"Oh, sialan." Max mengumpat ketika sampai di ruang TV dan menemukan Hagan sedang bermesraan dengan Liara.
"Kalian merusak pagiku!" Pria dengan piyama biru itu sengaja mendorong tubuh Hagan dari atas Liara. Dirinya sendiri mengambil tempat di sofa ukuran satu orang.
"Ini rumahku, terserahku. Kalau tidak suka, aku tidak keberatan kau pergi." Hagan memilih ikut berbaring bersama Liara. Ia memeluk sang istri.
"Kau tidak sarapan?" Wajahnya dipaksa menempel di dada Hagan, Liara bersuara.
"Sebenarnya aku lebih ingin memakanmu. Tapi, karena kau sedang datang bulan. Biarkan aku memelukmu saja. Sarapan, sebentar lagi." Tangan pria itu menggosok lembut punggung istrinya.
"Maniak," ejek Max.
"Daripada menyimpang seperti seseorang?" balas Hagan tak mau kalah.
Sejenak ruangan itu diisi oleh aksi saling mengejek dari Hagan dan Max. Liara hanya memilih menjadi pendengar dan sesekali tertawa geli.
Kemudian, Biru, salah satu asisten di rumah itu datang. Membawa satu kantung belanjaan kepada Hagan.
Benda itu Hagan berikan pada Liara. Ponsel dan juga pengisi daya cadangan. Pria itu tak ingin kejadian seperti kemarin terulang.
"Ponselku masih bagus." Liara menatap kotak ponsel di pangkuan dengan raut tak nyaman. Ia kembalikan pada si lelaki di samping, tetapi benda itu malah dikembalikan lagi.
"Kau ingin pamer kalau kau itu banyak uang?" canda Liara.
Angkuh si lelaki mengangguk. Ia menjabarkan kekayaan. Mulai dari tiga mobil yang ada di garasi. Harga rumah yang mereka tempati sekarang, yang biaya membangunnya lebih dari 7 milyar. Rumah lainnnya yang Hagan sewakan, juga beberapa dibiarkan kosong dan satu unit apartemen di daerah elit.
"Kau perampok atau pengedar obat?" Si istri mulai penasaran akan sumber semua aset yang disebut-sebut Hagan tadi.
Tak suka dituduh, Hagan menyebut sumber-sumber uangnya. Toko-toko roti dan kuenya yang berjumlah lebih dari 50 outlet. Belum warung makan pinggir jalan, lalu beberapa investasi di perusahan-perusahaan besar.
Mendengar itu semua, Liara berdecak kagum. "Oke. Aku mengakui kalau kau itu super kaya."
"Tolong. Ikuti saja mauku. Oke?" Hagan berucap tegas. Pria itu kemudian mengangkat tubuh Liara agar duduk di pangkuannya.
"Oh, si bajingan ini. Haruskah kau pamer di depanku?" Max lagi-lagi menyuarakan protes. Bukan pada sesumbarnya Hagan atas semua aset yang dimiliki, tetapi karena sepupunya itu terang-terangan menunjukkan keintiman dengan Liara.
Si sepupu tidak peduli. Seolah ingin memanas-manasi, ia malah memagut bibir Liara beberapa saat. Tak hanya sampai di sana, tangan bahkan sempat menjamah beberapa titik di tubuh si perempuan. Membuat grafik ketegangan di sana naik beberapa saat.
Apa yang Hagan mau didapat. Max memilih angkat kaki, tentu saja sembari memaki.
Tinggal mereka berdua saja, Hagan menyandarkan kepala Liara di dadanya. Teratur usapan tangannya membelai punggung si perempuan.
"Dengarkan aku baik-baik." Pria itu memulai pembicaraan ke arah yang serius.
Liara menegakkan punggung untuk melihat raut wajah Hagan. Pria itu memasang ekspresi sungguh.
"Pada siapa pun, jangan beritahu kalau kau itu istri dari Hagan Arsenio." Ada sesal di sorot mata Hagan saat mengatakan itu.
"Aku kira apa. Tentu. Bukan masalah." Liara kembali merebahkan kepala di bahu Hagan. Perempuan itu cukup sadar diri. Meski mereka menikah, tak pernah Liara harapkan sesuatu yang lain selain kucuran dana dari Hagan. Apa untungnya status jika tak mendapat uang.
Hagan melingkupi tubuh Liara dengan dua lengannya. Mendekap erat dengan perasaan tak karuan. Entah mengapa pria itu merasa bersalah harus mengatakan hal barusan.
***
Liara datang ke ruang TV dengan segelas susu hangat coklat. Pelan, seraya tersenyum manis, ia berikan susu tadi pada Max.
Melirik tak ramah, Max bersin. "Apa ini semacam permintaan maaf?" Ia mencicipi susu tadi. "Apa aku anak kecil?"
Tepat setelah berucap, lelaki dengan jaket hitam itu mendapat lemparan bantal. Dari Hagan yang sudah menyusul istrinya duduk di sofa.
"Jangan banyak tingkah." Hagan memicing tak senang. Sudah bagus Liara mau memaafkan si sepupu. Mengapa Max malah bertingkah seakan Liara yang salah.
Sore tadi terjadi sesuatu yang lucu. Berdua saja dengan Liara di rumah, Max menawarkan diri mengajari si perempuan berenang.
Sedang tidak melakukan apa-apa dan memang tidak bisa berenang, Liara menerima tawaran itu.
Awalnya semua baik-baik saja, sampai tiba-tiba saja sikap Max berubah. Pria itu menggoda Liara.
Max memojokkan Liara ke dinding kolam renang, mengusap bahu istri dari sepupunya itu.
Liara tentu terkejut. Ia menghindar dan meminta Max tidak kurang ajar.
Max tidak membiarkan wanita itu naik. Mengungkung tubuh Liara yang berpegangan padanya karena tak bisa berenang, ia semakin kurang ajar menyentuh lengan polos Liara yang siang itu mengenakan kaus tipis tanpa lengan.
"Aku bisa membayar lima kali lipat dari Hagan. Jadilah teman tidurku, tinggalkan Hagan."
Mendengar itu, Liara tak tampak marah. Tenang, perempuan itu menantang Max. "Baik. Tapi aku perlu memastikan satu hal. Tanggalkan bawahanmu."
Merasa rencananya berhasil, tanpa ragu Max melepas satu-satunya kain yang melekat di tubuh.
Liara mengambil benda itu, ia lempar ke atas kolam renang. Kemudian, perempuan itu ikut naik.
"Lima kali lipat?" tanyanya seraya menenteng celana Max dengan ujung telunjuk.
Max yang masih di dalam air mengangguk. "Dia terlalu kaku, 'kan?"
Wajah Liara seketika memancarkan aura dingin. Datar, ditatapnya Max dari atas kolam. "Maaf. Tapi aku tidak berminat." Perempuan itu pergi membawa celana Max juga handuk.
Terjebak di dalam kolam cukup lama, Max baru keluar dari sana ketika mentari sudah pulang. Bersamaan dengan pulangnya Hagan.
Saat Hagan pulang, barulah Liara tahu apa yang coba dilakukan Max. Semacam tes kesetiaan. Liara jadi tidak enak hati karena sempat tak suka pada Max dan membiarkan pria itu berjam-jam di dalam kolam.
Susu hangat barusan adalah bentuk permintaan maaf Liara.
"Kalau kalian ingin bermesraan lagi, jangan di sini. Ini malam terakhir di sini, aku mau menonton." Max yang sudah memilih film memasukkan kepingan kaset ke dalam player.
"Aku ikut menonton." Liara melempar tawa pada Max yang melirik kesal.
Suara dari pengeras suara menguasai tempat itu beberapa saat. Liara terlihat antusias, sementara Hagan hanya sibuk memerhatikan perempuan itu.
"Aku hanya tak ingin Hagan patah hati karena perempuan." Max buka suara. "Aku mengujimu, ingin lihat apa Redrick punya kesempatan menjadikanmu anak buahnya."
"Harusnya jangan lima kali lipat. Sepuluh atau dua puluh kali lipat, mungkin hasilnya akan berbeda." Di ujung kalimat Liara meringis karena bahunya digigit Hagan. "Siapa itu Redrick?" si perempuan menjadi penasaran.
"Bukan siapa-siapa. Nonton saja." Hagan membuat kepala Liara lurus ke arah layar, sementara ia memeluk perempuan itu dari samping.
Liara kembali menoleh pada Hagan. "Kau juga tidak percaya padaku, ya? Hingga mengizinkan dia melakukan itu?"
"Dia yang memaksa." Hagan menunjuk Max dengan dagu. "Tujuannya menginap di sini adalah untuk memata-mataimu."
"Kau percaya padaku?" Menangkup dua sisi wajah lelaki itu, Liara membuat mata mereka beradu. "Kau percaya padaku?" ulangnya sungguh.
Percaya pada orang lain? Hagan tak pernah melakukannya sepenuh hati. Termasuk pada Max atau Orlando.
"Aku percaya padamu." Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Hagan. Dirinya mendapat keyakinan itu dari cara mata Liara menatapnya.
Di depan Hagan, Liara tersenyum. "Jangan lakukan itu. Jangan percaya siapa pun,kecuali dirimu."
"Termasuk kau?" Hagan meraih wajah Liara yang akan berpaling darinya. Sekali lagi ia tatapi dua mata berwarna madu itu.
"Hm. Termasuk aku. Jangan percaya padaku."
Lucu sekali. Saat Liara meragukan dirinya sendiri, Hagan malah merasa bisa memercayai perempuan itu. Perasaannya yakin pada Liara. Untuk apa pun yang sudah mereka lewati satu bulan ini dan apa yang nantinya yang akan terjadi.
Hagan tersenyum teduh. "Aku percaya padamu," ulangnya sebelum menempelkan bibir ke bibir Liara.
"Kalian mulai lagi?!" Max menggebrak meja. Hagan akhirnya membuat jarak dengan istrinya dan melotot padanya. "Aku ingin menonton. Ini bahkan bukan film romantis."
Suasana kembali kondusif. Mereka bertiga kembali menonton. Sebenarnya hanya Max dan Liara saja yang sungguh-sungguh mengikuti cerita. Sebab Hagan lebih sibuk dengan bahu dan leher Liara.
"Apa seseorang sungguh bisa mati jika memotong nadinya seperti itu?"
Max menengok pada Liara. Perempuan itu menatap penuh minat pada tayangan di depan mereka. Si pemeran utama sedang menyayat pergelangan tangan saat ini.
"Tentu bisa, jika kau memotong di titik yang tepat. Mau mencobanya?"
"Aku harus memotongnya di mana? Harus memotong di mana agar bisa mati?" Perempuan itu mencondongkan tubuh ke arah Max, menanti jawaban dengan tidak sabar.
Max terdiam. Ia menemukan sesuatu di cara Liara menatap. Kosong? Putus asa? Entah.
Hagan pun bereaksi tak jauh berbeda. Suara Liara saat bertanya tadi membuatnya berpikir bahwa perempuan itu berniat menghabisi seseorang.
Laki-laki itu memasang raut marah pada Max. "Kau membawa pengaruh buruk untuknya." Hagan membawa Liara dalam gendongan. "Tonton film itu sendiri." Ia pun berlalu dari sana bersama sang istri.
Di sofanya, Max mengernyitkan dahi. "Caramu bertanya seolah ingin melenyapkan seseorang, Liara," monolognya seraya menghentikan film.
Berantakan. Kacau. Agaknya dua kata itu masih kurang pantas diberikan atas pemadangan di ruang tamu kediaman Hagan malam ini.Sofa terbalik. Meja juga bergeser jauh dari tempat seharusnya. Di lantai, tiga orang pria bertubuh tegap berlutut menunggu nasib.Hagan murka. Liara, istrinya masih belum ada di rumah, padahal sekarang sudah hampir tengah malam. Bukan pergi menemui sang adik, melainkan diculik.Tadinya, Liara ada di rumah sakit. Entah bagaimana ceritanya, perempuan itu mengalami kecelakaan, terserempet mobil. Para bodyguard membawa Liara ke rumah sakit. Saat Hagan berhasil sampai di sana, sang istri sudah tak ada.Hilang tanpa jejak. Penjaga Liara yang Hagan tugaskan berada di samping si perempuan setiap detik kecolongan, tak tahu kapan orang yang harusnya mereka jaga keluar dari kamar rawat.Tak lama, setelah menyusuri setiap sudut di rumah sakit dan masih tidak menemukan yang dicari, Hagan mendapat telep
Hagan sudah bersiap di belakang kemudi. Pedal gs ia injak kuat-kuat. Membuat tiga pria di depannya semakin terlihat gemetar. Tidak ada jalan lain. Bila Hagan tak melampiaskan amarah ini dengan membunuh tiga pengawal Liara yang tidak becus, maka dirinyalah yang akan mati. Mengarahkan lampu ke tiga calon korban yang akan dilenyapkan, Hagan menarik tuas gigi. Sudah akan menginjak gas, suara kalyson sebuah taksi yang memasuki area halaman rumah mencuri atensi. Taksi itu akan ikut Hagan tabrak jika saja Liara tak keluar dari sana. Hagan mendorong pintu mobilnya kasar, lalu berlari menuju si perempuan yang berjalan tertatih. "Kau mau melenyapkan orang lagi?" Perempuan itu langsung ditarik Hagan untuk dipeluk. Ia lumayan tersentak karena eratnya laki-laki itu memeluk. "Ini benar kau? Kau sungguh pulang dalam keadaan utuh?" Memastikan yang di depannya benar Liara, Hagan menyentuh wajah, tangan dan kaki perempuan itu. Liara di depan matanya tidak hilang, ia kembali memberi dekapan. "Kau m
Langkah Hagan lebar dan terlihat tergesa melewati pintu kediaman Orlando. Pria itu tak peduli pada beberapa orang yang menunduk sekaligus menyapa. Lelaki itu buru-buru, perlu sesegera mungkin menuntaskan amarah.Orang yang dicarinya terlihat. Sedang duduk santai dengan segelas minuman merah di tangan. Tidak lagi berjalan, Hagan berlari menghampiri.Bukan rindu, Hagan menerjang cepat ke arah Redrick, semata-mata karena tinjunya sudah tidak sabar. "Sialan." Dingin dan tajam sapaan itu mengalun dari ulut Hagan. Bersamaan dengan tinju luma jari yang mendarat di pipi si adik tiri. Hagan berdiri tegak, sementara lawan sudah tersungkur ke atas sofa."Huft! Kau mengujiku rupanya." Hagan menggerakkan leher ke kanan dan kiri. Bersiap untuk aksi selanjutnya.Malam ini, Hagan sudah begitu baik meluangkan waktu untuk memberikan sedikit kejutan pada Redrick. Sayang sekali jika hanya satu pukulan, 'kan?
Turun dari mobilnya, Hagan dan Liara langsung disambut manager hotel. Karena sudah tahu maksud kedatangan Hagan, mereka segera diarahkan menuju lift.Dalam lift tersebut, Hagan tak henti mencuri lirik pada Liara yang hari ini menggunakan setelan santai. Jeans biru dengan atasan tank top hitam dilapisi kemeja flanel.Si pria memang heran mengapa dengan pakaian sederhana begitu, istrinya masing saja tampak cantik dan mengundang. Namun, bukan itu hanya itu penyebab mengapa sejak tadi ia menatapi Liara saksama.Sebelum mereka ke sini, karena Liara bilang ingin melihat pemandangan dari atas gedung tinggi, Hagan menyaksikan sesuatu yang berhasil membuatnya tidak senang.Saat tidur siang tadi, Liara bermimpi. Hagan yang memang sedang mendapat jahat libur melihat istrinya menangis dalam tidur.Tidak terisak, tetapi terasa amat pilu kala Hagan melihat sendiri bulir bening itu jatuh dari ujung mata Liara. Membuat si pria bertany
Baru saja menutup pintu mobil, Hagan menoleh pada istrinya yang memegangi lengan. Sedikit kuat cengkeraman tangan Liara itu."Aku perlu ke toilet." Liara menggigit bibir. Satu tangannya memegangi perut yang terasa mulas.Hagan turun lagi, membatalkan niatnya untuk segera pulang. "Apa makananmu tadi pedas sekali?""Sepertinya." Liara melompat dari mobil. Sudah akan berlari masuk ke dalam resto yang beberapa saat lalu ia datangi bersama Hagan, perempuan itu menoleh pada sang suami. "Aku hanya sebentar. Jangan suruh mereka mengikuti." Tunjuknya pada para pengawal yang sudah turun dari mobil satunya.Perutnya semakin melilit, perempuan itu berlari menuju toilet resto.Menghela napas saja, Hagan memutuskan tak memberi perintah apa-apa pada tiga pengawal Liara yang sudah siap sedia di samping mobil.Menunggu selama lima menit di depan resto, Hagan mulai cemas. Berulang kali ia menengok ke arah resto, tetap
Liara sedang mengaduk susu hangat buatan Biru saat merasa tubuhnya dibalik. Hagan muncul di depan wajah, perempuan itu lumayan terkejut.Pasalnya, sejak kemarin, tepatnya setelah pertemuan Liara dan Redrick, si pria tak keluar kamar satu kali pun. Menolak makan, tidak pergi bekerja, hanya berbaring dan memeluk dirinya. Baru beranjak jika perlu ke kamar kecil."Kau mau makan sesuatu?" Sudah lewat jam makan siang memang, tetapi Liara tetap ingin berusaha membujuk. Hagan bisa sakit jika terus-terusan begini.Mengangkat tubuh Liara untuk duduk di atas meja bundar di belakang mereka, Hagan menyelipkan diri di antara kaki perempuan itu. Membuat tangan Liara mengalung di leher, ia memeluk pinggang si istri erat."Hagan? Kau sudah melakukan ini sejak kemarin. Apa memelukku bisa membuatmu kenyang?"Berdeham saja, lelaki itu memejam. Wajahnya sudah bersembunyi di bahu Liara."Kau su
"Susu, Liara?" Hagan memasang tersenyum termanis pada sosok perempuan di depannya. Ia hanya dilempari tatapan datar oleh orang itu. Sudah dua hari Liara seperti ini. Terus mendiamkannya, kecuali saat mereka di ranjang. Agaknya, si istri masih marah karena insiden susu dingin kemarin. Hagan sudah melakukan segala cara untuk membuat Liara bicara padanya. Namun, semuanya gagal. Hanya berakhir seperti ini. Liara tidak pura-pura tak melihatnya. Perempuan itu menanggapi ucapan Hagan, tetapi hanya sebatas melirik sebentar. Mengangguk, berdeham atau menggeleng. Paling jauh, menjawab dengan kata 'entah'. Liara hanya bersikap sewajarnya saat Hagan meminta jatah. Dan hal itu membuat si lelaki semakin merasa tak nyaman. Selama ini, perempuan itu memang tak banyak bicara. Namun, tidak seperti ini. Dingin. Liara kerap menatapnya dengan sorot malas dan muak. Dan asa tahu saja, Hagan ti
Mempertemukan Liara dan Biru, artinya menunda kematian Biru. Untuk itu saja, Hagan sudah panas hati bukan main, kekesalannya harus ditambah adegan saat ini juga?Di gudang pengap itu, si lelaki melihat istrinya membantu Biru minum, setelah luka-luka Biru dipaksa untuk diobati oleh Max.Kepalan tangan Hagan sudah tak sabar mencium wajah atau bagian tubuh Biru. Sungguh, ia berjanji akan membuat orang itu tewas. Ia tak bodoh seperti Liara yang bisa dipengaruhi cerita sedih.Katanya, Biru punya adik yang sakit parah. Butuh biaya besar, oleh karena itu sangat tidak mungkin mencelakai Liara.Hah. Mana Hagan percaya. Kalau pun Biru memang punya adik yang sakit keras, bukankah itu menjadi alasan kuat untuk melakukan ini? Redrick pasti membayar sangat mahal untuk nyawa Liara."Sungguh, Nyonya. Aku tidak mungkin melukaimu. Racun itu, bukan aku yang melakukannya." Sungguh Biru menatap Liara dari matanya yang bengkak. Ia memegang
Liara tidak sengaja terjaga saat melihat Hagan akhirnya masuk ke ruangan mereka. Entah siapa yang memberikan ide agar ia dan si lelaki disatukan seperti ini. Benar kata Max, seolah mereka punya ikatan batin yang kuat, hingga sakit saja harus bersamaan. Hagan berjalan tertatih, membuat Liara mau tak mau menatap pria itu agak lama. Di saat itu ia melihat luka memar di sekitar wajah suaminya. Tadi, Hagan diajak keluar oleh Red, 'kan? Apa dua saudara beda ibu itu bertengkar? Karena apa? Penasaran, tapi Liara ingat dirinya sedang marah. Berusaha tidak peduli, Liara spontan turun dari ranjang rawatnya demi mencegah Hagan yang terhuyung jatuh ke lantai. Menopang tubuh pria itu, Liara bisa merasakan suhu di sana sedikit lebih tinggi dari harusnya. Mereka berpandangan. Entah apa arti sorot mata pria di sampingnya, Liara mengabaikan itu dan mulai memapah. membantu Hagan hingga naik ke atas ranjang. Berdiri di sana, Liara be
Susana rumah sore itu terasa mencekam bagi Hagan. Berjalan dengan langkah pelan dan hati-hati, laki-laki itu berharap semoga dirinya bisa lolos dari ini.Ruang tamu aman. Hanya ada Nia yang menyambutnya di sana."Tuan, di ruang TV." Nia memberitahu dengan suara pelan.Hagan menarik napas, membuangnya perlahan. Ia mengangguk lalu menuju ruangan yang Nia sebutkan tadi. Jantungnya mulai bertalu-talu. Perasaan cemas menyergap seketika. Tidak habis melakukan kejahatan, tetapi ia seolah akan menerima hukuman mati.Semua ini bermula tadi pagi. Liara yang resmi ia persunting dua minggu lalu meminta izin untuk jalan-jalan sendirian. Kebetulan, perempuan itu sudah mahir mengendarai motor. Hagan mengizinkan.Tanpa Liara ketahui, Hagan mengirim dua pengawal. Mengikuti Liara dan menjaga perempuan itu dari jauh. Sialnya, pengawal yang Hagan suruh terlalu ceroboh. Mungkin, karena takut melakukan kesalahan dan mendapat hukuman, mereka
Tak sabar menunggu lebih lama, Hagan akhirnya mengetuk pintu toilet di hadapannya. Tidak hanya sekali, tetapi berulang kali, lumayan keras. Lebih mirip gedoran daripada ketukan sepertinya. "Liara? Kau baik-baik saja? Kenapa lama sekali?" Hanya berselang sekitar beberapa sekon, pintu itu terbuka. Liara menampakkan diri. Sudah mengganti piyama rumah sakit dengan kemeja, ada kerutan tak senang di dahi perempuan itu. "Kenapa kau berisik sekali?" Liara hanya berganti baju dan buang air kecil sebentar. Apa Hagan harus menggedor-gedor pintu seperti tadi? "Kau lama dan tidak menyahut saat aku panggil. Aku kira terjadi sesuatu yang--" "Apa?" Liara memotong. Perempuan itu berjalan menuju ranjang. Duduk di tepiannya dan bersedekap. "Apa? Kali ini apa isi asumsimu?" Ini bukan pertama kalinya Hagan bersikap berlebihan begini. Pria itu semakin menjadi setelah Liara sadar dari koma. Bahkan untuk jalan-jalan saja Ha
Hagan tidak jadi menyebut dunia ini kejam dan keji. Liara sudah bangun dari tidur panjang dan dokter berkata, hasil pemeriksaan perempuan itu baik saja.Pagi ini, usai sarapan dan mengganti pakaian si mantan istri, Hagan mengajak Liara jalan-jalan ke taman. Sesuai dugaannya, perempuan itu senang karena akhirnya bisa menghirup udara di alam terbuka.Mereka duduk di salah satu bangku. Memandangi tumbuhan hijau dan beberapa bunga di sana. Tidak banyak bicara, hanya sesekali saling bertukar pandang dan senyuman.Sebenarnya, Hagan betah-betah saja dalam suasana hening demikian, Ia juga jadi lebih fokus memandangi wajah Liara. Namun, perempuan itu sepertinya ingin membicarakan beberapa hal.Liara membuka konversasi dengan topik yang serius. Anjani. Belum apa-apa, Hagan sudah melihat tangan perempuan itu bergetar.Pertama, Liara menceritakan mengapa Hagan tak bisa menemukan salah satu dari orang yang menyekap dan memukuli Lia
Hagan kembali ke rumah sakit sekitar pukul dua siang. Pria itu meninggalkan Liara beberapa jam untuk mengemasi barang-barang perempuan itu dari rumah sewa. Ia membawa semuanya ke rumah lama mereka.Apa pun yang terjadi nanti. Entah Liara akan setuju atau tidak, Hagan ingin perempuan itu tinggal bersamanya. Lebih bagus, jika mereka menikah lagi.Tidak langsung ke kamar rawat Liara, Hagan menyempatkan diri untuk duduk di taman rumah sakit. Menghirup udara bebas beberapa saat, kebetulan cuaca tidak terlalu terik hari ini."Paman pemarah!"SUara cempreng itu membuat Hagan menoleh ke kiri. Ada Liara, yang kecil. Tengah berlari ke arahnya dengan balon di tangan.Hagan mengulas senyum, tetapi sebisa mungkin memasang ekspresi garang."Namaku Hagan. Bukan Paman pemarah," protesnya seraya membantu Liara itu naik ke bangku."Paman dokter berkata, aku bisa memanggilnya paman pemarah." gadis itu tersenyum.
Orlando menghela napas. Ini yang kesepuluh kali. Pria tua itu menatapi mantan menantunya yang masih belum terjaga itu dengan bahu merosot.Hari ini ia berkunjung lagi. Menjenguk Liara, berharap kedatangannya kali ini disambut oleh perempuan yang pernah menjadi istri dari anaknya."Dia pasti sadar. Tidak lama lagi." Ia berusaha memberi semangat pada sang anak yang duduk di sisi ranjang satunya.Hagan yang meletakkan kepala di samping lengan Liara mengaminkan, tanpa suara. Pria itu lelah, bahkan untuk sekadar menegakkan punggung untuk bertatap muka dengan sang ayah.Hagan bicara parau. "Liara mencintaiku, Pa. Dia mencintaiku, ternyata."Orlando mengulas senyum sebisanya. Bukan hanya keadaan Liara yang belum kunjung sadar dari koma, situasi Hagan juga tak kalah menyedihkan sekarang ini.Anaknya itu kusut dan kacau. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas. Bukan hanya karena sering tidak tidur, tetapi j
Hagan tak pernah tahu betapa terpuruknya Orlando kala Tere meninggal dulu. Ia juga mengira bahwa kehilangan sang ibu adalah hal paling buruk yang bisa dunia siapkan.Sekarang, lelaki itu penasaran bagaimana Orlando bisa tidak gila setelah ditinggal Tere. Dan ternyata, dunia kembali memberikannya hal tidak baik.Saat ini. Hagan tengah berusaha tetap hidup dan waras selagi dirinya menghadapi kemalangan yang seakan tak mau sudah.Lima hari lebih Hagan terus-terusan ada di ruangan rawat ini. Menatapi perempuan yang terbaring di ranjang itu. Dan apa? Tak ada perubahan yang terjadi.Liara masih mendiamkannya. Perempuan itu masih tidur dengan pulas, seolah memang tak ingin diganggu lagi.Ini tidak baik. Hagan nyaris hilang akal karena setiap hari bicara sendiri. Saat ia bertanya pada dokter, dokter hanya memintanya bersabar menunggu Liara membaik.Semua orang gila karena menyuruh Hagan tenang. Sudah bagus pria it
Liara meminta bertemu dengan Anjani. Untuk terakhir kali, sebelum mereka mengeksekusi rencana yang wanita itu buat. Mereka sudah membicarakannya dua hari lalu.Anjani memang seserius itu untuk melenyapkan Hagan. Tak main-main, wanita itu akan menggunakan arsenik. Wanita itu juga telah memberikan detil rencana pada si anak.Akan diatur pertemuan untuk Hagan dan Liara besok. Di salah satu resto, racun itu akan dicampur dengan makanan atau minuman Hagan. Mungkin mereka perlu menumbalkan salah seorang pelayan resto, tetapi itu tak masalah.Menyetujui ajakan bertemu, Liara diminta Anjani datang ke rumah pribadi wanita itu. Liara sampai di sana sekitar pukul dua siang. Liara sudah sengaja tidak masuk kerja demi menyiapkan perjumpaan terakhir mereka sebelum hari penting."Aku hanya ingin melihat Ibu sebelum besok. Besok hari besar untukku." Liara memeluk Anjani erat. Setelahnya, ia duduk dan mengeluarkan kotak bekal dari tas belanja. 
Hagan menatap nyalang pada semua pelayan yang berkumpul di ruang tamu. Pria itu marah."Kalian semua menganggap aku lelucon?"Dilempari sorot seolah akan dikuliti, semua pelayan itu menunduk. Hanya Biru yang sedikit berani menghampiri."Kau yang akan kubunuh pertama kali." Hagan menendang tulang kering pengawalnya itu.Bayangkan, ini masih pukul tujuh pagi dan Hagan sudah dibangunkan. Bukan untuk sesuatu yang penting seperti ada gempa, ada tsunami atau ada atraksi dinosuarus. Hagan dibangunkan hanya untuk membukakan pintu.Meringis, Biru berusaha berdiri tegak. "Ada tamu, Tuan. Tamu itu meminta Anda yang membukakan pintu."Kerutan di dahi lebar Hagan makin banyak. Matanya semakin merah. Rahang licinnya terlihat mengeras."Siapa?" Tangan pria itu mencengkeram leher Biru. Mencekik si pengawal beberapa saat. "Siapa, Biru? Siapa yang datang, hingga kau bersedia diminta membangunkanku hanya untuk m