Para agen SDI berhasil menemukan lokasi ruang persalinan yang di pakai oleh Lili, alat deteksi dari jolt menuntun mereka diluar ruangan yang sudah coba disembunyikan oleh William.
"James, mereka sudah mengetaahui keberadaanku," kata Lili sambil melepaskan pelukan James.
"Iya, aku tahu Lili, mereka sudah mengepung rumah sakit ini dan siap menyerang," jawab James.
"Bagaimana dengan bayi kita, James?" tanya Lili sambil menatap bayi yang ada dalam pangkuannya.
James, untuk sesaat terdiam, dia berpikir hal yang bisa dia lakukan untuk kebaikan anaknya, Lili dan juga dirinya.
"Aku akan membawanya," jawab James setelah beberapa saat berpikir.
"Akan kamu bawa ke mana dia James?" tanya Lili dengan sedih
"Tenanglah Lili, aku akan cari tempat yang paling aman untuk anak kita, agar tak tercium oleh orang-orang Dark Lantern," kata James. Walaupun dia berusaha untuk tenang di depan Lili, namun hatinya merasakan sakit karena harus bertindak ce
Mohon dukungannya dengan cara berikan komentar berupa kritik dan saran, VOTE, atau kamu bisa menambahkan Novel ini ke dalam pustakamu. Terima kasih readear!
POV RAY Perjalanan panjang lewat udara sudah kulalui, kini aku berada di Moskow. Masih setengah perjalan lagi yang akan aku jalani, perjalanan darat menuju kutub utara. Tepatnya Syberia. Petunjuk yang aku dapat hanya melalui bisikan elemen angin yang membimbingku sepanjang perjalanan, entah siapa yang memanduku. Perjalanan menuju Syberia hanya bisa dijangkau dengan kereta, aku kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang-orang Rusia ini, bahasa yang aku pakai hanya bahasa ingriss dan tak semua petugas di sini mampu menggunakannya. Kereta yang aku gunakan saat ini adalah sebuah kereta khusus, hingga aku harus membayar mahal untuk ini. Syberia yang berada di ujung sebelah utara benua Rusia, hembusan hawa dingin yang amat sangat membuatku terbiasa saat menghembuskan napas selalu mengeluarkan kepulan asap dari kehangatan tubuhku sendiri. Mau tak mau aku harus trbiasa juga dengan hidangan daging yang menjadi santapanku setiap hari, ditambah sege
POV Ray Rasa hangat menjalar ke seluruh tubuhku, pelan-pelan bayangan perapian di depan mataku memudar, seiring kesadaranku yang berpindah ke alam mimpi. Bayangan wajah Maria hadir dengan senyumnya yang manis, dia menghampiriku lalu meraba keningku. "Ray, kamu nggak apa-apa kan?" tanyanya dengan suara yang lembut di telingaku. "Nggak, aku nggak apa-apa," jawabku pelan. Maria mengusap wajahku, dari bibirnya tersungging senyuman dan tatapan lembutnya di wajahku. Namun perlahan wajahnya mulai samar dan hilang entah kemana. "Maria..., Maria..., kamu di mana!" teriakku panik. Tiba-tiba saja, aku sudah berada di ruang gym yang ada di sekolah. Dari jauh aku melihat tubuh seorang cewek yang terlihat sedang menggapai-gapaikan tangannya di lantai seakan sedang berusaha meraih sesuatu. Aku langsung mendekat ke tengah gym, dan terkejut ternyata Itu Maria. Saat itu aku melihat Maria berusaha menggepalkan telapak tang
POV RayAku pun berkomunikasi dengan elemen air dan udara yang ada di tubuhku, agar aku bisa mengangkat tubuhku di atas salju. Tanganku menyala dan mengeluarkan cahaya biru, kakiku perlahan terangkat dan berada menapak di atas salju. Baru saja beberapa langkah berjalan di atas salju."Kamu akan cepat lelah bila melakukan hal itu Ray, aturlah penggunaan kekuatanmu," kata Michelle."Maksudmu bagaimana?" tanyaku sambil menghentikan langkahku."Kamu bukanlah pengguna elemen biasa. Semakin banyak kamu menggunakan kekuatanmu, kamu akan lemah. Sadarilah kalau kamu ini seorang Creator," ungkap Michelle sambil menarik napas panjang."Creator? Bisa kamu jelaskan apa itu?" tanyaku"Nanti akan aku jawab," lagi-lagi dia berkata nanti. Huh, aku jadi makin penasaran saja."Aku lanjutkan. seorang Mist bisa bicara dengan banyak elemen. Hampir semua elemen kecuali satu," ungkapnya, dia seakan sengaja menjeda
POV RayTak terasa sudah hampir dua bulan aku tinggal dan berlatih di Syberia, waktu yang cukup lama hingga membuat rasa rindu pada Maria semakin memuncak. Bahkan hampir setiap malam Maria selalu hadir di mimpiku dengan air mata yang terus mengalir di kedua belah pipinya, dia memintaku untuk segera pulang dan ada di sampingnya.Latihan yang aku jalani dengan Michelle semakin sulit, dia mengajariku untuk mulai membuat objek dari elemen yang aku kuasai. Dari mulai membuat pedang dari batu, elemen api, air bahkan membuat macam benda yang kadang hanya untuk menjadi ajang latihan dari kecermatanku pada elemen yang ada dalam tubuhku.Semakin banyak elemen yang masuk ke dalam tubuhku, makin ramai juga suara yang ada di kepalaku. Namun aku dan para elemen bukan sekedar pengguna dan yang digunakan, aku sudah dapat membiasakan diri untuk selalu berkomunikasi dengan semua elemen dan memanggil nama mereka. Para elemen dalam tubuhku sangat bers
POV RayAku masih menatap Michelle yang terdiam, dan pikiranku justru teringat akan Maria. Bagaimana kabar dia sekarang? Andai saja aku bisa berpamitan padanya dengan kata-kata, mungkin dia tak akan menderita dengan sakitnya. Aku harap tunggulah sebentar lagi Maria."Kamu ingin bisa berbicara dengan Maria?" tanya Michelle tiba-tiba. Tentu saja pertanyaan itu membuatku tertegun untuk sesaat."Emmm..., Emang bisa ya?" jawabku antara kaget dan tak percaya, Michelle bertanya seperti itu."Kalau bisa, apakah kamu mau bicara dengannya?"tanyanya lagi."Tentu saja," kataku dengan wajah gembira."Dan tentu saja kamu bisa. Kamu bisa melakukan hal itu, kamu memiliki elemen angin. Apakah kamu pernah dengar lagu yang syairnya kurang lebih seperti ini, 'Wahai angin sampaikan cintaku kepadanya'?" tanya Michelle dengan tersenyum menggodaku."Hmm..., entahlah aku tak begitu memperhatikan," jawabku dengan jujur."H
POV Ray Hari-hariku sebagai seorang creator di mulai, latihanku saat ini lebih banyak membuat objek dengan menggunakan banyak elemen. Dengan menggunakan imajinasiku, semua aku coba wujudkan menjadi sebuah bentuk nyata yang kadang semuanya hanya berupa hiburan untukku. Selain membuat objek aku juga berlatih melakukan penyembuhan luka dengan menggunakan elemen air. Ada yang sempat membuatku merasa bangga dengan diriku sendiri, aku mencoba membangun sebuah bangunan dengan menggunakan elemen tanah, menyalakan listrik dengan bantuan elemen petir, dan banyak lagi hal baru yang sangat menarik untukku. Dengan bantuan Michele aku pun semakin dekat dengan para elemen, begitu juga dengan serigala-serigala yang selalu bersamanya. Yang lebih seru, aku juga bisa berkomunikasi dengan pepohonan besar yang ada di sekeliling pondok bahkan di dalam hutan. Michele cukup kagum denganku karena kemampuanku berbicara dengan alam melebihi ekspetasi di
POV RaySemakin memasuki pulau ini, makin banyak juga mahluk aneh yang ditemui. Saat ini saja, aku merasa janggal dengan apa yang aku lihat. Monyet-monyet yang bergelantungan di pohon sepanjang jalan yang aku lewati, namun tubuh monyet itu sangat aneh. Monyet-monyet itu memiliki empat tangan dan dua kaki, mereka bergelantungan dengan sepasang tangan dan sepasang tangan lain bergerak dengan bebas. Monyet-monyet itu terus mengiringi setiap langkahku hingga batas hutan, mereka seperti merasa senang dengan kehadiranku. Suara mereka saling bersahutan, namun tak berani untuk mendekat.Keluar dari hutan yang dipenuhi oleh Monyet, langkahku terhenti dengan munculnya mahluk besar berwarna hijau. Mahluk ini menghadangku dengan tubuh besarnya dan tingginya yang dua kali lebih tinggi dari tubuhku. Wajahnya jelek dengan sepasang taring tajam di mulutnya, menyeringai ke arahku." Apakah ini yang disebut Troll?" tanyaku pada diri sendiri. Dan par
POV RayAku tak mau membuang waktuku, kulanjutkan perjalananku. Kini aku sudah dapat melihat sebuah pintu gerbang batu yang tinggi di depanku. Gerbang setinggi sepuluh meter kini menjulang di hadapanku, aku mengamati bagaimana membuka gerbang batu ini. Tapi aku teringat, kemudian tanganku menyentuh gerbang batu."Hai gerbang batu siapakah namamu?" bisikku sambil memejamkan mata.Untuk beberapa saat aku menunggu jawaban, kemudian terasa sebuah getaran lembut dari gerbang batu itu ditanganku. Elemen batu yang ada di tubuhku seakan beraksi, namun aku tak bisa mendengar bisikan dari kedua elemen itu. Getaran-getaran lembut terus menjalar di tanganku, seakan terjadi satu negosiasi yang panjang. Tak berapa lama sebuah getaran keras terasa, aku langsung melompat mundur beberapa langkah dari depan gerbang batu. Gerbang itu bergeser perlahan, hingga cukup bagi tubuhku untuk melewatinya.Begitu memasuki gerbang, aku sempat terpana den
POV RAYAku berlari menghampiri Azazel yang masih berlutut di depan kursi kebesarannya. Tanpa banyak berkata lagi aku menerjang dengan pukuran dan tendangan yang yang bertubi-tubi. Dia sekarang tak lebih dari seorang manusia pengguna elemen, kekuatan yang ada pada tubuh Thomas hanya kekuatan milik Thomas saja.DUESH!Azazel beberapakalu terpelanting, walau begitu dia masih bisa bertahan dengan kekuatan elemen milik Thomas. Azazel pun berusaha untuk balik menyerangku dengan mengeluarkan elemen tanah dan membentuk sebuah palu besar, lalu diayunkan palu itu ke arahku sambil melompat. Aku bersiap menunggunya dengan membentuk palu yang lebih besar dari milik Azazel. Begitu serangan palu Azazel mendekat, dengan kekuatan palu yang aku buat, aku hancurkan dengan sekali hantaman paluku.Azazel bergerak secepat kilat dengan elemen petir, melontarkan panah-panah petir yang dengan mudah aku tangkis. Dia pun berusaha untuk lari, tapi aku tak akan melepas
POV RAY Ruangan sekarang menjadi terang lagi. Dengan susah payah aku berdiri sambil memegangi dadaku yang terluka. Mataku mulai berkunang-kunang. Darah sudah banyak yang keluar sepertinya. Tapi aku masih harus berdiri. "Creator?" kata Thomas. Tidak. Ia bukan Thomas. Dia Azrael yang telah mengambil alih tubuh Thomas. "Azrael?! Kenapa kamu tidak menjadi tubuhmu saja yang besar itu?" tanyaku. "Justru wujud manusia adalah wujud yang paling sempurna menurutku. Aku cukup menjadikan tubuhnya sebagai vesel untuk kebangkitanku. Segar sekali rasanya setelah lama terkurung di kegelapan oleh lima creator terkutuk itu selama ribuan tahun. Dan aku tak perlu membunuh mereka karena mereka sudah mati. Hahahahahah," kata Azrael. "Ugh!" rasa sakit didadaku. Ah...darah. Darah itu elemen air bukan? Aku terpaksa melakukannya. Obati lukaku siapa namamu? Dia tidak bernama. Tolonglah. Ahh...aku tertolong. Lukaku mulai tertutup.
POV ANDRE Pertarunganku dan Puri melawan laki-laki bernama Hund semakin seru, kami berusaha keras mengalahkan dia, walau beberapa kali kami harus berusaha menghindari semua serangan Hund yang tentu saja pengalaman bertarungnya jauh diatas kami berdua. Sering kali aku kewalahan dan hampir terkena sabetan-sabetan pedang besinya yang super tajam. Tapi beruntung aku terlindungi dengan kayu-kayu yang muncul dari penggabungan jolt yang aku pakai. Namun pertarungan kami mendadak terhenti, perlahan tapi pasti suasana menjadi gelap. Aku dan Puri saling pandang. Begitupun Alex dan teman-teman lainnya. Ada rasa panik yang aku rasakan dan mungkin juga Alex dan yang lainnya juga merasakan. "Puri, apa ini sudah saatnya terjadi gerhana?" Tanyaku sambil mendekati Puri. Puri yang terlihat kelelahan hanya menatapku sendu, lalu mengangguk pelan. "Puri, kita masih belum kalah, kita harus terus bertarung" bisikku sambil
POV BALANCER Aku kembali berhadapan dengan Robert. lelaki yang telah membunuh adikku satu-satunya. Aku tak dapat melupakan kejadian itu walau sesaatpun, jasad William yang dilemparkannya ke bawah jembatan. William yang berusaha melindungiku dan anakku dari orang-orang biadab ini. Dia tak dapat mengimbangi serangan-serangan yang diterimanya dari para agen SDI yang mengeroyoknya. Sedangkan aku, Ketika itu baru saja melahirkan. Dalam kondisi yang masih lemah Thomas yang sudah mengetahui keberadaanku, memerintahkan untuk membunuh ku juga William. "Balancer, akhirnya kita selesaikan pertarungan kita yang tertunda," kata Robert. Aku yang malas meladeni ucapannya, lalu memanggil kekuatan elemenku, besi. Seperti biasa, aku dengan kuku-kuku besiku sudah siap mencabik-cabik Robert. Aku langsung menerjangnya, melancarkan serangan-serangan untuk bisa cepat mencabik dan membunuhnya. Robert dengan memakai kekuatan joltnya, dia pun m
POV RAY Aku mengakui kekuatan Thomas, dia sangat kuat. Walaunsejauh ini aku dapat mengimbangi kekuatannya. Aku yang seorang Creator dapat mengimbangi cara bertarung Thomas, yang tak beda jauh dengan cara bertarungku. Aku berdiri di atas platform yang terbuat dari es, ketika aku mengimbangi dia membentuk golem raksasa bersenjatakan tombak bertarung dengan golem raksasa yang dia buat dengan bersenjatakan pedang. Pertarungan kami cukup aneh sekali, kami tidak melakukan pertarungan langsung. Kami saling melemparkan elemen dan menciptakan berbagai bentuk makhluk yang kamu gerakkan dari jauh. Seandainya ada yang melihat pasti mereka seperti melihat dua orang yang bermain mainan remote control untuk saling mengalahkan. Aku bisa mengimbangi cara bertarung seperti itu. Kalau ada kesempatan baru aku menyerangnya secara langsung dengan melemparkan sesuatu untuk melukainya, begitupun dengan Thomas. Dan Sial. Dia Kuat sekali, tak ada satup
POV ANDREAku, Puri, Alek, Tobi, dan para elemental lainnya, kini berhadapan dengan tiga anggota SDI. Mereka yang masing-masing menggunakan sarung tangan jolt, menyeringai ke arah kami. Senyum merendahkan pun tersungging di wajah mereka. Dengan sangat angkuh mereka mendekat ke arah kami."Halo kalian tikus-tikus elemen, kenalkan namaku John. Ada baiknya bukan, jika sebelum mati kalian mengetahui nama siapa yang sudah membunuh kalian, hahaha..." kata orang pertama sambil tertawa mengejek."Aku Scarlet," kata orang kedua, seorang cewek dengan dandanan layaknya laki-laki."Hahaha..., dan Hund, bersiaplah kalian untuk mati," katanya."Kalian tak lihat apa, jumlah kami banyak. Apa sanggup kalian melawan kami?" tanya Alex dengan lagaknya seperti biasa."Hahaha..., lihat teman-teman. Dia meragukan kita!" Kata John sambil melirik kedua temannya."Hahaha...., mereka memang cari mati John! Hai bocah sebanyak apapu
Pov RayAku dan sang Balancer ibuku memimpin para pengguna elemen menuju senayan, dimana bangunan aneh berada. Kami sudah berada di depan bangunan besar yang menjulang yang mengelilingi Tugu Monas. Menurut ramalan tepat jam dua belas siang nanti akan terjadi gerhana matahari, dimana seluruh planet berada pada satu garis lurus.Sebelum itu terjadi, kami harus bisa mengalahkan Thomas dan menghalanginya untuk menjadi wadah dari kekuatan Azazel. Walau kami tahu, itu tidak akan mudah. Tapi kami pantang untuk menyerah, demi kedamaian di dunia ini.Semua bangunan ini sudah dipersiapkan oleh Thomas. Bagunan yang dibuat dengan menggunakan elemen tanah, besi dan elemen es untuk atapnya."Ray cepat temukan Thomas, Kita tak punya banyak waktu lagi. Sebelum terjadi gerhana Matahari, terlambat saja, kita sudah dapat dipastikan akan binasa," kata Ibuku dengan tegas padaku."Iya Ibu, Ray tahu hal itu," jawabku sambil terus melangkah.
POV Ray (6 jam sebelum gerhana)."Sebuah bangunan megah yang aneh tiba-tiba saja muncul dari dalam tanah, kemunculan bangunan itu disertai dengan terjadinya gempa dahsyat. Gempa yang bukan saja terjadi di sekitar kemunculan bagunan aneh itu, tapi hingga melanda keseluruh kota Jakarta."Sebuah headline dari berita yang muncul di beberapa stasiun televisi nasional, yang tentu saja membuat geger seluruh warga. Apalagi peristiwa gempa telah membuat orang-orang menjadi panik, kaca-kaca gedung pecah. Bahkan sebagian bangunan milik warga ada yang rubuh, hingga ada juga yang rata dengan tanah.Seluruh stasiun televisi menyiarkan fenomena aneh ini. Aparat dari kepolisian dan militer pun mensterilkan sekitar Senayan. Hanya pihak pemberitaan yang bisa mendekati lokasi, walau area yang diliput di batasi. Tapi semua lapisan masyarakat bisa melihat bangunan megah itu dari jauh.Bangunan besar, menyerupai sebuah istana raja-raja. Yang tiba-tiba saja ter
POV MariaLelaki berambut abu-abu itu berdiri si depan kami, senyumnya tersungging. Namun aku tak merasakan keramahan dari senyuman itu, tapi kengerian yang mulai menjalar ke seluruh tubuhku."Halo Keponakanku, apa kabar?" sapa lelaki itu."Ahhh...., ponakan!" Pikirku."Thomas....," gumam Ray, dia berdiri dengan posisi waspada.Aku heran siapa laki-laki ini, meski menyebut Ray dengan kata keponakan, tapi Ray terlihat tak bergeming dari tempatnya. Sepertinya ada percakapan batin dari kedua orang ini, yang tak bisa aku dengar."Aku hanya ingin menyapa saja, tak apa kan," kata Thomas."Kenapa?""Wajar bukan seorang paman menyapa keponakannya. Apalagi kalau basa-basi ini diperlukan sebelum kita bertemu lagi dalam pertempuran," kata Thomas. Dia menoleh ke arahku."Sore nona, pacarmu Ray?""Thomas, sudahi semua ini. Kamu tahu siapa Azazel bukan?""Aku tahu Ray, hanya saja aku lebih