Share

4. Pelarian di Pemakaman

Penulis: Hanana
last update Terakhir Diperbarui: 2024-07-27 11:39:49

Semua orang pasti akan sibuk menyesap kesedihan saat menatap jenazah kedua orang tuanya dikebumikan. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Azura. Wanita muda itu justru tak punya banyak kesempatan untuk berduka.

Gaun hitam yang cukup longgar berhasil menutupi tubuh Azura yang sedang gemetar. Kacamata berwarna gelap juga mampu menyamarkan sorot mata yang penuh dengan rasa gentar. Azura sadar, dirinya sedang dalam bahaya besar.

"Azura, turut berduka, ya. Kamu harus sabar, harus kuat, harus ikhlas."

Puluhan orang berbaju hitam bergantian memberikan ucapan belasungkawa. Namun, Azura sama sekali tidak menanggapi. Dia terus berjongkok dengan telapak tangan bergerak meremas tanah dari dua pusara yang masih basah.

Masih ada jutaan kesedihan saat melihat nama orang tuanya pada papan di atas makam. Meski begitu, jiwa Azura masih harus diterpa oleh rasa ketakutan. Sebab, keluarga yang seharusnya menjadi pelindung dan sumber penghiburan, kini justru menjadi ancaman terbesar bagi hidup Azura.

"Bagaimana rasanya kehilangan orang tua?" bisik Riki, seorang lelaki yang sejak malam tadi Azura anggap sebagai makhluk paling mengerikan di dunia ini.

Azura mendongak, mencoba tampak berani, lalu berucap dengan kata sinis, tapi lirih. "Pembunuh!"

Telapak tangan Riki terangkat untuk mengusap punggung Azura. Para pelayat mungkin melihat adegan ini sebagai bentuk empati dari pihak keluarga. Namun, tak ada yang tahu kalau sebenarnya Riki sedang menawarkan kematian.

"Kamu sangat mencintai mereka, bukan? Aku bisa membantumu untuk segera menyusul mereka, kalau kamu mau," ucap Riki seraya mengusap pelan pipi Azura yang basah.

Susah payah Azura menahan agar air matanya tidak mengalir deras. Namun, rintihan hati yang disalurkan melalui mata tak bisa dibendung lagi. Terlebih, saat Azura mengingat bagaimana Riki dan beberapa anggota keluarga lain menghabisi nyawa ayah dan ibunya sendiri.

Ini benar-benar akan menjadi awal dari teror yang mengerikan. Azura adalah satu-satunya saksi. Jadi, Azura yakin kalau keluarganya tidak akan berhenti sebelum berhasil membuat Azura juga mati, atau setidaknya bungkam.

Berbekal tangan yang masih gemetar, Azura menyeka air mata dan berusaha mengendalikan diri. Dia harus tetap tenang dan berpikir jernih. Ini bukan saatnya untuk menunjukkan kelemahan. Azura harus mencari cara untuk melarikan diri dari kerumunan ini, dari orang-orang yang pura-pura peduli, tapi sebenarnya berniat jahat.

"Azura," panggil seorang wanita tua yang merupakan tetangga terdekatnya.

Azura segera berdiri, lalu mendekat ke arahnya. Sambil mengobrol seadanya, tatapan mata Azura mulai beralih ke sekeliling. Dia terus mencari celah untuk kabur dari tempat ini.

Riki dan keluarganya yang lain tampak sedang berinteraksi dengan beberapa rekan kerja ayahnya. Ini momen yang tepat, tapi lutut Azura lantas melemas saat dia melihat kedatangan sekelompok lelaki berjas hitam. Mereka rupanya bertugas untuk terus mengawasi gerak-gerik Azura.

'Mereka pasti orang suruhan Riki,' batin Azura. 'Aku harus cepat.'

"Anna," panggil Azura pelan.

"Iya?"

"Aku nggak bisa menjelaskan semuanya sekarang. Yang jelas, aku harus pergi dari sini sekarang juga."

"Apa maksudmu?" Anna tampak terkejut.

"Aku nggak punya banyak waktu. Sekarang tolong berdiri dan tutupi tubuhku dari arah orang-orang berbaju hitam itu."

"Siapa mereka?" tanya Anna. "Sebenarnya ada apa?"

"Berdirilah, Anna," pungkas Azura. "Cepat."

Meski wajahnya masih diliputi kebingungan, tapi Anna tetap menurut. Dia melangkah maju, lalu berpura-pura melebarkan penutup kepala demi bisa menyamarkan keberadaan Azura.

Dengan napas yang semakin berat, Azura perlahan menundukkan badan. Setelah pura-pura menabur bunga, Azura lantas menyelinap ke dalam kerumunan. Sedikit demi sedikit, Azura berusaha mencari jalan keluar yang tidak mencolok.

Saat beberapa pelayat berbondong ke pintu keluar, Azura melompat ke pinggiran pemakaman yang letaknya hampir dua meter lebih rendah. Entah akan kemana, tapi Azura berharap bisa menemukan tempat untuk bersembunyi atau melarikan diri.

'Ya Tuhan, tolong aku.' Azura berucap dalam hati.

Telapak tangannya yang dingin mulai mengeluarkan titik keringat. Kakinya berat, jantungnya berdetak cepat, tapi tubuhnya seolah sekarat. Sedih, marah, panik, dan takut berhasil membuat tubuhnya lemas luar biasa.

Saat tiba di sudut pemakaman, Azura melihat sebuah gerbang kecil yang setengah terbuka. Buru-buru dia mengayunkan kaki, berharap tidak ada seorang pun yang melihat. Namun, sial, saat Azura hampir sampai, suara langkah kaki berat tiba-tiba terdengar mendekat.

"Tuhan, tolong," lirih Azura seraya mempercepat langkahnya.

Begitu berhasil melewati gerbang dan memasuki jalan setapak yang lebih sepi, Azura merasa sedikit lega. Namun, rasa lega itu hanya sementara. Suara langkah kaki yang mendekat ternyata masih ada.

Azura sempat menoleh sesaat. Persis seperti apa yang Azura takutkan, dia melihat dengan jelas seorang lelaki berjas hitam sedang mengejarnya. Panik, Azura semakin mempercepat kakinya dalam berlari.

Jalan setapak yang dilalui Azura banyak membentuk liku. Pepohonan bambu menjulang tinggi mengapit di sebelah kanan dan kiri. Sebenarnya, ini sangat menguntungkan karena memberikan sedikit Azura perlindungan dari pandangan lelaki yang terus mengekor di belakang. Namun, tanah yang licin dan bebatuan tajam membuatnya sulit untuk berlari dengan cepat.

Napasnya mulai tersengal. Azura semakin lemas dan kedua kakinya juga sudah terasa kebas. Meski begitu, Azura tidak mungkin bisa berhenti. Ancaman sudah semakin dekat.

Di tengah upayanya menyelamatkan nyawa, semesta lagi-lagi memberikan Azura ujian. Saat berada di jalan yang menanjak, kaki kiri Azura sedikit melakukan kesalahan saat menapak. Pergelangan kakinya terkilir.

"Ya Tuhan."

Rasa sakit menjalar semakin hebat. Azura berusaha tetap berlari, tapi nyeri di kaki itu terlalu kuat. Dalam keputusasaan, Azura akhirnya memutuskan merangkak ke arah semak-semak.

Air mata sudah mengalir deras di wajahnya yang penuh keringat. Kedua tangannya terangkat untuk membungkam mulutnya sendiri. Jangan sampai Azura bersuara.

Ketika lelaki berjas hitam itu semakin mendekat, Azura mulai menahan napas. Kepalanya dibenamkan ke dasar tanah, sementara tubuhnya dibiarkan tenggelam dalam semak-semak lebat. Sudah tak bersuara, tak bernapas, Azura juga berusaha agar tidak bergerak.

Jantungnya berdegup semakin kencang saat mendengar langkah kaki di detaknya. Batinnya terus melayangkan permohonan pada Tuhan. Terutama saat sudut mata Azura menangkap pergerakan sepasang sepatu hitam.

'Tuhan, aku harus tetap hidup. Setidaknya, aku tidak ingin mati di tangan mereka,' batin Azura.

Saat pada akhirnya langkah kaki itu beranjak pergi, Azura merasa sedikit lega. Meski begitu, dia tahu bahwa orang-orang itu pasti tidak akan berhenti mencarinya. Dia harus terus bergerak, mencari tempat yang lebih aman.

Dengan sisa tenaga yang ada, Azura mencoba bangkit dan melanjutkan pelariannya. Dia buru-buru mengambil arah yang berbeda. Entah kemana tujuannya, tapi pepohonan di sekelilingnya tampak semakin lebat.

Azura hampir kehilangan arah. Namun, di kejauhan, dia melihat setapak dari beton yang sepertinya mengarah menuju ke sebuah bangunan. Berbekal harapan yang mulai tumbuh, Azura bergegas menuju tempat itu.

Setelah berjalan beberapa detik, Azura sampai di sebuah tempat luas yang sepertinya masih dalam proses pengerjaan. Ada satu joglo dan beberapa gazebo yang dikelilingi lahan yang akan dijadikan taman. Tanpa pikir panjang, Azura mendekat ke arah seorang lelaki yang tampak sedang memegang beberapa lembar kertas.

"Tolong," ucap Azura.

Lelaki itu menoleh. Matanya membulat pertanda munculnya rasa terkejut. Mungkin dia juga bingung mendapati seorang wanita tiba-tiba ada di belakangnya.

"Maaf, aku... aku butuh bantuan," suara Azura sudah terdengar serak dan lemah.

Lelaki di hadapannya memang orang asing yang tidak Azura kenal. Namun, entah mengapa Azura merasa aman. Setidaknya, kini dia bertemu dengan seseorang yang tampaknya tidak mengancam.

"Kamu terluka. Apa yang terjadi?" tanya si lelaki.

Azura merasa tubuhnya semakin lemah, dan pandangannya mulai kabur. Sebelum dia kehilangan kesadaran, dia hanya bisa mengatakan, "Mereka... mereka akan membunuhku."

Bab terkait

  • Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam   5. Wajah yang Tidak Asing

    Mimpi yang berubah menjadi kenyataan tampak seperti bualan. Namun, Azura seperti benar-benar melihat Mars sesaat sebelum dia pingsan. Wajah lelaki itu sangat amat persis. Rasanya tidak mungkin kalau Azura hanya sekadar berhalusinasi."Mars." Sebelum sepenuhnya sadar, Azura sempat membisikkan nama itu beberapa kali.Perlahan, kelopak matanya mulai terbuka. Ada nyeri yang tajam di bagian kepala saat Azura mencoba menggerakkan badan. Alhasil, Azura hanya sedikit menoleh ke sebelah kanan.Pandangannya masih kabur. Namun, dia bisa merasakan kalau dirinya berada di tempat yang aman, rumah seseorang.Tubuh yang lemas masih berbaring pada sofa abu-abu dengan selimut berwarna senada. Setelah beberapa kali berkedip pelan, bayangan buram di hadapan Azura mulai terbentuk dengan jelas. Seorang lelaki tengah berdiri di dekat jendela sambil memandangnya dengan tatapan serius."Ah, kamu udah bangun." Suara lelaki itu terdengar lembut. Dia berbalik, lalu kembali mendekat sambil membawakan segelas air.

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-13
  • Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam   6. Bahaya yang Lebih Besar

    Azura menatap bingung saat Gavin berjongkok di hadapannya. Lelaki itu menunduk sambil membawa satu kantong es yang sudah dibalut dengan kain. Merasa tak nyaman dengan posisi seperti ini, Azura lantas bergerak sedikit mundur."Kamu mau apa?" tanya Azura.Gavin tersenyum tipis, seolah sudah langsung paham kalau Azura sedang sangat canggung. "Kakimu sedikit bengkak. Kamu sepertinya terkilir. Kalau nggak dikompres, bengkaknya bisa tambah parah."Mendengar penjelasan Gavin, Azura justru membisu dan membatu. Ada sedikit geliat aneh di hati saat mendapati perhatian kecil dari lelaki itu. Lagi-lagi, Gavin tampak semakin mirip seperti sosok Mars yang ada dalam mimpi."Kamu mau mengompresnya sendiri?" tanya Gavin.Tangan kanan Gavin sudah terangkat seraya menyodorkan gulungan kain. Namun, Azura masih mematung. Dalam diam, manik cokelatnya terus saja tertuju pada mata abu-abu terang yang sedikit bercampur dengan corak biru.'Mars,' batin Azura.Sungguh, Azura merasa seperti hidup dalam mimpi. Be

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-13
  • Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam   7. Kepercayaan

    'Jika kamu bersikeras ingin hidup, maka kupastikan hidupmu tidak akan tenang. Dan jika kamu menginginkan ketenangan, aku bersedia membantu mewujudkannya dengan cara mengembalikan kamu kepada Tuhan.'Kalimat itu terngiang jelas saat Azura menatap tiap sudut kamar di hadapannya. Semakin lama berada di sini, Azura semakin ingat dengan sederet peristiwa yang dia alami di dalam mimpi. Tempat ini benar-benar sama persis."Are you ok?" tanya Gavin.Azura menoleh ke samping, lalu menganggukkan kepala."Duduklah dulu. Wajahmu pucat," ucap Gavin.Meski tidak menatap diri lewat cermin, tapi Azura merasa kalau dirinya memang tidak baik-baik saja. Terbukti dari munculnya beberapa titik keringat dingin pada dahi. Bahkan, Azura juga merasa kalau tarikan napasnya berubah semakin sesak."Aku merasa mereka sedang mencariku. Dan entah mengapa, aku merasa kalau mereka sangat dekat dengan rumah ini," ucap Azura."Jangan khawatir. Nggak akan ada yang bisa masuk ke rumah ini tanpa membuat janji dulu dengank

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-13
  • Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam   8. Apakah Ini Jebakan?

    "Kamu bisa tinggal di sini sembari kita mencari jalan keluar untuk masalah ini," ucap Gavin.Azura menggeleng cepat. Dia tidak mungkin semudah itu menerima tawaran untuk tinggal di bawah satu atap."Setidaknya untuk malam ini," lanjut Gavin. "Besok pagi aku akan menemanimu mencari tempat tinggal sementara.""Sebenarnya aku bisa sendiri, dan —""Aku sudah bilang kalau aku akan menemanimu," pungkas Gavin.Azura terpaku. Semakin lama berbicara dengan Gavin, lelaki itu semakin mirip dengan Mars. Bahkan, bagaimana aksen bicaranya saat menggunakan Bahasa Indonesia juga sama persis."Sekarang kamu mau istirahat dulu?" tanya Gavin. "Kamu bisa menggunakan kamarku kalau kamu nggak mau tidur di kamar yang tadi."Azura menggeleng. "Aku di sini saja.""Ok, I hear you."Di sela pembicaraan mereka, ponsel Gavin lantas berdering. Buru-buru lelaki itu menekan tombol hijau, lalu mendekatkan ponsel pada telinga kanan. Meski tidak tahu sedang membicarakan tentang apa, tapi Azura bisa menebak kalau Gavin

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-13
  • Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam   9. Melarikan Diri

    Azura terduduk lesu di atas lantai. Jiwanya seolah terbelah menjadi dua kubu. Satu sisi sedang membujuk diri untuk tetap percaya pada Gavin, sementara sisi yang lain tengah sibuk merutuk.'Bodoh!'Benaknya berteriak dengan berisik. Seluruh isi kepala berebut ingin memaki. Bagaimana bisa Azura sempat semudah itu percaya kepada Gavin yang sejatinya bukan siapa-siapa?Seharusnya Azura tahu kalau di dunia ini tidak ada yang bisa dipercaya selain dirinya sendiri. Keluarga yang merupakan orang terdekat saja bisa dengan tega membunuh orang tuanya. Apalagi Gavin yang baru saja Azura kenal beberapa jam yang lalu.'Shit!' Azura mengumpat dalam hati.Rasa panik dan ketakutan mulai merayap. Azura merasa sesak. Dadanya seperti dihimpit beban berat.'Nggak mungkin kalau ini cuma kebetulan,' pikirnya.Dia mulai menduga, mungkin Gavin dan Riki bekerja sama. Mungkin semua ini adalah jebakan yang sudah direncanakan sejak awal. Mungkin Gavin adalah alat untuk mempermudah Riki melancarkan rencananya.'Ak

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-13
  • Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam   10. Dekapan Nyaman

    Udara malam terasa sejuk, mendekati dingin. Namun, keringat tetap saja mengalir di pelipis Azura. Beberapa helai rambut yang terlepas dari ikatan juga tampak menggumpal karena basah.Azura masih tidak tahu arah tujuan kakinya melangkah. Ke mana pun itu, yang jelas dia harus menjauh dari Gavin dan Riki. Orang asing yang ternyata berbahaya, dan keluarga yang sangat mengancam nyawa."Di mana ini?" monolog Azura seraya menoleh kanan dan kiri.Begitu tiba di jalan raya, Azura berhenti sejenak untuk mengatur napas dan menenangkan pikiran. Dia mengamati sekeliling, kemudian sadar kalau tempat ini tidaklah asing. Azura sangat mengenali jalan dan bangunan di sekitar sini.Sebuah perasaan lega muncul di dadanya. Setiap sudut jalan terlihat cukup akrab, karena wilayah ini tidak jauh dari rumah tempat dirinya tinggal. Namun, perasaan lega itu dengan cepat berubah menjadi kecemasan. Keluarga Riki, termasuk Riki sendiri, juga tinggal di area sekitar sini. Jadi, Azura harus sangat berhati-hati.Azur

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-13
  • Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam   11. Jalan Keluar

    "Turunkan celanamu," titah Azura."What?!"Gavin membulatkan mata. Setelah tadi berhasil mengendap menuju apotek terdekat, kini mereka sedang duduk di selasar belakang ruko. Suasana terbilang sangat sepi, hanya ada mereka berdua saja."Cepatlah," ucap Azura."Kenapa kamu seperti mau memperkosaku?"Azura berdecak malas. "Gimana aku bisa mengobatimu kalau kakimu masih tertutup begitu?""Ok, then." Meski sedikit canggung, tapi Gavin akhirnya menurut."Ini mungkin akan sedikit perih," ucap Azura."It’s ok."Tak ada adegan romantis seperti di cerita romansa. Mereka tidak sempat saling pandang dan tidak pula berpegangan tangan. Azura hanya membersihkan luka, memberi obat, lalu menutupnya dengan kasa. Hanya itu saja.Benar-benar hanya itu saja.Setelah semuanya selesai, mereka lantas kembali pada mode waspada. Pandangan mata mereka meniti segala arah untuk memastikan semuanya aman. Jangan sampai ada orang melihat mereka, terutama Riki."Apa di sini aman?" Azura berguman. Tak hanya bertanya p

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-14
  • Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam   12. Menuju Rasa Aman

    Mungkin ini terkesan terburu-buru, tapi perasaan Azura mengatakan kalau Laura memang tidak berbahaya. Azura sama sekali tidak memiliki firasat buruk tentang wanita yang baru dia temui satu kali. Dan biasanya, firasat Azura tidak pernah meleset.Lagipula, Azura menganggap pertemuan ini sebagai pertemuan atas dasar profesionalitas. Azura menawarkan harga yang setimpal untuk Laura agar kasus ini berhasil dimenangkan. Jadi, bukankah ini cukup adil? Masing-masing dari mereka sama-sama mendapat keuntungan."Aku akan mencari penginapan dekat sini," ucap Azura setelah mereka selesai berdiskusi."Aku punya flat studio kalau kamu mau. Sepertinya di sana lebih aman untukmu." Gavin menyahut.Azura menggeleng, lalu melancarkan beberapa alasan penolakan. Dia lebih memilih tinggal sendiri daripada harus berada di atap yang sama dengan Gavin. Terlebih lagi, Azura tidak ingin terlalu banyak berhutang budi. Selain itu, dia juga cukup tahu diri."Sepertinya aku lebih nyaman mencari tempat tinggal sendir

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-14

Bab terbaru

  • Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam   60. Mimpi yang Menjadi Nyata

    Azura berdiri di tengah lorong panjang yang suram. Dinding batu tua yang berlumut dan lembap mengapitnya. Cahaya remang menyorot ke arah jalanan licin. Bau tanah basah bercampur dengan bau sesuatu yang lebih tajam. Azura mengernyit sambil merapatkan jemari pada hidung. Ini seperti bau karat yang menyengat. Perutnya kemudian mendadak mual saat menyadari kalau yang dia cium adalah darah.Ingin menjerit, tapi suaranya tertahan. Azura tidak bisa berbicara, persis seperti seseorang yang sedang mengalami ketindihan. Alhasil, sambil menahan sesak, Azura hanya bisa mengamati sekitar.Matanya yang nanar berkedip beberapa kali demi menajamkan pandangan. Azura yakin belum pernah menginjak tempat ini. Dilihat dari bentuk bangunannya, ini bukanlah Yogyakarta, pun bukan Indonesia.Area sekitar yang semula buram, kini mulai tampak lebih jelas. Semakin lama mengamati, akhirnya Azura bisa mengenali tempat ini.Edinburgh.Sayangnya, ini bukan Edinburgh yang terang dengan kastil megah dan festival yang

  • Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam   59. Dia Berubah

    Gavin telah pergi. Benar-benar pergi. Dan ini bukan mimpi.Pagi tadi, di bandara, Azura masih bisa merasakan genggaman tangan Gavin. Namun, kini, dia hanya bisa menggenggam udara. Rindu ini terlalu dini. Kesepian ini terlalu tajam untuk dirasakan.Hening menjadi lebih menusuk dari biasanya. Tidak ada suara langkah kaki Gavin, tidak ada pula suara khasnya yang selalu memanggil dengan berbagai sebutan sayang. Azura hanya bisa mendengar kekosongan yang bergaung di pikirannya sendiri.'Aku akan mengabari kamu setiap hari, Sayang.' Itu kata terakhir dari Gavin yang Azura jadikan sebagai penguat.Sejak Gavin pergi, waktu berjalan lebih lambat. Azura sudah mencoba menyibukkan diri. Mulai dari menulis, membaca buku, menonton film, dan bekerja hingga dini hari. Namun, pikirannya selalu kembali pada satu nama, Gavin.Mereka tentu selalu saling bertukar kabar. Meski hanya hal sederhana seperti keluhan Gavin mengenai Edinburgh yang terasa jauh lebih dingin, tapi hal itu sudah sedikit membuat Azur

  • Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam   58. Perpisahan

    Suara announcer menggema di langit-langit bandara. Derap langkah tergesa berpadu dengan percakapan yang menyesakkan. Gavin terus menggenggam tangan Azura erat, seolah enggan melepaskan."Sayang." Suara Gavin lebih pelan dari biasanya, hampir tertelan dalam hiruk-pikuk sekitar. Tatapannya penuh dengan sesuatu yang tidak terucapkan. Jika ditelisik lebih dalam, sorot mata itu menggambarkan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar perpisahan singkat.Azura menelan ludah, mencoba mengabaikan benak yang penat. "Kamu yakin nggak bisa menundanya?" tanya Azura, meski sudah tahu jawaban yang akan diterima.Gavin menggeleng, menyesap napas dalam. "Aku ingin tetap di sini, Azura. Kamu tahu itu," gumamnya. "Tapi ini sesuatu yang nggak bisa aku tunda. Pekerjaan ini sangat mendesak."Azura mengangguk kecil. Dia tahu Gavin tidak akan pergi jika tidak ada alasan yang benar-benar penting. Namun, tetap saja ada sesuatu yang mengganjal. Azura masih memiliki sederet pertanyaan yang menggantung tanpa jaw

  • Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam   57. Pulang

    "Mars," lirih Azura pelan.Gavin mengernyit, hampir terkejut. "Kamu bilang apa?""Mars," ucap Azura lagi.Hujan turun perlahan, menari di atas dedaunan dan menciptakan simfoni lembut yang mengisi udara. Aroma tanah basah bercampur dengan wangi teh yang mengepul di antara jemari Azura. Dia bersandar pada Gavin, merasakan kehangatan tubuhnya yang kontras dengan udara dingin di sekeliling mereka."Dulu, saat aku masih kuliah, aku sering bermimpi seperti ini," ujar Azura. Suaranya terdengar seperti bisikan yang hampir tenggelam dalam suara hujan.Gavin menoleh, menatapnya dengan penuh minat. "Seperti ini?"Azura mengangguk pelan, matanya menerawang jauh ke masa lalu. "Menikmati hujan di Edinburgh, bersama Mars."Gavin terdiam. Ada sesuatu yang menghangat di dalam dadanya. Nama itu, Mars, adalah dirinya. Sebuah nama yang dulu Azura berikan kepada lelaki dalam mimpi-mimpinya, jauh sebelum mereka bertemu di dunia nyata."Jadi, kamu pernah membayangkan kita seperti ini?" Gavin bertanya, suara

  • Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam   56. Wedding Proposal

    Dua hari telah berlalu sejak kepergian Gavin. Langit di atas rumah kecil Azura tetap sama, burung gagak yang sempat datang juga tak lagi muncul di jendela. Tidak ada firasat buruk, tidak ada pula kabar mengejutkan.Dunia tetap berputar seperti biasa.Azura memandang ponselnya, jemarinya mengusap layar tanpa benar-benar mengetikkan pesan. Gavin sudah beberapa kali mengirim kabar, suara tenangnya di telepon pun selalu berhasil meredakan ketakutannya. Namun, tetap saja, ada sesuatu di dalam dirinya yang belum sepenuhnya percaya.Seakan mampu membaca kerisauan hati Azura, nama Gavin langsung tertera di layar.Azura tersenyum kecil sebelum mengangkatnya. “Hai.”“Kenapa suaramu seperti itu?” Gavin langsung bisa menebak. Suara Azura memang terdengar sedikit serak, tapi tetap penuh perhatian.“Seperti apa?”“Seperti seseorang yang nggak yakin kalau aku baik-baik saja.”Azura menghela napas. “Mungkin karena aku memang belum yakin.”Di seberang sana, Gavin tertawa kecil. “Maukah kamu percaya ka

  • Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam   55. Burung Gagak

    Seharusnya ini adalah pagi yang indah. Seharusnya Azura merasa damai dengan hidupnya yang nyaris sempurna. Namun, Azura justru membuka mata dalam keadaan gelisah.Azura menggerakkan tubuhnya perlahan, berusaha menghilangkan semua perasaan aneh. Namun, saat dia menoleh ke jendela, badannya justru kian menegang. Di sana, di balik kaca yang berembun, Azura melihat seekor burung yang biasa disebut sebagai simbol kematian."Ya Tuhan," ucap Azura dengan napas tertahan.Gagak yang ukurannya cukup besar sedang bertengger di ujung jendela. Matanya yang hitam pekat menatap lurus ke arahnya. Sorotnya tajam, menusuk, seolah membawa pesan yang tidak bisa diabaikan.Azura tetap duduk, diam di tempat. Sedangkan burung itu tidak bergerak, tidak pula mengeluarkan suara. Dia hanya diam, menatap, seakan sedang mengawasi setiap pergerakan Azura."Azura?" Suara serak Gavin membuyarkan lamunannya. Laki-laki itu mengerjap beberapa kali sebelum menoleh ke arahnya. "Kamu kenapa?"Azura menoleh kembali ke jend

  • Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam   54. Kota Asing

    Langit berwarna kelabu, seakan menyimpan sesuatu yang pilu. Udara di tempat itu menusuk, bukan hanya karena dingin, tapi juga karena kehampaan yang entah datang dari mana. Jalanan yang basah oleh hujan seolah tak pernah benar-benar kering, dan aroma tanah bercampur kabut menambah kesan muram. Bangunan-bangunan tua berjejer di sepanjang jalan, jendelanya gelap seperti mata yang mengamati tanpa ekspresi.Azura berdiri di tengahnya, napasnya menghangatkan udara dingin yang mengelilinginya. Dia tidak tahu di mana ini, tapi setiap sudut terasa menyesakkan dada. Angin berembus kencang, menyapu dedaunan yang jatuh dari pepohonan di tepi jalan. Suasana hening, nyaris tidak ada suara selain desau angin yang berbisik di antara bangunan tua.Lalu, tiba-tiba..."Azura..."Suara itu.Suara Gavin.Azura berbalik, matanya menyapu sekeliling, tapi yang dia lihat hanyalah bayangan-bayangan samar di balik kabut. Langkahnya ingin maju, tapi entah kenapa tubuhnya terasa kaku. Dia mencoba mencari arah sua

  • Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam   53. New Life

    Bukan dalam mimpi, bukan dalam ingatan yang samar, tapi malam ini Azura dan Gavin bisa benar-benar bersama dalam kenyataan. Keberadaan masing-masing tampak kasat mata dan lebih indah dari apa pun juga."Ra, aku masih nggak percaya akhirnya aku bisa ada di sini, bersama kamu."Azura menghela napas, mencoba menenangkan degup jantungnya yang masih belum terkendali. "Aku juga."Setelah sekian lama saling mencari, mereka akhirnya menemukan satu sama lain lagi. Tidak ada lagi kata-kata yang perlu diucapkan malam itu, hanya ada kebisuan yang nyaman dan kehangatan yang perlahan mengisi ruang. Dari sinilah kebahagiaan mereka perlahan mulai tumbuh kembali.Matahari terbit dan tenggelam, mengiringi hari-hari yang mereka jalani tanpa pernah benar-benar berpisah. Waktu berjalan tanpa terasa, berubah menjadi hari, lalu minggu. Tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak bersama. Tak hanya salah satu, tapi keduanya sama-sama takut kehilangan untuk kedua kalinya.Rutinitas pagi Azura adalah duduk bersil

  • Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam   52. Masih Saling Mencintai

    "Vin, pelipismu berdarah," ucap Azura yang baru saja melepas pelukannya.Dahi Gavin sontak mengernyit. Dia sama sekali tidak menyadari ada luka di pelipisnya. Rasa sakit pun seolah tak pernah singgah. Sejak tadi, pikirannya hanya dipenuhi hal mendesak tentang Azura. Nyeri dan perih sama sekali tidak punya tempat untuk dirasakan."Apa yang terjadi?" Jemari tangan Azura menyentuh pelan luka yang tidak terlalu besar, tapi cukup kentara.Sisa darah yang telah mengering tampak samar di bawah lampu rumah. Cahaya tidak cukup terang, tapi memar membiru di dekat luka tetap berhasil menarik perhatian. Tatapan Azura yang semula sendu, seketika berubah menjadi penuh kekhawatiran.“Vin?” Suara Azura hampir bergetar. “Apa yang sebenarnya terjadi?”Gavin mencoba tersenyum, meski terasa kaku. "Aku baik-baik saja."Azura memiringkan kepala, jelas tidak percaya. Wajahnya kembali mendekat, menyisakan jarak yang hanya beberapa inci. Tangannya kembali terangkat ragu, kemudian mengusap perlahan di sekitar

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status