"Dari mana kau tahu Max sepupuku?" Pertanyaan itu terlontar saat Hagan sedang menyiapkan makan makan untuk Liara di meja.
"Dia yang memberitahu. Kenapa kau menyebut sepupumu kenalan? kau memang tidak ingin mengenalkan kerabatmu padaku?" Liara menatap senang pada hidangan di depan mata. Sesuai permintaannya, hari ini menu santapan sederhana, sup ikan dan telur dadar.
Hagan meletakkan sendok. Ini sedikit rumit."
"Tidak masalah jika tak ingin cerita," kata Liara sebelum mengunyah.
"Hubunganku dengan mereka, keluargaku, tidak begitu baik." Hagan memulai. Entah kenapa ia merasa bukan masalah untuk bercerita sedikit pada Liara.
Si perempuan mengangguk. Menanti cerita selanjutnya.
"Satu-satunya yang dekat denganku adalah Max. Karena itu aku lebih suka menyebutnya kenalan."
Ada kerutan samar di dahi Liara. Tidak paham.
"Terkadang, orang yang kita pikir bisa dipercaya, kerabat sendiri, adalah orang yang memiliki kemungkinan paling besar untuk mengkhianati. Karena itu, menyebut Max kenalan, aku berharap dia tidak akan menusukku dari belakang."
Ada jeda beberapa saat untuk Liara bisa mencerna kalimat itu. Ia bahkan sampai harus berhenti makan sejenak. Setelah paham, ia menepuk bahu Hagan pelan.
"Kau benar. Hidupmu rumit. Maaf, aku tidak tertarik untuk tahu lebih jauh."
Tanggapan yang berhasil membuat Hagan mengulas senyum. Lebih baik seperti itu. Lebih baik untuk Liara.
Usai makan, hagan mengikuti Liara yang katanya ingin duduk sebentar di ruang TV. Memandangi perempuan itu beberapa saat, Hagan mendekat dan membawa Liara dalam pelukan.
"Kau sudah benar-benar sehat?"
Pertanyaan yang bisa Liara mengerti. Perempuan itu berpindah duduk jadi di atas pangkuan Hagan. Kembali sibuk dengan tontonan.
"Jawab aku. Jangan menggoda, jika kau masih merasa kurang sehat." Hagan menghidu aroma di tengkuk Liara. Dengan cepat hasratnya terkumpul di level mendesak.
Liara memutar tubuh. Menetap mata dan bibir Hagan bergantian. Tingkahnya itu disambut Hagan dengan sebuah ciuman menggebu.
Panas. Menggebu. Hagan ingin memberitahu betapa ia rindu pada Liara.
"Jangan di sini." Liara yang bisa menebak akan sejauh apa kegiatan ini berhasil menginterupsi Hagan yang terus mendesakkan diri padanya. Perempuan itu hendak turun dari pangkuan Hagan, tetapi kaki lebih dahulu ditangkap. "Kau kuat menggendongku?"
Hagan menuntun agar dua tungkai Liara menggantung di pinggang. Pria itu berdiri, kemudian berjalan menuju kamar mereka. "Aku bisa melakukan apa pun untukmu, Liara. Kau hanya perlu mengatakannya."
***Hagan sedang tidak rumah. Pria itu bilang akan mengurus sesuatu. Liara berpikir cepat, satu keputusan ia mabil.
Perempuan itu akan pergi. Izin pada Hagan bisa dilakukan sambil jalan.
Bersiap beberapa menit, Liara butuh waktu banyak untuk bisa memberi pengertian pada supir yang Hagan siapkan untuk mengantar. Perempuan itu tak perlu diantar.
"Dengar. Aku jamin Hagan tidak akan marah padamu. Aku hanya sebentar dan tidak butuh kau antar. Mengerti? Jangan mendebatku lagi."
Berlari, Liara meninggalkan kediaman Hagan. Perlu berjalan selama 20 menit untuk bisa mendapat taksi. Di taksi itu, Liara mulai memikirkan alasan yang tepat untuk nanti disuarakan pada orang yang akan ditemui.
Berita bahwa Liara meninggalkan rumah Hagan terima setengah jam setelahnya. Liara sendiri yang menghubunginya.
Marah? Tentu. Hagan uring-uringan membayangkan Liara seorang diri di luar sana. Parahnya, istrinya itu tak memberitahu pergi ke mana.
"Kalian semua memang tidak becus!" murka pria itu pada supir dan beberapa penjaga rumah.
Tak bisa melakukan apa-apa, ia berusaha menenangkan diri. "Jika terjadi sesuatu pada Liara, kalian semua bersiaplah pergi ke akhirat." Rahangnya mengeras mengatakan itu.
***Matahari sudah sepenuhnya tenggelam kala Hagan terbangun dari tidurnya. Dalam posisi duduk di sofa, ia menilik jam di dinding.
"Liara sudah pulang?"
Tiga pria di depannya yang sejak tadi berdiri semakin menunduk. Si supir bahkan sudah gemetar.
Bangkit berdiri, seketika wajah Hagan diliputi kecemasan. Ia menghubungi nomor Liara.
"Nomor yang Anda tuju--"
Benda pipih itu Hagan lempar ke dinding, berubah bentuk menjadi kepingan di lantai.
"Sialan! Apa yang harus kulakukan sekarang? Apa yang harus kulakukan?!"
Api amarah menyala-nyala di mata Hagan. Ponsel Liara tidak aktif. Sudah selarut ini, perempuan itu belum pulang. Sudah pasti Redrick sedang beraksi.
Hagan sungguh menyesal sudah membiarkan Liara pergi seorang diri. Harusnya ia berusaha mencegah, meminta perempuan itu pulang. Atau, ia sendiri yang menyusul.
"Berengsek!" Hagan membalik meja kaca di depannya. Napasnya terburu-buru. "Kalian bertiga, keluar sekarang juga!"
Tak ada yang bisa dilakukan karena Hagan yakin Liara sudah ada di tangan Redrick, maka pria itu memilih mengurusi tiga orang bodoh yang berada di depan mata.
Sebentar lagi, orangnya Redrick pasti menghubungi dan menawarkan kesepakatan atas keselamatan Liara. Hagan sudah menebak semua ini. Otak Redrcik memang hanya selicik dan sejahat itu.
Di depan rumahnya, Hagan berdiri dengan sebilah pisau dapur di tangan. Di depan pria itu, menghadap pada tanaman hias hijau, tiga calon mangsanya berdiri gemetar.
"Aku benar-benar akan mengirim kalian ke akhirat."
Tak bisa Hagan bayangkan apa yang saat ini tengah Liara alami. Apa Redrick tengah memukuli perempuan itu? Atau ....
Ia memejam. Seluruh tubuh terasa kaku membayangkan nasib Liara. Tak sabar ia menanti seseorang berlari menghampirinya dan memberitahu bahwa Redrick menghubungi.
Pisau di tangan Hagan pegang dengan ibu jari dan telunjuk. Ia sudah mengambil ancang-ancang untuk melempar benda tajam itu ke arah tengkorak kepala salah satu pria di depan, saat dilihatnya sebuah mobil memasuki halaman rumah.
Hagan mengenali mobil itu hingga tangannya kembali di sisi tubuh. Milik Max. Sedetik kemudian, pria itu menyeringai. Apa Max akhirnya memutuskan bekerja sama dengan Redrick? Si dokter datang untuk menjadi perantara?
"Kau mau membunuh mereka?" Max mengelak lemparan pisau yang nyaris mengenai wajahnya. "Sialan."
"Di mana Liara? Aku tidak akan mengampunimu, sungguh!" Napas cepat-cepat Hagan terhenti sejenak saat matanya mendapati sosok itu. Liara.
Perempuan itu utuh. Tidak terluka. Tengah berjalan ke arahnya dengan dahi berlipat. Hagan bisa merasakan matanya panas. Pandangannya kabur oleh jejak genangan di sana. Dadanya yang semula terasa sakit dan sesak mulai membaik.
Liara di sini. Di hadapannya. Dan perempuan itu baik-baik saja.
Tiga pria di depan Hagan jatuh terduduk ke tanah. Memegangi dada masing-masing, mulut mereka bergerak-gerak mengucapkan rasa terima kasih.
"Ada apa?" Liara yang baru saja bertanya ditarik Hagan ke dalam pelukan. "Kau kenapa?" Bisa perempuan itu rasakan detak jantung suaminya tidak normal.
"Kau baik-baik saja? Kau terluka? Mereka melukaimu? Aku berjanji akan menghabisi mereka." Hagan mendekap tubuh Liara sekuat yang dibisa. Bertubi-tubi ia mencium puncak kepala Liara.
"Siapa yang melukaiku? Siapa yang mau kau habisi?"
Mengabaikan pertanyaan itu, Hagan berjalan cepat menuju Max. Satu tarikan, ia mencengkeram kerah kemeja si sepupu. "Akhirnya, kau memutuskan jadi pengkhianat?" Satu tinju mendarat di wajah muluas Max.
"Hei! Apa maksudmu? Kenapa kau ingin membunuhku?" Max yang tersungkur berusaha menghindar dari Hagan yang tampak menyeramkan. Mata pria itu merah, penuh amarah.
Hagan berhasil meraih Max. Berkali-kali ia memukul si sepupu. Liara yang menyaksikan itu berusaha menghentikan perkelahian yang didominasi suaminya.
"Hagan! Kenapa kau memukulnya? Berhenti, Hagan!" Usaha Liara menjauhkan Hagan dari atas tubuh Max sia-sia. Perempuan itu terhempas ke belakang oleh tepisan kuat si aktor laga.
"Kau ingin menyakiti Liara? Sejak dulu aku sudah menebak kau hanya kaki-tangan Redrick. Bajingan! Selama ini kau hanya berpura-pura padaku!"
Melihat wajah penuh darah Max, Liara menghampiri Hagan sekali lagi. Memegangi lengan pria itu kuat, ia berusaha menarik. Sayang, tenaga tidak cukup kuat. Hempasan Hagan membuat Liara mundur jauh ke belakang, tak sengaja tersandung dan berakhir dengan kepala membentur bak keramik tanaman hias.
"Nyonya!"
Teriakan beberapa asisten rumah tangga menarik atensi Hagan. Saat menoleh, ia terperanjat. Liara sudah tersungkur di tanah. Perempuan itu memegangi pelipis. Ada cairan merah yang menetes dari tangan Liara.
"Liara!" Hagan berlari ke sana. "Kau berdarah, Liara." Ia menjambak rambutnya sendiri. "Aku--aku melukaimu. A-aku melukaimu."
Mendengar suara bergetar itu, Liara mengangkat wajahnya. Betapa ia terkejut akan raut pucat Hagan.
"Aku melukaimu. Aku melukaimu. Aku akan membunuhmu. Aku akan menyakitimu."
Seperti orang linglung, pria itu memukuli kepala. Tatapannya tak fokus.
"Hagan!" Liara memegangi tangan si lelaki, menjauhkannya dari kepala. "Aku baik-baik saja. Lihat, aku baik-baik saja. Kau tidak sengaja mendorongku."
Hagan meronta, hendak memukuli kepalanya lagi, Liara mendekap si pria erat. "Hagan!" Ia memanggil dengan suara keras. Meski dilanda kebingungan akan kekacauan yang ada, Liara berusaha menenangkan Hagan yang terlihat tidak baik.
"Aku akan menyakitimu. Aku akan membuatmu mati."
Itu bukan ancaman. Liara yakin itu ungkapan rasa takut. Namun, kenapa? Kenapa Hagan bereaksi begini?
"Aku baik-baik saja. Hagan,lihat wajahku. Aku baik-baik saja." Mencoba tersenyum, Liara memegangi dua sisi wajah lelaki itu.
"Kau berdarah. Aku akan menyakitimu. Kau akan terluka karenaku." Lelaki itu meronta, berusaha memukuli kepalanya lagi.
"Hagan!" Mengerahkan seluruh tenaga untuk berteriak, Liara berhasil membuat Hagan terdiam. "Aku baik-baik saja! Berhenti seperti ini, kau membuatku takut!" Lekat ia tatapi dua mata pria itu. Perlahan, sorot di sana kembali tenang.
Hagan menarik Liara untuk dipeluk. "Jangan takut. Aku di sini. Maafkan aku." Ia menatap nyalang pada Max yang terduduk tak jauh dari sana.
Helaan napas lega terdengar dari mulut Liara. "Kau benar-benar membuatku takut, Hagan."
"Aku nyaris mati hanya karena kau salah paham? Bajingan, kau Hagan." Memegangi pipinya yang bengkak, di sofa ruang tamu, Max menatap si sepupu frustrasi.Tebakan Hagan salah. Max tidak bersekutu dengan Redrick. Setidaknya bukan sekarang. Pria itu bisa muncul bersamaan dengan Liara, karena mereka tak sengaja bertemu di jalan."Kau yakin tidak perlu dokter, Max?" Liara yang duduk di samping Hagan bertanya cemas."Aku dokter, Sayang." Ucapan barusan dihadiahi lemparan gunting oleh Hagan. Max kembali sibuk merawat lukanya sendiri dengan bantuan cermin."Salah siapa aku tidak bisa menghubungimu?" Hagan protes kala sikapnya barusan dilempari pelototan oleh Liara."Aku sudah bilang, baterai ponselku habis." Inilah sebab utama petaka malam ini.Liara pergi menemui adiknya. Karena itu tak ingin diantar supir, takut Tatiana curiga. Ia tidak bisa memberitahu Hagan akan pulang t
"Oh, sialan." Max mengumpat ketika sampai di ruang TV dan menemukan Hagan sedang bermesraan dengan Liara."Kalian merusak pagiku!" Pria dengan piyama biru itu sengaja mendorong tubuh Hagan dari atas Liara. Dirinya sendiri mengambil tempat di sofa ukuran satu orang."Ini rumahku, terserahku. Kalau tidak suka, aku tidak keberatan kau pergi." Hagan memilih ikut berbaring bersama Liara. Ia memeluk sang istri."Kau tidak sarapan?" Wajahnya dipaksa menempel di dada Hagan, Liara bersuara."Sebenarnya aku lebih ingin memakanmu. Tapi, karena kau sedang datang bulan. Biarkan aku memelukmu saja. Sarapan, sebentar lagi." Tangan pria itu menggosok lembut punggung istrinya."Maniak," ejek Max."Daripada menyimpang seperti seseorang?" balas Hagan tak mau kalah.Sejenak ruangan itu diisi oleh aksi saling mengejek dari Hagan dan Max. Liara hanya memilih menjadi pendengar dan sesekali tertawa geli.
Berantakan. Kacau. Agaknya dua kata itu masih kurang pantas diberikan atas pemadangan di ruang tamu kediaman Hagan malam ini.Sofa terbalik. Meja juga bergeser jauh dari tempat seharusnya. Di lantai, tiga orang pria bertubuh tegap berlutut menunggu nasib.Hagan murka. Liara, istrinya masih belum ada di rumah, padahal sekarang sudah hampir tengah malam. Bukan pergi menemui sang adik, melainkan diculik.Tadinya, Liara ada di rumah sakit. Entah bagaimana ceritanya, perempuan itu mengalami kecelakaan, terserempet mobil. Para bodyguard membawa Liara ke rumah sakit. Saat Hagan berhasil sampai di sana, sang istri sudah tak ada.Hilang tanpa jejak. Penjaga Liara yang Hagan tugaskan berada di samping si perempuan setiap detik kecolongan, tak tahu kapan orang yang harusnya mereka jaga keluar dari kamar rawat.Tak lama, setelah menyusuri setiap sudut di rumah sakit dan masih tidak menemukan yang dicari, Hagan mendapat telep
Hagan sudah bersiap di belakang kemudi. Pedal gs ia injak kuat-kuat. Membuat tiga pria di depannya semakin terlihat gemetar. Tidak ada jalan lain. Bila Hagan tak melampiaskan amarah ini dengan membunuh tiga pengawal Liara yang tidak becus, maka dirinyalah yang akan mati. Mengarahkan lampu ke tiga calon korban yang akan dilenyapkan, Hagan menarik tuas gigi. Sudah akan menginjak gas, suara kalyson sebuah taksi yang memasuki area halaman rumah mencuri atensi. Taksi itu akan ikut Hagan tabrak jika saja Liara tak keluar dari sana. Hagan mendorong pintu mobilnya kasar, lalu berlari menuju si perempuan yang berjalan tertatih. "Kau mau melenyapkan orang lagi?" Perempuan itu langsung ditarik Hagan untuk dipeluk. Ia lumayan tersentak karena eratnya laki-laki itu memeluk. "Ini benar kau? Kau sungguh pulang dalam keadaan utuh?" Memastikan yang di depannya benar Liara, Hagan menyentuh wajah, tangan dan kaki perempuan itu. Liara di depan matanya tidak hilang, ia kembali memberi dekapan. "Kau m
Langkah Hagan lebar dan terlihat tergesa melewati pintu kediaman Orlando. Pria itu tak peduli pada beberapa orang yang menunduk sekaligus menyapa. Lelaki itu buru-buru, perlu sesegera mungkin menuntaskan amarah.Orang yang dicarinya terlihat. Sedang duduk santai dengan segelas minuman merah di tangan. Tidak lagi berjalan, Hagan berlari menghampiri.Bukan rindu, Hagan menerjang cepat ke arah Redrick, semata-mata karena tinjunya sudah tidak sabar. "Sialan." Dingin dan tajam sapaan itu mengalun dari ulut Hagan. Bersamaan dengan tinju luma jari yang mendarat di pipi si adik tiri. Hagan berdiri tegak, sementara lawan sudah tersungkur ke atas sofa."Huft! Kau mengujiku rupanya." Hagan menggerakkan leher ke kanan dan kiri. Bersiap untuk aksi selanjutnya.Malam ini, Hagan sudah begitu baik meluangkan waktu untuk memberikan sedikit kejutan pada Redrick. Sayang sekali jika hanya satu pukulan, 'kan?
Turun dari mobilnya, Hagan dan Liara langsung disambut manager hotel. Karena sudah tahu maksud kedatangan Hagan, mereka segera diarahkan menuju lift.Dalam lift tersebut, Hagan tak henti mencuri lirik pada Liara yang hari ini menggunakan setelan santai. Jeans biru dengan atasan tank top hitam dilapisi kemeja flanel.Si pria memang heran mengapa dengan pakaian sederhana begitu, istrinya masing saja tampak cantik dan mengundang. Namun, bukan itu hanya itu penyebab mengapa sejak tadi ia menatapi Liara saksama.Sebelum mereka ke sini, karena Liara bilang ingin melihat pemandangan dari atas gedung tinggi, Hagan menyaksikan sesuatu yang berhasil membuatnya tidak senang.Saat tidur siang tadi, Liara bermimpi. Hagan yang memang sedang mendapat jahat libur melihat istrinya menangis dalam tidur.Tidak terisak, tetapi terasa amat pilu kala Hagan melihat sendiri bulir bening itu jatuh dari ujung mata Liara. Membuat si pria bertany
Baru saja menutup pintu mobil, Hagan menoleh pada istrinya yang memegangi lengan. Sedikit kuat cengkeraman tangan Liara itu."Aku perlu ke toilet." Liara menggigit bibir. Satu tangannya memegangi perut yang terasa mulas.Hagan turun lagi, membatalkan niatnya untuk segera pulang. "Apa makananmu tadi pedas sekali?""Sepertinya." Liara melompat dari mobil. Sudah akan berlari masuk ke dalam resto yang beberapa saat lalu ia datangi bersama Hagan, perempuan itu menoleh pada sang suami. "Aku hanya sebentar. Jangan suruh mereka mengikuti." Tunjuknya pada para pengawal yang sudah turun dari mobil satunya.Perutnya semakin melilit, perempuan itu berlari menuju toilet resto.Menghela napas saja, Hagan memutuskan tak memberi perintah apa-apa pada tiga pengawal Liara yang sudah siap sedia di samping mobil.Menunggu selama lima menit di depan resto, Hagan mulai cemas. Berulang kali ia menengok ke arah resto, tetap
Liara sedang mengaduk susu hangat buatan Biru saat merasa tubuhnya dibalik. Hagan muncul di depan wajah, perempuan itu lumayan terkejut.Pasalnya, sejak kemarin, tepatnya setelah pertemuan Liara dan Redrick, si pria tak keluar kamar satu kali pun. Menolak makan, tidak pergi bekerja, hanya berbaring dan memeluk dirinya. Baru beranjak jika perlu ke kamar kecil."Kau mau makan sesuatu?" Sudah lewat jam makan siang memang, tetapi Liara tetap ingin berusaha membujuk. Hagan bisa sakit jika terus-terusan begini.Mengangkat tubuh Liara untuk duduk di atas meja bundar di belakang mereka, Hagan menyelipkan diri di antara kaki perempuan itu. Membuat tangan Liara mengalung di leher, ia memeluk pinggang si istri erat."Hagan? Kau sudah melakukan ini sejak kemarin. Apa memelukku bisa membuatmu kenyang?"Berdeham saja, lelaki itu memejam. Wajahnya sudah bersembunyi di bahu Liara."Kau su
Liara tidak sengaja terjaga saat melihat Hagan akhirnya masuk ke ruangan mereka. Entah siapa yang memberikan ide agar ia dan si lelaki disatukan seperti ini. Benar kata Max, seolah mereka punya ikatan batin yang kuat, hingga sakit saja harus bersamaan. Hagan berjalan tertatih, membuat Liara mau tak mau menatap pria itu agak lama. Di saat itu ia melihat luka memar di sekitar wajah suaminya. Tadi, Hagan diajak keluar oleh Red, 'kan? Apa dua saudara beda ibu itu bertengkar? Karena apa? Penasaran, tapi Liara ingat dirinya sedang marah. Berusaha tidak peduli, Liara spontan turun dari ranjang rawatnya demi mencegah Hagan yang terhuyung jatuh ke lantai. Menopang tubuh pria itu, Liara bisa merasakan suhu di sana sedikit lebih tinggi dari harusnya. Mereka berpandangan. Entah apa arti sorot mata pria di sampingnya, Liara mengabaikan itu dan mulai memapah. membantu Hagan hingga naik ke atas ranjang. Berdiri di sana, Liara be
Susana rumah sore itu terasa mencekam bagi Hagan. Berjalan dengan langkah pelan dan hati-hati, laki-laki itu berharap semoga dirinya bisa lolos dari ini.Ruang tamu aman. Hanya ada Nia yang menyambutnya di sana."Tuan, di ruang TV." Nia memberitahu dengan suara pelan.Hagan menarik napas, membuangnya perlahan. Ia mengangguk lalu menuju ruangan yang Nia sebutkan tadi. Jantungnya mulai bertalu-talu. Perasaan cemas menyergap seketika. Tidak habis melakukan kejahatan, tetapi ia seolah akan menerima hukuman mati.Semua ini bermula tadi pagi. Liara yang resmi ia persunting dua minggu lalu meminta izin untuk jalan-jalan sendirian. Kebetulan, perempuan itu sudah mahir mengendarai motor. Hagan mengizinkan.Tanpa Liara ketahui, Hagan mengirim dua pengawal. Mengikuti Liara dan menjaga perempuan itu dari jauh. Sialnya, pengawal yang Hagan suruh terlalu ceroboh. Mungkin, karena takut melakukan kesalahan dan mendapat hukuman, mereka
Tak sabar menunggu lebih lama, Hagan akhirnya mengetuk pintu toilet di hadapannya. Tidak hanya sekali, tetapi berulang kali, lumayan keras. Lebih mirip gedoran daripada ketukan sepertinya. "Liara? Kau baik-baik saja? Kenapa lama sekali?" Hanya berselang sekitar beberapa sekon, pintu itu terbuka. Liara menampakkan diri. Sudah mengganti piyama rumah sakit dengan kemeja, ada kerutan tak senang di dahi perempuan itu. "Kenapa kau berisik sekali?" Liara hanya berganti baju dan buang air kecil sebentar. Apa Hagan harus menggedor-gedor pintu seperti tadi? "Kau lama dan tidak menyahut saat aku panggil. Aku kira terjadi sesuatu yang--" "Apa?" Liara memotong. Perempuan itu berjalan menuju ranjang. Duduk di tepiannya dan bersedekap. "Apa? Kali ini apa isi asumsimu?" Ini bukan pertama kalinya Hagan bersikap berlebihan begini. Pria itu semakin menjadi setelah Liara sadar dari koma. Bahkan untuk jalan-jalan saja Ha
Hagan tidak jadi menyebut dunia ini kejam dan keji. Liara sudah bangun dari tidur panjang dan dokter berkata, hasil pemeriksaan perempuan itu baik saja.Pagi ini, usai sarapan dan mengganti pakaian si mantan istri, Hagan mengajak Liara jalan-jalan ke taman. Sesuai dugaannya, perempuan itu senang karena akhirnya bisa menghirup udara di alam terbuka.Mereka duduk di salah satu bangku. Memandangi tumbuhan hijau dan beberapa bunga di sana. Tidak banyak bicara, hanya sesekali saling bertukar pandang dan senyuman.Sebenarnya, Hagan betah-betah saja dalam suasana hening demikian, Ia juga jadi lebih fokus memandangi wajah Liara. Namun, perempuan itu sepertinya ingin membicarakan beberapa hal.Liara membuka konversasi dengan topik yang serius. Anjani. Belum apa-apa, Hagan sudah melihat tangan perempuan itu bergetar.Pertama, Liara menceritakan mengapa Hagan tak bisa menemukan salah satu dari orang yang menyekap dan memukuli Lia
Hagan kembali ke rumah sakit sekitar pukul dua siang. Pria itu meninggalkan Liara beberapa jam untuk mengemasi barang-barang perempuan itu dari rumah sewa. Ia membawa semuanya ke rumah lama mereka.Apa pun yang terjadi nanti. Entah Liara akan setuju atau tidak, Hagan ingin perempuan itu tinggal bersamanya. Lebih bagus, jika mereka menikah lagi.Tidak langsung ke kamar rawat Liara, Hagan menyempatkan diri untuk duduk di taman rumah sakit. Menghirup udara bebas beberapa saat, kebetulan cuaca tidak terlalu terik hari ini."Paman pemarah!"SUara cempreng itu membuat Hagan menoleh ke kiri. Ada Liara, yang kecil. Tengah berlari ke arahnya dengan balon di tangan.Hagan mengulas senyum, tetapi sebisa mungkin memasang ekspresi garang."Namaku Hagan. Bukan Paman pemarah," protesnya seraya membantu Liara itu naik ke bangku."Paman dokter berkata, aku bisa memanggilnya paman pemarah." gadis itu tersenyum.
Orlando menghela napas. Ini yang kesepuluh kali. Pria tua itu menatapi mantan menantunya yang masih belum terjaga itu dengan bahu merosot.Hari ini ia berkunjung lagi. Menjenguk Liara, berharap kedatangannya kali ini disambut oleh perempuan yang pernah menjadi istri dari anaknya."Dia pasti sadar. Tidak lama lagi." Ia berusaha memberi semangat pada sang anak yang duduk di sisi ranjang satunya.Hagan yang meletakkan kepala di samping lengan Liara mengaminkan, tanpa suara. Pria itu lelah, bahkan untuk sekadar menegakkan punggung untuk bertatap muka dengan sang ayah.Hagan bicara parau. "Liara mencintaiku, Pa. Dia mencintaiku, ternyata."Orlando mengulas senyum sebisanya. Bukan hanya keadaan Liara yang belum kunjung sadar dari koma, situasi Hagan juga tak kalah menyedihkan sekarang ini.Anaknya itu kusut dan kacau. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas. Bukan hanya karena sering tidak tidur, tetapi j
Hagan tak pernah tahu betapa terpuruknya Orlando kala Tere meninggal dulu. Ia juga mengira bahwa kehilangan sang ibu adalah hal paling buruk yang bisa dunia siapkan.Sekarang, lelaki itu penasaran bagaimana Orlando bisa tidak gila setelah ditinggal Tere. Dan ternyata, dunia kembali memberikannya hal tidak baik.Saat ini. Hagan tengah berusaha tetap hidup dan waras selagi dirinya menghadapi kemalangan yang seakan tak mau sudah.Lima hari lebih Hagan terus-terusan ada di ruangan rawat ini. Menatapi perempuan yang terbaring di ranjang itu. Dan apa? Tak ada perubahan yang terjadi.Liara masih mendiamkannya. Perempuan itu masih tidur dengan pulas, seolah memang tak ingin diganggu lagi.Ini tidak baik. Hagan nyaris hilang akal karena setiap hari bicara sendiri. Saat ia bertanya pada dokter, dokter hanya memintanya bersabar menunggu Liara membaik.Semua orang gila karena menyuruh Hagan tenang. Sudah bagus pria it
Liara meminta bertemu dengan Anjani. Untuk terakhir kali, sebelum mereka mengeksekusi rencana yang wanita itu buat. Mereka sudah membicarakannya dua hari lalu.Anjani memang seserius itu untuk melenyapkan Hagan. Tak main-main, wanita itu akan menggunakan arsenik. Wanita itu juga telah memberikan detil rencana pada si anak.Akan diatur pertemuan untuk Hagan dan Liara besok. Di salah satu resto, racun itu akan dicampur dengan makanan atau minuman Hagan. Mungkin mereka perlu menumbalkan salah seorang pelayan resto, tetapi itu tak masalah.Menyetujui ajakan bertemu, Liara diminta Anjani datang ke rumah pribadi wanita itu. Liara sampai di sana sekitar pukul dua siang. Liara sudah sengaja tidak masuk kerja demi menyiapkan perjumpaan terakhir mereka sebelum hari penting."Aku hanya ingin melihat Ibu sebelum besok. Besok hari besar untukku." Liara memeluk Anjani erat. Setelahnya, ia duduk dan mengeluarkan kotak bekal dari tas belanja. 
Hagan menatap nyalang pada semua pelayan yang berkumpul di ruang tamu. Pria itu marah."Kalian semua menganggap aku lelucon?"Dilempari sorot seolah akan dikuliti, semua pelayan itu menunduk. Hanya Biru yang sedikit berani menghampiri."Kau yang akan kubunuh pertama kali." Hagan menendang tulang kering pengawalnya itu.Bayangkan, ini masih pukul tujuh pagi dan Hagan sudah dibangunkan. Bukan untuk sesuatu yang penting seperti ada gempa, ada tsunami atau ada atraksi dinosuarus. Hagan dibangunkan hanya untuk membukakan pintu.Meringis, Biru berusaha berdiri tegak. "Ada tamu, Tuan. Tamu itu meminta Anda yang membukakan pintu."Kerutan di dahi lebar Hagan makin banyak. Matanya semakin merah. Rahang licinnya terlihat mengeras."Siapa?" Tangan pria itu mencengkeram leher Biru. Mencekik si pengawal beberapa saat. "Siapa, Biru? Siapa yang datang, hingga kau bersedia diminta membangunkanku hanya untuk m