Home / Romansa / Liara / Bab 4

Share

Bab 4

Author: Sinda
last update Last Updated: 2021-07-08 17:27:33

"Pilih saja yang kau suka." Hagan memegangi dua bahu Liara dari belakang. Menghadapkan perempuan itu pada rak sepatu. 

Hari ini, sebagai suami yang baik, Hagan mengajak Liara pergi belanja. Kebetulan jadwal Hagan mengontrol toko-toko cake-nya sudah selesai sore tadi. 

Menatapi jejeran high heels cantik dan terlihat mahal itu sebentar, Liara menoleh ke belakang. Tepat di luar toko yang ia dan si lelaki datangi, berdiri lebih dari lima orang bertubuh tegap dengan seragam hitam. 

Mereka itu bodyguardnya Hagan. Liara baru tahu jika lelaki itu menggunakan jasa pengamanan jika akan keluar rumah. 

"Kenapa kau berlebihan sekali? Haruskah mereka menjagamu? Kau ini siapa? Katamu kau itu hanya pemilik beberapa toko roti, kafe dan makanan pinggir jalan. Pengamananmu melebih pejabat negara." Liara menyuarakan rasa tidak nyamannya. 

"Mereka di sana untuk menjagamu. Kalau kau hilang, aku yang susah." Hagan membalas dengan candaan. Pria itu berhasil mencuri satu ciuman dari bibir istrinya yang maju satu senti. 

"Aku mau pulang saja. Hari ini jadwalku memasak makan malam." Liara yang hendak berjalan ditahan oleh Hagan. 

"Jangan seperti itu. Minimal belilah satu. Aku meluangkan waktu untuk menemanimu. Kau pulang dengan tangan kosong, aku sungguh kecewa." Pria beralis tebal itu dengan sengaja memasang wajah sedih. 

Agaknya trik tersebut berhasil, karena Liara terdengar menghela napas. 

"Aku mau sneaker. Aku tidak suka high heels." 

Sepanjang mereka di toko, Liara yang mencuri lihat pada para bodyguard itu benar-benar dibuat tak suka. Pria-pria itu terus mengawasinya dan Hagan. Membuat Liara tak nyaman karena terus dipandangi. 

"Sebenarnya, untuk apa semua penjaga itu?" Sekali lagi si perempuan bertanya. Kali ini saat mereka sudah mengantre untuk membayar belanjaan. 

"Tentu saja untuk menjaga. Siapa yang tahu ada orang jahat di dekat sini dan mereka ingin melenyapkanku." Berdiri di belakang si istri, pria itu menyandarkan dagu di bahu Liara. 

"Apa untungnya mereka melenyapkanmu?" 

"Banyak. Aku ini tampan, kaya raya. Mungkin ada yang merasa tersaingi akan kehadiranku?" Lelaki itu menegakkan tubuh, membuka kedua lengannya. Berdiri layaknya model. 

Liara menggeleng dengan dahi mengernyit. "Dan berlebihan. Mulai sekarang, aku akan menyebutmu Tuan Berlebihan." 

*** 

Setibanya mereka di rumah, Liara segera menuju dapur. Menyiapkan menu makan malam yang sudah ia rencanakan  sejak dua hari lalu. Tumis bayam dengan udang. 

Tepat saat Hagan muncul di ruang makan setelah mandi, makanan Liara pun siap. Berseri-seri, perempuan itu menyajikannya di meja. 

"Kau boleh makan duluan. Aku perlu ganti pakaian sebentar." Liara pamit ke kamar. Mengganti blouse hijaunya dengan dress putih selutut. Menatap pantulan dirinya di cermin, sorot dingin yang selama ini Liara sembunyikan tampak. 

"Selamat tinggal. Matilah dengan tenang." 

Hagan yang melihat penampilan istrinya berdecak kagum di kursi makan. Bagaimana bisa gaun sederhana tanpa hiasan mutiara atau payet itu membungkus tubuh ramping Liara begitu bagus. Manis, hangat dan juga cantik. 

"Jangan terus menatapiku. Makan makananmu." Liara mengambil tumis bayamnya. Udang di sana ia taruh di piring sebanyak mungkin, 

"Makanan ini tidak tampak enak lagi. Aku lebih ingin memakan yang lain." Hagan menopang dagu dengan dua tangan. Tak memalingkan wajah sedikit pun. 

Liara tersenyum. Ditatapnya Hagan lekat. "Terima kasih banyak. Sungguh." 

Si lelaki tertegun. Serta-merta hangat menjalar di hati. 

"Aku sangat beruntung karena sudah bertemu denganmu. Semoga kau selalu sehat." Liara mulai memakan makananya. 

Menguasai diri, Hagan berusaha tersenyum. "Kau sedang berusaha membuatku jatuh cinta, ya?" 

"Kenapa?" Liara terbatuk. Ia meneguk air banyak-banyak, kemudian melanjutkan makan. 

"Kau cantik sekali malam ini. Ditambah, kau mengucapkan terima kasih dengan cara paling manis yang pernah kudengar." Dan terasa amat tulus, sambung Hagan dalam hati. 

Lagi, si istri tersenyum. Matanya tampak memerah. "Makanlah." 

Beberapa saat berlalu, saat piring mereka sudah kosong, Hagan menghampiri Liara. Memeluk perempuan itu seraya berjalan menuju halaman belakang. 

"Kau ada rencana besok?" 

Liara menggeleng. Jalur udara masuk serasa menyempit. Bulir-bulir keringat memenuhi dahinya. 

"Bagaimana jika seharian di kamar? Aku--Liara!" 

Hagan merasa jantungnya nyaris lepas. Tubuh Liara tumbang, beruntung bisa ia tangkap. Mata perempuan itu pelan-pelan terpejam, wajah cantik tadi menjadi pucat-pasi. 

"Liara?!" 

Liara merasakan dirinya semakin sulit bernapas. Semua berputar-putar. Ia tak sanggup untuk membuka mata. 

"Panggilkan dokter! Tidak, tidak. Mobil! Siapkan mobil, aku harus ke rumah sakit!" Tergopoh-gopoh Hagan menggendong istrinya menuju mobil yang sudah terparkir di depan rumah. Ia terus memanggil nama si istri. Berharap perempuan itu membuka mata dan menjawab. 

"Liara? Apa yang terjadi padamu? Liara? Kau bisa mendengarku?" 

Di dalam mobil yang melaju sekencang yang dibisa, Hagan merasakan ketakutan melingkupi. Pria itu tak bisa berpikir. Jantungnya seperti diremas kencang menyaksikan Liara tampak kesulitan bernapas. 

"Liara? Kumohon jawab aku. Jangan seperti ini. Kau kenapa? Apa yang terjadi padamu?" Pria itu mendekap perempuan dalam pangkuan. Tiba-tiba saja ia sangat takut kehilangan. 

"Ha--Hagan." 

Hagan mengusap wajah pucat itu. "Aku di sini. Kumohon bertahanlah. Kita hampir sampai." 

Liara menggeleng pelan. Bibirnya berusaha tersenyum. Perlahan, mata itu tertutup sepenuhnya. 

"Tidak, Liara! Tidak! Liara!" 

*** 

Liara keracunan. Menurut dokter, itu udang. Liara sepertinya punya alergi pada udang. 

Hagan sempat menjelaskan, bahwa Liaralah yang memasak makan malam mereka. Bagaimana mungkin perempuan itu sengaja mengolah udang. 

"Mungkin, dia tidak tahu dia alergi pada udang." Max, dokter dengan rambut berwarna Grey itu menjelaskan pada Hagan seraya mengecek selang infus. 

Hagan yang duduk lemas di kursi samping ranjang Liara mengeratkan genggaman pada tangan si istri. "Aku bingung," tuturnya pelan. 

"Bingung? Soal?" Max ikut duduk. Menyimpan dua tangan di saku jas putihnya, menatapi perempuan yang ada di hadapan. 

"Kenapa dia memasak udang?" 

Tepat setelah kalimat Hagan rampung, Liara terlihat membuka mata. Perempuan itu sadar, segera melempar senyum pada si suami. 

"Kau tidak cantik. Sungguh," komentar Hagan. Ia mencium telapak tangan Liara. Lega sekali. 

"Aku masih hidup? Kukira aku akan mati tadi. Aku tidak bisa bernapas." Liara memejam. Menenangkan diri. 

"Kau alergi udang. Kenapa kau memasak udang?" 

Mata Liara membuka lagi. Ia menatapi Hagan. "Aku alergi udang? Sungguh? Ah, padahal udang adalah makanan yang sangat ingin kucoba saat sudah punya uang." 

Max menoleh pada Hagan. "Pertanyaanmu sudah terjawab," katanya. 

"Kau tidak pernah makan udang sebelum ini?" Hagan bertanya sungguh. 

Kepala Liara bergerak ke kanan dan kiri. "Kau lupa bertemu denganku di mana?" 

Hagan mulai meyakini itu. "Kau merasa lebih baik sekarang?' 

"Sedikit pusing dan mual." 

"Sebentar lagi akan hilang. Kau sudah kuberi obat." Max menyahut. Mendapat atensi Liara, ia memperkenalkan diri. Tangannya terulur ke depan. "Aku Max. Kenalannya Hagan yang sangat penasaran padamu." 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Potato Peach
waww ku kira liara sengaja mau bunuh diri
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Liara    Bab 5

    "Sebenarnya aku ini sepupunya Hagan."Sore itu, Max berhasil memanfaatkan kesempatan--Hagan pulang untuk berganti pakaian.Selama Liara dirawat, tiga hari penuh Hagan tak meninggalkan perempuan itu barang sedetik. Membuat Max kelimpungan untuk mencari celah demi bisa melampiaskan rasa penasaran."Sepupu?" Di atas ranjangnya, Liara mengernyitkan dahi. "Kata Hagan kalian kenalan." Ia juga ingat perjumpaan pertama dengan Max kemarin. Pria itu juga menyebut diri sebagai kenalan.Pria berambut abu-abu itu mengangguk. "Jadi, biarkan aku bertanya beberapa hal padamu."Max memulai. Pertama ia ingin memvalidasi bahwa benar Liara adalah istri Hagan. Si perempuan mengamini, Max terperangah."Kenapa bisa?" tanya pria itu dengan suara tidak santai.Mana bisa Max bersikap tenang. Selama yang ia kenal, Hagan bukanlah pria seperti pada umumnya. Maksudnya, lelaki itu norma

    Last Updated : 2021-07-08
  • Liara    Bab 6

    "Dari mana kau tahu Max sepupuku?" Pertanyaan itu terlontar saat Hagan sedang menyiapkan makan makan untuk Liara di meja."Dia yang memberitahu. Kenapa kau menyebut sepupumu kenalan? kau memang tidak ingin mengenalkan kerabatmu padaku?" Liara menatap senang pada hidangan di depan mata. Sesuai permintaannya, hari ini menu santapan sederhana, sup ikan dan telur dadar.Hagan meletakkan sendok. Ini sedikit rumit.""Tidak masalah jika tak ingin cerita," kata Liara sebelum mengunyah."Hubunganku dengan mereka, keluargaku, tidak begitu baik." Hagan memulai. Entah kenapa ia merasa bukan masalah untuk bercerita sedikit pada Liara.Si perempuan mengangguk. Menanti cerita selanjutnya."Satu-satunya yang dekat denganku adalah Max. Karena itu aku lebih suka menyebutnya kenalan."Ada kerutan samar di dahi Liara. Tidak paham."Terkadang, orang yang kita pikir bisa dipercaya, kerabat sendiri, ada

    Last Updated : 2021-07-09
  • Liara    Bab 7

    "Aku nyaris mati hanya karena kau salah paham? Bajingan, kau Hagan." Memegangi pipinya yang bengkak, di sofa ruang tamu, Max menatap si sepupu frustrasi.Tebakan Hagan salah. Max tidak bersekutu dengan Redrick. Setidaknya bukan sekarang. Pria itu bisa muncul bersamaan dengan Liara, karena mereka tak sengaja bertemu di jalan."Kau yakin tidak perlu dokter, Max?" Liara yang duduk di samping Hagan bertanya cemas."Aku dokter, Sayang." Ucapan barusan dihadiahi lemparan gunting oleh Hagan. Max kembali sibuk merawat lukanya sendiri dengan bantuan cermin."Salah siapa aku tidak bisa menghubungimu?" Hagan protes kala sikapnya barusan dilempari pelototan oleh Liara."Aku sudah bilang, baterai ponselku habis." Inilah sebab utama petaka malam ini.Liara pergi menemui adiknya. Karena itu tak ingin diantar supir, takut Tatiana curiga. Ia tidak bisa memberitahu Hagan akan pulang t

    Last Updated : 2021-07-09
  • Liara    Bab 8

    "Oh, sialan." Max mengumpat ketika sampai di ruang TV dan menemukan Hagan sedang bermesraan dengan Liara."Kalian merusak pagiku!" Pria dengan piyama biru itu sengaja mendorong tubuh Hagan dari atas Liara. Dirinya sendiri mengambil tempat di sofa ukuran satu orang."Ini rumahku, terserahku. Kalau tidak suka, aku tidak keberatan kau pergi." Hagan memilih ikut berbaring bersama Liara. Ia memeluk sang istri."Kau tidak sarapan?" Wajahnya dipaksa menempel di dada Hagan, Liara bersuara."Sebenarnya aku lebih ingin memakanmu. Tapi, karena kau sedang datang bulan. Biarkan aku memelukmu saja. Sarapan, sebentar lagi." Tangan pria itu menggosok lembut punggung istrinya."Maniak," ejek Max."Daripada menyimpang seperti seseorang?" balas Hagan tak mau kalah.Sejenak ruangan itu diisi oleh aksi saling mengejek dari Hagan dan Max. Liara hanya memilih menjadi pendengar dan sesekali tertawa geli.

    Last Updated : 2021-07-09
  • Liara    Bab 9

    Berantakan. Kacau. Agaknya dua kata itu masih kurang pantas diberikan atas pemadangan di ruang tamu kediaman Hagan malam ini.Sofa terbalik. Meja juga bergeser jauh dari tempat seharusnya. Di lantai, tiga orang pria bertubuh tegap berlutut menunggu nasib.Hagan murka. Liara, istrinya masih belum ada di rumah, padahal sekarang sudah hampir tengah malam. Bukan pergi menemui sang adik, melainkan diculik.Tadinya, Liara ada di rumah sakit. Entah bagaimana ceritanya, perempuan itu mengalami kecelakaan, terserempet mobil. Para bodyguard membawa Liara ke rumah sakit. Saat Hagan berhasil sampai di sana, sang istri sudah tak ada.Hilang tanpa jejak. Penjaga Liara yang Hagan tugaskan berada di samping si perempuan setiap detik kecolongan, tak tahu kapan orang yang harusnya mereka jaga keluar dari kamar rawat.Tak lama, setelah menyusuri setiap sudut di rumah sakit dan masih tidak menemukan yang dicari, Hagan mendapat telep

    Last Updated : 2021-07-09
  • Liara    Bab 10

    Hagan sudah bersiap di belakang kemudi. Pedal gs ia injak kuat-kuat. Membuat tiga pria di depannya semakin terlihat gemetar. Tidak ada jalan lain. Bila Hagan tak melampiaskan amarah ini dengan membunuh tiga pengawal Liara yang tidak becus, maka dirinyalah yang akan mati. Mengarahkan lampu ke tiga calon korban yang akan dilenyapkan, Hagan menarik tuas gigi. Sudah akan menginjak gas, suara kalyson sebuah taksi yang memasuki area halaman rumah mencuri atensi. Taksi itu akan ikut Hagan tabrak jika saja Liara tak keluar dari sana. Hagan mendorong pintu mobilnya kasar, lalu berlari menuju si perempuan yang berjalan tertatih. "Kau mau melenyapkan orang lagi?" Perempuan itu langsung ditarik Hagan untuk dipeluk. Ia lumayan tersentak karena eratnya laki-laki itu memeluk. "Ini benar kau? Kau sungguh pulang dalam keadaan utuh?" Memastikan yang di depannya benar Liara, Hagan menyentuh wajah, tangan dan kaki perempuan itu. Liara di depan matanya tidak hilang, ia kembali memberi dekapan. "Kau m

    Last Updated : 2021-07-09
  • Liara    Bab 11

    Langkah Hagan lebar dan terlihat tergesa melewati pintu kediaman Orlando. Pria itu tak peduli pada beberapa orang yang menunduk sekaligus menyapa. Lelaki itu buru-buru, perlu sesegera mungkin menuntaskan amarah.Orang yang dicarinya terlihat. Sedang duduk santai dengan segelas minuman merah di tangan. Tidak lagi berjalan, Hagan berlari menghampiri.Bukan rindu, Hagan menerjang cepat ke arah Redrick, semata-mata karena tinjunya sudah tidak sabar. "Sialan." Dingin dan tajam sapaan itu mengalun dari ulut Hagan. Bersamaan dengan tinju luma jari yang mendarat di pipi si adik tiri. Hagan berdiri tegak, sementara lawan sudah tersungkur ke atas sofa."Huft! Kau mengujiku rupanya." Hagan menggerakkan leher ke kanan dan kiri. Bersiap untuk aksi selanjutnya.Malam ini, Hagan sudah begitu baik meluangkan waktu untuk memberikan sedikit kejutan pada Redrick. Sayang sekali jika hanya satu pukulan, 'kan?

    Last Updated : 2021-07-23
  • Liara    Bab 12

    Turun dari mobilnya, Hagan dan Liara langsung disambut manager hotel. Karena sudah tahu maksud kedatangan Hagan, mereka segera diarahkan menuju lift.Dalam lift tersebut, Hagan tak henti mencuri lirik pada Liara yang hari ini menggunakan setelan santai. Jeans biru dengan atasan tank top hitam dilapisi kemeja flanel.Si pria memang heran mengapa dengan pakaian sederhana begitu, istrinya masing saja tampak cantik dan mengundang. Namun, bukan itu hanya itu penyebab mengapa sejak tadi ia menatapi Liara saksama.Sebelum mereka ke sini, karena Liara bilang ingin melihat pemandangan dari atas gedung tinggi, Hagan menyaksikan sesuatu yang berhasil membuatnya tidak senang.Saat tidur siang tadi, Liara bermimpi. Hagan yang memang sedang mendapat jahat libur melihat istrinya menangis dalam tidur.Tidak terisak, tetapi terasa amat pilu kala Hagan melihat sendiri bulir bening itu jatuh dari ujung mata Liara. Membuat si pria bertany

    Last Updated : 2021-07-23

Latest chapter

  • Liara    Flashback Chapter (31 part 2)

    Liara tidak sengaja terjaga saat melihat Hagan akhirnya masuk ke ruangan mereka. Entah siapa yang memberikan ide agar ia dan si lelaki disatukan seperti ini. Benar kata Max, seolah mereka punya ikatan batin yang kuat, hingga sakit saja harus bersamaan. Hagan berjalan tertatih, membuat Liara mau tak mau menatap pria itu agak lama. Di saat itu ia melihat luka memar di sekitar wajah suaminya. Tadi, Hagan diajak keluar oleh Red, 'kan? Apa dua saudara beda ibu itu bertengkar? Karena apa? Penasaran, tapi Liara ingat dirinya sedang marah. Berusaha tidak peduli, Liara spontan turun dari ranjang rawatnya demi mencegah Hagan yang terhuyung jatuh ke lantai. Menopang tubuh pria itu, Liara bisa merasakan suhu di sana sedikit lebih tinggi dari harusnya. Mereka berpandangan. Entah apa arti sorot mata pria di sampingnya, Liara mengabaikan itu dan mulai memapah. membantu Hagan hingga naik ke atas ranjang. Berdiri di sana, Liara be

  • Liara    Bab 59

    Susana rumah sore itu terasa mencekam bagi Hagan. Berjalan dengan langkah pelan dan hati-hati, laki-laki itu berharap semoga dirinya bisa lolos dari ini.Ruang tamu aman. Hanya ada Nia yang menyambutnya di sana."Tuan, di ruang TV." Nia memberitahu dengan suara pelan.Hagan menarik napas, membuangnya perlahan. Ia mengangguk lalu menuju ruangan yang Nia sebutkan tadi. Jantungnya mulai bertalu-talu. Perasaan cemas menyergap seketika. Tidak habis melakukan kejahatan, tetapi ia seolah akan menerima hukuman mati.Semua ini bermula tadi pagi. Liara yang resmi ia persunting dua minggu lalu meminta izin untuk jalan-jalan sendirian. Kebetulan, perempuan itu sudah mahir mengendarai motor. Hagan mengizinkan.Tanpa Liara ketahui, Hagan mengirim dua pengawal. Mengikuti Liara dan menjaga perempuan itu dari jauh. Sialnya, pengawal yang Hagan suruh terlalu ceroboh. Mungkin, karena takut melakukan kesalahan dan mendapat hukuman, mereka

  • Liara    Bab 58

    Tak sabar menunggu lebih lama, Hagan akhirnya mengetuk pintu toilet di hadapannya. Tidak hanya sekali, tetapi berulang kali, lumayan keras. Lebih mirip gedoran daripada ketukan sepertinya. "Liara? Kau baik-baik saja? Kenapa lama sekali?" Hanya berselang sekitar beberapa sekon, pintu itu terbuka. Liara menampakkan diri. Sudah mengganti piyama rumah sakit dengan kemeja, ada kerutan tak senang di dahi perempuan itu. "Kenapa kau berisik sekali?" Liara hanya berganti baju dan buang air kecil sebentar. Apa Hagan harus menggedor-gedor pintu seperti tadi? "Kau lama dan tidak menyahut saat aku panggil. Aku kira terjadi sesuatu yang--" "Apa?" Liara memotong. Perempuan itu berjalan menuju ranjang. Duduk di tepiannya dan bersedekap. "Apa? Kali ini apa isi asumsimu?" Ini bukan pertama kalinya Hagan bersikap berlebihan begini. Pria itu semakin menjadi setelah Liara sadar dari koma. Bahkan untuk jalan-jalan saja Ha

  • Liara    Bab 57

    Hagan tidak jadi menyebut dunia ini kejam dan keji. Liara sudah bangun dari tidur panjang dan dokter berkata, hasil pemeriksaan perempuan itu baik saja.Pagi ini, usai sarapan dan mengganti pakaian si mantan istri, Hagan mengajak Liara jalan-jalan ke taman. Sesuai dugaannya, perempuan itu senang karena akhirnya bisa menghirup udara di alam terbuka.Mereka duduk di salah satu bangku. Memandangi tumbuhan hijau dan beberapa bunga di sana. Tidak banyak bicara, hanya sesekali saling bertukar pandang dan senyuman.Sebenarnya, Hagan betah-betah saja dalam suasana hening demikian, Ia juga jadi lebih fokus memandangi wajah Liara. Namun, perempuan itu sepertinya ingin membicarakan beberapa hal.Liara membuka konversasi dengan topik yang serius. Anjani. Belum apa-apa, Hagan sudah melihat tangan perempuan itu bergetar.Pertama, Liara menceritakan mengapa Hagan tak bisa menemukan salah satu dari orang yang menyekap dan memukuli Lia

  • Liara    Bab 56

    Hagan kembali ke rumah sakit sekitar pukul dua siang. Pria itu meninggalkan Liara beberapa jam untuk mengemasi barang-barang perempuan itu dari rumah sewa. Ia membawa semuanya ke rumah lama mereka.Apa pun yang terjadi nanti. Entah Liara akan setuju atau tidak, Hagan ingin perempuan itu tinggal bersamanya. Lebih bagus, jika mereka menikah lagi.Tidak langsung ke kamar rawat Liara, Hagan menyempatkan diri untuk duduk di taman rumah sakit. Menghirup udara bebas beberapa saat, kebetulan cuaca tidak terlalu terik hari ini."Paman pemarah!"SUara cempreng itu membuat Hagan menoleh ke kiri. Ada Liara, yang kecil. Tengah berlari ke arahnya dengan balon di tangan.Hagan mengulas senyum, tetapi sebisa mungkin memasang ekspresi garang."Namaku Hagan. Bukan Paman pemarah," protesnya seraya membantu Liara itu naik ke bangku."Paman dokter berkata, aku bisa memanggilnya paman pemarah." gadis itu tersenyum.

  • Liara    Bab 55

    Orlando menghela napas. Ini yang kesepuluh kali. Pria tua itu menatapi mantan menantunya yang masih belum terjaga itu dengan bahu merosot.Hari ini ia berkunjung lagi. Menjenguk Liara, berharap kedatangannya kali ini disambut oleh perempuan yang pernah menjadi istri dari anaknya."Dia pasti sadar. Tidak lama lagi." Ia berusaha memberi semangat pada sang anak yang duduk di sisi ranjang satunya.Hagan yang meletakkan kepala di samping lengan Liara mengaminkan, tanpa suara. Pria itu lelah, bahkan untuk sekadar menegakkan punggung untuk bertatap muka dengan sang ayah.Hagan bicara parau. "Liara mencintaiku, Pa. Dia mencintaiku, ternyata."Orlando mengulas senyum sebisanya. Bukan hanya keadaan Liara yang belum kunjung sadar dari koma, situasi Hagan juga tak kalah menyedihkan sekarang ini.Anaknya itu kusut dan kacau. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas. Bukan hanya karena sering tidak tidur, tetapi j

  • Liara    Bab 54

    Hagan tak pernah tahu betapa terpuruknya Orlando kala Tere meninggal dulu. Ia juga mengira bahwa kehilangan sang ibu adalah hal paling buruk yang bisa dunia siapkan.Sekarang, lelaki itu penasaran bagaimana Orlando bisa tidak gila setelah ditinggal Tere. Dan ternyata, dunia kembali memberikannya hal tidak baik.Saat ini. Hagan tengah berusaha tetap hidup dan waras selagi dirinya menghadapi kemalangan yang seakan tak mau sudah.Lima hari lebih Hagan terus-terusan ada di ruangan rawat ini. Menatapi perempuan yang terbaring di ranjang itu. Dan apa? Tak ada perubahan yang terjadi.Liara masih mendiamkannya. Perempuan itu masih tidur dengan pulas, seolah memang tak ingin diganggu lagi.Ini tidak baik. Hagan nyaris hilang akal karena setiap hari bicara sendiri. Saat ia bertanya pada dokter, dokter hanya memintanya bersabar menunggu Liara membaik.Semua orang gila karena menyuruh Hagan tenang. Sudah bagus pria it

  • Liara    Bab 53

    Liara meminta bertemu dengan Anjani. Untuk terakhir kali, sebelum mereka mengeksekusi rencana yang wanita itu buat. Mereka sudah membicarakannya dua hari lalu.Anjani memang seserius itu untuk melenyapkan Hagan. Tak main-main, wanita itu akan menggunakan arsenik. Wanita itu juga telah memberikan detil rencana pada si anak.Akan diatur pertemuan untuk Hagan dan Liara besok. Di salah satu resto, racun itu akan dicampur dengan makanan atau minuman Hagan. Mungkin mereka perlu menumbalkan salah seorang pelayan resto, tetapi itu tak masalah.Menyetujui ajakan bertemu, Liara diminta Anjani datang ke rumah pribadi wanita itu. Liara sampai di sana sekitar pukul dua siang. Liara sudah sengaja tidak masuk kerja demi menyiapkan perjumpaan terakhir mereka sebelum hari penting."Aku hanya ingin melihat Ibu sebelum besok. Besok hari besar untukku." Liara memeluk Anjani erat. Setelahnya, ia duduk dan mengeluarkan kotak bekal dari tas belanja. 

  • Liara    Bab 52

    Hagan menatap nyalang pada semua pelayan yang berkumpul di ruang tamu. Pria itu marah."Kalian semua menganggap aku lelucon?"Dilempari sorot seolah akan dikuliti, semua pelayan itu menunduk. Hanya Biru yang sedikit berani menghampiri."Kau yang akan kubunuh pertama kali." Hagan menendang tulang kering pengawalnya itu.Bayangkan, ini masih pukul tujuh pagi dan Hagan sudah dibangunkan. Bukan untuk sesuatu yang penting seperti ada gempa, ada tsunami atau ada atraksi dinosuarus. Hagan dibangunkan hanya untuk membukakan pintu.Meringis, Biru berusaha berdiri tegak. "Ada tamu, Tuan. Tamu itu meminta Anda yang membukakan pintu."Kerutan di dahi lebar Hagan makin banyak. Matanya semakin merah. Rahang licinnya terlihat mengeras."Siapa?" Tangan pria itu mencengkeram leher Biru. Mencekik si pengawal beberapa saat. "Siapa, Biru? Siapa yang datang, hingga kau bersedia diminta membangunkanku hanya untuk m

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status