Di ruang tamu, Liara menatapi dua asisten rumah tangga yang sedang menangis. Dua wanita berusia 30 tahun itu terancam di pecat.
Bersandar di salah satu pilar, Liara menggigit ibu jari. Dirinya iba dan juga bingung. Pegawai Hagan itu terancam kehilangan pekerjaan karena dirinya.
Tadi, Liara hanya ingin membantu dua wanita yang bertugas mencuci pakaian itu. Seprei yang ia dan suaminya pakai kemarin, Liara cuci sendiri. Belum sempat kain lebar itu keluar dari mesin, Hagan pulang.
"Apa yang kau lakukan di sini, Liara?" Pria itu bertanya dengan dua tangan bertumpu di pinggang. Menatap Liara seolah perempuan itu sedang melakukan sesuatu yang salah.
"Mencuci seprei," jawab Liara kala itu seraya menarik keluar seprei putih tadi. Di luar dugaan, benda itu diambil Hagan.
"Kalian kubayar untuk apa?!" Membentak, Hagan melempar kain tebal itu ke arah dua pegawainya. "Kalian berdua, tunggu aku di ruang tamu."
Saat itulah Liara paham mengapa dua pegawai tadi, Arika dan Fredica, melarangnya untuk turun ke ruang cuci.
Sekarang, Liara tengah memutar otak bagiamana cara membujuk Hagan untuk tidak memecat Arika dan Fredica. Karena katanya, setiap pegawai yang membuat Hagan marah, di hari itu juga akan dipecat.
Belum beroleh solusi apa-apa, Liara menemukan Hagan sudah berjalan ke arah ruang tamu. Pria itu seperti habis mandi, karena rambutnya terlihat basah. Wajah lelaki itu segar, tetapi juga sangar. Di tangannya ada dua amplop coklat.
"Tidak perlu memohon. Aku sudah memutuskan. Kalian berdua di--"
"Hagan." Liara menyela. Ia mendekat pada sang suami. "Aku yang ingin mencuci. Mereka tidak bersalah. Jangan memecat mereka."
Hagan hanya menoleh pada perempuan itu. Datar. "Aku sudah peringatkan mereka untuk tidak mengizinkanmu mengerjakan apa pun. Itu kesalahan mereka." Pria itu menatap Arika dan Fredica bergantian.
Liara menekuk wajah. Tak terbantah ucapan Hagan tadi. Ia yakin, membujuk pria itu tak akan ada gunanya. "Kau tetap akan memecat mereka? Meski aku melarang?"
Cepat Hagan mengangguk satu kali. Tak repot-repot menatap wajah Liara.
"Dasar keras kepala! Berlebihan!" Menghentak kaki, Liara memutar tumit usai berucap dengan nada tinggi.
Kepergian Liara dipandangi beberapa pegawai lain yang mengintip dari salah satu sudut rumah. Mereka menunjukkan raut bingung yang sama dengan yang Hagan miliki.
Berani sekali si Nyonya membentak Tuan besar seperti itu. Begitu kira-kira isi kepala mereka.
"Tuan, tolong jangan pecat saya. Saya perlu pekerjaan ini untuk membiayai anak saya." Arika menekuk lutut di depan Hagan. Menyatukan kedua tangan, memohon keajaiban.
"Saya juga, Tuan. Tolong biarkan saya bekerja di sini. Saya berjanji tidak akan mengulangi kesalahan lagi." Fredica juga melakukan hal sama. Memohon dengan air mata berlinang.
Hagan memundurkan langkah. Dua tangannya terlipat di belakang punggung. "Pergi kalian dari rumahku. Kalian tahu, memohon pun tak berpengaruh apa-apa. Ka--"
"Hagan!"
Si pria menggigit bibir. Lagi-lagi perempuan itu menyela ucapannya. Dilihatnya Liara berlari menghampiri.
"Aku punya penawaran. Ikut aku." Ia meraih lengan si suami. Menoleh pada Arika dan Fredica, perempuan itu berkata, "Kuusahakan agar kalian tidak pecat. Tunggu di sini."
Liara membawa Hagan--sedikit susah payah--ke kamar mereka.
"Apa yang kau lakukan, Liara?" Sengit, tak senang, Hagan menarik tangannya.
"Kau marah?"
"Menurutmu? Aku membayar mereka. Kenapa aku tidak marah saat melihat kau berurusan dengan kain cucian?"
"Aku yang mau melakukannya, Hagan." Liara memijat pangkal hidung. Akhirnya ia temukan satu hal salah dari sempurnanya sosok Hagan Arsenio. Berlebihan.
"Aku tidak peduli. Mereka tetap salah."
"Jadi, kau marah?"
"Jangan membuang waktu, Liara."
"Apa yang bisa kulakukan agar kau tidak marah lagi dan tidak jadi memecat mereka?"
"Tidak ada. Tidak ada yang bisa membuatku berhenti marah. Kau puas?" Hagan sudah memutar tubuh, hendak berjalan ke arah pintu, sampai telinganya mendengar suara Liara lagi.
"Ini juga tidak?"
Berterima kasih pada mereka yang menemukan teknologi bernama internet. Setelah masuk kamar tadi, Liara iseng berselancar di dunia maya. Di mesin pencarian ia mencoba menemukan cara untuk membuat seorang pria berhenti marah.
Satu artikel berhasil menarik perhatian si perempuan. Di sana dikatakan, untuk membuat pria yang marah kembali normal ada satu cara mumpuni.
Liara sedang melakukannya sekarang. Melucuti dirinya sendiri di depan Hagan yang sedang marah.
"Bagaimana? Kau masih marah? Kau masih akan memecat mereka?"
Mata Hagan berkedip cepat-cepat. Ia terkejut, tetapi tak menyia-nyiakan pemandangan di depan mata.
"Hagan! Kau masih marah? Masih akan memecat mereka? Kalau iya, aku juga akan marah. Kau kularang menyentuhku selama seminggu!"
Rahang Hagan mengeras, Bukan hanya marah, sekarang ia uring-uringan. Ingin berteriak dan memukul apa saja.
Menarik kata-kata sendiri bukan gaya Hagan. Tak pernah ia lakukan, meski taruhannya adalah sebanyak harta keluarga Arsenio. Namun, hari ini, prinsip itu akan Hagan langgar.
Pria itu akan menarik perintahnya sendiri. Menjilat ludah sendiri karena seorang perempuan yang baru beberapa minggu diperistri.
"Hagan!"
Yang dipanggil meremas rambut. "Belum pernah ada yang memanggil namaku seperti, Liara. Ayahku saja tidak pernah." Ia bersungut.
"Keputusanmu?" Liara semakin tidak sabar. Wajahnya sudah terasa terbakar. Kalau bukan karena nasib dua orang di luar sana, tak akan mungkin Liara melakukan semua ini. "Hagan," panggilnya setengah mendesis.
Panggilan itu membuat Hagan menyerah bertarung dengan dirinya. Pria itu meraih tubuh sang istri untuk dibawa mendekat.
"Kau memang berbeda, Liara. Sedikit gila." Suara serak Hagan hilang beriringan dengan bibirnya yang menempel pada bibir Liara.
Hagan akan mengubah keputusannya. Ia tidak akan memecat Arika dan Fredica. Akan ia umumkan nanti, setelah urusannya dengan Liara selesai. Hagan tak akan membiarkan istrinya menang dengan mudah, 'kan?
***
Meja makan yang tadinya tenang itu berubah atmosfer menjadi mencekam. Di samping kursi utama, Liara sedang menatap sengit pada Hagan yang mengunyah dagingnya tenang.
"Kau menikahi manusia, bukan robot," protes Liara. Kali ini perempuan itu menaruh sendok dan garpunya agak kasar.
"Makan, Liara. Kau bahkan belum menghabiskan separuh dari makananmu." Hagan meraih gelas, menandaskan isinya dalam satu kali teguk. "Makan," ulangnya.
"Biarkan aku memasak tiga kali dalam seminggu." Liara kukuh pada keinginan.
Awal perdebatan ini adalah karena Hagan benar-benar melarang Liara untuk turut campur dalam urusan rumah. Mencuci, memasak, membersihkan rumah, satu pun tidak ada yang boleh perempuan itu lakukan. Demikian perintah mutlak Hagan.
Liara tidak terima. Ia merasa akan mati bosan jika sepanjang hari hanya tiduran di kamar. Minimal memasak dan mencuci piring di hari-hari tertentu jika ia bosan tidur siang dan membaca novel romantis.
"Kalau bosan, kau bisa pergi jalan-jalan. Berbelanja, misalnya." Hagan melipat tangan di depan dada. Menatap datar pada perempuan di depan.
"Aku tidak suka belanja. Aku tidak suka jalan-jalan. Jangan berlebihan, Hagan. Aku harus membayar uang yang kuterima darimu."
"Bayar dengan cara yang lain." Pria itu mengerling nakal.
"Itu juga akan kulakukan. Tapi, biarkan aku juga melakukan beberapa pekerjaan rumah. Oke? Oke. Jangan mendebatku lagi atau aku tidak akan makan?" Ragu Liara mengancam. Ia yakin yang barusan terdengar konyol. Untuk apa Hagan peduli ia makan atau tidak?
Tak bersuara beberapa saat, Hagan terdengar menghela napas. Ia mendekat, mengambil garpu Liara. "Baik. Lakukan yang kau mau. Sekarang, makan." Ia menyuguhkan satu potong daging ke depan mulut si perempuan.
"Sungguh? Kau mengizinkanku?" Liara menerima suapan itu. Tersenyum lebar saat tanya dijawab anggukan.
"Kurasa kau itu adalah karma untukku." Hagan mengingat semua tindakannya sebelum ini. Betapa ia sesuka hati menentang perintah Orlando--ayahnya.
Lagi, Liara tersenyum. "Jangan khawatir. Ini tidak akan lama."
"Terserahmu. Makan yang banyak, agar aku bisa melakukan sesuatu padamu untuk balas dendam."
"Baiklah." Liara mengambil sendok dari tangan Hagan dan mulai menghabiskan makanannya.
"Pilih saja yang kau suka." Hagan memegangi dua bahu Liara dari belakang. Menghadapkan perempuan itu pada rak sepatu.Hari ini, sebagai suami yang baik, Hagan mengajak Liara pergi belanja. Kebetulan jadwal Hagan mengontrol toko-toko cake-nya sudah selesai sore tadi.Menatapi jejeran high heels cantik dan terlihat mahal itu sebentar, Liara menoleh ke belakang. Tepat di luar toko yang ia dan si lelaki datangi, berdiri lebih dari lima orang bertubuh tegap dengan seragam hitam.Mereka itu bodyguardnya Hagan. Liara baru tahu jika lelaki itu menggunakan jasa pengamanan jika akan keluar rumah."Kenapa kau berlebihan sekali? Haruskah mereka menjagamu? Kau ini siapa? Katamu kau itu hanya pemilik beberapa toko roti, kafe dan makanan pinggir jalan. Pengamananmu melebih pejabat negara." Liara menyuarakan rasa tidak nyamannya."Mereka di sana untuk menjagamu. Kalau kau hilang, aku yang susah." Hagan membalas dengan candaan. P
"Sebenarnya aku ini sepupunya Hagan."Sore itu, Max berhasil memanfaatkan kesempatan--Hagan pulang untuk berganti pakaian.Selama Liara dirawat, tiga hari penuh Hagan tak meninggalkan perempuan itu barang sedetik. Membuat Max kelimpungan untuk mencari celah demi bisa melampiaskan rasa penasaran."Sepupu?" Di atas ranjangnya, Liara mengernyitkan dahi. "Kata Hagan kalian kenalan." Ia juga ingat perjumpaan pertama dengan Max kemarin. Pria itu juga menyebut diri sebagai kenalan.Pria berambut abu-abu itu mengangguk. "Jadi, biarkan aku bertanya beberapa hal padamu."Max memulai. Pertama ia ingin memvalidasi bahwa benar Liara adalah istri Hagan. Si perempuan mengamini, Max terperangah."Kenapa bisa?" tanya pria itu dengan suara tidak santai.Mana bisa Max bersikap tenang. Selama yang ia kenal, Hagan bukanlah pria seperti pada umumnya. Maksudnya, lelaki itu norma
"Dari mana kau tahu Max sepupuku?" Pertanyaan itu terlontar saat Hagan sedang menyiapkan makan makan untuk Liara di meja."Dia yang memberitahu. Kenapa kau menyebut sepupumu kenalan? kau memang tidak ingin mengenalkan kerabatmu padaku?" Liara menatap senang pada hidangan di depan mata. Sesuai permintaannya, hari ini menu santapan sederhana, sup ikan dan telur dadar.Hagan meletakkan sendok. Ini sedikit rumit.""Tidak masalah jika tak ingin cerita," kata Liara sebelum mengunyah."Hubunganku dengan mereka, keluargaku, tidak begitu baik." Hagan memulai. Entah kenapa ia merasa bukan masalah untuk bercerita sedikit pada Liara.Si perempuan mengangguk. Menanti cerita selanjutnya."Satu-satunya yang dekat denganku adalah Max. Karena itu aku lebih suka menyebutnya kenalan."Ada kerutan samar di dahi Liara. Tidak paham."Terkadang, orang yang kita pikir bisa dipercaya, kerabat sendiri, ada
"Aku nyaris mati hanya karena kau salah paham? Bajingan, kau Hagan." Memegangi pipinya yang bengkak, di sofa ruang tamu, Max menatap si sepupu frustrasi.Tebakan Hagan salah. Max tidak bersekutu dengan Redrick. Setidaknya bukan sekarang. Pria itu bisa muncul bersamaan dengan Liara, karena mereka tak sengaja bertemu di jalan."Kau yakin tidak perlu dokter, Max?" Liara yang duduk di samping Hagan bertanya cemas."Aku dokter, Sayang." Ucapan barusan dihadiahi lemparan gunting oleh Hagan. Max kembali sibuk merawat lukanya sendiri dengan bantuan cermin."Salah siapa aku tidak bisa menghubungimu?" Hagan protes kala sikapnya barusan dilempari pelototan oleh Liara."Aku sudah bilang, baterai ponselku habis." Inilah sebab utama petaka malam ini.Liara pergi menemui adiknya. Karena itu tak ingin diantar supir, takut Tatiana curiga. Ia tidak bisa memberitahu Hagan akan pulang t
"Oh, sialan." Max mengumpat ketika sampai di ruang TV dan menemukan Hagan sedang bermesraan dengan Liara."Kalian merusak pagiku!" Pria dengan piyama biru itu sengaja mendorong tubuh Hagan dari atas Liara. Dirinya sendiri mengambil tempat di sofa ukuran satu orang."Ini rumahku, terserahku. Kalau tidak suka, aku tidak keberatan kau pergi." Hagan memilih ikut berbaring bersama Liara. Ia memeluk sang istri."Kau tidak sarapan?" Wajahnya dipaksa menempel di dada Hagan, Liara bersuara."Sebenarnya aku lebih ingin memakanmu. Tapi, karena kau sedang datang bulan. Biarkan aku memelukmu saja. Sarapan, sebentar lagi." Tangan pria itu menggosok lembut punggung istrinya."Maniak," ejek Max."Daripada menyimpang seperti seseorang?" balas Hagan tak mau kalah.Sejenak ruangan itu diisi oleh aksi saling mengejek dari Hagan dan Max. Liara hanya memilih menjadi pendengar dan sesekali tertawa geli.
Berantakan. Kacau. Agaknya dua kata itu masih kurang pantas diberikan atas pemadangan di ruang tamu kediaman Hagan malam ini.Sofa terbalik. Meja juga bergeser jauh dari tempat seharusnya. Di lantai, tiga orang pria bertubuh tegap berlutut menunggu nasib.Hagan murka. Liara, istrinya masih belum ada di rumah, padahal sekarang sudah hampir tengah malam. Bukan pergi menemui sang adik, melainkan diculik.Tadinya, Liara ada di rumah sakit. Entah bagaimana ceritanya, perempuan itu mengalami kecelakaan, terserempet mobil. Para bodyguard membawa Liara ke rumah sakit. Saat Hagan berhasil sampai di sana, sang istri sudah tak ada.Hilang tanpa jejak. Penjaga Liara yang Hagan tugaskan berada di samping si perempuan setiap detik kecolongan, tak tahu kapan orang yang harusnya mereka jaga keluar dari kamar rawat.Tak lama, setelah menyusuri setiap sudut di rumah sakit dan masih tidak menemukan yang dicari, Hagan mendapat telep
Hagan sudah bersiap di belakang kemudi. Pedal gs ia injak kuat-kuat. Membuat tiga pria di depannya semakin terlihat gemetar. Tidak ada jalan lain. Bila Hagan tak melampiaskan amarah ini dengan membunuh tiga pengawal Liara yang tidak becus, maka dirinyalah yang akan mati. Mengarahkan lampu ke tiga calon korban yang akan dilenyapkan, Hagan menarik tuas gigi. Sudah akan menginjak gas, suara kalyson sebuah taksi yang memasuki area halaman rumah mencuri atensi. Taksi itu akan ikut Hagan tabrak jika saja Liara tak keluar dari sana. Hagan mendorong pintu mobilnya kasar, lalu berlari menuju si perempuan yang berjalan tertatih. "Kau mau melenyapkan orang lagi?" Perempuan itu langsung ditarik Hagan untuk dipeluk. Ia lumayan tersentak karena eratnya laki-laki itu memeluk. "Ini benar kau? Kau sungguh pulang dalam keadaan utuh?" Memastikan yang di depannya benar Liara, Hagan menyentuh wajah, tangan dan kaki perempuan itu. Liara di depan matanya tidak hilang, ia kembali memberi dekapan. "Kau m
Langkah Hagan lebar dan terlihat tergesa melewati pintu kediaman Orlando. Pria itu tak peduli pada beberapa orang yang menunduk sekaligus menyapa. Lelaki itu buru-buru, perlu sesegera mungkin menuntaskan amarah.Orang yang dicarinya terlihat. Sedang duduk santai dengan segelas minuman merah di tangan. Tidak lagi berjalan, Hagan berlari menghampiri.Bukan rindu, Hagan menerjang cepat ke arah Redrick, semata-mata karena tinjunya sudah tidak sabar. "Sialan." Dingin dan tajam sapaan itu mengalun dari ulut Hagan. Bersamaan dengan tinju luma jari yang mendarat di pipi si adik tiri. Hagan berdiri tegak, sementara lawan sudah tersungkur ke atas sofa."Huft! Kau mengujiku rupanya." Hagan menggerakkan leher ke kanan dan kiri. Bersiap untuk aksi selanjutnya.Malam ini, Hagan sudah begitu baik meluangkan waktu untuk memberikan sedikit kejutan pada Redrick. Sayang sekali jika hanya satu pukulan, 'kan?
Liara tidak sengaja terjaga saat melihat Hagan akhirnya masuk ke ruangan mereka. Entah siapa yang memberikan ide agar ia dan si lelaki disatukan seperti ini. Benar kata Max, seolah mereka punya ikatan batin yang kuat, hingga sakit saja harus bersamaan. Hagan berjalan tertatih, membuat Liara mau tak mau menatap pria itu agak lama. Di saat itu ia melihat luka memar di sekitar wajah suaminya. Tadi, Hagan diajak keluar oleh Red, 'kan? Apa dua saudara beda ibu itu bertengkar? Karena apa? Penasaran, tapi Liara ingat dirinya sedang marah. Berusaha tidak peduli, Liara spontan turun dari ranjang rawatnya demi mencegah Hagan yang terhuyung jatuh ke lantai. Menopang tubuh pria itu, Liara bisa merasakan suhu di sana sedikit lebih tinggi dari harusnya. Mereka berpandangan. Entah apa arti sorot mata pria di sampingnya, Liara mengabaikan itu dan mulai memapah. membantu Hagan hingga naik ke atas ranjang. Berdiri di sana, Liara be
Susana rumah sore itu terasa mencekam bagi Hagan. Berjalan dengan langkah pelan dan hati-hati, laki-laki itu berharap semoga dirinya bisa lolos dari ini.Ruang tamu aman. Hanya ada Nia yang menyambutnya di sana."Tuan, di ruang TV." Nia memberitahu dengan suara pelan.Hagan menarik napas, membuangnya perlahan. Ia mengangguk lalu menuju ruangan yang Nia sebutkan tadi. Jantungnya mulai bertalu-talu. Perasaan cemas menyergap seketika. Tidak habis melakukan kejahatan, tetapi ia seolah akan menerima hukuman mati.Semua ini bermula tadi pagi. Liara yang resmi ia persunting dua minggu lalu meminta izin untuk jalan-jalan sendirian. Kebetulan, perempuan itu sudah mahir mengendarai motor. Hagan mengizinkan.Tanpa Liara ketahui, Hagan mengirim dua pengawal. Mengikuti Liara dan menjaga perempuan itu dari jauh. Sialnya, pengawal yang Hagan suruh terlalu ceroboh. Mungkin, karena takut melakukan kesalahan dan mendapat hukuman, mereka
Tak sabar menunggu lebih lama, Hagan akhirnya mengetuk pintu toilet di hadapannya. Tidak hanya sekali, tetapi berulang kali, lumayan keras. Lebih mirip gedoran daripada ketukan sepertinya. "Liara? Kau baik-baik saja? Kenapa lama sekali?" Hanya berselang sekitar beberapa sekon, pintu itu terbuka. Liara menampakkan diri. Sudah mengganti piyama rumah sakit dengan kemeja, ada kerutan tak senang di dahi perempuan itu. "Kenapa kau berisik sekali?" Liara hanya berganti baju dan buang air kecil sebentar. Apa Hagan harus menggedor-gedor pintu seperti tadi? "Kau lama dan tidak menyahut saat aku panggil. Aku kira terjadi sesuatu yang--" "Apa?" Liara memotong. Perempuan itu berjalan menuju ranjang. Duduk di tepiannya dan bersedekap. "Apa? Kali ini apa isi asumsimu?" Ini bukan pertama kalinya Hagan bersikap berlebihan begini. Pria itu semakin menjadi setelah Liara sadar dari koma. Bahkan untuk jalan-jalan saja Ha
Hagan tidak jadi menyebut dunia ini kejam dan keji. Liara sudah bangun dari tidur panjang dan dokter berkata, hasil pemeriksaan perempuan itu baik saja.Pagi ini, usai sarapan dan mengganti pakaian si mantan istri, Hagan mengajak Liara jalan-jalan ke taman. Sesuai dugaannya, perempuan itu senang karena akhirnya bisa menghirup udara di alam terbuka.Mereka duduk di salah satu bangku. Memandangi tumbuhan hijau dan beberapa bunga di sana. Tidak banyak bicara, hanya sesekali saling bertukar pandang dan senyuman.Sebenarnya, Hagan betah-betah saja dalam suasana hening demikian, Ia juga jadi lebih fokus memandangi wajah Liara. Namun, perempuan itu sepertinya ingin membicarakan beberapa hal.Liara membuka konversasi dengan topik yang serius. Anjani. Belum apa-apa, Hagan sudah melihat tangan perempuan itu bergetar.Pertama, Liara menceritakan mengapa Hagan tak bisa menemukan salah satu dari orang yang menyekap dan memukuli Lia
Hagan kembali ke rumah sakit sekitar pukul dua siang. Pria itu meninggalkan Liara beberapa jam untuk mengemasi barang-barang perempuan itu dari rumah sewa. Ia membawa semuanya ke rumah lama mereka.Apa pun yang terjadi nanti. Entah Liara akan setuju atau tidak, Hagan ingin perempuan itu tinggal bersamanya. Lebih bagus, jika mereka menikah lagi.Tidak langsung ke kamar rawat Liara, Hagan menyempatkan diri untuk duduk di taman rumah sakit. Menghirup udara bebas beberapa saat, kebetulan cuaca tidak terlalu terik hari ini."Paman pemarah!"SUara cempreng itu membuat Hagan menoleh ke kiri. Ada Liara, yang kecil. Tengah berlari ke arahnya dengan balon di tangan.Hagan mengulas senyum, tetapi sebisa mungkin memasang ekspresi garang."Namaku Hagan. Bukan Paman pemarah," protesnya seraya membantu Liara itu naik ke bangku."Paman dokter berkata, aku bisa memanggilnya paman pemarah." gadis itu tersenyum.
Orlando menghela napas. Ini yang kesepuluh kali. Pria tua itu menatapi mantan menantunya yang masih belum terjaga itu dengan bahu merosot.Hari ini ia berkunjung lagi. Menjenguk Liara, berharap kedatangannya kali ini disambut oleh perempuan yang pernah menjadi istri dari anaknya."Dia pasti sadar. Tidak lama lagi." Ia berusaha memberi semangat pada sang anak yang duduk di sisi ranjang satunya.Hagan yang meletakkan kepala di samping lengan Liara mengaminkan, tanpa suara. Pria itu lelah, bahkan untuk sekadar menegakkan punggung untuk bertatap muka dengan sang ayah.Hagan bicara parau. "Liara mencintaiku, Pa. Dia mencintaiku, ternyata."Orlando mengulas senyum sebisanya. Bukan hanya keadaan Liara yang belum kunjung sadar dari koma, situasi Hagan juga tak kalah menyedihkan sekarang ini.Anaknya itu kusut dan kacau. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas. Bukan hanya karena sering tidak tidur, tetapi j
Hagan tak pernah tahu betapa terpuruknya Orlando kala Tere meninggal dulu. Ia juga mengira bahwa kehilangan sang ibu adalah hal paling buruk yang bisa dunia siapkan.Sekarang, lelaki itu penasaran bagaimana Orlando bisa tidak gila setelah ditinggal Tere. Dan ternyata, dunia kembali memberikannya hal tidak baik.Saat ini. Hagan tengah berusaha tetap hidup dan waras selagi dirinya menghadapi kemalangan yang seakan tak mau sudah.Lima hari lebih Hagan terus-terusan ada di ruangan rawat ini. Menatapi perempuan yang terbaring di ranjang itu. Dan apa? Tak ada perubahan yang terjadi.Liara masih mendiamkannya. Perempuan itu masih tidur dengan pulas, seolah memang tak ingin diganggu lagi.Ini tidak baik. Hagan nyaris hilang akal karena setiap hari bicara sendiri. Saat ia bertanya pada dokter, dokter hanya memintanya bersabar menunggu Liara membaik.Semua orang gila karena menyuruh Hagan tenang. Sudah bagus pria it
Liara meminta bertemu dengan Anjani. Untuk terakhir kali, sebelum mereka mengeksekusi rencana yang wanita itu buat. Mereka sudah membicarakannya dua hari lalu.Anjani memang seserius itu untuk melenyapkan Hagan. Tak main-main, wanita itu akan menggunakan arsenik. Wanita itu juga telah memberikan detil rencana pada si anak.Akan diatur pertemuan untuk Hagan dan Liara besok. Di salah satu resto, racun itu akan dicampur dengan makanan atau minuman Hagan. Mungkin mereka perlu menumbalkan salah seorang pelayan resto, tetapi itu tak masalah.Menyetujui ajakan bertemu, Liara diminta Anjani datang ke rumah pribadi wanita itu. Liara sampai di sana sekitar pukul dua siang. Liara sudah sengaja tidak masuk kerja demi menyiapkan perjumpaan terakhir mereka sebelum hari penting."Aku hanya ingin melihat Ibu sebelum besok. Besok hari besar untukku." Liara memeluk Anjani erat. Setelahnya, ia duduk dan mengeluarkan kotak bekal dari tas belanja. 
Hagan menatap nyalang pada semua pelayan yang berkumpul di ruang tamu. Pria itu marah."Kalian semua menganggap aku lelucon?"Dilempari sorot seolah akan dikuliti, semua pelayan itu menunduk. Hanya Biru yang sedikit berani menghampiri."Kau yang akan kubunuh pertama kali." Hagan menendang tulang kering pengawalnya itu.Bayangkan, ini masih pukul tujuh pagi dan Hagan sudah dibangunkan. Bukan untuk sesuatu yang penting seperti ada gempa, ada tsunami atau ada atraksi dinosuarus. Hagan dibangunkan hanya untuk membukakan pintu.Meringis, Biru berusaha berdiri tegak. "Ada tamu, Tuan. Tamu itu meminta Anda yang membukakan pintu."Kerutan di dahi lebar Hagan makin banyak. Matanya semakin merah. Rahang licinnya terlihat mengeras."Siapa?" Tangan pria itu mencengkeram leher Biru. Mencekik si pengawal beberapa saat. "Siapa, Biru? Siapa yang datang, hingga kau bersedia diminta membangunkanku hanya untuk m