"Sebenarnya aku ini sepupunya Hagan."
Sore itu, Max berhasil memanfaatkan kesempatan--Hagan pulang untuk berganti pakaian.
Selama Liara dirawat, tiga hari penuh Hagan tak meninggalkan perempuan itu barang sedetik. Membuat Max kelimpungan untuk mencari celah demi bisa melampiaskan rasa penasaran.
"Sepupu?" Di atas ranjangnya, Liara mengernyitkan dahi. "Kata Hagan kalian kenalan." Ia juga ingat perjumpaan pertama dengan Max kemarin. Pria itu juga menyebut diri sebagai kenalan.
Pria berambut abu-abu itu mengangguk. "Jadi, biarkan aku bertanya beberapa hal padamu."
Max memulai. Pertama ia ingin memvalidasi bahwa benar Liara adalah istri Hagan. Si perempuan mengamini, Max terperangah.
"Kenapa bisa?" tanya pria itu dengan suara tidak santai.
Mana bisa Max bersikap tenang. Selama yang ia kenal, Hagan bukanlah pria seperti pada umumnya. Maksudnya, lelaki itu normal, suka wanita, hanya saja pernikahan? Rasanya sulit dipercaya jika saja Max tidak mendengar langsung dari mulut Liara.
Liara menggeleng dan mengangkat bahu untuk pertanyaan barusan. Ia juga tidak mengerti mengapa Hagan bersedia menikahinya.
"Kalian tinggal di mana?" Max mendekatkan kursi.
"Di rumah Hagan." Liara menyebutkan alamat. Perempuan itu heran saat mendapati mulut Max menganga lebar.
"Gila." Max menyandarkan punggung. "Hagan sudah gila atau bagaimana?"
Mengabaikan respon Max, Liara bertanya, "Kenapa Hagan menyebutmu kenalan dan bukannya sepupu? Kalau aku boleh tahu."
Cerita itu mengalun dari mulut Max. Bagaimana sejak ibunya meninggal, Hagan mengubah sikap menjadi antipati pada semua orang, termasuk keluarga. Pria itu menjauh. Mengabaikan semua aturan dan perintah Orlando,
"Dia membuat dunianya sendiri. Kami dianggap bukan siapa-siapa." Max mengangguk pelan. "Tapi, tetap saja itu bukan alasan mengapa ia menyembunyikan pernikahan kalian, 'kan? Bagaimana pun, dia sulung dari seorang Orlando Arsenio."
"Siapa Orlando Arsenio." Nama belakang sama, Liara menerka itu adalah salah satu kerabat Hagan.
"Ayahnya Hagan. Pemilik usaha retail terbesar di negeri ini."
Kali ini Liara yang tercengang. "Dia memang orang kaya sejak lahir," komentarnya.
Kepala Max mengangguk. "Namun, kekayaannya sekarang murni hasil kerja Hagan sendiri. Dia sudah lama tidak menggunakan uang ayahnya."
Sempurna sekali sosok Hagan Arsenio itu, puji Liara. Mandiri.
"Hagan mencintaimu?" Pertanyaan pamungkas tersuarakan, Max menatap perempuan di depannya tak sabar.
Tawa Liara terdengar. "Tentu saja tidak. Sebenarnya, kami punya semacam perjanjian. Yang jelas, bukan cinta alasan mengapa kami menikah."
Satu alis Max meninggi. Ia ragu akan jawaban barusan. Tiga hari Liara dirawat, Max tidak buta hingga melewatkan sorot khawatir dari cara Hagan memandang si perempuan.
Apalagi saat pria datang membawa Liara yang pingsan. Hagan bahkan harus dipegangi Pak Rayi dan dua orang keamanan agar tidak ikut masuk ke ruang perawatan. Belum pernah Max melihat sepupunya sepanik itu sejak Tere meninggal.
"Kau tidak mencintainya." Itu mungkin, kata Max dalam hati. "Tapi Hagan?" Apa lagi yang bisa dijadikan alasan seorang pria rela menjaga seorang perempuan 24 jam jika bukan menyangkut perasaan?
"Ngomong-ngomong, di mana Hagan? Dia tidak datang hari ini?"
Max memandangi perempuan itu lekat. Lima puluh satu persen ia yakin Hagan menganggap Liara istimewa. "Dia pulang beberapa saat lalu. Berganti pakaian."
Liara mengangguk saja. "Aku sudah boleh pulang, 'kan? Sudah tidak pusing atau mual."
"Kau masih belum sepenuhnya pulih. Sehari lagi, mungkin."
"Aku ingin pulang. Tetap di sini hanya akan membuang uang Hagan."
"Aku tidak keberatan." Hagan yang beberapa saat lalu sudah berada di depan pintu melangkah masuk. Lelaki dengan jaket kain berwarna hitam itu menatap tajam pada Liara. "Dokter bilang satu hari lagi, maka kau harus di sini satu hari lagi."
"Aku ingin pulang. Sore ini? Aku pulang sore ini. Oke."
Max tersenyum melihat sikap Liara. Berani sekali perempuan itu memberi perintah. Tak kalah lucu, alih-alih menunjukkan dominasi, sepupunya malah terlihat mengernyitkan dahi.
"Liara."
"Oh, ya, ampun." Max menutup mulut dengan tangan. Ia menatap geli pada Hagan yang barusan bersuara. Manis sekali. Bukankah seharusnya pria itu membentak. Lazimnya yang ia lakukan saat seseorang membantah perintahnya.
Melirik bengis pada si sepupu, Hagan kembali fokus pada si istri. Ia meraih tangan Liara. "Satu hari lagi. Aku tidak ingin ambil risiko jika terjadi sesuatu yang buruk padamu."
Si perempuan berdecak, bersungut sembari merebahkan kepala ke tempat tidur. "Berlebihan. Kau mulai lagi, Hagan. Aku ingin pulang. Sore ini juga. Kalau kau tidak mau memberi tumpangan di mobilmu, aku naik ambulans saja."
Hagan menoleh pada Max. Tatapannya tajam. "Lakukan tugasmu sebagai dokter. Jelaskan padanya agar mau tinggal sehari lagi."
Liara langsung duduk tegak. "Percuma. Aku tidak akan mengubah keputusan. Aku ingin pulang, Hagan. Tolong."
Tertunduk, si pria menghela napas. "Baiklah." Ia berujar setengah mendesis karena menahan amarah. "Kau pulang sore ini juga. Dengan syarat. Jika merasakan sesuatu yang tidak baik, segera beritahu aku."
"Hm. Terserahmu." Liara mengangguk asal, kemudian melengkungkan bibir.
Selagi Liara berganti pakaian di dalam sana, Max mengambil kesempatan lagi untuk menuntaskan rasa ingin tahu.
"Apa tujuanmu menikahi dia?"
Hagan tidak langsung bersuara, hanya menoleh sesaat pada Max, lalu memandangi pintu ruang rawat di depan mereka.
"Kau sengaja ingin membuatnya dimangsa Redrick, setelahnya baru kau akan menikahi perempuan yang benar-benar kau cintai. Kalau ada." Max mengutarakan asumsinya.
Dua tangan Hagan terkepal. "Kalau sampai ada orang lain yang tahu soal Liara dan itu darimu, aku benar-benar akan menghabisimu.'
Tawa Max menyembur. "Mereka sudah tahu, Hagan. Redrick mengirimiku pesan tadi. Salah satu mata-matanya berhasil mengikutimu ke sini."
"Sialan," Hagan memaki dengan gigi rapat. Ia yakin hal seperti ini akan terjadi, tetapi tidak menyangka akan secepat ini.
Pria itu lantas berdiri, membuka pintu ruangan demi memeriksa keberadaan Liara di dalam. Pada perempuan yang sedang mengenakan kaus, ia tersenyum.
"Aku hanya ingin memastikan kau tidak pingsan." Usai berkata demikian, Hagan kembali menutup pintu, duduk lagi di sebelah Max.
Max tersenyum takjub. "Liara," katanya penuh arti. "Jadi, aku salah tebak? Kau sungguh mencintainya?"
Wajah Hagan tampak kaku. Dua tangannya saling meremas. Jawaban untuk tanya barusan tidak bisa ia temukan. Yang jelas, ia yakin akan sangat marah bila Redrick berusaha menyakiti Liara.
"Jangan katakan apa-apa, pada siapa pun." Hagan akhirnya bersuara. Tak lama, wajah tegangnya dihiasi senyum. Liara sudah muncul di hadapan.
"Ayo pulang. Aku bosan di sini." Mengamit lengan lelaki itu, Liara mulai berjalan cepat.
Hagan memegangi lengan Liara untuk menariknya agar berhenti berjalan. "Tas pakaianmu."
Liara menepuk dahi. Berbalik untuk mengambil tas hitamnya dari perawat tadi.
Hagan mengambil tas itu dari Liara. Menggenggam pergelangan perempuan itu erat.
"Liara." Max menghampiri Liara, berdiri di depan perempuan itu seraya merogoh saku. Satu pisau lipat ia keluarkan dari sana untuk diberikan pada Liara.
"Apa ini?"
"Pisau."
Mengamati benda kecil itu, Liara tak paham. "Kenapa kau memberikan ini padaku?"
"Karena kau harus melindungi Hagan mulai sekarang." Ia tertawa setenang mungkin.
"Melindungi dari siapa? Kenapa?"
"Melindungi dia dari orang jahat. Karena kurasa, dia sudah punya kelemahan sekarang." Tersenyum penuh arti, Max menatapi Liara baik-baik. Sekarang presentasi itu bukan 51, tetapi sudah 55%.
Kesal, Hagan menarik rambut abu-abu sepupunya. "Orang jahat kepalamu. Kau harus mengobati diri sendiri mulai sekarang. Bicaramu asal."
Max merintih, berusaha melepaskan jerat jari Hagan dari helai rambut. "Usiamu sudah 34 tahun, Hagan! Masih suka menarik rambutku! Lepas, sialan! Aku ini dokter sekarang!"
"Dari mana kau tahu Max sepupuku?" Pertanyaan itu terlontar saat Hagan sedang menyiapkan makan makan untuk Liara di meja."Dia yang memberitahu. Kenapa kau menyebut sepupumu kenalan? kau memang tidak ingin mengenalkan kerabatmu padaku?" Liara menatap senang pada hidangan di depan mata. Sesuai permintaannya, hari ini menu santapan sederhana, sup ikan dan telur dadar.Hagan meletakkan sendok. Ini sedikit rumit.""Tidak masalah jika tak ingin cerita," kata Liara sebelum mengunyah."Hubunganku dengan mereka, keluargaku, tidak begitu baik." Hagan memulai. Entah kenapa ia merasa bukan masalah untuk bercerita sedikit pada Liara.Si perempuan mengangguk. Menanti cerita selanjutnya."Satu-satunya yang dekat denganku adalah Max. Karena itu aku lebih suka menyebutnya kenalan."Ada kerutan samar di dahi Liara. Tidak paham."Terkadang, orang yang kita pikir bisa dipercaya, kerabat sendiri, ada
"Aku nyaris mati hanya karena kau salah paham? Bajingan, kau Hagan." Memegangi pipinya yang bengkak, di sofa ruang tamu, Max menatap si sepupu frustrasi.Tebakan Hagan salah. Max tidak bersekutu dengan Redrick. Setidaknya bukan sekarang. Pria itu bisa muncul bersamaan dengan Liara, karena mereka tak sengaja bertemu di jalan."Kau yakin tidak perlu dokter, Max?" Liara yang duduk di samping Hagan bertanya cemas."Aku dokter, Sayang." Ucapan barusan dihadiahi lemparan gunting oleh Hagan. Max kembali sibuk merawat lukanya sendiri dengan bantuan cermin."Salah siapa aku tidak bisa menghubungimu?" Hagan protes kala sikapnya barusan dilempari pelototan oleh Liara."Aku sudah bilang, baterai ponselku habis." Inilah sebab utama petaka malam ini.Liara pergi menemui adiknya. Karena itu tak ingin diantar supir, takut Tatiana curiga. Ia tidak bisa memberitahu Hagan akan pulang t
"Oh, sialan." Max mengumpat ketika sampai di ruang TV dan menemukan Hagan sedang bermesraan dengan Liara."Kalian merusak pagiku!" Pria dengan piyama biru itu sengaja mendorong tubuh Hagan dari atas Liara. Dirinya sendiri mengambil tempat di sofa ukuran satu orang."Ini rumahku, terserahku. Kalau tidak suka, aku tidak keberatan kau pergi." Hagan memilih ikut berbaring bersama Liara. Ia memeluk sang istri."Kau tidak sarapan?" Wajahnya dipaksa menempel di dada Hagan, Liara bersuara."Sebenarnya aku lebih ingin memakanmu. Tapi, karena kau sedang datang bulan. Biarkan aku memelukmu saja. Sarapan, sebentar lagi." Tangan pria itu menggosok lembut punggung istrinya."Maniak," ejek Max."Daripada menyimpang seperti seseorang?" balas Hagan tak mau kalah.Sejenak ruangan itu diisi oleh aksi saling mengejek dari Hagan dan Max. Liara hanya memilih menjadi pendengar dan sesekali tertawa geli.
Berantakan. Kacau. Agaknya dua kata itu masih kurang pantas diberikan atas pemadangan di ruang tamu kediaman Hagan malam ini.Sofa terbalik. Meja juga bergeser jauh dari tempat seharusnya. Di lantai, tiga orang pria bertubuh tegap berlutut menunggu nasib.Hagan murka. Liara, istrinya masih belum ada di rumah, padahal sekarang sudah hampir tengah malam. Bukan pergi menemui sang adik, melainkan diculik.Tadinya, Liara ada di rumah sakit. Entah bagaimana ceritanya, perempuan itu mengalami kecelakaan, terserempet mobil. Para bodyguard membawa Liara ke rumah sakit. Saat Hagan berhasil sampai di sana, sang istri sudah tak ada.Hilang tanpa jejak. Penjaga Liara yang Hagan tugaskan berada di samping si perempuan setiap detik kecolongan, tak tahu kapan orang yang harusnya mereka jaga keluar dari kamar rawat.Tak lama, setelah menyusuri setiap sudut di rumah sakit dan masih tidak menemukan yang dicari, Hagan mendapat telep
Hagan sudah bersiap di belakang kemudi. Pedal gs ia injak kuat-kuat. Membuat tiga pria di depannya semakin terlihat gemetar. Tidak ada jalan lain. Bila Hagan tak melampiaskan amarah ini dengan membunuh tiga pengawal Liara yang tidak becus, maka dirinyalah yang akan mati. Mengarahkan lampu ke tiga calon korban yang akan dilenyapkan, Hagan menarik tuas gigi. Sudah akan menginjak gas, suara kalyson sebuah taksi yang memasuki area halaman rumah mencuri atensi. Taksi itu akan ikut Hagan tabrak jika saja Liara tak keluar dari sana. Hagan mendorong pintu mobilnya kasar, lalu berlari menuju si perempuan yang berjalan tertatih. "Kau mau melenyapkan orang lagi?" Perempuan itu langsung ditarik Hagan untuk dipeluk. Ia lumayan tersentak karena eratnya laki-laki itu memeluk. "Ini benar kau? Kau sungguh pulang dalam keadaan utuh?" Memastikan yang di depannya benar Liara, Hagan menyentuh wajah, tangan dan kaki perempuan itu. Liara di depan matanya tidak hilang, ia kembali memberi dekapan. "Kau m
Langkah Hagan lebar dan terlihat tergesa melewati pintu kediaman Orlando. Pria itu tak peduli pada beberapa orang yang menunduk sekaligus menyapa. Lelaki itu buru-buru, perlu sesegera mungkin menuntaskan amarah.Orang yang dicarinya terlihat. Sedang duduk santai dengan segelas minuman merah di tangan. Tidak lagi berjalan, Hagan berlari menghampiri.Bukan rindu, Hagan menerjang cepat ke arah Redrick, semata-mata karena tinjunya sudah tidak sabar. "Sialan." Dingin dan tajam sapaan itu mengalun dari ulut Hagan. Bersamaan dengan tinju luma jari yang mendarat di pipi si adik tiri. Hagan berdiri tegak, sementara lawan sudah tersungkur ke atas sofa."Huft! Kau mengujiku rupanya." Hagan menggerakkan leher ke kanan dan kiri. Bersiap untuk aksi selanjutnya.Malam ini, Hagan sudah begitu baik meluangkan waktu untuk memberikan sedikit kejutan pada Redrick. Sayang sekali jika hanya satu pukulan, 'kan?
Turun dari mobilnya, Hagan dan Liara langsung disambut manager hotel. Karena sudah tahu maksud kedatangan Hagan, mereka segera diarahkan menuju lift.Dalam lift tersebut, Hagan tak henti mencuri lirik pada Liara yang hari ini menggunakan setelan santai. Jeans biru dengan atasan tank top hitam dilapisi kemeja flanel.Si pria memang heran mengapa dengan pakaian sederhana begitu, istrinya masing saja tampak cantik dan mengundang. Namun, bukan itu hanya itu penyebab mengapa sejak tadi ia menatapi Liara saksama.Sebelum mereka ke sini, karena Liara bilang ingin melihat pemandangan dari atas gedung tinggi, Hagan menyaksikan sesuatu yang berhasil membuatnya tidak senang.Saat tidur siang tadi, Liara bermimpi. Hagan yang memang sedang mendapat jahat libur melihat istrinya menangis dalam tidur.Tidak terisak, tetapi terasa amat pilu kala Hagan melihat sendiri bulir bening itu jatuh dari ujung mata Liara. Membuat si pria bertany
Baru saja menutup pintu mobil, Hagan menoleh pada istrinya yang memegangi lengan. Sedikit kuat cengkeraman tangan Liara itu."Aku perlu ke toilet." Liara menggigit bibir. Satu tangannya memegangi perut yang terasa mulas.Hagan turun lagi, membatalkan niatnya untuk segera pulang. "Apa makananmu tadi pedas sekali?""Sepertinya." Liara melompat dari mobil. Sudah akan berlari masuk ke dalam resto yang beberapa saat lalu ia datangi bersama Hagan, perempuan itu menoleh pada sang suami. "Aku hanya sebentar. Jangan suruh mereka mengikuti." Tunjuknya pada para pengawal yang sudah turun dari mobil satunya.Perutnya semakin melilit, perempuan itu berlari menuju toilet resto.Menghela napas saja, Hagan memutuskan tak memberi perintah apa-apa pada tiga pengawal Liara yang sudah siap sedia di samping mobil.Menunggu selama lima menit di depan resto, Hagan mulai cemas. Berulang kali ia menengok ke arah resto, tetap
Liara tidak sengaja terjaga saat melihat Hagan akhirnya masuk ke ruangan mereka. Entah siapa yang memberikan ide agar ia dan si lelaki disatukan seperti ini. Benar kata Max, seolah mereka punya ikatan batin yang kuat, hingga sakit saja harus bersamaan. Hagan berjalan tertatih, membuat Liara mau tak mau menatap pria itu agak lama. Di saat itu ia melihat luka memar di sekitar wajah suaminya. Tadi, Hagan diajak keluar oleh Red, 'kan? Apa dua saudara beda ibu itu bertengkar? Karena apa? Penasaran, tapi Liara ingat dirinya sedang marah. Berusaha tidak peduli, Liara spontan turun dari ranjang rawatnya demi mencegah Hagan yang terhuyung jatuh ke lantai. Menopang tubuh pria itu, Liara bisa merasakan suhu di sana sedikit lebih tinggi dari harusnya. Mereka berpandangan. Entah apa arti sorot mata pria di sampingnya, Liara mengabaikan itu dan mulai memapah. membantu Hagan hingga naik ke atas ranjang. Berdiri di sana, Liara be
Susana rumah sore itu terasa mencekam bagi Hagan. Berjalan dengan langkah pelan dan hati-hati, laki-laki itu berharap semoga dirinya bisa lolos dari ini.Ruang tamu aman. Hanya ada Nia yang menyambutnya di sana."Tuan, di ruang TV." Nia memberitahu dengan suara pelan.Hagan menarik napas, membuangnya perlahan. Ia mengangguk lalu menuju ruangan yang Nia sebutkan tadi. Jantungnya mulai bertalu-talu. Perasaan cemas menyergap seketika. Tidak habis melakukan kejahatan, tetapi ia seolah akan menerima hukuman mati.Semua ini bermula tadi pagi. Liara yang resmi ia persunting dua minggu lalu meminta izin untuk jalan-jalan sendirian. Kebetulan, perempuan itu sudah mahir mengendarai motor. Hagan mengizinkan.Tanpa Liara ketahui, Hagan mengirim dua pengawal. Mengikuti Liara dan menjaga perempuan itu dari jauh. Sialnya, pengawal yang Hagan suruh terlalu ceroboh. Mungkin, karena takut melakukan kesalahan dan mendapat hukuman, mereka
Tak sabar menunggu lebih lama, Hagan akhirnya mengetuk pintu toilet di hadapannya. Tidak hanya sekali, tetapi berulang kali, lumayan keras. Lebih mirip gedoran daripada ketukan sepertinya. "Liara? Kau baik-baik saja? Kenapa lama sekali?" Hanya berselang sekitar beberapa sekon, pintu itu terbuka. Liara menampakkan diri. Sudah mengganti piyama rumah sakit dengan kemeja, ada kerutan tak senang di dahi perempuan itu. "Kenapa kau berisik sekali?" Liara hanya berganti baju dan buang air kecil sebentar. Apa Hagan harus menggedor-gedor pintu seperti tadi? "Kau lama dan tidak menyahut saat aku panggil. Aku kira terjadi sesuatu yang--" "Apa?" Liara memotong. Perempuan itu berjalan menuju ranjang. Duduk di tepiannya dan bersedekap. "Apa? Kali ini apa isi asumsimu?" Ini bukan pertama kalinya Hagan bersikap berlebihan begini. Pria itu semakin menjadi setelah Liara sadar dari koma. Bahkan untuk jalan-jalan saja Ha
Hagan tidak jadi menyebut dunia ini kejam dan keji. Liara sudah bangun dari tidur panjang dan dokter berkata, hasil pemeriksaan perempuan itu baik saja.Pagi ini, usai sarapan dan mengganti pakaian si mantan istri, Hagan mengajak Liara jalan-jalan ke taman. Sesuai dugaannya, perempuan itu senang karena akhirnya bisa menghirup udara di alam terbuka.Mereka duduk di salah satu bangku. Memandangi tumbuhan hijau dan beberapa bunga di sana. Tidak banyak bicara, hanya sesekali saling bertukar pandang dan senyuman.Sebenarnya, Hagan betah-betah saja dalam suasana hening demikian, Ia juga jadi lebih fokus memandangi wajah Liara. Namun, perempuan itu sepertinya ingin membicarakan beberapa hal.Liara membuka konversasi dengan topik yang serius. Anjani. Belum apa-apa, Hagan sudah melihat tangan perempuan itu bergetar.Pertama, Liara menceritakan mengapa Hagan tak bisa menemukan salah satu dari orang yang menyekap dan memukuli Lia
Hagan kembali ke rumah sakit sekitar pukul dua siang. Pria itu meninggalkan Liara beberapa jam untuk mengemasi barang-barang perempuan itu dari rumah sewa. Ia membawa semuanya ke rumah lama mereka.Apa pun yang terjadi nanti. Entah Liara akan setuju atau tidak, Hagan ingin perempuan itu tinggal bersamanya. Lebih bagus, jika mereka menikah lagi.Tidak langsung ke kamar rawat Liara, Hagan menyempatkan diri untuk duduk di taman rumah sakit. Menghirup udara bebas beberapa saat, kebetulan cuaca tidak terlalu terik hari ini."Paman pemarah!"SUara cempreng itu membuat Hagan menoleh ke kiri. Ada Liara, yang kecil. Tengah berlari ke arahnya dengan balon di tangan.Hagan mengulas senyum, tetapi sebisa mungkin memasang ekspresi garang."Namaku Hagan. Bukan Paman pemarah," protesnya seraya membantu Liara itu naik ke bangku."Paman dokter berkata, aku bisa memanggilnya paman pemarah." gadis itu tersenyum.
Orlando menghela napas. Ini yang kesepuluh kali. Pria tua itu menatapi mantan menantunya yang masih belum terjaga itu dengan bahu merosot.Hari ini ia berkunjung lagi. Menjenguk Liara, berharap kedatangannya kali ini disambut oleh perempuan yang pernah menjadi istri dari anaknya."Dia pasti sadar. Tidak lama lagi." Ia berusaha memberi semangat pada sang anak yang duduk di sisi ranjang satunya.Hagan yang meletakkan kepala di samping lengan Liara mengaminkan, tanpa suara. Pria itu lelah, bahkan untuk sekadar menegakkan punggung untuk bertatap muka dengan sang ayah.Hagan bicara parau. "Liara mencintaiku, Pa. Dia mencintaiku, ternyata."Orlando mengulas senyum sebisanya. Bukan hanya keadaan Liara yang belum kunjung sadar dari koma, situasi Hagan juga tak kalah menyedihkan sekarang ini.Anaknya itu kusut dan kacau. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas. Bukan hanya karena sering tidak tidur, tetapi j
Hagan tak pernah tahu betapa terpuruknya Orlando kala Tere meninggal dulu. Ia juga mengira bahwa kehilangan sang ibu adalah hal paling buruk yang bisa dunia siapkan.Sekarang, lelaki itu penasaran bagaimana Orlando bisa tidak gila setelah ditinggal Tere. Dan ternyata, dunia kembali memberikannya hal tidak baik.Saat ini. Hagan tengah berusaha tetap hidup dan waras selagi dirinya menghadapi kemalangan yang seakan tak mau sudah.Lima hari lebih Hagan terus-terusan ada di ruangan rawat ini. Menatapi perempuan yang terbaring di ranjang itu. Dan apa? Tak ada perubahan yang terjadi.Liara masih mendiamkannya. Perempuan itu masih tidur dengan pulas, seolah memang tak ingin diganggu lagi.Ini tidak baik. Hagan nyaris hilang akal karena setiap hari bicara sendiri. Saat ia bertanya pada dokter, dokter hanya memintanya bersabar menunggu Liara membaik.Semua orang gila karena menyuruh Hagan tenang. Sudah bagus pria it
Liara meminta bertemu dengan Anjani. Untuk terakhir kali, sebelum mereka mengeksekusi rencana yang wanita itu buat. Mereka sudah membicarakannya dua hari lalu.Anjani memang seserius itu untuk melenyapkan Hagan. Tak main-main, wanita itu akan menggunakan arsenik. Wanita itu juga telah memberikan detil rencana pada si anak.Akan diatur pertemuan untuk Hagan dan Liara besok. Di salah satu resto, racun itu akan dicampur dengan makanan atau minuman Hagan. Mungkin mereka perlu menumbalkan salah seorang pelayan resto, tetapi itu tak masalah.Menyetujui ajakan bertemu, Liara diminta Anjani datang ke rumah pribadi wanita itu. Liara sampai di sana sekitar pukul dua siang. Liara sudah sengaja tidak masuk kerja demi menyiapkan perjumpaan terakhir mereka sebelum hari penting."Aku hanya ingin melihat Ibu sebelum besok. Besok hari besar untukku." Liara memeluk Anjani erat. Setelahnya, ia duduk dan mengeluarkan kotak bekal dari tas belanja. 
Hagan menatap nyalang pada semua pelayan yang berkumpul di ruang tamu. Pria itu marah."Kalian semua menganggap aku lelucon?"Dilempari sorot seolah akan dikuliti, semua pelayan itu menunduk. Hanya Biru yang sedikit berani menghampiri."Kau yang akan kubunuh pertama kali." Hagan menendang tulang kering pengawalnya itu.Bayangkan, ini masih pukul tujuh pagi dan Hagan sudah dibangunkan. Bukan untuk sesuatu yang penting seperti ada gempa, ada tsunami atau ada atraksi dinosuarus. Hagan dibangunkan hanya untuk membukakan pintu.Meringis, Biru berusaha berdiri tegak. "Ada tamu, Tuan. Tamu itu meminta Anda yang membukakan pintu."Kerutan di dahi lebar Hagan makin banyak. Matanya semakin merah. Rahang licinnya terlihat mengeras."Siapa?" Tangan pria itu mencengkeram leher Biru. Mencekik si pengawal beberapa saat. "Siapa, Biru? Siapa yang datang, hingga kau bersedia diminta membangunkanku hanya untuk m