Share

3. Kematian

Author: Hanana
last update Huling Na-update: 2024-07-25 17:07:29

Pagi yang indah tidak menjamin kalau hari akan berakhir dengan indah juga. Buktinya, Azura yang pagi tadi masih bisa tertawa dengan Mulan, Beni, dan Anna, kini justru harus menangis sejadi-jadinya. Hidup Azura seolah benar-benar berbalik dalam satu kedipan mata.

"Yang kuat ya," ucap salah seorang dokter jaga.

Azura hanya diam. Kedua bibirnya tidaklah bungkam. Namun, mulutnya tidak mengeluarkan suara apapun selain isak tangis yang memilukan.

Malam ini menjadi kali pertama Beni dan Mulan tidak menepati janji. Sosok ayah yang juga merupakan cinta pertama Azura tidak datang membawakan macaroon kesukaannya. Ibunya juga ingkar saat berucap kalau mereka akan pulang larut malam. Nyatanya, hingga dini hari, mereka sama sekali belum kembali.

Mmmm ralat, mereka TIDAK akan pernah kembali.

Entah sudah berapa lama Azura larut dalam tangis. Dia sempat tak sadarkan diri, lalu bangun, menangis lagi, dan kembali pingsan lagi. Begitu seterusnya hingga malam berganti pagi.

Saat cahaya matahari mulai masuk melalui celah jendela rumah sakit, Azura akhirnya kembali membuka mata. Kali ini, dia hanya menghela napas panjang, dan mencoba menenangkan diri. Ingin menyangkal, tapi Azura harus menerima kenyataan kalau kedua orang tuanya kini telah meninggal.

Ya. Meninggal.

Setelah menguatkan kedua kakinya yang lemas, Azura lantas menapaki lorong ruang tunggu kamar jenazah. Ini akan menjadi hari yang sangat amat berat. Namun, biar bagaimanapun, Azura harus tetap bisa berdiri untuk menghadiri upacara pemakaman kedua orang tuanya siang nanti.

"Beni dan Mulan dinyatakan meninggal," terang seorang anggota keluarga kepada beberapa orang yang lain.

Samar-samar perbincangan dari ruangan samping cukup terdengar oleh telinga Azura. Sepertinya ada beberapa anggota keluarganya yang sedang menemui rekan kerja Beni. Entah siapa saja, tapi Azura terka mungkin jumlahnya lebih dari lima.

"Mereka mengalami kecelakaan tunggal. Sebelum sempat dibawa ke rumah sakit, mereka sudah meninggal di tempat," ucapnya lagi.

Bohong! Demi Tuhan, ini tidaklah benar. Sialnya, baru saja Azura bangkit dan ingin menemui mereka untuk menyuarakan kebenaran, kedua tangannya sudah terlebih dulu dicekal dari belakang.

Azura sempat sedikit berteriak. Sungguh sayang, mulutnya buru-buru dibekap. Dari arah samping, Azura bisa melihat wajah Riki, pamannya sendiri.

"Lepas!" pekik Azura setelah mereka tiba di sebuah lorong yang sepi.

"Jangan berani angkat bicara. Aku masih berbaik hati untuk tidak menghilangkan jasad orang tuamu. Kalau sedikit saja kamu bersuara, jangan harap upacara pemakaman akan berlangsung aman. Tidak sulit bagiku untuk melenyapkan jasad mereka tanpa jejak."

Bibir Azura sedikit bergetar. Tak ada sedikit pun kata yang keluar. Diri Azura masih diliputi rasa tidak menyangka kalau Riki - adik kandung Beni, adalah otak di balik kematian Beni dan Mulan.

"Tapi santai saja, Azura. Aku masih berbaik hati untuk mengembalikan jasad mereka padamu. Setidaknya, kalau kamu merindukan mereka, kamu masih bisa membaca nama mereka di batu nisan," lanjut Riki.

"Jangan harap hidupmu akan tenang," pungkas Azura.

Riki tertawa dengan nada meremehkan. "Artinya kamu siap berhadapan denganku? Kamu yakin?"

"Kamu pikir aku takut?" tantang Azura.

Bibir Riki tersenyum separuh, tubuhnya berbalik, lalu melangkah pergi seraya berkata, "Melenyapkan nyawamu berkali lipat lebih mudah daripada membunuh orang tuamu."

Hati yang semula sudah hancur, kini semakin hancur saat Azura mengingat kematian tragis kedua orang tuanya. Ada kesedihan yang mendalam, tapi juga ada rasa marah dan takut yang tak bisa dia abaikan. Bagaimana tidak? Azura melihat dengan mata kepalanya sendiri saat orang tuanya terbunuh.

Lebih tepatnya, dibunuh.

Lebih mirisnya lagi, pelakunya adalah keluarga Azura sendiri.

Lebih rumitnya lagi, Azura adalah satu-satunya saksi yang tentu saja akan menjadi target mereka selanjutnya.

"Anda yang bernama Azura?" tanya seorang perawat yang muncul dari balik pintu.

Azura mengusap kedua pipinya cepat-cepat. "Iya. Saya Azura."

"Baik, jenazah akan segera kami berangkatkan ke rumah duka."

Jarak rumah duka dari rumah sakit tidak seberapa jauh. Tidak lebih dari sepuluh menit, Azura sudah sampai di sebuah tempat bercat putih. Di antara deret rangkaian bunga duka cita, Azura melihat ada sangat banyak orang yang sudah memenuhi ruangan.

"Apa itu yang namanya Azura? Anak semata wayang dari Mulan dan Beni."

"Kasian sekali dia. Dalam sekejap, dia langsung menjadi yatim piatu."

"Dia sepertinya anak tunggal. Tak ada saudara yang berjalan bersamanya."

Bisik-bisik di tengah kerumunan masih terdengar oleh telinga Azura. Namun, Azura sama sekali tidak menggubris. Lebih baik Azura segera berjalan menuju peti mati yang berjejer di tengah ruangan.

Di dalam peti itu, tubuh ayah dan ibunya sudah berbaring dengan tenang. Wajah mereka tampak damai, tapi Azura tahu kalau mereka pergi dengan cara tidak layak. Cara yang selalu berhasil membuat dadanya terasa sesak.

"Azura." Suara Anna terdengar bersamaan dengan saat pundak Azura diusap.

Begitu tubuh Azura berbalik, dia buru-buru memeluk Anna erat-erat. Air mata lagi-lagi tumpah. Seolah tak pernah habis, bulir bening terus membasahi lengan baju Anna yang sedang terulur merengkuh tubuh Azura.

Cukup lama mereka saling berbagi rasa duka. Anna sempat menyinggung tragedi kecelakaan yang menimpa Beni dan Mulan. Namun, saat Azura berniat menjelaskan sebuah kebenaran, tatapan seluruh anggota keluarganya menyorot penuh ancaman. Meski hanya perantara tatapan mata, Azura sudah paham kalau keluarganya meminta Azura agar tetap bungkam.

"Pemakamannya siang ini?" tanya Anna kemudian.

"Iya."

"Aku akan di sini sampai semuanya selesai," ucap Anna.

Azura mengangguk. Sebagian dirinya ingin menumpahkan semua kejahatan keluarganya kepada Anna. Namun, pikiran dan hatinya masih terlalu berantakan. Sekadar untuk menerima kenyataan tentang kepergian orang tuanya saja sudah susah. Apalagi kalau harus memikirkan strategi dan sederet risiko jika saja Azura berani membuka mulut. Sungguh, jiwanya masih belum cukup kuat.

"Apakah menangis akan membuat kedua orang tua kamu kembali?" bisik Mira, istri dari Riki.

Wajah cantik bak malaikat tidak menjamin hatinya juga seperti malaikat. Bahkan, Azura bersumpah kalau Mira berhati iblis. Sebab, manusia mana yang tega memberikan ancaman mengerikan saat Azura sedang berkubang dalam duka yang mendalam.

"Ingat, Azura. Tutup mulutmu baik-baik," ucap Mira. "Jangan katakan apapun atau kami akan membuat skenario kematianmu sama persis seperti kematian orang tuamu."

Tubuh Azura seketika mematung. Ini memanglah hari berkabung. Namun, sepertinya Azura harus sedikit menepis rasa duka. Azura sadar betul kalau dirinya adalah target selanjutnya.

Dalam diam, Azura terus meyakinkan diri kalau dia tak boleh mati. Kebenaran atas kematian orang tuanya harus terungkap. Entah dengan cara apa, tapi Azura harus berjuang mendapatkan keadilan.

Atau kalau boleh dibilang, ... Azura harus tetap hidup untuk bisa membalaskan dendam.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Kaugnay na kabanata

  • Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam   4. Pelarian di Pemakaman

    Semua orang pasti akan sibuk menyesap kesedihan saat menatap jenazah kedua orang tuanya dikebumikan. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Azura. Wanita muda itu justru tak punya banyak kesempatan untuk berduka.Gaun hitam yang cukup longgar berhasil menutupi tubuh Azura yang sedang gemetar. Kacamata berwarna gelap juga mampu menyamarkan sorot mata yang penuh dengan rasa gentar. Azura sadar, dirinya sedang dalam bahaya besar."Azura, turut berduka, ya. Kamu harus sabar, harus kuat, harus ikhlas."Puluhan orang berbaju hitam bergantian memberikan ucapan belasungkawa. Namun, Azura sama sekali tidak menanggapi. Dia terus berjongkok dengan telapak tangan bergerak meremas tanah dari dua pusara yang masih basah.Masih ada jutaan kesedihan saat melihat nama orang tuanya pada papan di atas makam. Meski begitu, jiwa Azura masih harus diterpa oleh rasa ketakutan. Sebab, keluarga yang seharusnya menjadi pelindung dan sumber penghiburan, kini justru menjadi ancaman terbesar bagi hidup Azura."Bagaima

    Huling Na-update : 2024-07-27
  • Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam   5. Wajah yang Tidak Asing

    Mimpi yang berubah menjadi kenyataan tampak seperti bualan. Namun, Azura seperti benar-benar melihat Mars sesaat sebelum dia pingsan. Wajah lelaki itu sangat amat persis. Rasanya tidak mungkin kalau Azura hanya sekadar berhalusinasi."Mars." Sebelum sepenuhnya sadar, Azura sempat membisikkan nama itu beberapa kali.Perlahan, kelopak matanya mulai terbuka. Ada nyeri yang tajam di bagian kepala saat Azura mencoba menggerakkan badan. Alhasil, Azura hanya sedikit menoleh ke sebelah kanan.Pandangannya masih kabur. Namun, dia bisa merasakan kalau dirinya berada di tempat yang aman, rumah seseorang.Tubuh yang lemas masih berbaring pada sofa abu-abu dengan selimut berwarna senada. Setelah beberapa kali berkedip pelan, bayangan buram di hadapan Azura mulai terbentuk dengan jelas. Seorang lelaki tengah berdiri di dekat jendela sambil memandangnya dengan tatapan serius."Ah, kamu udah bangun." Suara lelaki itu terdengar lembut. Dia berbalik, lalu kembali mendekat sambil membawakan segelas air.

    Huling Na-update : 2024-08-13
  • Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam   6. Bahaya yang Lebih Besar

    Azura menatap bingung saat Gavin berjongkok di hadapannya. Lelaki itu menunduk sambil membawa satu kantong es yang sudah dibalut dengan kain. Merasa tak nyaman dengan posisi seperti ini, Azura lantas bergerak sedikit mundur."Kamu mau apa?" tanya Azura.Gavin tersenyum tipis, seolah sudah langsung paham kalau Azura sedang sangat canggung. "Kakimu sedikit bengkak. Kamu sepertinya terkilir. Kalau nggak dikompres, bengkaknya bisa tambah parah."Mendengar penjelasan Gavin, Azura justru membisu dan membatu. Ada sedikit geliat aneh di hati saat mendapati perhatian kecil dari lelaki itu. Lagi-lagi, Gavin tampak semakin mirip seperti sosok Mars yang ada dalam mimpi."Kamu mau mengompresnya sendiri?" tanya Gavin.Tangan kanan Gavin sudah terangkat seraya menyodorkan gulungan kain. Namun, Azura masih mematung. Dalam diam, manik cokelatnya terus saja tertuju pada mata abu-abu terang yang sedikit bercampur dengan corak biru.'Mars,' batin Azura.Sungguh, Azura merasa seperti hidup dalam mimpi. Be

    Huling Na-update : 2024-08-13
  • Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam   7. Kepercayaan

    'Jika kamu bersikeras ingin hidup, maka kupastikan hidupmu tidak akan tenang. Dan jika kamu menginginkan ketenangan, aku bersedia membantu mewujudkannya dengan cara mengembalikan kamu kepada Tuhan.'Kalimat itu terngiang jelas saat Azura menatap tiap sudut kamar di hadapannya. Semakin lama berada di sini, Azura semakin ingat dengan sederet peristiwa yang dia alami di dalam mimpi. Tempat ini benar-benar sama persis."Are you ok?" tanya Gavin.Azura menoleh ke samping, lalu menganggukkan kepala."Duduklah dulu. Wajahmu pucat," ucap Gavin.Meski tidak menatap diri lewat cermin, tapi Azura merasa kalau dirinya memang tidak baik-baik saja. Terbukti dari munculnya beberapa titik keringat dingin pada dahi. Bahkan, Azura juga merasa kalau tarikan napasnya berubah semakin sesak."Aku merasa mereka sedang mencariku. Dan entah mengapa, aku merasa kalau mereka sangat dekat dengan rumah ini," ucap Azura."Jangan khawatir. Nggak akan ada yang bisa masuk ke rumah ini tanpa membuat janji dulu dengank

    Huling Na-update : 2024-08-13
  • Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam   8. Apakah Ini Jebakan?

    "Kamu bisa tinggal di sini sembari kita mencari jalan keluar untuk masalah ini," ucap Gavin.Azura menggeleng cepat. Dia tidak mungkin semudah itu menerima tawaran untuk tinggal di bawah satu atap."Setidaknya untuk malam ini," lanjut Gavin. "Besok pagi aku akan menemanimu mencari tempat tinggal sementara.""Sebenarnya aku bisa sendiri, dan —""Aku sudah bilang kalau aku akan menemanimu," pungkas Gavin.Azura terpaku. Semakin lama berbicara dengan Gavin, lelaki itu semakin mirip dengan Mars. Bahkan, bagaimana aksen bicaranya saat menggunakan Bahasa Indonesia juga sama persis."Sekarang kamu mau istirahat dulu?" tanya Gavin. "Kamu bisa menggunakan kamarku kalau kamu nggak mau tidur di kamar yang tadi."Azura menggeleng. "Aku di sini saja.""Ok, I hear you."Di sela pembicaraan mereka, ponsel Gavin lantas berdering. Buru-buru lelaki itu menekan tombol hijau, lalu mendekatkan ponsel pada telinga kanan. Meski tidak tahu sedang membicarakan tentang apa, tapi Azura bisa menebak kalau Gavin

    Huling Na-update : 2024-08-13
  • Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam   9. Melarikan Diri

    Azura terduduk lesu di atas lantai. Jiwanya seolah terbelah menjadi dua kubu. Satu sisi sedang membujuk diri untuk tetap percaya pada Gavin, sementara sisi yang lain tengah sibuk merutuk.'Bodoh!'Benaknya berteriak dengan berisik. Seluruh isi kepala berebut ingin memaki. Bagaimana bisa Azura sempat semudah itu percaya kepada Gavin yang sejatinya bukan siapa-siapa?Seharusnya Azura tahu kalau di dunia ini tidak ada yang bisa dipercaya selain dirinya sendiri. Keluarga yang merupakan orang terdekat saja bisa dengan tega membunuh orang tuanya. Apalagi Gavin yang baru saja Azura kenal beberapa jam yang lalu.'Shit!' Azura mengumpat dalam hati.Rasa panik dan ketakutan mulai merayap. Azura merasa sesak. Dadanya seperti dihimpit beban berat.'Nggak mungkin kalau ini cuma kebetulan,' pikirnya.Dia mulai menduga, mungkin Gavin dan Riki bekerja sama. Mungkin semua ini adalah jebakan yang sudah direncanakan sejak awal. Mungkin Gavin adalah alat untuk mempermudah Riki melancarkan rencananya.'Ak

    Huling Na-update : 2024-08-13
  • Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam   10. Dekapan Nyaman

    Udara malam terasa sejuk, mendekati dingin. Namun, keringat tetap saja mengalir di pelipis Azura. Beberapa helai rambut yang terlepas dari ikatan juga tampak menggumpal karena basah.Azura masih tidak tahu arah tujuan kakinya melangkah. Ke mana pun itu, yang jelas dia harus menjauh dari Gavin dan Riki. Orang asing yang ternyata berbahaya, dan keluarga yang sangat mengancam nyawa."Di mana ini?" monolog Azura seraya menoleh kanan dan kiri.Begitu tiba di jalan raya, Azura berhenti sejenak untuk mengatur napas dan menenangkan pikiran. Dia mengamati sekeliling, kemudian sadar kalau tempat ini tidaklah asing. Azura sangat mengenali jalan dan bangunan di sekitar sini.Sebuah perasaan lega muncul di dadanya. Setiap sudut jalan terlihat cukup akrab, karena wilayah ini tidak jauh dari rumah tempat dirinya tinggal. Namun, perasaan lega itu dengan cepat berubah menjadi kecemasan. Keluarga Riki, termasuk Riki sendiri, juga tinggal di area sekitar sini. Jadi, Azura harus sangat berhati-hati.Azur

    Huling Na-update : 2024-08-13
  • Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam   11. Jalan Keluar

    "Turunkan celanamu," titah Azura."What?!"Gavin membulatkan mata. Setelah tadi berhasil mengendap menuju apotek terdekat, kini mereka sedang duduk di selasar belakang ruko. Suasana terbilang sangat sepi, hanya ada mereka berdua saja."Cepatlah," ucap Azura."Kenapa kamu seperti mau memperkosaku?"Azura berdecak malas. "Gimana aku bisa mengobatimu kalau kakimu masih tertutup begitu?""Ok, then." Meski sedikit canggung, tapi Gavin akhirnya menurut."Ini mungkin akan sedikit perih," ucap Azura."It’s ok."Tak ada adegan romantis seperti di cerita romansa. Mereka tidak sempat saling pandang dan tidak pula berpegangan tangan. Azura hanya membersihkan luka, memberi obat, lalu menutupnya dengan kasa. Hanya itu saja.Benar-benar hanya itu saja.Setelah semuanya selesai, mereka lantas kembali pada mode waspada. Pandangan mata mereka meniti segala arah untuk memastikan semuanya aman. Jangan sampai ada orang melihat mereka, terutama Riki."Apa di sini aman?" Azura berguman. Tak hanya bertanya p

    Huling Na-update : 2024-08-14

Pinakabagong kabanata

  • Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam   69. Di Balik Tirai Rumah Sakit

    Azura memeluk dirinya sendiri. Penolakan tegas dari Darren cukup menampar dan bisa membuatnya sadar. Dia sudah terlalu gegabah.Ketakutan dan kekhawatiran yang berlebihan membuat Azura terlalu ingin cepat menemukan Gavin. Dia terkesan terlalu memaksakan diri. Sampai-sampai, dia lupa kalau dirinya mulai menjadi egois dan tidak rasional."Maaf," ucap Azura lirih. "Aku yang seharusnya minta maaf."Ada rasa sakit yang tak bisa dijelaskan ketika menyadari bahwa setiap langkah yang dia ambil mungkin akan menyeret Darren dan Laura ke jurang yang tak seharusnya. Ini salah. Ini terlalu jauh.Azura tidak ingin membuat siapa pun masuk ke dalam luka yang pada awalnya hanya miliknya sendiri.“Aku….” Suara Azura pelan, hampir tak terdengar. “Aku nggak ingin ada yang dirugikan karena aku. Termasuk kalian berdua.”“Azura—”Suara dari ponsel kembali terdengar. Darren belum menutup sambungan. Nada bicaranya masih terdengar berat, tapi juga tidak sekeras sebelumnya.“Aku bisa mengerti posisimu,” kata Da

  • Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam   68. Antara Hidup dan Mati

    Cahaya.Begitu silau, tapi tak menghangatkan.Begitu dekat, tapi tak bisa digapai.Gavin mencoba mengangkat kelopak matanya, tapi tubuhnya tak merespons. Raganya seolah masih tertinggal di tempat yang gelap, jauh di kedalaman yang tak bernama.Lamat-lamat, dia lantas mendengar suara. Pelan. Samar. Namun, jelas menusuk ke dalam kesadarannya yang rapuh.“Tingkatkan dosisnya. Dia belum boleh sadar. Belum sekarang.”Ada desis perintah. Ada langkah-langkah yang tergesa.Suara alat medis berdenting halus, monoton, seperti detak waktu yang terus berbunyi tanpa empati.Gavin ingin bertanya. Dia ingin tahu di mana dia, kenapa dia di sini, dan siapa yang sedang berbicara. Namun, semua pertanyaan itu hanya menggema di dalam pikirannya sendiri.Satu-satunya hal yang bisa dia rasakan hanyalah dingin. Dingin yang menjalari tulang, memeluk nyawanya erat-erat. Dalam kegelapan yang kembali menelannya, satu nama lantas melintas.Azura.Nama itu muncul seperti bisikan paling jujur di tengah kekacauan. M

  • Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam   67. Kehabisan Waktu

    Warna senja sudah menjilat tepian cakrawala saat Laura mengulirkan jari di layar ponselnya. Dia sedang mencari sebuah nama di daftar kontak yang saat ini mungkin bisa membawanya ke jalan keluar. Rowan Stewart, kakak laki-laki Gavin.“Aku nggak tahu dia masih pakai nomor ini atau nggak,” gumam Laura pelan, nyaris seperti minta izin untuk merasa gugup.David mengangguk. “Coba saja. Kita nggak punya banyak pilihan.”Azura tak ikut berkomentar. Namun, tatapan penuh harap darinya sudah cukup untuk memberikan Laura dukungan, atau bisa disebut juga dengan permohonan. Sungguh, wajahnya senada dengan langit mendung yang hanya sedikit disiram dengan rona jingga yang murung."Semoga tersambung," ucap Laura kemudian.Setelah mengembuskan napas panjang, Laura menekan tombol hijau. Tak lupa, dia juga membiarkan telepon berada pada mode loud speaker. Hanya butuh jeda satu detik hingga suara nada sambung berhasil mempercepat laju detak jantung.Sekali.Dua kali.Tiga kali.Lalu terdengar jawaban lela

  • Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam   66. Keluarga Gavin

    Azura tak ingat kapan terakhir kali dirinya merasa begitu lelah. Bukan sekadar kelelahan fisik, tapi sesuatu yang lebih dalam. Seperti tersesat di tempat yang seharusnya familiar, mencari seseorang yang seharusnya mudah ditemukan, tapi semakin dikejar, semakin jauh bayangannya.Tentu ada seberkas rasa ingin menyerah. Hari-hari yang selama ini Azura lewati bukanlah masa yang mudah. Untungnya, Azura masih menemukan satu nama yang mungkin bisa membantunya bangun dari kubangan lumpur.Laura datang. Langkahnya mantap dan cepat. Mantel panjangnya berkibar tertiup angin, menampakkan tubuh yang tampak lebih berisi. Di sebelahnya, David berjalan lebih pelan sambil mendorong stroller bayi."Azura." Suara Laura pelan, nyaris tenggelam dalam kebisuan.Sejenak, mereka hanya berdiri berhadapan. Dua orang yang dulu saling terikat dalam simpul yang rumit, kini kembali bertemu dalam keadaan yang sama sekali berbeda."Kamu baik-baik saja?" tanya Laura. Dia sadar kalau itu adalah pertanyaan bodoh yang t

  • Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam   65. Telepon Laura

    "Azura? Itu kamu, 'kan?"Tidak ada sapaan terburu-buru. Nada suara Laura memang terdengar terkejut. Mungkin dia tidak menyangka kalau Azura tiba-tiba menghubunginya. Namun, kalimat kedua darinya sudah meluncur dengan lebih tenang."Ra? Are you there?""Iya, ini aku," timpal Azura. "Hai, Laura."Azura menutup mata sejenak, meresapi kenyataan bahwa akhirnya mereka berbicara lagi setelah sekian lama tidak ada kontak. Ada perasaan aneh di dadanya. Bukan hanya canggung, tapi juga sedikit rindu.Laura pernah menjadi cahaya di tengah kegelapan yang hampir menelan Azura. Sebagai seorang pengacara, Laura tidak hanya menyelamatkan hidupnya dalam arti hukum, tapi juga dalam makna yang lebih dalam. Wanita itu pernah berhasil membebaskan Azura dari jerat yang hampir membunuh dirinya. Azura mengingat hari itu dengan jelas, bagaimana Laura berdiri di depan, berani melawan badai yang nyaris meruntuhkan.Hubungan mereka pun tidak sesederhana itu. Selain interaksi profesional antara klien dan pengacara

  • Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam   64. Menyusuri Setiap Sudut Barnton

    Azura masih diam pada pijak yang sama.Ada sesuatu.Bahu dan tengkuknya menegang. Bukan karena lelah, tapi lebih seperti ada sesuatu yang menariknya. Kepalanya seolah dipaksa untuk tetap menoleh ke lantai dua.Sejak beberapa detik yang lalu, ruangan itu sudah gelap. Cahaya dari luar hanya menyisakan kilasan samar di balik kaca besar. Semua kosong. Tak ada siapa pun.Namun, … tunggu dulu. Masih ada seseorang di atas sana.Azura menajamkan pandangan, tapi gelap di sana terlalu pekat. Sosok lelaki itu terbungkus dalam siluet yang buram. Namun, meski samar, Azura tetap bisa mengenalinya. Cara lelaki itu berdiri, garis bahunya yang kokoh, kemiringan kepalanya, dan satu tangannya yang diselipkan ke dalam saku, semua terasa begitu akrab."Gavin?" Azura berbisik pada dirinya sendiri.Udara yang semula bisa Azura hirup dengan bebas, kini berubah jadi beban yang menghimpit. Sebelum dia bisa mencari kepastian, sebelum otaknya mampu memproses lebih jauh, sosok itu lantas bergerak. Tak sampai tiga

  • Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam   63. Petunjuk Kecil

    Lobi kantor terlihat luas dengan pencahayaan hangat, kontras dengan area luar yang dingin dan cenderung abu-abu. Lantainya mengkilap, memantulkan bayangan tubuh Azura yang tampak kecil dan semakin kerdil. Udara di ruangan itu sejuk, tapi bukannya menenangkan, malah terasa asing dan tak bersahabat.Suara sepatu hak tinggi yang berdetak pelan di lantai marmer, suara ponsel yang bergetar, dan dentingan keyboard dari meja resepsionis membentuk simfoni kesibukan yang tidak berkesudahan. Tidak ada yang memedulikan Azura. Tidak ada yang memperhatikannya. Azura benar-benar hanyalah seorang pendatang tanpa identitas.Tenggorokannya terasa kering, kakinya sedikit gemetar, tapi tekad memaksa Azura untuk tetap tegak. Jemarinya mencengkeram tas, seolah mencari pegangan di tengah lautan ketidakpastian. Napasnya berat, tapi dia menolaknya menjadi tanda kelemahan. Dia sudah terlalu jauh untuk berbalik. Entah apa yang menantinya di depan, satu-satunya pilihan adalah melangkah."Permisi, saya mencari G

  • Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam   62. Stockbridge

    Warna langit begitu pekat, tanpa bintang, pun tanpa bulan. Hanya sayap pesawat yang sesekali berkilat terkena cahaya dari dalam kabin. Azura duduk diam, mencoba berpikir. Sialnya, dia seolah tidak diizinkan untuk memutar otak.Pesawat terus berguncang. Bahkan, lebih kencang dari sebelumnya. Azura menutup rapat kedua mata karena baru pertama kali mengalami turbulensi semengerikan ini. Napasnya tertahan di tenggorokan. Getaran itu merayap dari sandaran kursi hingga ke tulang belakang. Setiap gerak seolah sedang mengingatkan bahwa Azura sedang melayang di udara, menggantung di antara negara yang dia tinggalkan dan negara yang belum tentu menyambutnya.'Gila! Apa aku benar-benar sedang melakukan ini?' batin Azura dalan hati.Azura tidak tahu apakah kepergiannya ini merupakan keberanian atau kebodohan. Tidak ada yang bisa memastikan apakah Gavin masih di sana, apakah dia baik-baik saja, atau apakah dia benar-benar menginginkan Azura datang.Layar ponsel menampakkan itinerary yang dulu Gav

  • Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam   61. Keputusan Azura

    Langit tampak kelabu, tapi hati Azura jauh lebih suram dari warna di luar jendela. Dia duduk di tepi ranjang, meremas selimut dengan tangan gemetar. Dadanya terasa sesak, seakan ada sesuatu yang mendesak, menekannya untuk bertindak. Namun, harus ke mana? Azura bahkan tidak tahu akan memulai dari mana.Gavin masih menghilang. Sudah berapa lama? Azura tidak lagi bisa menghitung. Pesan-pesan yang dia kirim tetap tanpa balasan. Panggilan teleponnya selalu berujung pada nada sambung yang menyebalkan.Azura mencoba mencari tahu tentang Edinburgh, kota yang bahkan belum pernah dia injak. Namun, nihil. Dia tidak mengenal siapa pun di sana. Tidak ada satu pun nama atau alamat yang bisa membantunya menemukan Gavin."How did it come to this?" monolog Azura Matanya memanas, tapi dia berusaha menahan diri. Ini bukan saatnya untuk menangis. Dia harus melakukan sesuatu, apa pun itu.Memesan tiket ke Edinburgh tanpa tujuan jelas, lalu mencari Gavin tanpa petunjuk sama sekali, mungkin itu akan terden

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status