Setelah jalan-jalan entah mengapa Devan tak langsung kembali ke apartemennya, ia mengemudikan mobil putih mewahnya menuju rumah utama Suryadiningrat. Sudah lama Devan meninggalkan rumah mewah milik papahnya itu, karena salah satu sebab yakni tidak mau bentrok dengan kakanya.
Tin... tinnn....
Suara klakson mobil Devan seakan menyuruh Mang Supri selaku security untuk membukakan pintu pagar. Mang Supri meletakkan telappak tangannya di sudut kening tanda hormat ketika melihat mobil Devan melaju disampingnya.Devan yang baru masuk rumah disambut Mamahnya dengan pelukan, sedangkan Linda hanya tersenyum sinis menatapnya.
"Mamah kangen Dev," ucap Bu Vika yang tak lain mamahnya Devan.
"Devan juga kangen Mah," balas Devan kemudian bersalaman mengecup punggung tangan Bu Vika.
"Hai Kak," sapa Devan namun dibalas tatapan sinis dari kakanya, Linda.
"Sudah sarapan Sayang?" tanya Bu Vika seraya menggandeng Devan menuju ke ruang keluarga.
"Belum sempet Mah, gampang ntar minta sama Bi Minah kalo laper." jawab Devan. "Devan mo ngambil beberapa barang Devan yang penting Mah." lanjut Devan dan berlalu menuju kamarnya dilantai dua.
Anak tangga dinaiki satu per satu oleh kaki jenjang Devan, dan langkah Devan berujung menuju kamarnya. Kamar yang cukup luas dan bercat putih, warna kesukaan Devan. Karena cukup lelah tadi berjoging, Devan pun berbaring sejenak dan tertidur. Dalam tidurnya, Devan mencari pemilik sepatu yang ia dapatkan dari salah satu wisudawati yang sedang berlari meninggalkan sepatu high heels-nya, bak drama Cinderella. "Dev, bangun Sayang. Dah siang." tepukan lembut Bu Vika dipundak Devan pun membuyarkan mimpinya.
"Loh, dari tadi belum mandi? Ih, bau ecut," ledek Bu Vika sembari menutup hidungnya, sedetik saat melihat anaknya sudah terbangun. "Dah, sana mandi. Belum sarapan juga kan? Buru, Mamah tunggu dibawah!" lanjut Bu Vika sambil berlalu keluar kamar Devan.
Karena mimpinya tadi Devan baru teringat sepatu cewe jutek yang tak lain milik Mytha. "Jutek, tapi bikin ngangenin," gumam Devan memandangi langit-langit kamar seraya teringat pertemuan pertamanya dengan Mytha.
Devan beranjak dari ranjangnya dengan terburu-buru menuju mobilnya. Perintah mamahnya untuk sekedar menghapus keringat ditubuhnya pun dihiraukan.
"Mana? Mana sepatu cewe jutek itu?" Devan mencari sepatu Mytha dalam bagasi mobilnya.
"Maaf, ada apa Den? Aden nyari apa?" sapa Bi Minah melihat tingkah Devan bingung seakan mencari sesuatu.
"Siapa yang mencuci dan membersihkan mobil saya, Bi?" tanya Devan sambil menunjuk bagasi mobil miliknya.
"Mang Parman, Den. Biar Bibi panggil," jawab Bi Minah dan berlalu mencari Mang Parman.
Tak lama Bi Minah mencari dan menyuruh Mang Parman menghadap Devan. Mang Parman pun kini berada di hadapan Devan.
"Maaf, Den. Ada apa?" sapa Mang Parman sembari membungkukkan badannya.
"Siapa yang mencuci dan membereskan mobil saya?"
"Saya Den, tadi disuruh Nyonya Besar," jawab Mang Parman agak gemetar.
"Gak usah takut Mang. Saya cuman tanya, trus sekarang mana sepatu cewe di sini tadi?"
"Kata Nyonyah besar, barang-barang selain milik Aden suruh dibuang. Saya buang ke tong sampah di depan Den," jawab Mang Parman. "Maaf, Den." Mang Parman membungkukkan badannya tak enak hati dan takut akan murka Devan. Namun, Devan mengacuhkannya dan berlalu mencari sepatu Mytha.
Tak berfikir lama Devan pun menuju teras depan, kotak sampah di samping gerbang rumahnya nampaknya kosong, telah diangkut oleh petugas kebersihan.
Petugas kebersihan itu baru saja berlalu dan sedang mengambil gundukan sampah di rumah sebelah. Devan pun berlari menghampiri.
"Woy...." teriak Devan. "Tunggu!" lanjut Devan seraya berlari.
Supir truk sampah itu seakan mengerti teriakan Devan memanggil dirinya untuk berhenti, mobil truk sampah itu pun seketika mengurangi kecepatannya dan berhenti. Salah seorang dari merekapun turun dari truk dan menghampiri Devan.
"Maaf, Pak. Ada barang berharga Saya terbawa truk sampah ini. Tadi gak sengaja terbuang," jelas Devan dengan nafas tsersengal-sengal, baru saja mengejar truk sampah.
"Loh ya susah to yo Mas. Masa mo ngadul-ngadul sampah sebanyak ini," ujar salah satu pengangkut sampah dengan gaya medoknya, sembari memandang dan menunjuk gundukan sampah di dalam truk bagian belakang.
"Tolong saya pak, barang itu berharga banget buat saya," pinta Devan memohon dengan memelas.
"Duh Mas, gimana yah. Bukannya gak mau, ini juga waktunya dah siang."
"Ini untuk Bapak dan dibagi untuk Pak Supir." Devan memberi beberapa lembar uang kertas berwarna merah muda, salah satu solusi Devan dikala sudah terhimpit masalah.
"Gimana Pak?" salah seorang dari pengangkut sampah itu memamerkan beberapa lembaran uang tadi kepada temannya sebagai kode dan mendapat anggukan sebagai jawaban setuju. "Baik Mas, tak carikan," lanjutnya.
Devan pun memberitahu barang yang dimaksud berikut ciri-cirinya. Dua orang yang bertugas mengambil sampah itu pun mulai sigap mencari di dalam gundukan sampah. Lumayan cukup lama, akhirnya sepatu itu pun ketemu.
"Ini Mas, sepatu cinderella-nya," seru salah satu dari petugas sampah itu. Devan pun tersenyum, karena lega telah menemukan sepasang sepatu Mytha.
"Sepatu Cinderella," gumam Devan dalam hati sembari tersenyum mengingaat Petugas itu menamai sepatu milik Mytha.
“Assalamu’alaikum,” salam Mytha tak kala memasuki rumah, namun tak mendapat jawaban. Langkahnya terhenti tatkala mencari ibunya di teras samping, tendengar perbincangan antara ayah dan ibunya. “Tapi Yah, tak baik memaksakan kehendak anak,” sela Bu Tari kapada suaminya. “Ayah sudah berjanji sama Pak Teguh, menikahkan anak kita dengan anak beliau. Beliau pernah menolong ayah, ketika terjadi kerusuhan. Ketika ada timah panas hendak menghantam dada Ayah, Pak Teguh lah yang menyelamatkan. Beliau mendorong tubuh ayah hingga lenganya menjadi sasaran empuk timah panas itu,” tutur Pak Yuda bercerita panjang lebar. “Mamang Pak Teguh berjasa terhadap Ayah, tapi bukan dengan menjodohkan Mytha balasannya Yah. Kasihan Mytha, biar dia memilih jalan hidupnya sendiri.” “Dengan siapa? Lelaki yang dekat dengannya pun tak berani menghadap, meminta langsung kepadaku,” ujar Pak Yuda dengan nada sedikit meninggi. Perdebatan kecil itu pun membuat sakit hypertemsi Pak Yuda ka
Saat Bayu mulai masuk kamar hotel yang telah dipesannya, Devan pun mengikutinya. Bodohnya Bayu tak mengunci dahulu pintu kamarnya, karena kepayahan memapah Mytha ke tempat tidur. "Bayu, kenapa kamu pengecut tidak berani bertemui ayahku?" oceh Mytha diluar sadarnya. "Kau, tau! Ayahku menjodohkanku dengan pemuda yang tak kukenal," lanjut oceh Mytha. Bayu tak mendengarkan ocehan Mytha, yang ada dalam benaknya hanyalah ingin memiliki Mytha seutuhnya namun dengan cara yang salah. Dalam pikiran Bayu, jikalau dia merenggut kesucian Mytha dan Mytha hamil maka dia tak perlu lagi meminta Mytha kepada bapaknya yang galak itu. Dengan sendirinya Mytha dan ayahnya lah yang bertekuk lutut meminta dirinya menjadi suami Mytha. "Aku tuh suka kamu sejak SMA, tau! Mengapa kau tak mengerti akan hal itu!" ucap Bayu memandang tubuh Mytha dan mulai menggerayanginya. Saat Bayu akan memulai aksinya, Devan pun dengan sigap menarik Bayu dan menghadiahkan beberapa pukulan
Dalam perjalan pulang mengendarai motor maticnya, Mytha pusing memikirkan alasan apa yang akan dikemukakan nanti kepada orang tuanya jika tiba di rumah. Untungnya sebelum menemui Bayu, Mytha sempat bertukar pesan dengan Uci. Memohon seandainya orang tuanya menelepon atau sekedar menanyakan dirinya, Mytha meminta Uci berdusta bahwa dirinya sedang dengannya. Walau Uci tadinya menolak dan menasehati Mytha agar tidak menemui Bayu, namun Mytha tak menghiraukannya. Kini sesal yang ia dapat. Sesal Mytha begitu dalam, tidak patuh terhadap ayahnya, berdusta pada ibunya, serta tak menghiraukan nasihat Uci pada dirinya. Namun semua itu sudah terjadi, nasi sudah menjadi bubur. Tinggal bagaimana Mytha menjadikan bubur itu menjadi bubur ayam special. Jarum jam pendek di pergelangan tangan kiri menunjukkan angka 10, Mytha belum juga menemukan alasan apa nanti yang akan dia kemukakan saat ibunya bertanya. Hari ini pun tak mungkin dia berangkat kerja. "Ya ampun, gini banget seh
Saat berlangsung rapat dewan direksi, Mytha tersentak melihat Devan, diperkenalkan menggantikan Pak Dedy sebagai presiden direktur. Entah Mytha harus senang, bangga atau sedih pasalnya ia dinodai oleh presdir baru itu, namun tentu saja tanpa keinginan dirinya. Devan yang sedari tadi mengetahui Mytha mengamati dirinya pun membalas senyuman, dan membuat Mytha salah tingkah antara kesal dan malu. Hampir satu jam rapat dewan direksi berlangsung, setelah usai Mytha gugup membereskan berkas yang ada di hadapannya, karena konsentrasi Mytha tertuju pada Devan. Kegugupan Mytha mengakibatkan berkas diatas mejanya jatuh kekolong meja, Devan hanya tersenyum melihat tingkah Mytha. "Gue akan bertanggung jawab atas malam itu," bisik Devan lirih saat berpapasan, ketika Mytha akan berlalu keluar ruangan rapat. Mata Mytha membulat sempurna, akan tetapi dirinya tak berkata, memendam kesal di dada dan segera berlalu sebelum kekesalan itu tumpah. Setibanya di meja
Jantung Mytha berdetak kencang menunggu hasil yang akan ditunjukkan alat itu. Cukup lama Mytha memperhatikan garis merah dalam test pack, setelah menunggu hampir seperempat jam, Mytha melihat hasil yang ditunjukkan oleh alat yang ia beli tadi. Mytha membuang nafas panjang, sedikit lega akan hasil yang ditunjukkan test-pack itu, yakni hanya tertera satu garis merah, menandakan si pengguna dalam keadaan tidak mengandung. Ujung bibirnya spontan ditarik keatas, tersenyum karena kekhawatirannya sudah terlewati. Namun tak berselang lama senyum Mytha kembali dikulumnya, terfikir apakah ada yang menerrima dirinya, dirinya yang sudah tak perawan lagi. Air matanya seketika menetes membasahi pipi, menyesai dan meratapi nasibnya. Segayung air disiramnya dari atas kepala Mytha, berharap semua masalahnya turut terbawa aliran air, benda cair itu akan menuju lubang kecil di kamar mandi, dan entah kemana tujuan akhir air itu berlabuh. Cukup lama Mytha berkutat di kama
"Myth, rese lo yah. Kemarin gue telepon malah langsung dimatiin," ucap Uci sembari menjitak pelan kepala Mytha, tatkala berjumpa di parkiran kantor, saat akan mulai masuk kantor. "Aawww... sakit tau!" Mytha sembari mengelus kepalanya yang kena jitakan Uci. "Lagian lo nyerocos aja kaya nenek-nenek bawel," lanjut Mytha sembari menjulurkan lidah pada Uci. Wajah yang sumringah tatkala meledek Uci langsung berubah 180° menjadi muram, saat menyadari Devan memperhatikan dirinya. Devan yang kebetulan datang sesudahnya, dan berada ditempat parkir yang sama, memperhatikan tingkah Mytha dan sahabatnya sembari tersenyum. Namun saat akan menghampiri Mytha diurungkannya ketika melihat ekspresi wajah Mytha yang menghindar darinya. "Yuh, ah Ci," Mytha menggandeng Uci dan berjalan dengan langkah yang cukup cepat saat berpapasan melewati Devan. "Pagi Pak," sapa Uci ketika melewati Devan walaupun sambil melangkah karena digandeng Mytha. Sedangkan Mytha terus melaju tanpa menoleh pada Devan. Setelah
Karena terburu-burunya Mytha, ia menabrak Rio yang sedang merapikan jas kantornya tatkala baru keluar dari toilet. Rasa mualnya yang tak tertahankan, hingga ia memuntahkan sebagian isi dalam lambungnya pada jas yang dikenakkan Rio. "Maaf,” sesal Mytha. serambi membersihkan jas Rio yang terkena muntahannya. "Ngak papa Nona," jawab Rio sopan. "Biar saya bersihkan sendiri," lanjut Rio untuk menghentikan Mytha membersihkan jas-nya, yang hanya menambah kotor jas kantornya. Rio pun beranjak menuju wastafel yang berada diluar toilet, dan mulai melepas jasnya dan mengalirkan air kran tuk membersihkan sisa muntahan tersebut. Mytha yang tak enak hati mengikuti Rio dan memperhatikannya, namun tak lama rasa mual dari dalam perutnya pun kambuh lagi. Kedua manik Mytha terbentuk bulat sempurna, terbelelak sembari menutup mulutnya dengan salah satu telapak tangannya, lalu dengan langkah cepat beranjak menuju dalam toilet. Mytha memuntahkan sisa makanan dalam lambungnya di wastafel dalam ruangan t
Sebuah mobil Ayla masuk ke halaman rumah Mytha dan mulai terparkir disana."Assalamu'alaikum," ucapan salam Rio setelah mengetuk pintu rumah Mytha."Wa'alaikumsalam," jawab Pak Yuda yang sedang membaca koran di ruang tengah mendengar salam dari Rio. Pak Yuda pun membuka pintu, mempersilahkan Rio masuk dan duduk di sova ruang tamunya.Roi pun menceritakan bahwa dirinya teman sekantor Mytha yang kemarin mengantarnya pulang. Karena teringat motor Mytha masih di kantor, ia pun berinisiatif menjemput Mytha."O, gt. Tunggu sebentar yah. Tak panggilkan Mytha," tutut Pak Yuda memanggil anak gadisnya tuk segera berangkat.Pak Yuda dengan wajah sumringah memberitahu Mytha bahwa ada teman sekantornya. Mytha yang sedang menikmati sarapannya pun berlalu menuju ruang tamu."Siapa Yah?" tanya Bu Tari penasaran, apa lagi dengan wajah Pak Yuda yang sumringah."Itu temen Mytha. yang kemarin nganter anak kita pulang, pas pulang sakit itu," jawab Pak Yuda. "Bar
Sepasang paruh baya tengah bercengkrama di ruang keluarga, sesekali Pak Yuda membolak-balik korannya, entah berita apa lagi yang ingin dibacanya. Terdapat beberapa potongan kue lapis, berwarna hijau berseling putih yang bersanding dengan beberapa buah onde-onde kacang hijau beralaskan piring di atas meja sebagai peneman kopi tubruk kegemaran Pak Yuda. Ia seakan sudah candu dengan kopi tubruk buatan istrinya. "Wa'alailumsalam," jawab Bu Tari dan Pak Yuda hampir bebarengan menjawab salam dari anak gadisnya. "Pulang malam lagi, Myth?" tanya Pak Yuda pada putrinya. "Iya, Yah. Tadi mampir ke rumah Uci," jawab Mytha sambil mencium tangan Pak Yuda, bersalaman. "Uci sudah membaik keadaannya, Myth?" tanya Bu Tari baru sempat menengok Uci kemarin. Seakan tak enak, tak ikut serta dalam persidangan Uci karena kondisi Pak Yuda yang belum pulih. Namun, turut prihatin atas kejadian yang menimpa teman anaknya. "Alhamduliah, sudah baikan, Bu," jawab Mytha singkat, kini ganti punggung tangan Bu T
"Jadwal sekarang gue apa?" tanya Devan sinis pada Rio, sekertaris pribadinya. Rio yang profesional menjawab dengan tenang pertanyaan bosnya, sebelum masuk ke ruang presdir dan jam kantor belum dimulai, ia memang terlebih dahulu menanyakan Rosi tentang kegiatan kemarin, saat dirinya izin pulang lebih awal dari jam kerja kantor seharusnya. Devan pun kagum akan dedikasi Rio, atas jawaban yang disampaikannya. Namun, dirinya masih kesal akan kejadian kemarin, dan ditambah kejadian pagi ini di tempat parkir. Mobil Avanza biru Rio melintas tepat di sebelah mobil pajero Devan saat lampu merah telah berganti warna di perempatan, ketika mereka hendak pergi ke kantor. Devan yang mengetahui betul mobil Rio terkejut saat melihat Mytha satu mobil bersama Rio, apa lagi dilihatanya mereka sedang bercengkrama sambil tertawa, membuat dirinya semakin naik pitam karena cemburu. Cukup lama Devan memandangi mobil Avanza biru itu hingga mobil Rio melaju jauh, suara klakson kendaraan di belakang membuyar
Sesampainya di depan rumah Mytha, Pak Yuda tengah berada di teras. Menunggu anak gadisnya, karena sudah larut malam belum pulan tanpa kabar. Dan dengan amarah Pak Yuda bangkit dari duduknya. Namun, saat melihat yang mengantar putrinya adalah Rio, anak dari sahabatnya, emosinya pun berbalik 180 derajat. Gembira dan langsung menyambut Rio. "Loh, Nak Rio. Terima kasih sudah mengantar Mytha," Ucap Pak Yuda setelah Rio berada persis di hadapannya. Rio pun tersenyum dan mengulurkan tangannya, akan bersalaman. Seusai bersalaman, Rio langsung pamit pada Pak Yuda. Namun, Pak Yuda ingin menahan dengan berkata, "Loh ko buru-buru. Ayo masuk dulu." "Sudah larut malam, Pak. Besok saya ke sini lagi menjemput Mytha." Rio mengayunkan tangan, bersalaman pamit. Pak Yuda tersenyum dan menepuk bahu Rio saat bersalam dengannya. "Iya, Pak. Motor Mytha mogok jadi Rio mengantar Mytha." Mytha sedikit menerangkan alasan Rio besok akan menjemputnya. "O, begitu." Pak Yuda mengangguk-anggukkan kepalanya, tand
Malam pun hampir larut, Mytha dan Rio pun pamit pulang."Maaf, Bu. Sudah malam, kami pulang dulu, besok ke sini lagi," ucap Mytha sesudah membantu Bu Darmi membereskan dan mencuci piring."Terima kasih, Nak Mytha. Terima kasih sudah membantu urus masalah ini." Tangan Bu Darmi mengelus bahu Mytha."Gak usah bilang begitu, Bu. Uci sudah saya anggap saudara, Ibu pun aku anggap Ibuku sendiri."Aku pamit menemui Uci dulu." Mytha memberi berkata pada Rio yang hendak bersalaman dengan Bu Darmi. Rio pun mengangguk dan Mytha mulai melaju menuju kamar Uci.Uci memang sudah membaik keadaannya, akan tetapi ia sedang ingin sendiri. Mereka pun memakluminya dan tidak memaksa Uci untuk bergabung makan malam bersama.Tok... tok... tok...."Gue masuk ya, Ci." Mytha mulai membuka pintu setelah mengetuk pintu 3kali, walau tak mendapat jawaban Uci dari dalam kamar.Mytha mulai mendekat ke ranjang Uci dan berkata, "Loh, ko belum dimakan?" "Apa mau gue suapin? Hahaha...," ledek Mytha memecah kesunyian. Nam
Di tempat lain, yakni di kantor tempat Uci bekerja, Doni dijemput oleh dua petugas kepolisian karena laporan Rio, berkaitan kasus permerk*saan terhadap Uci kemarin. Doni bersikap kooperatif, dan sore itu juga langsung digelandang petugas kepolisian untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Seperti hal nya Uci, Doni pun mendapat pemeriksaan medis. Dipenghujung senja itu, darah dan urine Doni diambil untuk sampel DNA guna mensinkronkan bukti atas kasus tersebut. Tak lupa juga tubuh Doni difoto oleh petugas, dan memang terdapat beberapa cakaran di punggung Doni. Doni menyadari akan hal itu, wajahnya sontak terkejut dan murung seakan tidak bisa mengelak, ia tengah merasa semua bukti menjurus padanya, dirinya harus bertanggung jawab akan apa yang telah diperbuatnya. Setelah pemeriksaan selesai, Doni meminta izin menghubungi pengacaranya, guna membantu dalam kasusnya. Petugas kepolisian pun mengijinkan, dengan didampingi petugas, Doni mulai menelepon salah satu pengacaranya dengan mengg
Terlihat jendela kamar Uci dari semalam belum dibuka, Mytha mulai membuka tirai berwarna merah muda yang menyelimuti jendela kamar Uci. Sirkulasi udara pun mulai berganti, hawa sejuk mulai memasuki ruangan kamar. Sinar mentari dengan lancangnya langsung menerangi sebagian ruangan. Mytha mulai berbalik badan dan menghampiri Uci, mulai merapikan tatanan rambut sahabatnya yang terlihat acak-acakan, bisa dipastikan dari semalam. Sementara di luar ruangan, Rio dan Bu Darmi sedang berbincang langkah apa yang akan ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan yang tengah ditimpa Uci. "Maaf, Bu. Uci dari semalam belum diapa-apain kan? Maksudnya belum mandi atau bersih-bersih badan?" tanya Rio sedikit menyelidik akan keadaan Uci. "Belum, Nak Rio. Ibu tidak berani dan kasihan melihat sikap labil yang sedang Uci," jawab Bu Darmi. "Ibu hanya menemaninya dan menenangkannya hingga Uci tertidur. Jendela kamar pun sengaja tidak Ibu buka, takut Uci histeris." Ceri
Di parkiran, Mytha langsung melaju berbelok arah menuju tempat kendaraan beroda dua berjejer. "Myth, tunggu," panggil Rio tatkala Mytha mulai melangkah mendekati motor maticnya. Perempuan berhidung mancung dan bermata coklat itu pun berbalik badan, memutar tubuh menghadap si penyapa. "Bareng aku aja," ajak Rio, menatap intens wajah Mytha. "Aku pakai motorku saja, Mas. Biar ngga repot dan lebih leluasa." "Baiklah kalau begitu." Rio menutup pembicaraan dan dijawab oleh anggukan singkat Mytha. Meskipun memakai kendaraan mereka sendiri-sendiri, tujuan mereka satu yakni ke rumah Uci. Setibanya di rumah Uci, Mytha mengetuk pintu kemudian berlanjut berucap salam, "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam," jawab Bu Darmi dari dalam rumah dan segera membukakan pintu. Sedetik setelah membukakan pintu, Bu Darmi memeluk Mytha, menangis tersedu meluapkan isi hatinya. Mytha mengerti akan kegundahan Bu Darmi, walau belum ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut beliau, hanya isak tangis yang
Semalaman Rio tak dapat memejamkan matanya, pikirannya melayang akan keadaan Uci, khawatir terhadap dirinya. Serta memikirkan apa yang akan diperbuatanya, agar Doni mendapat ganjaran yang setimpal. Berkas sinar sang mentari menyelinap, memaksa menembus jendela kaca yang berbalut tirai tipis. Rio dengan malasnya membuka tirai tersebut, membiarkan sinar mentari menguasai kamarnya. Dirinya bergegas mandi, dan bersiap ke kantor, walau telah bersiap masih nampak kantung mata yang menyerupai mata panda, karna semalaman matanya tak dapat dipejamkan. Saat sarapan bersama, tak banyak yang mereka bertiga bicarakan. Saling sibuk dengan hidangan atau mungkin dengan pikiran masing-masing. Ya, Pak Teguh sudah mengetahui cerita tentang Uci dari istrinya tadi pagi. Namun, dirinya masih menghargai Rio dan ingin mengetahui sejauh mana anaknya melangkah terlebih dahulu. Rio terlihat buru-buru menghabiskan sarapannya, setelah meneguk segelas susu kemudian berpamitan pada
Rio pun pamit pada Bu Darmi. Setelah masuk dalam mobil raut muka Rio seakan penuh kebencian terhadap pamannya, karena kejadian yang menimpa pada Uci. Tanpa berfikir panjang, Rio menstarter mobilnya dan melaju menuju rumah pamannya untuk menuntaskan kemarahannya malam itu juga. Mobilnya melesat kencang tanpa menghiraukan gulitanya malam, karna bulan dan bintang tertutup kabut. Lolongan hewan malam pun tak mengurungkan niat Rio untuk memberi perhitungan pada pamannya. Setibanya di rumah Doni, dirinya hendak mendobrag pintu utama dengan kepalan tangannya, berkali-kali meninju papan jati tersebut dengan keras sambil berteriak memanggil pamannya. Security yang awalnya bersikap manis terhadap Rio terkaget, pasalnya dirinya mengira Rio datang seperti biasa mengunjungi tuannya. "Buka pintunya!" seru Rio sambil menggedor pintu. "Paman! Di mana kau?!" lanjut ucap Rio hampir mendobrag pintu rumah Doni dengan kepalan tangannya. Priittt....