Semua orang pasti akan sibuk menyesap kesedihan saat menatap jenazah kedua orang tuanya dikebumikan. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Azura. Wanita muda itu justru tak punya banyak kesempatan untuk berduka.
Gaun hitam yang cukup longgar berhasil menutupi tubuh Azura yang sedang gemetar. Kacamata berwarna gelap juga mampu menyamarkan sorot mata yang penuh dengan rasa gentar. Azura sadar, dirinya sedang dalam bahaya besar. "Azura, turut berduka, ya. Kamu harus sabar, harus kuat, harus ikhlas." Puluhan orang berbaju hitam bergantian memberikan ucapan belasungkawa. Namun, Azura sama sekali tidak menanggapi. Dia terus berjongkok dengan telapak tangan bergerak meremas tanah dari dua pusara yang masih basah. Masih ada jutaan kesedihan saat melihat nama orang tuanya pada papan di atas makam. Meski begitu, jiwa Azura masih harus diterpa oleh rasa ketakutan. Sebab, keluarga yang seharusnya menjadi pelindung dan sumber penghiburan, kini justru menjadi ancaman terbesar bagi hidup Azura. "Bagaimana rasanya kehilangan orang tua?" bisik Riki, seorang lelaki yang sejak malam tadi Azura anggap sebagai makhluk paling mengerikan di dunia ini. Azura mendongak, mencoba tampak berani, lalu berucap dengan kata sinis, tapi lirih. "Pembunuh!" Telapak tangan Riki terangkat untuk mengusap punggung Azura. Para pelayat mungkin melihat adegan ini sebagai bentuk empati dari pihak keluarga. Namun, tak ada yang tahu kalau sebenarnya Riki sedang menawarkan kematian. "Kamu sangat mencintai mereka, bukan? Aku bisa membantumu untuk segera menyusul mereka, kalau kamu mau," ucap Riki seraya mengusap pelan pipi Azura yang basah. Susah payah Azura menahan agar air matanya tidak mengalir deras. Namun, rintihan hati yang disalurkan melalui mata tak bisa dibendung lagi. Terlebih, saat Azura mengingat bagaimana Riki dan beberapa anggota keluarga lain menghabisi nyawa ayah dan ibunya sendiri. Ini benar-benar akan menjadi awal dari teror yang mengerikan. Azura adalah satu-satunya saksi. Jadi, Azura yakin kalau keluarganya tidak akan berhenti sebelum berhasil membuat Azura juga mati, atau setidaknya bungkam. Berbekal tangan yang masih gemetar, Azura menyeka air mata dan berusaha mengendalikan diri. Dia harus tetap tenang dan berpikir jernih. Ini bukan saatnya untuk menunjukkan kelemahan. Azura harus mencari cara untuk melarikan diri dari kerumunan ini, dari orang-orang yang pura-pura peduli, tapi sebenarnya berniat jahat. "Azura," panggil seorang wanita tua yang merupakan tetangga terdekatnya. Azura segera berdiri, lalu mendekat ke arahnya. Sambil mengobrol seadanya, tatapan mata Azura mulai beralih ke sekeliling. Dia terus mencari celah untuk kabur dari tempat ini. Riki dan keluarganya yang lain tampak sedang berinteraksi dengan beberapa rekan kerja ayahnya. Ini momen yang tepat, tapi lutut Azura lantas melemas saat dia melihat kedatangan sekelompok lelaki berjas hitam. Mereka rupanya bertugas untuk terus mengawasi gerak-gerik Azura. 'Mereka pasti orang suruhan Riki,' batin Azura. 'Aku harus cepat.' "Anna," panggil Azura pelan. "Iya?" "Aku nggak bisa menjelaskan semuanya sekarang. Yang jelas, aku harus pergi dari sini sekarang juga." "Apa maksudmu?" Anna tampak terkejut. "Aku nggak punya banyak waktu. Sekarang tolong berdiri dan tutupi tubuhku dari arah orang-orang berbaju hitam itu." "Siapa mereka?" tanya Anna. "Sebenarnya ada apa?" "Berdirilah, Anna," pungkas Azura. "Cepat." Meski wajahnya masih diliputi kebingungan, tapi Anna tetap menurut. Dia melangkah maju, lalu berpura-pura melebarkan penutup kepala demi bisa menyamarkan keberadaan Azura. Dengan napas yang semakin berat, Azura perlahan menundukkan badan. Setelah pura-pura menabur bunga, Azura lantas menyelinap ke dalam kerumunan. Sedikit demi sedikit, Azura berusaha mencari jalan keluar yang tidak mencolok. Saat beberapa pelayat berbondong ke pintu keluar, Azura melompat ke pinggiran pemakaman yang letaknya hampir dua meter lebih rendah. Entah akan kemana, tapi Azura berharap bisa menemukan tempat untuk bersembunyi atau melarikan diri. 'Ya Tuhan, tolong aku.' Azura berucap dalam hati. Telapak tangannya yang dingin mulai mengeluarkan titik keringat. Kakinya berat, jantungnya berdetak cepat, tapi tubuhnya seolah sekarat. Sedih, marah, panik, dan takut berhasil membuat tubuhnya lemas luar biasa. Saat tiba di sudut pemakaman, Azura melihat sebuah gerbang kecil yang setengah terbuka. Buru-buru dia mengayunkan kaki, berharap tidak ada seorang pun yang melihat. Namun, sial, saat Azura hampir sampai, suara langkah kaki berat tiba-tiba terdengar mendekat. "Tuhan, tolong," lirih Azura seraya mempercepat langkahnya. Begitu berhasil melewati gerbang dan memasuki jalan setapak yang lebih sepi, Azura merasa sedikit lega. Namun, rasa lega itu hanya sementara. Suara langkah kaki yang mendekat ternyata masih ada. Azura sempat menoleh sesaat. Persis seperti apa yang Azura takutkan, dia melihat dengan jelas seorang lelaki berjas hitam sedang mengejarnya. Panik, Azura semakin mempercepat kakinya dalam berlari. Jalan setapak yang dilalui Azura banyak membentuk liku. Pepohonan bambu menjulang tinggi mengapit di sebelah kanan dan kiri. Sebenarnya, ini sangat menguntungkan karena memberikan sedikit Azura perlindungan dari pandangan lelaki yang terus mengekor di belakang. Namun, tanah yang licin dan bebatuan tajam membuatnya sulit untuk berlari dengan cepat. Napasnya mulai tersengal. Azura semakin lemas dan kedua kakinya juga sudah terasa kebas. Meski begitu, Azura tidak mungkin bisa berhenti. Ancaman sudah semakin dekat. Di tengah upayanya menyelamatkan nyawa, semesta lagi-lagi memberikan Azura ujian. Saat berada di jalan yang menanjak, kaki kiri Azura sedikit melakukan kesalahan saat menapak. Pergelangan kakinya terkilir. "Ya Tuhan." Rasa sakit menjalar semakin hebat. Azura berusaha tetap berlari, tapi nyeri di kaki itu terlalu kuat. Dalam keputusasaan, Azura akhirnya memutuskan merangkak ke arah semak-semak. Air mata sudah mengalir deras di wajahnya yang penuh keringat. Kedua tangannya terangkat untuk membungkam mulutnya sendiri. Jangan sampai Azura bersuara. Ketika lelaki berjas hitam itu semakin mendekat, Azura mulai menahan napas. Kepalanya dibenamkan ke dasar tanah, sementara tubuhnya dibiarkan tenggelam dalam semak-semak lebat. Sudah tak bersuara, tak bernapas, Azura juga berusaha agar tidak bergerak. Jantungnya berdegup semakin kencang saat mendengar langkah kaki di detaknya. Batinnya terus melayangkan permohonan pada Tuhan. Terutama saat sudut mata Azura menangkap pergerakan sepasang sepatu hitam. 'Tuhan, aku harus tetap hidup. Setidaknya, aku tidak ingin mati di tangan mereka,' batin Azura. Saat pada akhirnya langkah kaki itu beranjak pergi, Azura merasa sedikit lega. Meski begitu, dia tahu bahwa orang-orang itu pasti tidak akan berhenti mencarinya. Dia harus terus bergerak, mencari tempat yang lebih aman. Dengan sisa tenaga yang ada, Azura mencoba bangkit dan melanjutkan pelariannya. Dia buru-buru mengambil arah yang berbeda. Entah kemana tujuannya, tapi pepohonan di sekelilingnya tampak semakin lebat. Azura hampir kehilangan arah. Namun, di kejauhan, dia melihat setapak dari beton yang sepertinya mengarah menuju ke sebuah bangunan. Berbekal harapan yang mulai tumbuh, Azura bergegas menuju tempat itu. Setelah berjalan beberapa detik, Azura sampai di sebuah tempat luas yang sepertinya masih dalam proses pengerjaan. Ada satu joglo dan beberapa gazebo yang dikelilingi lahan yang akan dijadikan taman. Tanpa pikir panjang, Azura mendekat ke arah seorang lelaki yang tampak sedang memegang beberapa lembar kertas. "Tolong," ucap Azura. Lelaki itu menoleh. Matanya membulat pertanda munculnya rasa terkejut. Mungkin dia juga bingung mendapati seorang wanita tiba-tiba ada di belakangnya. "Maaf, aku... aku butuh bantuan," suara Azura sudah terdengar serak dan lemah. Lelaki di hadapannya memang orang asing yang tidak Azura kenal. Namun, entah mengapa Azura merasa aman. Setidaknya, kini dia bertemu dengan seseorang yang tampaknya tidak mengancam. "Kamu terluka. Apa yang terjadi?" tanya si lelaki. Azura merasa tubuhnya semakin lemah, dan pandangannya mulai kabur. Sebelum dia kehilangan kesadaran, dia hanya bisa mengatakan, "Mereka... mereka akan membunuhku."Mimpi yang berubah menjadi kenyataan tampak seperti bualan. Namun, Azura seperti benar-benar melihat Mars sesaat sebelum dia pingsan. Wajah lelaki itu sangat amat persis. Rasanya tidak mungkin kalau Azura hanya sekadar berhalusinasi."Mars." Sebelum sepenuhnya sadar, Azura sempat membisikkan nama itu beberapa kali.Perlahan, kelopak matanya mulai terbuka. Ada nyeri yang tajam di bagian kepala saat Azura mencoba menggerakkan badan. Alhasil, Azura hanya sedikit menoleh ke sebelah kanan.Pandangannya masih kabur. Namun, dia bisa merasakan kalau dirinya berada di tempat yang aman, rumah seseorang.Tubuh yang lemas masih berbaring pada sofa abu-abu dengan selimut berwarna senada. Setelah beberapa kali berkedip pelan, bayangan buram di hadapan Azura mulai terbentuk dengan jelas. Seorang lelaki tengah berdiri di dekat jendela sambil memandangnya dengan tatapan serius."Ah, kamu udah bangun." Suara lelaki itu terdengar lembut. Dia berbalik, lalu kembali mendekat sambil membawakan segelas air.
Azura menatap bingung saat Gavin berjongkok di hadapannya. Lelaki itu menunduk sambil membawa satu kantong es yang sudah dibalut dengan kain. Merasa tak nyaman dengan posisi seperti ini, Azura lantas bergerak sedikit mundur."Kamu mau apa?" tanya Azura.Gavin tersenyum tipis, seolah sudah langsung paham kalau Azura sedang sangat canggung. "Kakimu sedikit bengkak. Kamu sepertinya terkilir. Kalau nggak dikompres, bengkaknya bisa tambah parah."Mendengar penjelasan Gavin, Azura justru membisu dan membatu. Ada sedikit geliat aneh di hati saat mendapati perhatian kecil dari lelaki itu. Lagi-lagi, Gavin tampak semakin mirip seperti sosok Mars yang ada dalam mimpi."Kamu mau mengompresnya sendiri?" tanya Gavin.Tangan kanan Gavin sudah terangkat seraya menyodorkan gulungan kain. Namun, Azura masih mematung. Dalam diam, manik cokelatnya terus saja tertuju pada mata abu-abu terang yang sedikit bercampur dengan corak biru.'Mars,' batin Azura.Sungguh, Azura merasa seperti hidup dalam mimpi. Be
'Jika kamu bersikeras ingin hidup, maka kupastikan hidupmu tidak akan tenang. Dan jika kamu menginginkan ketenangan, aku bersedia membantu mewujudkannya dengan cara mengembalikan kamu kepada Tuhan.'Kalimat itu terngiang jelas saat Azura menatap tiap sudut kamar di hadapannya. Semakin lama berada di sini, Azura semakin ingat dengan sederet peristiwa yang dia alami di dalam mimpi. Tempat ini benar-benar sama persis."Are you ok?" tanya Gavin.Azura menoleh ke samping, lalu menganggukkan kepala."Duduklah dulu. Wajahmu pucat," ucap Gavin.Meski tidak menatap diri lewat cermin, tapi Azura merasa kalau dirinya memang tidak baik-baik saja. Terbukti dari munculnya beberapa titik keringat dingin pada dahi. Bahkan, Azura juga merasa kalau tarikan napasnya berubah semakin sesak."Aku merasa mereka sedang mencariku. Dan entah mengapa, aku merasa kalau mereka sangat dekat dengan rumah ini," ucap Azura."Jangan khawatir. Nggak akan ada yang bisa masuk ke rumah ini tanpa membuat janji dulu dengank
"Kamu bisa tinggal di sini sembari kita mencari jalan keluar untuk masalah ini," ucap Gavin.Azura menggeleng cepat. Dia tidak mungkin semudah itu menerima tawaran untuk tinggal di bawah satu atap."Setidaknya untuk malam ini," lanjut Gavin. "Besok pagi aku akan menemanimu mencari tempat tinggal sementara.""Sebenarnya aku bisa sendiri, dan —""Aku sudah bilang kalau aku akan menemanimu," pungkas Gavin.Azura terpaku. Semakin lama berbicara dengan Gavin, lelaki itu semakin mirip dengan Mars. Bahkan, bagaimana aksen bicaranya saat menggunakan Bahasa Indonesia juga sama persis."Sekarang kamu mau istirahat dulu?" tanya Gavin. "Kamu bisa menggunakan kamarku kalau kamu nggak mau tidur di kamar yang tadi."Azura menggeleng. "Aku di sini saja.""Ok, I hear you."Di sela pembicaraan mereka, ponsel Gavin lantas berdering. Buru-buru lelaki itu menekan tombol hijau, lalu mendekatkan ponsel pada telinga kanan. Meski tidak tahu sedang membicarakan tentang apa, tapi Azura bisa menebak kalau Gavin
Azura terduduk lesu di atas lantai. Jiwanya seolah terbelah menjadi dua kubu. Satu sisi sedang membujuk diri untuk tetap percaya pada Gavin, sementara sisi yang lain tengah sibuk merutuk.'Bodoh!'Benaknya berteriak dengan berisik. Seluruh isi kepala berebut ingin memaki. Bagaimana bisa Azura sempat semudah itu percaya kepada Gavin yang sejatinya bukan siapa-siapa?Seharusnya Azura tahu kalau di dunia ini tidak ada yang bisa dipercaya selain dirinya sendiri. Keluarga yang merupakan orang terdekat saja bisa dengan tega membunuh orang tuanya. Apalagi Gavin yang baru saja Azura kenal beberapa jam yang lalu.'Shit!' Azura mengumpat dalam hati.Rasa panik dan ketakutan mulai merayap. Azura merasa sesak. Dadanya seperti dihimpit beban berat.'Nggak mungkin kalau ini cuma kebetulan,' pikirnya.Dia mulai menduga, mungkin Gavin dan Riki bekerja sama. Mungkin semua ini adalah jebakan yang sudah direncanakan sejak awal. Mungkin Gavin adalah alat untuk mempermudah Riki melancarkan rencananya.'Ak
Udara malam terasa sejuk, mendekati dingin. Namun, keringat tetap saja mengalir di pelipis Azura. Beberapa helai rambut yang terlepas dari ikatan juga tampak menggumpal karena basah.Azura masih tidak tahu arah tujuan kakinya melangkah. Ke mana pun itu, yang jelas dia harus menjauh dari Gavin dan Riki. Orang asing yang ternyata berbahaya, dan keluarga yang sangat mengancam nyawa."Di mana ini?" monolog Azura seraya menoleh kanan dan kiri.Begitu tiba di jalan raya, Azura berhenti sejenak untuk mengatur napas dan menenangkan pikiran. Dia mengamati sekeliling, kemudian sadar kalau tempat ini tidaklah asing. Azura sangat mengenali jalan dan bangunan di sekitar sini.Sebuah perasaan lega muncul di dadanya. Setiap sudut jalan terlihat cukup akrab, karena wilayah ini tidak jauh dari rumah tempat dirinya tinggal. Namun, perasaan lega itu dengan cepat berubah menjadi kecemasan. Keluarga Riki, termasuk Riki sendiri, juga tinggal di area sekitar sini. Jadi, Azura harus sangat berhati-hati.Azur
"Turunkan celanamu," titah Azura."What?!"Gavin membulatkan mata. Setelah tadi berhasil mengendap menuju apotek terdekat, kini mereka sedang duduk di selasar belakang ruko. Suasana terbilang sangat sepi, hanya ada mereka berdua saja."Cepatlah," ucap Azura."Kenapa kamu seperti mau memperkosaku?"Azura berdecak malas. "Gimana aku bisa mengobatimu kalau kakimu masih tertutup begitu?""Ok, then." Meski sedikit canggung, tapi Gavin akhirnya menurut."Ini mungkin akan sedikit perih," ucap Azura."It’s ok."Tak ada adegan romantis seperti di cerita romansa. Mereka tidak sempat saling pandang dan tidak pula berpegangan tangan. Azura hanya membersihkan luka, memberi obat, lalu menutupnya dengan kasa. Hanya itu saja.Benar-benar hanya itu saja.Setelah semuanya selesai, mereka lantas kembali pada mode waspada. Pandangan mata mereka meniti segala arah untuk memastikan semuanya aman. Jangan sampai ada orang melihat mereka, terutama Riki."Apa di sini aman?" Azura berguman. Tak hanya bertanya p
Mungkin ini terkesan terburu-buru, tapi perasaan Azura mengatakan kalau Laura memang tidak berbahaya. Azura sama sekali tidak memiliki firasat buruk tentang wanita yang baru dia temui satu kali. Dan biasanya, firasat Azura tidak pernah meleset.Lagipula, Azura menganggap pertemuan ini sebagai pertemuan atas dasar profesionalitas. Azura menawarkan harga yang setimpal untuk Laura agar kasus ini berhasil dimenangkan. Jadi, bukankah ini cukup adil? Masing-masing dari mereka sama-sama mendapat keuntungan."Aku akan mencari penginapan dekat sini," ucap Azura setelah mereka selesai berdiskusi."Aku punya flat studio kalau kamu mau. Sepertinya di sana lebih aman untukmu." Gavin menyahut.Azura menggeleng, lalu melancarkan beberapa alasan penolakan. Dia lebih memilih tinggal sendiri daripada harus berada di atap yang sama dengan Gavin. Terlebih lagi, Azura tidak ingin terlalu banyak berhutang budi. Selain itu, dia juga cukup tahu diri."Sepertinya aku lebih nyaman mencari tempat tinggal sendir
Gavin menghentikan tarikan napas. Kedua manik abu-abunya menatap layar dengan jemari yang sedikit gemetar. Setelah melewati pencarian yang melelahkan, dia akhirnya memiliki kesempatan untuk berbicara dengan Azura.Begitu nada sambung terdengar, hatinya sontak berdesir. Belum saja dia mendengar suara Azura, tapi jantung Gavin sudah berulah. Detaknya sungguh tidak beraturan.Semula, Gavin pikir Azura akan segera menjawab panggilannya. Namun, semesta ternyata masih ingin sedikit bermain-main. Suara nada tunggu yang tidak kunjung tersambung seolah sedang mencemooh dan sengaja mengulur waktu.Pada dering ke tiga, Azura masih belum mengangkat panggilan. Sungguh, Gavin seperti sedang menunggu jawaban dari takdir. Akankah dia menjawab? Akankah dia mengenali nomornya? Atau dia akan memilih untuk mengabaikannya?Kedua kaki Gavin sudah bergerak naik turun dengan cepat. Seluruh tubuh seolah turut menampakkan rasa gelisah. Namun, sekujur anggota badannya tiba-tiba berhenti ketika panggilan berhasi
Pintu dengan cat putih sudah tertutup separuh. Namun, sebisa mungkin Gavin menahan agar celahnya terbuka lebih lebar. Sambil sedikit memberikan dorongan, Gavin akhirnya berhasil membuat wanita di hadapannya kembali bicara."Pergilah. Apa maumu?" tanya wanita yang bernama Afi itu."Bu, saya tahu Azura di sini," jawab Gavin. "Jadi tolong biarkan saya menemui dia."Tatapan mata Afi terlihat dingin. Setelah mengetahui alasan kedatangan Gavin, ekspresinya berubah sinis. Afi harus bisa menjaga jarak dengan siapa pun yang datang mencari Azura.Sejak pertemuan Azura dengan Laura beberapa waktu yang lalu, Azura sempat menitipkan pesan agar tidak membiarkan siapa pun mengetahui keberadaannya tanpa seizin Azura. Saat itu, Azura menjadi lebih murung dan sering menangis. Terang saja kalau kini Afi tak segan memperlihatkan raut tak suka saat ada orang yang tiba-tiba ingin menemui Azura. Ada kecenderungan dalam diri Afi untuk menjaga Azura dari orang-orang yang mungkin akan membuat Azura sedih.Afi
Ini masih terlalu dini untuk disebut dengan pagi. Matahari masih belum muncul, dan warna langit masih sepenuhnya hitam. Meski begitu, Gavin tetap bangkit dari tidur, lalu keluar untuk menantang dinginnya udara.Titik es muncul di ujung dedaunan sebab suhu yang menginjak -1°C. Gavin jadi ingat bagaimana hidung Azura yang memerah dan sering sakit saat udara terlalu dingin. Pun kebiasaannya yang cenderung lebih sering bersin."Semoga dia baik-baik aja," lirih Gavin.Sambil menunggu matahari meninggi, Gavin memutuskan berjalan-jalan di sekitar penginapan. Sesekali, dia menyinggung nama Azura ketika warga sekitar menyapa dan beramah tamah padanya. Sungguh sial, Gavin masih harus berusaha lebih keras lagi, sebab tak ada seorang pun yang mengetahui Azura di sekitar sini.Sambil menyalakan mesin mobil, Gavin mempelajari sesaat daerah yang dia pijak melalui map. Jemarinya bergerak membantu mata untuk mengamati berapa banyak villa di daerah ini. Tak lupa, Gavin juga mencari tahu tentang tempat
Gavin tidak merasa risau saat ponselnya kehabisan daya. Tak masalah. Lagi pula tidak ada siapapun yang akan menghubunginya. Kalaupun ada, mungkin itu dari orang yang tidak seberapa penting.But, wait. Bukan berniat menyepelekan. Namun, saat ini yang terpenting bagi Gavin adalah bagaimana caranya agar bisa menemukan Azura."Aku nggak akan pernah berhenti mencarimu, Ra," monolog Gavin.Menempuh perjalanan selama lima jam bukan hal yang berat. Saat ini, Gavin justru sangat bersemangat. Meski belum tahu bagaimana hasilnya, tapi dia menemukan ada setitik harapan untuk bisa melihat wajah Azura lagi."Dari mana aku bisa mulai mencarimu di tempat sebesar ini?" lirih Gavin seraya melayangkan pandang dari kanan ke kiri.Dua hari yang lalu, dia bertemu lagi dengan Laura. Mantan kekasihnya itu sempat menolak saat Gavin mendesak untuk memberi tahu keberadaan Azura. Namun, setelah berbagai upaya, Laura akhirnya memberikan satu petunjuk bahwa Azura ada di daerah dataran tinggi Dieng ini.Tentu Laura
Azura menghentikan langkah saat kakinya menginjak teras. Tubuhnya membatu. Kedua matanya menatap nanar ke sekitar. Ada terlalu banyak benda yang seharusnya tidak ada di depan rumahnya."Ya Tuhan," lirih Azura.Rumah yang dulu dia tinggalkan dengan hati penuh kegelisahan, kini menyambutnya dengan keheningan yang menyakitkan. Tak ada siapa pun di rumah ini. Namun, Azura bisa melihat kalau ada seseorang yang sepertinya sering datang berkunjung."Gavin," lirih Azura, nyaris tanpa suara.Bukan tanpa alasan Azura menyimpulkan kalau Gavin sering mendatangi rumahnya yang kosong. Sebab, lelaki itu memang selalu meninggalkan jejak. Azura paham betul bagaimana coretan tangan Gavin yang tersemat pada setiap bunga yang ada di teras rumahnya.Ya. Bunga. Ada banyak sekali buket bunga yang menyambut kepulangan Azura.Semuanya cantik. Namun, tunggu dulu. Ini bukan narasi yang penuh keindahan dan keromantisan. Justru ini adalah penyebab munculnya rasa sesak dan sakit dalam diri Azura.
> Gavin, ini aku, Azura. Tolong angkat teleponnya. Azura menatap nanar deret tulisan yang hanya menunjukkan centang satu. Jangankan mendapatkan balasan. Pesan dari Azura bahkan sama sekali tidak terkirim. "Ada apa denganmu," lirih Azura. Rasa panik terus menjalar dalam dirinya. Azura mencoba lagi, kali ini dengan lebih banyak kegelisahan. Setiap telepon yang gagal terhubung membuat pikirannya semakin dibanjiri dengan berbagai kemungkinan buruk. Azura tidak bisa duduk diam. Dia mengirimkan lebih banyak pesan, berharap setidaknya ada satu yang akan terkirim. Namun, tidak ada satu pun pesan yang berhasil mencapai diri Gavin. "Aku harus mengganti nomorku," titah Azura pada dirinya sendiri. Azura lantas mengaktifkan kembali nomor ponselnya yang lama. Dia pikir, dirinya akan bisa menemukan jawaban di sana. Barangkali Gavin memberi kabar penting, atau bisa jadi Gavin memiliki nomo
Semula, segala sesuatu tentang Gavin sama sekali tidak ingin Azura gubris. Namun, semakin hari, Azura justru semakin memikirkannya. Terlebih, saat Gavin kembali datang di mimpinya setiap malam."Apa dia baik-baik aja?" tanya Azura kepada dirinya sendiri.Mimpi yang muncul masih berupa potongan-potongan kejadian yang acak. Sialnya, keseluruhannya bukanlah mimpi yang indah. Tak hanya sekadar buruk, ini bahkan bisa dikatakan sebagai mimpi yang mengerikan.Beberapa kali Azura melihat kalau ada bahaya yang sedang mengancam Gavin. Ada kepingan mimpi saat lelaki itu sedang berada di bawah reruntuhan bangunan, dan ada pula setting di pemakaman. Tidak terlalu jelas bagaimana keseluruhan cerita mimpi itu berlangsung, tapi yang jelas, Azura selalu bangun dalam keadaan berderai air mata.Setiap pagi, Azura memulai harinya dengan perasaan cemas. Mimpi itu seperti membawa firasat buruk. Entah ini pertanda akan datangnya kabar tak baik, ataukah sebuah petunjuk untuk Azura agar bisa menyelamatkan Gav
Setelah membiarkan Laura pergi, Azura gegas menutup pintunya rapat-rapat. Dia seperti tak hanya menutup pintu itu secara fisik, tapi juga menutup segala cerita, drama, dan kenangan yang pernah ada. Bukan hanya tentang Laura, tapi juga mengenai Gavin dan segala masa lalu di antara mereka bertiga.Azura menganggap pertemuan kali ini bukan sebagai momen 'sampai jumpa lagi'. Ini lebih tepat dikatakan sebagai momen 'selamat tinggal'. Artinya, Azura sama sekali tidak menginginkan pertemuan selanjutnya. Semuanya telah tamat."Mbak," panggil Afi dari arah ruang tengah.Azura mendongak seraya sedikit mengangkat alis."Ada sesuatu? Mbak bisa cerita sama saya.""Nggak ada," balas Azura."Tapi dari tadi Mbak Azura nangis terus."Kelopak mata Azura lantas berkedip cepat. Sambil menggelengkan kepala, jemarinya buru-buru mengusap pipi yang ternyata memang basah. Sungguh, Azura sampai tidak sadar kalau sejak tadi dia sudah banyak membuang air mata."Dia tadi siapa?" tanya Afi."Pengacaraku dulu, Bu."
Azura terbaring di atas ranjang dengan mata yang menatap lurus ke arah langit-langit kamar. Benaknya terbang menuju mimpi yang entah mengapa terasa janggal. Di mimpi itu, ada Gavin, Laura, dan David."Aneh," ucap Azura.Sebenarnya, mimpi itu tidak terlalu jelas. Azura hanya bisa mengingat kepingan cerita yang sama sekali tidak berkesinambungan. Ada mimpi tentang pertemuannya lagi dengan Gavin, ada pula mimpi tentang Laura dan David. Pada satu adegan, Azura juga merasa seperti sedang bertemu dengan ketiga orang itu di waktu yang bersamaan.Tak ada yang spesial dari mimpi-mimpi itu. Namun, Azura mengingat betul tentang mimpi saat Laura mencarinya. Entah di mana dan entah bagaimana, tapi di mimpi itu, wajah Laura tampak jelas. Laura sedang berjalan kesana kemari untuk mencari Azura. Azura juga seperti melihat Laura yang tengah mengobrol dengan Rendi untuk menanyakan di mana tempat tinggal Azura.Sambil menyibak selimut dari tubuhnya, Azura lantas ban