Hari berlalu dengan penuh cinta di antara Lili dan James, mereka pun memutuskan untuk menikah. Pernikahan yang mereka rahasiakan dari siapa pun juga. Lili yang seorang Balancer sudah mengetahui kalau organisasi Dark Lantern sudah mencium keberadaan dirinya, dia tak ingin membuat James yang seorang penyidik terlibat dengan organisasi ini. Organisasi yang sukses menyusup di departemen kepolisian di mana James bertugas.
"Lili, maafkan bila aku tak bisa selalu ada di sampingmu, keberadaan mulai tercium dan beberapa anggota SDI sedang berusaha mencarimu," bisik James di telinga Lili saat mereka sedang menikmati malam berdua.
"Tak masalah James, aku sudah bisa menduga hal itu," jawab Lili sambil memeluk suaminya.
"Apa kamu tahu apa itu 8 Miles?" tanya James sambil menatap wajah istrinya.
"Tentu aku tahu, aku tahu tempat itu," jawab Lili.
"Benarkah?" ucap James sambil mengerutkan dahinya.
"Tentu James, di sini banyak para pengguna elemen di b
Mohon dukungannya dengan cara berikan komentar berupa kritik dan saran, VOTE, atau kamu bisa menambahkan Novel ini ke dalam pustakamu. Terima kasih readear!
Para agen SDI berhasil menemukan lokasi ruang persalinan yang di pakai oleh Lili, alat deteksi dari jolt menuntun mereka diluar ruangan yang sudah coba disembunyikan oleh William. "James, mereka sudah mengetaahui keberadaanku," kata Lili sambil melepaskan pelukan James. "Iya, aku tahu Lili, mereka sudah mengepung rumah sakit ini dan siap menyerang," jawab James. "Bagaimana dengan bayi kita, James?" tanya Lili sambil menatap bayi yang ada dalam pangkuannya. James, untuk sesaat terdiam, dia berpikir hal yang bisa dia lakukan untuk kebaikan anaknya, Lili dan juga dirinya. "Aku akan membawanya," jawab James setelah beberapa saat berpikir. "Akan kamu bawa ke mana dia James?" tanya Lili dengan sedih "Tenanglah Lili, aku akan cari tempat yang paling aman untuk anak kita, agar tak tercium oleh orang-orang Dark Lantern," kata James. Walaupun dia berusaha untuk tenang di depan Lili, namun hatinya merasakan sakit karena harus bertindak ce
POV RAY Perjalanan panjang lewat udara sudah kulalui, kini aku berada di Moskow. Masih setengah perjalan lagi yang akan aku jalani, perjalanan darat menuju kutub utara. Tepatnya Syberia. Petunjuk yang aku dapat hanya melalui bisikan elemen angin yang membimbingku sepanjang perjalanan, entah siapa yang memanduku. Perjalanan menuju Syberia hanya bisa dijangkau dengan kereta, aku kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang-orang Rusia ini, bahasa yang aku pakai hanya bahasa ingriss dan tak semua petugas di sini mampu menggunakannya. Kereta yang aku gunakan saat ini adalah sebuah kereta khusus, hingga aku harus membayar mahal untuk ini. Syberia yang berada di ujung sebelah utara benua Rusia, hembusan hawa dingin yang amat sangat membuatku terbiasa saat menghembuskan napas selalu mengeluarkan kepulan asap dari kehangatan tubuhku sendiri. Mau tak mau aku harus trbiasa juga dengan hidangan daging yang menjadi santapanku setiap hari, ditambah sege
POV Ray Rasa hangat menjalar ke seluruh tubuhku, pelan-pelan bayangan perapian di depan mataku memudar, seiring kesadaranku yang berpindah ke alam mimpi. Bayangan wajah Maria hadir dengan senyumnya yang manis, dia menghampiriku lalu meraba keningku. "Ray, kamu nggak apa-apa kan?" tanyanya dengan suara yang lembut di telingaku. "Nggak, aku nggak apa-apa," jawabku pelan. Maria mengusap wajahku, dari bibirnya tersungging senyuman dan tatapan lembutnya di wajahku. Namun perlahan wajahnya mulai samar dan hilang entah kemana. "Maria..., Maria..., kamu di mana!" teriakku panik. Tiba-tiba saja, aku sudah berada di ruang gym yang ada di sekolah. Dari jauh aku melihat tubuh seorang cewek yang terlihat sedang menggapai-gapaikan tangannya di lantai seakan sedang berusaha meraih sesuatu. Aku langsung mendekat ke tengah gym, dan terkejut ternyata Itu Maria. Saat itu aku melihat Maria berusaha menggepalkan telapak tang
POV RayAku pun berkomunikasi dengan elemen air dan udara yang ada di tubuhku, agar aku bisa mengangkat tubuhku di atas salju. Tanganku menyala dan mengeluarkan cahaya biru, kakiku perlahan terangkat dan berada menapak di atas salju. Baru saja beberapa langkah berjalan di atas salju."Kamu akan cepat lelah bila melakukan hal itu Ray, aturlah penggunaan kekuatanmu," kata Michelle."Maksudmu bagaimana?" tanyaku sambil menghentikan langkahku."Kamu bukanlah pengguna elemen biasa. Semakin banyak kamu menggunakan kekuatanmu, kamu akan lemah. Sadarilah kalau kamu ini seorang Creator," ungkap Michelle sambil menarik napas panjang."Creator? Bisa kamu jelaskan apa itu?" tanyaku"Nanti akan aku jawab," lagi-lagi dia berkata nanti. Huh, aku jadi makin penasaran saja."Aku lanjutkan. seorang Mist bisa bicara dengan banyak elemen. Hampir semua elemen kecuali satu," ungkapnya, dia seakan sengaja menjeda
POV RayTak terasa sudah hampir dua bulan aku tinggal dan berlatih di Syberia, waktu yang cukup lama hingga membuat rasa rindu pada Maria semakin memuncak. Bahkan hampir setiap malam Maria selalu hadir di mimpiku dengan air mata yang terus mengalir di kedua belah pipinya, dia memintaku untuk segera pulang dan ada di sampingnya.Latihan yang aku jalani dengan Michelle semakin sulit, dia mengajariku untuk mulai membuat objek dari elemen yang aku kuasai. Dari mulai membuat pedang dari batu, elemen api, air bahkan membuat macam benda yang kadang hanya untuk menjadi ajang latihan dari kecermatanku pada elemen yang ada dalam tubuhku.Semakin banyak elemen yang masuk ke dalam tubuhku, makin ramai juga suara yang ada di kepalaku. Namun aku dan para elemen bukan sekedar pengguna dan yang digunakan, aku sudah dapat membiasakan diri untuk selalu berkomunikasi dengan semua elemen dan memanggil nama mereka. Para elemen dalam tubuhku sangat bers
POV RayAku masih menatap Michelle yang terdiam, dan pikiranku justru teringat akan Maria. Bagaimana kabar dia sekarang? Andai saja aku bisa berpamitan padanya dengan kata-kata, mungkin dia tak akan menderita dengan sakitnya. Aku harap tunggulah sebentar lagi Maria."Kamu ingin bisa berbicara dengan Maria?" tanya Michelle tiba-tiba. Tentu saja pertanyaan itu membuatku tertegun untuk sesaat."Emmm..., Emang bisa ya?" jawabku antara kaget dan tak percaya, Michelle bertanya seperti itu."Kalau bisa, apakah kamu mau bicara dengannya?"tanyanya lagi."Tentu saja," kataku dengan wajah gembira."Dan tentu saja kamu bisa. Kamu bisa melakukan hal itu, kamu memiliki elemen angin. Apakah kamu pernah dengar lagu yang syairnya kurang lebih seperti ini, 'Wahai angin sampaikan cintaku kepadanya'?" tanya Michelle dengan tersenyum menggodaku."Hmm..., entahlah aku tak begitu memperhatikan," jawabku dengan jujur."H
POV Ray Hari-hariku sebagai seorang creator di mulai, latihanku saat ini lebih banyak membuat objek dengan menggunakan banyak elemen. Dengan menggunakan imajinasiku, semua aku coba wujudkan menjadi sebuah bentuk nyata yang kadang semuanya hanya berupa hiburan untukku. Selain membuat objek aku juga berlatih melakukan penyembuhan luka dengan menggunakan elemen air. Ada yang sempat membuatku merasa bangga dengan diriku sendiri, aku mencoba membangun sebuah bangunan dengan menggunakan elemen tanah, menyalakan listrik dengan bantuan elemen petir, dan banyak lagi hal baru yang sangat menarik untukku. Dengan bantuan Michele aku pun semakin dekat dengan para elemen, begitu juga dengan serigala-serigala yang selalu bersamanya. Yang lebih seru, aku juga bisa berkomunikasi dengan pepohonan besar yang ada di sekeliling pondok bahkan di dalam hutan. Michele cukup kagum denganku karena kemampuanku berbicara dengan alam melebihi ekspetasi di
POV RaySemakin memasuki pulau ini, makin banyak juga mahluk aneh yang ditemui. Saat ini saja, aku merasa janggal dengan apa yang aku lihat. Monyet-monyet yang bergelantungan di pohon sepanjang jalan yang aku lewati, namun tubuh monyet itu sangat aneh. Monyet-monyet itu memiliki empat tangan dan dua kaki, mereka bergelantungan dengan sepasang tangan dan sepasang tangan lain bergerak dengan bebas. Monyet-monyet itu terus mengiringi setiap langkahku hingga batas hutan, mereka seperti merasa senang dengan kehadiranku. Suara mereka saling bersahutan, namun tak berani untuk mendekat.Keluar dari hutan yang dipenuhi oleh Monyet, langkahku terhenti dengan munculnya mahluk besar berwarna hijau. Mahluk ini menghadangku dengan tubuh besarnya dan tingginya yang dua kali lebih tinggi dari tubuhku. Wajahnya jelek dengan sepasang taring tajam di mulutnya, menyeringai ke arahku." Apakah ini yang disebut Troll?" tanyaku pada diri sendiri. Dan par