'Jika kamu bersikeras ingin hidup, maka kupastikan hidupmu tidak akan tenang. Dan jika kamu menginginkan ketenangan, aku bersedia membantu mewujudkannya dengan cara mengembalikan kamu kepada Tuhan.'Kalimat itu terngiang jelas saat Azura menatap tiap sudut kamar di hadapannya. Semakin lama berada di sini, Azura semakin ingat dengan sederet peristiwa yang dia alami di dalam mimpi. Tempat ini benar-benar sama persis."Are you ok?" tanya Gavin.Azura menoleh ke samping, lalu menganggukkan kepala."Duduklah dulu. Wajahmu pucat," ucap Gavin.Meski tidak menatap diri lewat cermin, tapi Azura merasa kalau dirinya memang tidak baik-baik saja. Terbukti dari munculnya beberapa titik keringat dingin pada dahi. Bahkan, Azura juga merasa kalau tarikan napasnya berubah semakin sesak."Aku merasa mereka sedang mencariku. Dan entah mengapa, aku merasa kalau mereka sangat dekat dengan rumah ini," ucap Azura."Jangan khawatir. Nggak akan ada yang bisa masuk ke rumah ini tanpa membuat janji dulu dengank
"Kamu bisa tinggal di sini sembari kita mencari jalan keluar untuk masalah ini," ucap Gavin.Azura menggeleng cepat. Dia tidak mungkin semudah itu menerima tawaran untuk tinggal di bawah satu atap."Setidaknya untuk malam ini," lanjut Gavin. "Besok pagi aku akan menemanimu mencari tempat tinggal sementara.""Sebenarnya aku bisa sendiri, dan —""Aku sudah bilang kalau aku akan menemanimu," pungkas Gavin.Azura terpaku. Semakin lama berbicara dengan Gavin, lelaki itu semakin mirip dengan Mars. Bahkan, bagaimana aksen bicaranya saat menggunakan Bahasa Indonesia juga sama persis."Sekarang kamu mau istirahat dulu?" tanya Gavin. "Kamu bisa menggunakan kamarku kalau kamu nggak mau tidur di kamar yang tadi."Azura menggeleng. "Aku di sini saja.""Ok, I hear you."Di sela pembicaraan mereka, ponsel Gavin lantas berdering. Buru-buru lelaki itu menekan tombol hijau, lalu mendekatkan ponsel pada telinga kanan. Meski tidak tahu sedang membicarakan tentang apa, tapi Azura bisa menebak kalau Gavin
Azura terduduk lesu di atas lantai. Jiwanya seolah terbelah menjadi dua kubu. Satu sisi sedang membujuk diri untuk tetap percaya pada Gavin, sementara sisi yang lain tengah sibuk merutuk.'Bodoh!'Benaknya berteriak dengan berisik. Seluruh isi kepala berebut ingin memaki. Bagaimana bisa Azura sempat semudah itu percaya kepada Gavin yang sejatinya bukan siapa-siapa?Seharusnya Azura tahu kalau di dunia ini tidak ada yang bisa dipercaya selain dirinya sendiri. Keluarga yang merupakan orang terdekat saja bisa dengan tega membunuh orang tuanya. Apalagi Gavin yang baru saja Azura kenal beberapa jam yang lalu.'Shit!' Azura mengumpat dalam hati.Rasa panik dan ketakutan mulai merayap. Azura merasa sesak. Dadanya seperti dihimpit beban berat.'Nggak mungkin kalau ini cuma kebetulan,' pikirnya.Dia mulai menduga, mungkin Gavin dan Riki bekerja sama. Mungkin semua ini adalah jebakan yang sudah direncanakan sejak awal. Mungkin Gavin adalah alat untuk mempermudah Riki melancarkan rencananya.'Ak
Udara malam terasa sejuk, mendekati dingin. Namun, keringat tetap saja mengalir di pelipis Azura. Beberapa helai rambut yang terlepas dari ikatan juga tampak menggumpal karena basah.Azura masih tidak tahu arah tujuan kakinya melangkah. Ke mana pun itu, yang jelas dia harus menjauh dari Gavin dan Riki. Orang asing yang ternyata berbahaya, dan keluarga yang sangat mengancam nyawa."Di mana ini?" monolog Azura seraya menoleh kanan dan kiri.Begitu tiba di jalan raya, Azura berhenti sejenak untuk mengatur napas dan menenangkan pikiran. Dia mengamati sekeliling, kemudian sadar kalau tempat ini tidaklah asing. Azura sangat mengenali jalan dan bangunan di sekitar sini.Sebuah perasaan lega muncul di dadanya. Setiap sudut jalan terlihat cukup akrab, karena wilayah ini tidak jauh dari rumah tempat dirinya tinggal. Namun, perasaan lega itu dengan cepat berubah menjadi kecemasan. Keluarga Riki, termasuk Riki sendiri, juga tinggal di area sekitar sini. Jadi, Azura harus sangat berhati-hati.Azur
"Turunkan celanamu," titah Azura."What?!"Gavin membulatkan mata. Setelah tadi berhasil mengendap menuju apotek terdekat, kini mereka sedang duduk di selasar belakang ruko. Suasana terbilang sangat sepi, hanya ada mereka berdua saja."Cepatlah," ucap Azura."Kenapa kamu seperti mau memperkosaku?"Azura berdecak malas. "Gimana aku bisa mengobatimu kalau kakimu masih tertutup begitu?""Ok, then." Meski sedikit canggung, tapi Gavin akhirnya menurut."Ini mungkin akan sedikit perih," ucap Azura."It’s ok."Tak ada adegan romantis seperti di cerita romansa. Mereka tidak sempat saling pandang dan tidak pula berpegangan tangan. Azura hanya membersihkan luka, memberi obat, lalu menutupnya dengan kasa. Hanya itu saja.Benar-benar hanya itu saja.Setelah semuanya selesai, mereka lantas kembali pada mode waspada. Pandangan mata mereka meniti segala arah untuk memastikan semuanya aman. Jangan sampai ada orang melihat mereka, terutama Riki."Apa di sini aman?" Azura berguman. Tak hanya bertanya p
Mungkin ini terkesan terburu-buru, tapi perasaan Azura mengatakan kalau Laura memang tidak berbahaya. Azura sama sekali tidak memiliki firasat buruk tentang wanita yang baru dia temui satu kali. Dan biasanya, firasat Azura tidak pernah meleset.Lagipula, Azura menganggap pertemuan ini sebagai pertemuan atas dasar profesionalitas. Azura menawarkan harga yang setimpal untuk Laura agar kasus ini berhasil dimenangkan. Jadi, bukankah ini cukup adil? Masing-masing dari mereka sama-sama mendapat keuntungan."Aku akan mencari penginapan dekat sini," ucap Azura setelah mereka selesai berdiskusi."Aku punya flat studio kalau kamu mau. Sepertinya di sana lebih aman untukmu." Gavin menyahut.Azura menggeleng, lalu melancarkan beberapa alasan penolakan. Dia lebih memilih tinggal sendiri daripada harus berada di atap yang sama dengan Gavin. Terlebih lagi, Azura tidak ingin terlalu banyak berhutang budi. Selain itu, dia juga cukup tahu diri."Sepertinya aku lebih nyaman mencari tempat tinggal sendir
Flat kecil tempat Azura tinggal terasa seperti tempat perlindungan dari dunia luar yang penuh bahaya. Dindingnya mungkin sempit, tapi di sini, dia bisa merasakan kedukaan dan melepaskan seluruh kesedihan. Sejak kepergian orang tuanya, baru kali inilah Azura bisa menangis sejadi-jadinya.Pergantian malam menuju pagi tidak serta merta dijadikan sebagai waktu istirahat. Azura justru sedang memuaskan diri untuk meratap. Bukankah menangis dan meraung adalah hal yang wajar? Terlebih, penyebabnya adalah kematian tragis dari orang yang terkasih."Aku akan membuat mereka membayar semua ini," bisik Azura pada dirinya sendiri.Sebagian kepahitan yang Azura rasa akhirnya bermuara pada rasa marah. Azura tak bisa menyangkal rasa dendam akibat kelakuan biadab keluarganya. Gara-gara kejadian malam itu, hidup Azura seketika berubah dalam hitungan jam. Sialnya, perubahan ini seolah menuju ke arah kehancuran.Semoga saja kehancuran ini tidak berkelanjutan. Semoga saja usaha Azura menemui Laura tadi sege
Azura dan Gavin duduk berdampingan di tepi danau yang tenang. Telapak tangan mereka saling menggenggam. Keduanya terlarut dalam percakapan yang hangat, tertawa lepas, dan sesekali saling melempar pandang.Angin sepoi membawa aroma bunga-bunga musim semi yang baru mekar. Langit biru mulai berubah menjadi jingga keemasan saat matahari terbenam. Sungguh, semesta dengan senang hati menjadi saksi atas berlangsungnya kemesraan mereka berdua. Semua tampak begitu nyata, begitu hangat, hingga Azura merasa tak ingin momen ini berakhir begitu saja."Ini adalah hari yang sempurna," ucap Azura.Gavin tersenyum. "Bersamamu, semua hari selalu sempurna."Azura merasa seolah-olah berada di puncak kebahagiaan. Semua masalah seakan menghilang, dan yang tersisa hanyalah kebahagiaan murni bersama Gavin.Saat kedua kaki Azura beranjak berdiri, kedua tangan Gavin terasa menyelinap di bagian pinggang. Jemarinya dingin, tapi rengkuhan tangannya terasa hangat. Terlebih lagi … bibirnya. Azura bisa merasakan den
Azura memeluk dirinya sendiri. Penolakan tegas dari Darren cukup menampar dan bisa membuatnya sadar. Dia sudah terlalu gegabah.Ketakutan dan kekhawatiran yang berlebihan membuat Azura terlalu ingin cepat menemukan Gavin. Dia terkesan terlalu memaksakan diri. Sampai-sampai, dia lupa kalau dirinya mulai menjadi egois dan tidak rasional."Maaf," ucap Azura lirih. "Aku yang seharusnya minta maaf."Ada rasa sakit yang tak bisa dijelaskan ketika menyadari bahwa setiap langkah yang dia ambil mungkin akan menyeret Darren dan Laura ke jurang yang tak seharusnya. Ini salah. Ini terlalu jauh.Azura tidak ingin membuat siapa pun masuk ke dalam luka yang pada awalnya hanya miliknya sendiri.“Aku….” Suara Azura pelan, hampir tak terdengar. “Aku nggak ingin ada yang dirugikan karena aku. Termasuk kalian berdua.”“Azura—”Suara dari ponsel kembali terdengar. Darren belum menutup sambungan. Nada bicaranya masih terdengar berat, tapi juga tidak sekeras sebelumnya.“Aku bisa mengerti posisimu,” kata Da
Cahaya.Begitu silau, tapi tak menghangatkan.Begitu dekat, tapi tak bisa digapai.Gavin mencoba mengangkat kelopak matanya, tapi tubuhnya tak merespons. Raganya seolah masih tertinggal di tempat yang gelap, jauh di kedalaman yang tak bernama.Lamat-lamat, dia lantas mendengar suara. Pelan. Samar. Namun, jelas menusuk ke dalam kesadarannya yang rapuh.“Tingkatkan dosisnya. Dia belum boleh sadar. Belum sekarang.”Ada desis perintah. Ada langkah-langkah yang tergesa.Suara alat medis berdenting halus, monoton, seperti detak waktu yang terus berbunyi tanpa empati.Gavin ingin bertanya. Dia ingin tahu di mana dia, kenapa dia di sini, dan siapa yang sedang berbicara. Namun, semua pertanyaan itu hanya menggema di dalam pikirannya sendiri.Satu-satunya hal yang bisa dia rasakan hanyalah dingin. Dingin yang menjalari tulang, memeluk nyawanya erat-erat. Dalam kegelapan yang kembali menelannya, satu nama lantas melintas.Azura.Nama itu muncul seperti bisikan paling jujur di tengah kekacauan. M
Warna senja sudah menjilat tepian cakrawala saat Laura mengulirkan jari di layar ponselnya. Dia sedang mencari sebuah nama di daftar kontak yang saat ini mungkin bisa membawanya ke jalan keluar. Rowan Stewart, kakak laki-laki Gavin.“Aku nggak tahu dia masih pakai nomor ini atau nggak,” gumam Laura pelan, nyaris seperti minta izin untuk merasa gugup.David mengangguk. “Coba saja. Kita nggak punya banyak pilihan.”Azura tak ikut berkomentar. Namun, tatapan penuh harap darinya sudah cukup untuk memberikan Laura dukungan, atau bisa disebut juga dengan permohonan. Sungguh, wajahnya senada dengan langit mendung yang hanya sedikit disiram dengan rona jingga yang murung."Semoga tersambung," ucap Laura kemudian.Setelah mengembuskan napas panjang, Laura menekan tombol hijau. Tak lupa, dia juga membiarkan telepon berada pada mode loud speaker. Hanya butuh jeda satu detik hingga suara nada sambung berhasil mempercepat laju detak jantung.Sekali.Dua kali.Tiga kali.Lalu terdengar jawaban lela
Azura tak ingat kapan terakhir kali dirinya merasa begitu lelah. Bukan sekadar kelelahan fisik, tapi sesuatu yang lebih dalam. Seperti tersesat di tempat yang seharusnya familiar, mencari seseorang yang seharusnya mudah ditemukan, tapi semakin dikejar, semakin jauh bayangannya.Tentu ada seberkas rasa ingin menyerah. Hari-hari yang selama ini Azura lewati bukanlah masa yang mudah. Untungnya, Azura masih menemukan satu nama yang mungkin bisa membantunya bangun dari kubangan lumpur.Laura datang. Langkahnya mantap dan cepat. Mantel panjangnya berkibar tertiup angin, menampakkan tubuh yang tampak lebih berisi. Di sebelahnya, David berjalan lebih pelan sambil mendorong stroller bayi."Azura." Suara Laura pelan, nyaris tenggelam dalam kebisuan.Sejenak, mereka hanya berdiri berhadapan. Dua orang yang dulu saling terikat dalam simpul yang rumit, kini kembali bertemu dalam keadaan yang sama sekali berbeda."Kamu baik-baik saja?" tanya Laura. Dia sadar kalau itu adalah pertanyaan bodoh yang t
"Azura? Itu kamu, 'kan?"Tidak ada sapaan terburu-buru. Nada suara Laura memang terdengar terkejut. Mungkin dia tidak menyangka kalau Azura tiba-tiba menghubunginya. Namun, kalimat kedua darinya sudah meluncur dengan lebih tenang."Ra? Are you there?""Iya, ini aku," timpal Azura. "Hai, Laura."Azura menutup mata sejenak, meresapi kenyataan bahwa akhirnya mereka berbicara lagi setelah sekian lama tidak ada kontak. Ada perasaan aneh di dadanya. Bukan hanya canggung, tapi juga sedikit rindu.Laura pernah menjadi cahaya di tengah kegelapan yang hampir menelan Azura. Sebagai seorang pengacara, Laura tidak hanya menyelamatkan hidupnya dalam arti hukum, tapi juga dalam makna yang lebih dalam. Wanita itu pernah berhasil membebaskan Azura dari jerat yang hampir membunuh dirinya. Azura mengingat hari itu dengan jelas, bagaimana Laura berdiri di depan, berani melawan badai yang nyaris meruntuhkan.Hubungan mereka pun tidak sesederhana itu. Selain interaksi profesional antara klien dan pengacara
Azura masih diam pada pijak yang sama.Ada sesuatu.Bahu dan tengkuknya menegang. Bukan karena lelah, tapi lebih seperti ada sesuatu yang menariknya. Kepalanya seolah dipaksa untuk tetap menoleh ke lantai dua.Sejak beberapa detik yang lalu, ruangan itu sudah gelap. Cahaya dari luar hanya menyisakan kilasan samar di balik kaca besar. Semua kosong. Tak ada siapa pun.Namun, … tunggu dulu. Masih ada seseorang di atas sana.Azura menajamkan pandangan, tapi gelap di sana terlalu pekat. Sosok lelaki itu terbungkus dalam siluet yang buram. Namun, meski samar, Azura tetap bisa mengenalinya. Cara lelaki itu berdiri, garis bahunya yang kokoh, kemiringan kepalanya, dan satu tangannya yang diselipkan ke dalam saku, semua terasa begitu akrab."Gavin?" Azura berbisik pada dirinya sendiri.Udara yang semula bisa Azura hirup dengan bebas, kini berubah jadi beban yang menghimpit. Sebelum dia bisa mencari kepastian, sebelum otaknya mampu memproses lebih jauh, sosok itu lantas bergerak. Tak sampai tiga
Lobi kantor terlihat luas dengan pencahayaan hangat, kontras dengan area luar yang dingin dan cenderung abu-abu. Lantainya mengkilap, memantulkan bayangan tubuh Azura yang tampak kecil dan semakin kerdil. Udara di ruangan itu sejuk, tapi bukannya menenangkan, malah terasa asing dan tak bersahabat.Suara sepatu hak tinggi yang berdetak pelan di lantai marmer, suara ponsel yang bergetar, dan dentingan keyboard dari meja resepsionis membentuk simfoni kesibukan yang tidak berkesudahan. Tidak ada yang memedulikan Azura. Tidak ada yang memperhatikannya. Azura benar-benar hanyalah seorang pendatang tanpa identitas.Tenggorokannya terasa kering, kakinya sedikit gemetar, tapi tekad memaksa Azura untuk tetap tegak. Jemarinya mencengkeram tas, seolah mencari pegangan di tengah lautan ketidakpastian. Napasnya berat, tapi dia menolaknya menjadi tanda kelemahan. Dia sudah terlalu jauh untuk berbalik. Entah apa yang menantinya di depan, satu-satunya pilihan adalah melangkah."Permisi, saya mencari G
Warna langit begitu pekat, tanpa bintang, pun tanpa bulan. Hanya sayap pesawat yang sesekali berkilat terkena cahaya dari dalam kabin. Azura duduk diam, mencoba berpikir. Sialnya, dia seolah tidak diizinkan untuk memutar otak.Pesawat terus berguncang. Bahkan, lebih kencang dari sebelumnya. Azura menutup rapat kedua mata karena baru pertama kali mengalami turbulensi semengerikan ini. Napasnya tertahan di tenggorokan. Getaran itu merayap dari sandaran kursi hingga ke tulang belakang. Setiap gerak seolah sedang mengingatkan bahwa Azura sedang melayang di udara, menggantung di antara negara yang dia tinggalkan dan negara yang belum tentu menyambutnya.'Gila! Apa aku benar-benar sedang melakukan ini?' batin Azura dalan hati.Azura tidak tahu apakah kepergiannya ini merupakan keberanian atau kebodohan. Tidak ada yang bisa memastikan apakah Gavin masih di sana, apakah dia baik-baik saja, atau apakah dia benar-benar menginginkan Azura datang.Layar ponsel menampakkan itinerary yang dulu Gav
Langit tampak kelabu, tapi hati Azura jauh lebih suram dari warna di luar jendela. Dia duduk di tepi ranjang, meremas selimut dengan tangan gemetar. Dadanya terasa sesak, seakan ada sesuatu yang mendesak, menekannya untuk bertindak. Namun, harus ke mana? Azura bahkan tidak tahu akan memulai dari mana.Gavin masih menghilang. Sudah berapa lama? Azura tidak lagi bisa menghitung. Pesan-pesan yang dia kirim tetap tanpa balasan. Panggilan teleponnya selalu berujung pada nada sambung yang menyebalkan.Azura mencoba mencari tahu tentang Edinburgh, kota yang bahkan belum pernah dia injak. Namun, nihil. Dia tidak mengenal siapa pun di sana. Tidak ada satu pun nama atau alamat yang bisa membantunya menemukan Gavin."How did it come to this?" monolog Azura Matanya memanas, tapi dia berusaha menahan diri. Ini bukan saatnya untuk menangis. Dia harus melakukan sesuatu, apa pun itu.Memesan tiket ke Edinburgh tanpa tujuan jelas, lalu mencari Gavin tanpa petunjuk sama sekali, mungkin itu akan terden