama sambil tertawa, membuat dirinya semakin naik pitam karena cemburu. Cukup lama Devan memandangi mobil Avanza biru itu hingga mobil Rio melaju jauh, suara klakson kendaraan di belakang membuyar
Sesampainya di depan rumah Mytha, Pak Yuda tengah berada di teras. Menunggu anak gadisnya, karena sudah larut malam belum pulan tanpa kabar. Dan dengan amarah Pak Yuda bangkit dari duduknya. Namun, saat melihat yang mengantar putrinya adalah Rio, anak dari sahabatnya, emosinya pun berbalik 180 derajat. Gembira dan langsung menyambut Rio. "Loh, Nak Rio. Terima kasih sudah mengantar Mytha," Ucap Pak Yuda setelah Rio berada persis di hadapannya. Rio pun tersenyum dan mengulurkan tangannya, akan bersalaman. Seusai bersalaman, Rio langsung pamit pada Pak Yuda. Namun, Pak Yuda ingin menahan dengan berkata, "Loh ko buru-buru. Ayo masuk dulu." "Sudah larut malam, Pak. Besok saya ke sini lagi menjemput Mytha." Rio mengayunkan tangan, bersalaman pamit. Pak Yuda tersenyum dan menepuk bahu Rio saat bersalam dengannya. "Iya, Pak. Motor Mytha mogok jadi Rio mengantar Mytha." Mytha sedikit menerangkan alasan Rio besok akan menjemputnya. "O, begitu." Pak Yuda mengangguk-anggukkan kepalanya, tand
Malam pun hampir larut, Mytha dan Rio pun pamit pulang."Maaf, Bu. Sudah malam, kami pulang dulu, besok ke sini lagi," ucap Mytha sesudah membantu Bu Darmi membereskan dan mencuci piring."Terima kasih, Nak Mytha. Terima kasih sudah membantu urus masalah ini." Tangan Bu Darmi mengelus bahu Mytha."Gak usah bilang begitu, Bu. Uci sudah saya anggap saudara, Ibu pun aku anggap Ibuku sendiri."Aku pamit menemui Uci dulu." Mytha memberi berkata pada Rio yang hendak bersalaman dengan Bu Darmi. Rio pun mengangguk dan Mytha mulai melaju menuju kamar Uci.Uci memang sudah membaik keadaannya, akan tetapi ia sedang ingin sendiri. Mereka pun memakluminya dan tidak memaksa Uci untuk bergabung makan malam bersama.Tok... tok... tok...."Gue masuk ya, Ci." Mytha mulai membuka pintu setelah mengetuk pintu 3kali, walau tak mendapat jawaban Uci dari dalam kamar.Mytha mulai mendekat ke ranjang Uci dan berkata, "Loh, ko belum dimakan?" "Apa mau gue suapin? Hahaha...," ledek Mytha memecah kesunyian. Nam
Di tempat lain, yakni di kantor tempat Uci bekerja, Doni dijemput oleh dua petugas kepolisian karena laporan Rio, berkaitan kasus permerk*saan terhadap Uci kemarin. Doni bersikap kooperatif, dan sore itu juga langsung digelandang petugas kepolisian untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Seperti hal nya Uci, Doni pun mendapat pemeriksaan medis. Dipenghujung senja itu, darah dan urine Doni diambil untuk sampel DNA guna mensinkronkan bukti atas kasus tersebut. Tak lupa juga tubuh Doni difoto oleh petugas, dan memang terdapat beberapa cakaran di punggung Doni. Doni menyadari akan hal itu, wajahnya sontak terkejut dan murung seakan tidak bisa mengelak, ia tengah merasa semua bukti menjurus padanya, dirinya harus bertanggung jawab akan apa yang telah diperbuatnya. Setelah pemeriksaan selesai, Doni meminta izin menghubungi pengacaranya, guna membantu dalam kasusnya. Petugas kepolisian pun mengijinkan, dengan didampingi petugas, Doni mulai menelepon salah satu pengacaranya dengan mengg
Terlihat jendela kamar Uci dari semalam belum dibuka, Mytha mulai membuka tirai berwarna merah muda yang menyelimuti jendela kamar Uci. Sirkulasi udara pun mulai berganti, hawa sejuk mulai memasuki ruangan kamar. Sinar mentari dengan lancangnya langsung menerangi sebagian ruangan. Mytha mulai berbalik badan dan menghampiri Uci, mulai merapikan tatanan rambut sahabatnya yang terlihat acak-acakan, bisa dipastikan dari semalam. Sementara di luar ruangan, Rio dan Bu Darmi sedang berbincang langkah apa yang akan ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan yang tengah ditimpa Uci. "Maaf, Bu. Uci dari semalam belum diapa-apain kan? Maksudnya belum mandi atau bersih-bersih badan?" tanya Rio sedikit menyelidik akan keadaan Uci. "Belum, Nak Rio. Ibu tidak berani dan kasihan melihat sikap labil yang sedang Uci," jawab Bu Darmi. "Ibu hanya menemaninya dan menenangkannya hingga Uci tertidur. Jendela kamar pun sengaja tidak Ibu buka, takut Uci histeris." Ceri
Di parkiran, Mytha langsung melaju berbelok arah menuju tempat kendaraan beroda dua berjejer. "Myth, tunggu," panggil Rio tatkala Mytha mulai melangkah mendekati motor maticnya. Perempuan berhidung mancung dan bermata coklat itu pun berbalik badan, memutar tubuh menghadap si penyapa. "Bareng aku aja," ajak Rio, menatap intens wajah Mytha. "Aku pakai motorku saja, Mas. Biar ngga repot dan lebih leluasa." "Baiklah kalau begitu." Rio menutup pembicaraan dan dijawab oleh anggukan singkat Mytha. Meskipun memakai kendaraan mereka sendiri-sendiri, tujuan mereka satu yakni ke rumah Uci. Setibanya di rumah Uci, Mytha mengetuk pintu kemudian berlanjut berucap salam, "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam," jawab Bu Darmi dari dalam rumah dan segera membukakan pintu. Sedetik setelah membukakan pintu, Bu Darmi memeluk Mytha, menangis tersedu meluapkan isi hatinya. Mytha mengerti akan kegundahan Bu Darmi, walau belum ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut beliau, hanya isak tangis yang
Semalaman Rio tak dapat memejamkan matanya, pikirannya melayang akan keadaan Uci, khawatir terhadap dirinya. Serta memikirkan apa yang akan diperbuatanya, agar Doni mendapat ganjaran yang setimpal. Berkas sinar sang mentari menyelinap, memaksa menembus jendela kaca yang berbalut tirai tipis. Rio dengan malasnya membuka tirai tersebut, membiarkan sinar mentari menguasai kamarnya. Dirinya bergegas mandi, dan bersiap ke kantor, walau telah bersiap masih nampak kantung mata yang menyerupai mata panda, karna semalaman matanya tak dapat dipejamkan. Saat sarapan bersama, tak banyak yang mereka bertiga bicarakan. Saling sibuk dengan hidangan atau mungkin dengan pikiran masing-masing. Ya, Pak Teguh sudah mengetahui cerita tentang Uci dari istrinya tadi pagi. Namun, dirinya masih menghargai Rio dan ingin mengetahui sejauh mana anaknya melangkah terlebih dahulu. Rio terlihat buru-buru menghabiskan sarapannya, setelah meneguk segelas susu kemudian berpamitan pada
Rio pun pamit pada Bu Darmi. Setelah masuk dalam mobil raut muka Rio seakan penuh kebencian terhadap pamannya, karena kejadian yang menimpa pada Uci. Tanpa berfikir panjang, Rio menstarter mobilnya dan melaju menuju rumah pamannya untuk menuntaskan kemarahannya malam itu juga. Mobilnya melesat kencang tanpa menghiraukan gulitanya malam, karna bulan dan bintang tertutup kabut. Lolongan hewan malam pun tak mengurungkan niat Rio untuk memberi perhitungan pada pamannya. Setibanya di rumah Doni, dirinya hendak mendobrag pintu utama dengan kepalan tangannya, berkali-kali meninju papan jati tersebut dengan keras sambil berteriak memanggil pamannya. Security yang awalnya bersikap manis terhadap Rio terkaget, pasalnya dirinya mengira Rio datang seperti biasa mengunjungi tuannya. "Buka pintunya!" seru Rio sambil menggedor pintu. "Paman! Di mana kau?!" lanjut ucap Rio hampir mendobrag pintu rumah Doni dengan kepalan tangannya. Priittt....