Udara malam terasa sejuk, mendekati dingin. Namun, keringat tetap saja mengalir di pelipis Azura. Beberapa helai rambut yang terlepas dari ikatan juga tampak menggumpal karena basah.Azura masih tidak tahu arah tujuan kakinya melangkah. Ke mana pun itu, yang jelas dia harus menjauh dari Gavin dan Riki. Orang asing yang ternyata berbahaya, dan keluarga yang sangat mengancam nyawa."Di mana ini?" monolog Azura seraya menoleh kanan dan kiri.Begitu tiba di jalan raya, Azura berhenti sejenak untuk mengatur napas dan menenangkan pikiran. Dia mengamati sekeliling, kemudian sadar kalau tempat ini tidaklah asing. Azura sangat mengenali jalan dan bangunan di sekitar sini.Sebuah perasaan lega muncul di dadanya. Setiap sudut jalan terlihat cukup akrab, karena wilayah ini tidak jauh dari rumah tempat dirinya tinggal. Namun, perasaan lega itu dengan cepat berubah menjadi kecemasan. Keluarga Riki, termasuk Riki sendiri, juga tinggal di area sekitar sini. Jadi, Azura harus sangat berhati-hati.Azur
"Turunkan celanamu," titah Azura."What?!"Gavin membulatkan mata. Setelah tadi berhasil mengendap menuju apotek terdekat, kini mereka sedang duduk di selasar belakang ruko. Suasana terbilang sangat sepi, hanya ada mereka berdua saja."Cepatlah," ucap Azura."Kenapa kamu seperti mau memperkosaku?"Azura berdecak malas. "Gimana aku bisa mengobatimu kalau kakimu masih tertutup begitu?""Ok, then." Meski sedikit canggung, tapi Gavin akhirnya menurut."Ini mungkin akan sedikit perih," ucap Azura."It’s ok."Tak ada adegan romantis seperti di cerita romansa. Mereka tidak sempat saling pandang dan tidak pula berpegangan tangan. Azura hanya membersihkan luka, memberi obat, lalu menutupnya dengan kasa. Hanya itu saja.Benar-benar hanya itu saja.Setelah semuanya selesai, mereka lantas kembali pada mode waspada. Pandangan mata mereka meniti segala arah untuk memastikan semuanya aman. Jangan sampai ada orang melihat mereka, terutama Riki."Apa di sini aman?" Azura berguman. Tak hanya bertanya p
Mungkin ini terkesan terburu-buru, tapi perasaan Azura mengatakan kalau Laura memang tidak berbahaya. Azura sama sekali tidak memiliki firasat buruk tentang wanita yang baru dia temui satu kali. Dan biasanya, firasat Azura tidak pernah meleset.Lagipula, Azura menganggap pertemuan ini sebagai pertemuan atas dasar profesionalitas. Azura menawarkan harga yang setimpal untuk Laura agar kasus ini berhasil dimenangkan. Jadi, bukankah ini cukup adil? Masing-masing dari mereka sama-sama mendapat keuntungan."Aku akan mencari penginapan dekat sini," ucap Azura setelah mereka selesai berdiskusi."Aku punya flat studio kalau kamu mau. Sepertinya di sana lebih aman untukmu." Gavin menyahut.Azura menggeleng, lalu melancarkan beberapa alasan penolakan. Dia lebih memilih tinggal sendiri daripada harus berada di atap yang sama dengan Gavin. Terlebih lagi, Azura tidak ingin terlalu banyak berhutang budi. Selain itu, dia juga cukup tahu diri."Sepertinya aku lebih nyaman mencari tempat tinggal sendir
Flat kecil tempat Azura tinggal terasa seperti tempat perlindungan dari dunia luar yang penuh bahaya. Dindingnya mungkin sempit, tapi di sini, dia bisa merasakan kedukaan dan melepaskan seluruh kesedihan. Sejak kepergian orang tuanya, baru kali inilah Azura bisa menangis sejadi-jadinya.Pergantian malam menuju pagi tidak serta merta dijadikan sebagai waktu istirahat. Azura justru sedang memuaskan diri untuk meratap. Bukankah menangis dan meraung adalah hal yang wajar? Terlebih, penyebabnya adalah kematian tragis dari orang yang terkasih."Aku akan membuat mereka membayar semua ini," bisik Azura pada dirinya sendiri.Sebagian kepahitan yang Azura rasa akhirnya bermuara pada rasa marah. Azura tak bisa menyangkal rasa dendam akibat kelakuan biadab keluarganya. Gara-gara kejadian malam itu, hidup Azura seketika berubah dalam hitungan jam. Sialnya, perubahan ini seolah menuju ke arah kehancuran.Semoga saja kehancuran ini tidak berkelanjutan. Semoga saja usaha Azura menemui Laura tadi sege
Azura dan Gavin duduk berdampingan di tepi danau yang tenang. Telapak tangan mereka saling menggenggam. Keduanya terlarut dalam percakapan yang hangat, tertawa lepas, dan sesekali saling melempar pandang.Angin sepoi membawa aroma bunga-bunga musim semi yang baru mekar. Langit biru mulai berubah menjadi jingga keemasan saat matahari terbenam. Sungguh, semesta dengan senang hati menjadi saksi atas berlangsungnya kemesraan mereka berdua. Semua tampak begitu nyata, begitu hangat, hingga Azura merasa tak ingin momen ini berakhir begitu saja."Ini adalah hari yang sempurna," ucap Azura.Gavin tersenyum. "Bersamamu, semua hari selalu sempurna."Azura merasa seolah-olah berada di puncak kebahagiaan. Semua masalah seakan menghilang, dan yang tersisa hanyalah kebahagiaan murni bersama Gavin.Saat kedua kaki Azura beranjak berdiri, kedua tangan Gavin terasa menyelinap di bagian pinggang. Jemarinya dingin, tapi rengkuhan tangannya terasa hangat. Terlebih lagi … bibirnya. Azura bisa merasakan den
"Babe?" panggil Laura.Gavin yang masih duduk di ruang kerja lantas mendongak. Meski belum sempat menjelaskan apa-apa, tapi Gavin bisa membaca aura cemas di wajah Laura. Gavin yakin, Laura akan membicarakan hal yang penting."Kamu kenapa?" tanya Gavin seraya menarik tangan Laura.Setelah terlebih dahulu mengusap wajah Laura, Gavin lantas meraih bagian pinggang. Dengan sedikit tarikan, dia lantas membiarkan Laura duduk di pangkuannya. Tak lupa, sebelah lengan Gavin juga terulur melingkari perut."Senyum dulu." Gavin berucap seraya mengusap pipi Laura.Sambil sedikit memundurkan kepala, Laura kemudian menggeleng. Ekspresi wajahnya masih teguh menyiratkan rasa serius. Cara Laura menatap mengisyaratkan kalau dia sedang tidak ingin diajak bercanda."Ok, sorry," ucap Gavin menyadari kesalahannya. "Ada apa? Ada sesuatu?""Aku barusan telepon Azura.""Lalu?""Aku agak ragu."Dahi Gavin mengernyit. "Why? Bukannya kemenangan kasus ini mendekati 90%?""Bukan soal itu," balas Laura. "Aku memikirk
Hujan turun dengan cukup deras, dan mata Gavin terus terpaku pada jendela. Tetesan air yang mengalir di kaca membentuk pola acak. Namun, benak Gavin justru melihatnya seperti gambaran wajah seseorang."Azura," lirih Gavin lemah.Gavin telah berani menyebut perasaan ini sebagai luapan rindu. Secara sadar, dia sedang begitu mengharapkan untuk bisa bertemu. Sialnya, hari ini dia masih belum bisa mendatangi wanita itu.Baru genap dua hari Gavin tidak melihat senyum Azura. Bukan karena terlalu sibuk, tapi saat ini Gavin hanya ingin menjaga perasaan Laura. Belakangan ini, Laura memang cenderung lebih posesif dan selalu ingin ditemani."Babe." Suara Laura tiba-tiba memecah gelembung lamunan.Gavin menoleh. "Hm?""Besok aku ada undangan dinner sama teman kerjaku. Dia ulang tahun. Kamu ikut, ok?"Gavin tampak berpikir. Matanya menyipit dengan napas yang tertahan. Setelah sedikit membuka rahang, dia lantas menggeleng."Why?" tanya Laura."Kamu saja ya. I hope you have a wonderful time.""Kamu a
"Aku belum mandi," ucap Azura yang kepalanya menyembul dari balik pintu.Gavin terkekeh. Pagi ini, dia memang sengaja datang tanpa memberi tahu. Untungnya, kemunculannya tidak lantas membuat Azura marah. Wanita itu tetap mempersilakan Gavin masuk meski wajahnya masih sedikit menyiratkan ekspresi malu."Aku sedang membersihkan kamarku," ucap Azura. "Tunggu sebentar.""Take your time."Sambil duduk di atas sofa, Gavin tak henti memandangi wajah teduh yang rambutnya masih sedikit berantakan. Melalui bajunya yang tanpa lengan, Gavin bisa melihat bentuk pundak yang ternyata sangat indah. Tak ada maksud lain, kali ini Gavin benar-benar murni mengagumi.Sejenak, Gavin mengukur wanita di hadapannya dari bawah ke kepala. Dia cantik. Warna kulitnya cantik, matanya cantik, dan bahkan dia tetap terlihat cantik dengan kesederhanaan dan penampilan yang apa adanya.Tak bisa disangkal, Laura juga tak kalah cantik. Namun, Azura berbeda. Entah apa yang membuatnya memiliki nilai lebih, yang jelas, Gavin