"Kamu bisa tinggal di sini sembari kita mencari jalan keluar untuk masalah ini," ucap Gavin.Azura menggeleng cepat. Dia tidak mungkin semudah itu menerima tawaran untuk tinggal di bawah satu atap."Setidaknya untuk malam ini," lanjut Gavin. "Besok pagi aku akan menemanimu mencari tempat tinggal sementara.""Sebenarnya aku bisa sendiri, dan —""Aku sudah bilang kalau aku akan menemanimu," pungkas Gavin.Azura terpaku. Semakin lama berbicara dengan Gavin, lelaki itu semakin mirip dengan Mars. Bahkan, bagaimana aksen bicaranya saat menggunakan Bahasa Indonesia juga sama persis."Sekarang kamu mau istirahat dulu?" tanya Gavin. "Kamu bisa menggunakan kamarku kalau kamu nggak mau tidur di kamar yang tadi."Azura menggeleng. "Aku di sini saja.""Ok, I hear you."Di sela pembicaraan mereka, ponsel Gavin lantas berdering. Buru-buru lelaki itu menekan tombol hijau, lalu mendekatkan ponsel pada telinga kanan. Meski tidak tahu sedang membicarakan tentang apa, tapi Azura bisa menebak kalau Gavin
Azura terduduk lesu di atas lantai. Jiwanya seolah terbelah menjadi dua kubu. Satu sisi sedang membujuk diri untuk tetap percaya pada Gavin, sementara sisi yang lain tengah sibuk merutuk.'Bodoh!'Benaknya berteriak dengan berisik. Seluruh isi kepala berebut ingin memaki. Bagaimana bisa Azura sempat semudah itu percaya kepada Gavin yang sejatinya bukan siapa-siapa?Seharusnya Azura tahu kalau di dunia ini tidak ada yang bisa dipercaya selain dirinya sendiri. Keluarga yang merupakan orang terdekat saja bisa dengan tega membunuh orang tuanya. Apalagi Gavin yang baru saja Azura kenal beberapa jam yang lalu.'Shit!' Azura mengumpat dalam hati.Rasa panik dan ketakutan mulai merayap. Azura merasa sesak. Dadanya seperti dihimpit beban berat.'Nggak mungkin kalau ini cuma kebetulan,' pikirnya.Dia mulai menduga, mungkin Gavin dan Riki bekerja sama. Mungkin semua ini adalah jebakan yang sudah direncanakan sejak awal. Mungkin Gavin adalah alat untuk mempermudah Riki melancarkan rencananya.'Ak
Udara malam terasa sejuk, mendekati dingin. Namun, keringat tetap saja mengalir di pelipis Azura. Beberapa helai rambut yang terlepas dari ikatan juga tampak menggumpal karena basah.Azura masih tidak tahu arah tujuan kakinya melangkah. Ke mana pun itu, yang jelas dia harus menjauh dari Gavin dan Riki. Orang asing yang ternyata berbahaya, dan keluarga yang sangat mengancam nyawa."Di mana ini?" monolog Azura seraya menoleh kanan dan kiri.Begitu tiba di jalan raya, Azura berhenti sejenak untuk mengatur napas dan menenangkan pikiran. Dia mengamati sekeliling, kemudian sadar kalau tempat ini tidaklah asing. Azura sangat mengenali jalan dan bangunan di sekitar sini.Sebuah perasaan lega muncul di dadanya. Setiap sudut jalan terlihat cukup akrab, karena wilayah ini tidak jauh dari rumah tempat dirinya tinggal. Namun, perasaan lega itu dengan cepat berubah menjadi kecemasan. Keluarga Riki, termasuk Riki sendiri, juga tinggal di area sekitar sini. Jadi, Azura harus sangat berhati-hati.Azur
"Turunkan celanamu," titah Azura."What?!"Gavin membulatkan mata. Setelah tadi berhasil mengendap menuju apotek terdekat, kini mereka sedang duduk di selasar belakang ruko. Suasana terbilang sangat sepi, hanya ada mereka berdua saja."Cepatlah," ucap Azura."Kenapa kamu seperti mau memperkosaku?"Azura berdecak malas. "Gimana aku bisa mengobatimu kalau kakimu masih tertutup begitu?""Ok, then." Meski sedikit canggung, tapi Gavin akhirnya menurut."Ini mungkin akan sedikit perih," ucap Azura."It’s ok."Tak ada adegan romantis seperti di cerita romansa. Mereka tidak sempat saling pandang dan tidak pula berpegangan tangan. Azura hanya membersihkan luka, memberi obat, lalu menutupnya dengan kasa. Hanya itu saja.Benar-benar hanya itu saja.Setelah semuanya selesai, mereka lantas kembali pada mode waspada. Pandangan mata mereka meniti segala arah untuk memastikan semuanya aman. Jangan sampai ada orang melihat mereka, terutama Riki."Apa di sini aman?" Azura berguman. Tak hanya bertanya p
Mungkin ini terkesan terburu-buru, tapi perasaan Azura mengatakan kalau Laura memang tidak berbahaya. Azura sama sekali tidak memiliki firasat buruk tentang wanita yang baru dia temui satu kali. Dan biasanya, firasat Azura tidak pernah meleset.Lagipula, Azura menganggap pertemuan ini sebagai pertemuan atas dasar profesionalitas. Azura menawarkan harga yang setimpal untuk Laura agar kasus ini berhasil dimenangkan. Jadi, bukankah ini cukup adil? Masing-masing dari mereka sama-sama mendapat keuntungan."Aku akan mencari penginapan dekat sini," ucap Azura setelah mereka selesai berdiskusi."Aku punya flat studio kalau kamu mau. Sepertinya di sana lebih aman untukmu." Gavin menyahut.Azura menggeleng, lalu melancarkan beberapa alasan penolakan. Dia lebih memilih tinggal sendiri daripada harus berada di atap yang sama dengan Gavin. Terlebih lagi, Azura tidak ingin terlalu banyak berhutang budi. Selain itu, dia juga cukup tahu diri."Sepertinya aku lebih nyaman mencari tempat tinggal sendir
Flat kecil tempat Azura tinggal terasa seperti tempat perlindungan dari dunia luar yang penuh bahaya. Dindingnya mungkin sempit, tapi di sini, dia bisa merasakan kedukaan dan melepaskan seluruh kesedihan. Sejak kepergian orang tuanya, baru kali inilah Azura bisa menangis sejadi-jadinya.Pergantian malam menuju pagi tidak serta merta dijadikan sebagai waktu istirahat. Azura justru sedang memuaskan diri untuk meratap. Bukankah menangis dan meraung adalah hal yang wajar? Terlebih, penyebabnya adalah kematian tragis dari orang yang terkasih."Aku akan membuat mereka membayar semua ini," bisik Azura pada dirinya sendiri.Sebagian kepahitan yang Azura rasa akhirnya bermuara pada rasa marah. Azura tak bisa menyangkal rasa dendam akibat kelakuan biadab keluarganya. Gara-gara kejadian malam itu, hidup Azura seketika berubah dalam hitungan jam. Sialnya, perubahan ini seolah menuju ke arah kehancuran.Semoga saja kehancuran ini tidak berkelanjutan. Semoga saja usaha Azura menemui Laura tadi sege
Azura dan Gavin duduk berdampingan di tepi danau yang tenang. Telapak tangan mereka saling menggenggam. Keduanya terlarut dalam percakapan yang hangat, tertawa lepas, dan sesekali saling melempar pandang.Angin sepoi membawa aroma bunga-bunga musim semi yang baru mekar. Langit biru mulai berubah menjadi jingga keemasan saat matahari terbenam. Sungguh, semesta dengan senang hati menjadi saksi atas berlangsungnya kemesraan mereka berdua. Semua tampak begitu nyata, begitu hangat, hingga Azura merasa tak ingin momen ini berakhir begitu saja."Ini adalah hari yang sempurna," ucap Azura.Gavin tersenyum. "Bersamamu, semua hari selalu sempurna."Azura merasa seolah-olah berada di puncak kebahagiaan. Semua masalah seakan menghilang, dan yang tersisa hanyalah kebahagiaan murni bersama Gavin.Saat kedua kaki Azura beranjak berdiri, kedua tangan Gavin terasa menyelinap di bagian pinggang. Jemarinya dingin, tapi rengkuhan tangannya terasa hangat. Terlebih lagi … bibirnya. Azura bisa merasakan den
"Babe?" panggil Laura.Gavin yang masih duduk di ruang kerja lantas mendongak. Meski belum sempat menjelaskan apa-apa, tapi Gavin bisa membaca aura cemas di wajah Laura. Gavin yakin, Laura akan membicarakan hal yang penting."Kamu kenapa?" tanya Gavin seraya menarik tangan Laura.Setelah terlebih dahulu mengusap wajah Laura, Gavin lantas meraih bagian pinggang. Dengan sedikit tarikan, dia lantas membiarkan Laura duduk di pangkuannya. Tak lupa, sebelah lengan Gavin juga terulur melingkari perut."Senyum dulu." Gavin berucap seraya mengusap pipi Laura.Sambil sedikit memundurkan kepala, Laura kemudian menggeleng. Ekspresi wajahnya masih teguh menyiratkan rasa serius. Cara Laura menatap mengisyaratkan kalau dia sedang tidak ingin diajak bercanda."Ok, sorry," ucap Gavin menyadari kesalahannya. "Ada apa? Ada sesuatu?""Aku barusan telepon Azura.""Lalu?""Aku agak ragu."Dahi Gavin mengernyit. "Why? Bukannya kemenangan kasus ini mendekati 90%?""Bukan soal itu," balas Laura. "Aku memikirk
Gavin menghentikan tarikan napas. Kedua manik abu-abunya menatap layar dengan jemari yang sedikit gemetar. Setelah melewati pencarian yang melelahkan, dia akhirnya memiliki kesempatan untuk berbicara dengan Azura.Begitu nada sambung terdengar, hatinya sontak berdesir. Belum saja dia mendengar suara Azura, tapi jantung Gavin sudah berulah. Detaknya sungguh tidak beraturan.Semula, Gavin pikir Azura akan segera menjawab panggilannya. Namun, semesta ternyata masih ingin sedikit bermain-main. Suara nada tunggu yang tidak kunjung tersambung seolah sedang mencemooh dan sengaja mengulur waktu.Pada dering ke tiga, Azura masih belum mengangkat panggilan. Sungguh, Gavin seperti sedang menunggu jawaban dari takdir. Akankah dia menjawab? Akankah dia mengenali nomornya? Atau dia akan memilih untuk mengabaikannya?Kedua kaki Gavin sudah bergerak naik turun dengan cepat. Seluruh tubuh seolah turut menampakkan rasa gelisah. Namun, sekujur anggota badannya tiba-tiba berhenti ketika panggilan berhasi
Pintu dengan cat putih sudah tertutup separuh. Namun, sebisa mungkin Gavin menahan agar celahnya terbuka lebih lebar. Sambil sedikit memberikan dorongan, Gavin akhirnya berhasil membuat wanita di hadapannya kembali bicara."Pergilah. Apa maumu?" tanya wanita yang bernama Afi itu."Bu, saya tahu Azura di sini," jawab Gavin. "Jadi tolong biarkan saya menemui dia."Tatapan mata Afi terlihat dingin. Setelah mengetahui alasan kedatangan Gavin, ekspresinya berubah sinis. Afi harus bisa menjaga jarak dengan siapa pun yang datang mencari Azura.Sejak pertemuan Azura dengan Laura beberapa waktu yang lalu, Azura sempat menitipkan pesan agar tidak membiarkan siapa pun mengetahui keberadaannya tanpa seizin Azura. Saat itu, Azura menjadi lebih murung dan sering menangis. Terang saja kalau kini Afi tak segan memperlihatkan raut tak suka saat ada orang yang tiba-tiba ingin menemui Azura. Ada kecenderungan dalam diri Afi untuk menjaga Azura dari orang-orang yang mungkin akan membuat Azura sedih.Afi
Ini masih terlalu dini untuk disebut dengan pagi. Matahari masih belum muncul, dan warna langit masih sepenuhnya hitam. Meski begitu, Gavin tetap bangkit dari tidur, lalu keluar untuk menantang dinginnya udara.Titik es muncul di ujung dedaunan sebab suhu yang menginjak -1°C. Gavin jadi ingat bagaimana hidung Azura yang memerah dan sering sakit saat udara terlalu dingin. Pun kebiasaannya yang cenderung lebih sering bersin."Semoga dia baik-baik aja," lirih Gavin.Sambil menunggu matahari meninggi, Gavin memutuskan berjalan-jalan di sekitar penginapan. Sesekali, dia menyinggung nama Azura ketika warga sekitar menyapa dan beramah tamah padanya. Sungguh sial, Gavin masih harus berusaha lebih keras lagi, sebab tak ada seorang pun yang mengetahui Azura di sekitar sini.Sambil menyalakan mesin mobil, Gavin mempelajari sesaat daerah yang dia pijak melalui map. Jemarinya bergerak membantu mata untuk mengamati berapa banyak villa di daerah ini. Tak lupa, Gavin juga mencari tahu tentang tempat
Gavin tidak merasa risau saat ponselnya kehabisan daya. Tak masalah. Lagi pula tidak ada siapapun yang akan menghubunginya. Kalaupun ada, mungkin itu dari orang yang tidak seberapa penting.But, wait. Bukan berniat menyepelekan. Namun, saat ini yang terpenting bagi Gavin adalah bagaimana caranya agar bisa menemukan Azura."Aku nggak akan pernah berhenti mencarimu, Ra," monolog Gavin.Menempuh perjalanan selama lima jam bukan hal yang berat. Saat ini, Gavin justru sangat bersemangat. Meski belum tahu bagaimana hasilnya, tapi dia menemukan ada setitik harapan untuk bisa melihat wajah Azura lagi."Dari mana aku bisa mulai mencarimu di tempat sebesar ini?" lirih Gavin seraya melayangkan pandang dari kanan ke kiri.Dua hari yang lalu, dia bertemu lagi dengan Laura. Mantan kekasihnya itu sempat menolak saat Gavin mendesak untuk memberi tahu keberadaan Azura. Namun, setelah berbagai upaya, Laura akhirnya memberikan satu petunjuk bahwa Azura ada di daerah dataran tinggi Dieng ini.Tentu Laura
Azura menghentikan langkah saat kakinya menginjak teras. Tubuhnya membatu. Kedua matanya menatap nanar ke sekitar. Ada terlalu banyak benda yang seharusnya tidak ada di depan rumahnya."Ya Tuhan," lirih Azura.Rumah yang dulu dia tinggalkan dengan hati penuh kegelisahan, kini menyambutnya dengan keheningan yang menyakitkan. Tak ada siapa pun di rumah ini. Namun, Azura bisa melihat kalau ada seseorang yang sepertinya sering datang berkunjung."Gavin," lirih Azura, nyaris tanpa suara.Bukan tanpa alasan Azura menyimpulkan kalau Gavin sering mendatangi rumahnya yang kosong. Sebab, lelaki itu memang selalu meninggalkan jejak. Azura paham betul bagaimana coretan tangan Gavin yang tersemat pada setiap bunga yang ada di teras rumahnya.Ya. Bunga. Ada banyak sekali buket bunga yang menyambut kepulangan Azura.Semuanya cantik. Namun, tunggu dulu. Ini bukan narasi yang penuh keindahan dan keromantisan. Justru ini adalah penyebab munculnya rasa sesak dan sakit dalam diri Azura.
> Gavin, ini aku, Azura. Tolong angkat teleponnya. Azura menatap nanar deret tulisan yang hanya menunjukkan centang satu. Jangankan mendapatkan balasan. Pesan dari Azura bahkan sama sekali tidak terkirim. "Ada apa denganmu," lirih Azura. Rasa panik terus menjalar dalam dirinya. Azura mencoba lagi, kali ini dengan lebih banyak kegelisahan. Setiap telepon yang gagal terhubung membuat pikirannya semakin dibanjiri dengan berbagai kemungkinan buruk. Azura tidak bisa duduk diam. Dia mengirimkan lebih banyak pesan, berharap setidaknya ada satu yang akan terkirim. Namun, tidak ada satu pun pesan yang berhasil mencapai diri Gavin. "Aku harus mengganti nomorku," titah Azura pada dirinya sendiri. Azura lantas mengaktifkan kembali nomor ponselnya yang lama. Dia pikir, dirinya akan bisa menemukan jawaban di sana. Barangkali Gavin memberi kabar penting, atau bisa jadi Gavin memiliki nomo
Semula, segala sesuatu tentang Gavin sama sekali tidak ingin Azura gubris. Namun, semakin hari, Azura justru semakin memikirkannya. Terlebih, saat Gavin kembali datang di mimpinya setiap malam."Apa dia baik-baik aja?" tanya Azura kepada dirinya sendiri.Mimpi yang muncul masih berupa potongan-potongan kejadian yang acak. Sialnya, keseluruhannya bukanlah mimpi yang indah. Tak hanya sekadar buruk, ini bahkan bisa dikatakan sebagai mimpi yang mengerikan.Beberapa kali Azura melihat kalau ada bahaya yang sedang mengancam Gavin. Ada kepingan mimpi saat lelaki itu sedang berada di bawah reruntuhan bangunan, dan ada pula setting di pemakaman. Tidak terlalu jelas bagaimana keseluruhan cerita mimpi itu berlangsung, tapi yang jelas, Azura selalu bangun dalam keadaan berderai air mata.Setiap pagi, Azura memulai harinya dengan perasaan cemas. Mimpi itu seperti membawa firasat buruk. Entah ini pertanda akan datangnya kabar tak baik, ataukah sebuah petunjuk untuk Azura agar bisa menyelamatkan Gav
Setelah membiarkan Laura pergi, Azura gegas menutup pintunya rapat-rapat. Dia seperti tak hanya menutup pintu itu secara fisik, tapi juga menutup segala cerita, drama, dan kenangan yang pernah ada. Bukan hanya tentang Laura, tapi juga mengenai Gavin dan segala masa lalu di antara mereka bertiga.Azura menganggap pertemuan kali ini bukan sebagai momen 'sampai jumpa lagi'. Ini lebih tepat dikatakan sebagai momen 'selamat tinggal'. Artinya, Azura sama sekali tidak menginginkan pertemuan selanjutnya. Semuanya telah tamat."Mbak," panggil Afi dari arah ruang tengah.Azura mendongak seraya sedikit mengangkat alis."Ada sesuatu? Mbak bisa cerita sama saya.""Nggak ada," balas Azura."Tapi dari tadi Mbak Azura nangis terus."Kelopak mata Azura lantas berkedip cepat. Sambil menggelengkan kepala, jemarinya buru-buru mengusap pipi yang ternyata memang basah. Sungguh, Azura sampai tidak sadar kalau sejak tadi dia sudah banyak membuang air mata."Dia tadi siapa?" tanya Afi."Pengacaraku dulu, Bu."
Azura terbaring di atas ranjang dengan mata yang menatap lurus ke arah langit-langit kamar. Benaknya terbang menuju mimpi yang entah mengapa terasa janggal. Di mimpi itu, ada Gavin, Laura, dan David."Aneh," ucap Azura.Sebenarnya, mimpi itu tidak terlalu jelas. Azura hanya bisa mengingat kepingan cerita yang sama sekali tidak berkesinambungan. Ada mimpi tentang pertemuannya lagi dengan Gavin, ada pula mimpi tentang Laura dan David. Pada satu adegan, Azura juga merasa seperti sedang bertemu dengan ketiga orang itu di waktu yang bersamaan.Tak ada yang spesial dari mimpi-mimpi itu. Namun, Azura mengingat betul tentang mimpi saat Laura mencarinya. Entah di mana dan entah bagaimana, tapi di mimpi itu, wajah Laura tampak jelas. Laura sedang berjalan kesana kemari untuk mencari Azura. Azura juga seperti melihat Laura yang tengah mengobrol dengan Rendi untuk menanyakan di mana tempat tinggal Azura.Sambil menyibak selimut dari tubuhnya, Azura lantas ban