Share

3. Kematian

Pagi yang indah tidak menjamin kalau hari akan berakhir dengan indah juga. Buktinya, Azura yang pagi tadi masih bisa tertawa dengan Mulan, Beni, dan Anna, kini justru harus menangis sejadi-jadinya. Hidup Azura seolah benar-benar berbalik dalam satu kedipan mata.

"Yang kuat ya," ucap salah seorang dokter jaga.

Azura hanya diam. Kedua bibirnya tidaklah bungkam. Namun, mulutnya tidak mengeluarkan suara apapun selain isak tangis yang memilukan.

Malam ini menjadi kali pertama Beni dan Mulan tidak menepati janji. Sosok ayah yang juga merupakan cinta pertama Azura tidak datang membawakan macaroon kesukaannya. Ibunya juga ingkar saat berucap kalau mereka akan pulang larut malam. Nyatanya, hingga dini hari, mereka sama sekali belum kembali.

Mmmm ralat, mereka TIDAK akan pernah kembali.

Entah sudah berapa lama Azura larut dalam tangis. Dia sempat tak sadarkan diri, lalu bangun, menangis lagi, dan kembali pingsan lagi. Begitu seterusnya hingga malam berganti pagi.

Saat cahaya matahari mulai masuk melalui celah jendela rumah sakit, Azura akhirnya kembali membuka mata. Kali ini, dia hanya menghela napas panjang, dan mencoba menenangkan diri. Ingin menyangkal, tapi Azura harus menerima kenyataan kalau kedua orang tuanya kini telah meninggal.

Ya. Meninggal.

Setelah menguatkan kedua kakinya yang lemas, Azura lantas menapaki lorong ruang tunggu kamar jenazah. Ini akan menjadi hari yang sangat amat berat. Namun, biar bagaimanapun, Azura harus tetap bisa berdiri untuk menghadiri upacara pemakaman kedua orang tuanya siang nanti.

"Beni dan Mulan dinyatakan meninggal," terang seorang anggota keluarga kepada beberapa orang yang lain.

Samar-samar perbincangan dari ruangan samping cukup terdengar oleh telinga Azura. Sepertinya ada beberapa anggota keluarganya yang sedang menemui rekan kerja Beni. Entah siapa saja, tapi Azura terka mungkin jumlahnya lebih dari lima.

"Mereka mengalami kecelakaan tunggal. Sebelum sempat dibawa ke rumah sakit, mereka sudah meninggal di tempat," ucapnya lagi.

Bohong! Demi Tuhan, ini tidaklah benar. Sialnya, baru saja Azura bangkit dan ingin menemui mereka untuk menyuarakan kebenaran, kedua tangannya sudah terlebih dulu dicekal dari belakang.

Azura sempat sedikit berteriak. Sungguh sayang, mulutnya buru-buru dibekap. Dari arah samping, Azura bisa melihat wajah Riki, pamannya sendiri.

"Lepas!" pekik Azura setelah mereka tiba di sebuah lorong yang sepi.

"Jangan berani angkat bicara. Aku masih berbaik hati untuk tidak menghilangkan jasad orang tuamu. Kalau sedikit saja kamu bersuara, jangan harap upacara pemakaman akan berlangsung aman. Tidak sulit bagiku untuk melenyapkan jasad mereka tanpa jejak."

Bibir Azura sedikit bergetar. Tak ada sedikit pun kata yang keluar. Diri Azura masih diliputi rasa tidak menyangka kalau Riki - adik kandung Beni, adalah otak di balik kematian Beni dan Mulan.

"Tapi santai saja, Azura. Aku masih berbaik hati untuk mengembalikan jasad mereka padamu. Setidaknya, kalau kamu merindukan mereka, kamu masih bisa membaca nama mereka di batu nisan," lanjut Riki.

"Jangan harap hidupmu akan tenang," pungkas Azura.

Riki tertawa dengan nada meremehkan. "Artinya kamu siap berhadapan denganku? Kamu yakin?"

"Kamu pikir aku takut?" tantang Azura.

Bibir Riki tersenyum separuh, tubuhnya berbalik, lalu melangkah pergi seraya berkata, "Melenyapkan nyawamu berkali lipat lebih mudah daripada membunuh orang tuamu."

Hati yang semula sudah hancur, kini semakin hancur saat Azura mengingat kematian tragis kedua orang tuanya. Ada kesedihan yang mendalam, tapi juga ada rasa marah dan takut yang tak bisa dia abaikan. Bagaimana tidak? Azura melihat dengan mata kepalanya sendiri saat orang tuanya terbunuh.

Lebih tepatnya, dibunuh.

Lebih mirisnya lagi, pelakunya adalah keluarga Azura sendiri.

Lebih rumitnya lagi, Azura adalah satu-satunya saksi yang tentu saja akan menjadi target mereka selanjutnya.

"Anda yang bernama Azura?" tanya seorang perawat yang muncul dari balik pintu.

Azura mengusap kedua pipinya cepat-cepat. "Iya. Saya Azura."

"Baik, jenazah akan segera kami berangkatkan ke rumah duka."

Jarak rumah duka dari rumah sakit tidak seberapa jauh. Tidak lebih dari sepuluh menit, Azura sudah sampai di sebuah tempat bercat putih. Di antara deret rangkaian bunga duka cita, Azura melihat ada sangat banyak orang yang sudah memenuhi ruangan.

"Apa itu yang namanya Azura? Anak semata wayang dari Mulan dan Beni."

"Kasian sekali dia. Dalam sekejap, dia langsung menjadi yatim piatu."

"Dia sepertinya anak tunggal. Tak ada saudara yang berjalan bersamanya."

Bisik-bisik di tengah kerumunan masih terdengar oleh telinga Azura. Namun, Azura sama sekali tidak menggubris. Lebih baik Azura segera berjalan menuju peti mati yang berjejer di tengah ruangan.

Di dalam peti itu, tubuh ayah dan ibunya sudah berbaring dengan tenang. Wajah mereka tampak damai, tapi Azura tahu kalau mereka pergi dengan cara tidak layak. Cara yang selalu berhasil membuat dadanya terasa sesak.

"Azura." Suara Anna terdengar bersamaan dengan saat pundak Azura diusap.

Begitu tubuh Azura berbalik, dia buru-buru memeluk Anna erat-erat. Air mata lagi-lagi tumpah. Seolah tak pernah habis, bulir bening terus membasahi lengan baju Anna yang sedang terulur merengkuh tubuh Azura.

Cukup lama mereka saling berbagi rasa duka. Anna sempat menyinggung tragedi kecelakaan yang menimpa Beni dan Mulan. Namun, saat Azura berniat menjelaskan sebuah kebenaran, tatapan seluruh anggota keluarganya menyorot penuh ancaman. Meski hanya perantara tatapan mata, Azura sudah paham kalau keluarganya meminta Azura agar tetap bungkam.

"Pemakamannya siang ini?" tanya Anna kemudian.

"Iya."

"Aku akan di sini sampai semuanya selesai," ucap Anna.

Azura mengangguk. Sebagian dirinya ingin menumpahkan semua kejahatan keluarganya kepada Anna. Namun, pikiran dan hatinya masih terlalu berantakan. Sekadar untuk menerima kenyataan tentang kepergian orang tuanya saja sudah susah. Apalagi kalau harus memikirkan strategi dan sederet risiko jika saja Azura berani membuka mulut. Sungguh, jiwanya masih belum cukup kuat.

"Apakah menangis akan membuat kedua orang tua kamu kembali?" bisik Mira, istri dari Riki.

Wajah cantik bak malaikat tidak menjamin hatinya juga seperti malaikat. Bahkan, Azura bersumpah kalau Mira berhati iblis. Sebab, manusia mana yang tega memberikan ancaman mengerikan saat Azura sedang berkubang dalam duka yang mendalam.

"Ingat, Azura. Tutup mulutmu baik-baik," ucap Mira. "Jangan katakan apapun atau kami akan membuat skenario kematianmu sama persis seperti kematian orang tuamu."

Tubuh Azura seketika mematung. Ini memanglah hari berkabung. Namun, sepertinya Azura harus sedikit menepis rasa duka. Azura sadar betul kalau dirinya adalah target selanjutnya.

Dalam diam, Azura terus meyakinkan diri kalau dia tak boleh mati. Kebenaran atas kematian orang tuanya harus terungkap. Entah dengan cara apa, tapi Azura harus berjuang mendapatkan keadilan.

Atau kalau boleh dibilang, ... Azura harus tetap hidup untuk bisa membalaskan dendam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status