Selama bertahun-tahun, Azura selalu bermimpi tentang hal yang membahagiakan. Sialnya, beberapa hari terakhir, yang terjadi justru sebaliknya. Azura kini menjadi sangat terganggu dengan mimpi yang ceritanya selalu menegangkan.
Tiap kali terbangun, dahinya sudah dipenuhi dengan peluh. Napasnya memburu dengan tubuh yang seolah remuk. Bukannya mengembalikan tenaga, saat bangun tidur Azura justru merasa jauh lebih lemas. "An, aku ada cerita penting," ucap Azura saat dia baru tiba di kantornya. "Ada masalah dengan Pak Pemred?" Anna balik bertanya ketika melihat wajah Azura tampak lusuh. "Bukan itu." "Terus?" "Tentang Mars." Semula, kisah mengenai lelaki itu tidak pernah tidak menyenangkan. Segala sesuatu tentang Mars tidak pernah mengecewakan. Namun, tepat setelah Azura berulang tahun ke dua puluh enam, mimpinya tentang Mars berangsur menjadi mimpi buruk. "Dia meninggalkanmu?" tanya Anna. Azura menggeleng. "Dia nggak pernah meninggalkan aku." "Lalu?" "Aku nggak tau bagaimana menjelaskannya. Tapi belakangan ini aku sering bermimpi tentang kondisi bahaya." Dahi Anna mengernyit. "Bahaya?" "Iya. Aku seperti dalam bahaya." "Dan Mars adalah pelakunya?" "Bukan," pungkas Azura. "Justru dia yang menyelamatkan aku." "Berarti bukan mimpi buruk. Nyatanya tetap happy ending, 'kan?" Azura diam selama beberapa detik. "Entahlah." "Nggak perlu dipikirkan, Ra. Itu hanya mimpi biasa." Tidak bisa. Azura tidak bisa tidak memikirkannya. Jujur saja, Azura mulai merasa takut dengan mimpi-mimpi itu. Serupa mimpi sebelumnya, mimpi ini pun terasa seperti nyata. Azura seperti benar-benar dalam situasi bahaya. Meski tidak tahu apa penyebabnya, tapi ketegangan tetap saja terasa meski Azura sudah terbangun dari tidurnya. "Tenanglah. Semua orang pernah mengalami mimpi buruk. Itu hal yang wajar," ucap Anna. Ya. Anna benar. Mimpi buruk memang sesuatu yang normal. Namun, mengapa Azura merasa ada yang berbeda dengan mimpi yang satu ini? Entah mengapa, mimpi ini seperti sebuah ... pertanda. Ya. Pertanda. *** Sakit, lemas, dan udara di sekitarnya penuh dengan aroma darah. 'Aku belum ingin mati,' batin Azura yang kedua matanya sudah basah. Azura kembali mengayunkan kaki sambil menyeka darah di sudut bibir. Rasa nyeri yang semula hanya ada di kepala lantas menjalar ke hampir seluruh tubuhnya. Entah bagian mana saja yang terluka, yang jelas Azura sudah sangat tidak berdaya. "Azura!" Teriakan seseorang tiba-tiba terdengar dari kejauhan. Azura tak tahu siapa lelaki yang kini sedang mengejarnya. Entah di mana dirinya berada pun, Azura tidak tahu. Satu-satunya hal yang Azura tahu adalah dia harus berlari secepatnya. "Azura! Berhenti!" Napas Azura semakin terengah. Dadanya berdebar dengan detak tak beraturan. Dari arah belakang, Azura bisa mendengar langkah kaki berat dari sekumpulan lelaki berbaju hitam. Sejak tadi, mereka terus mengejar Azura tanpa henti. "Azura! Kamu harus mati!" Pekikan kencang bernada penuh ancaman terdengar sangat memekakan. Mau tak mau, Azura harus terus mengayunkan kaki meski rasa sakit di tubuhnya semakin menyiksa. Dia belum ingin mati. Dia harus bertahan, apapun yang terjadi. Jalan setapak penuh ranting dan tanah berlumpur sempat membuat langkahnya terasa berat. Ingin sejenak beristirahat, tapi saat Azura menoleh ke belakang, ternyata bayangan hitam itu sudah semakin mendekat. Damn! Azura harus segera menemukan tempat berlindung. "Ya, Tuhan. Aku sudah nggak kuat lagi," lirih Azura sambil masih mencoba berlari. Tubuh Azura sudah hampir ambruk. Namun, sebuah tangan hangat tiba-tiba menarik lengan Azura dengan lembut. Hanya dalam satu kedipan mata, tangan itu berhasil membawa Azura menuju ke tempat yang terang benderang. Tak ada lagi kegelapan, tak ada lagi teriakan, tak ada lagi ancaman, dan tak perlu lagi Azura berkejar-kejaran. Di sini, Azura merasa aman. Terlebih, saat merasakan tubuhnya didekap dalam pelukan hangat yang membuat seluruh ketakutannya menghilang. "Tenang, Azura. Kamu sudah aman sekarang," bisik lelaki yang salah satu tangannya sedang mengusap kepala Azura. Azura mendongak, lalu tersenyum. Tepat di depan matanya, dia melihat wajah lelaki yang sudah sangat dia kenal. Mata abu-abu yang meneduhkan, rambut cokelat bersemu merah yang berkilau di bawah cahaya matahari, dan lengkungan bibir yang selalu menjadi candu tersendiri. Perlahan, tangan lelaki itu terulur untuk mengusap lembut pipi kiri Azura. Demi Tuhan, sentuhan jemarinya selalu berhasil membuat Azura merasa luar biasa tenang. Azura tidak bisa memungkiri kalau kemunculan lelaki itu serupa pertanda kalau dirinya telah selamat. "Terima kasih karena kamu selalu ada. Terima kasih karena kamu selalu menjadi penyelamat bagiku. Terima kasih, Mars." Tepat saat Azura selesai bicara, bibirnya yang masih sedikit terbuka harus terkatup ulah bibir Mars yang tengah sibuk memberikan kecup. Tidak terlalu lama, tapi terasa sangat lembut. Bohong kalau Azura bilang ciuman ini tidak membawa dirinya terbang. Nyatanya, Azura selalu terbuai saat bibir merah muda gelap itu mendarat di satu demi satu bagian wajah Azura. Aroma tubuh yang sudah Azura hapal semakin tertangkap hidung ketika kepalanya tenggelam di antara dekapan dua lengan. Azura tahu, Mars tidak akan melepaskan rengkuhan tangannya sebelum berhasil membuat Azura tenang. Dadanya yang bidang memanglah serupa tempat pulang yang sangat menentramkan. "Berapa kali aku bilang kalau seharusnya kamu nggak perlu takut lagi?" bisik Mars. "Kamu tahu kalau aku selalu ada di sini." Azura mengangguk. Mars memang selalu menenangkan. Sungguh sial, rasa tenang itu ternyata tidak berlangsung lama. Azura tiba-tiba tersentak, tubuhnya bergetar, dan dia langsung membuka mata. Semua ini hanyalah mimpi. "Ya Tuhan," lirih Azura seraya mengusap jejak keringat yang membasahi dahi. "Mimpi ini lagi." Mimpi serupa sudah Azura alami sejak beberapa minggu terakhir. Di dalam mimpi itu, Azura selalu berada dalam bahaya, dan Mars selalu datang menolongnya. Mimpi itu memang berujung pada keselamatan. Namun, entah mengapa Azura masih belum bisa tenang. Ada satu hal yang menurut Azura janggal. Di dalam mimpi itu, adegannya selalu sama. Azura selalu seperti sedang dikejar oleh seseorang, dan hal itu terus terjadi berulang-ulang. Azura sampai hapal dengan deret pepohonan yang menjadi latar dari mimpinya. Dulu, Azura selalu bermimpi tentang tempat-tempat indah di salah satu negara benua biru. Namun, belakangan ini, yang menjadi latar adalah justru tempat yang mengerikan. Azura beberapa kali merasa seperti sedang berada di area makam, berlari di tengah hutan, dan seolah sedang bersembunyi di sebuah bangunan asing yang tak kalah menyeramkan. Dulu, Azura sangat menikmati waktu istirahatnya. Tidur seolah menjadi perantara akan terwujudnya kehidupan yang Azura idam-idamkan. Namun, saat ini, tidur adalah sesuatu yang Azura hindari. Jujur saja, Azura selalu takut akan terjadinya mimpi buruk. "Azura, kamu belum bangun?" Suara seorang wanita dari arah pintu kamar membuat Azura menghentikan lamunannya. "Sudah. Masuklah," balas Azura. Kepala Anna lantas menyembul dari balik pintu. "Kamu sepertinya sedang melamun. Mimpi apa?" Azura tersenyum kecut. "Mimpi buruk." "Mars?" Kedua alis Azura terangkat, sebagai tanda kalau tebakan Anna memang tepat. "Tapi setidaknya mimpimu berakhir dengan indah. Iya, 'kan? Mars-mu akan selalu datang," ucap Anna. "Iya, tapi —" "Nggak ada tapi. Aku nggak mau kamu tersugesti. Lupakan soal kondisi bahaya, karena aku lebih suka kamu bercerita tentang kekasihmu yang tampan itu." Bibir Azura sontak melengkung. Sahabatnya itu memang tahu betul kalau Azura sedang sering terlibat dalam suatu kejadian bahaya bersama lelaki yang bisa dikatakan menawan. Jadi, entah harus disebut sebagai apa mimpi-mimpi itu, apakah mimpi buruk, ataukah mimpi indah. "Bolu pandan kesukaan kalian." Mulan, ibu Azura lantas muncul membawa kue dan dua cangkir teh yang asapnya masih mengepul. "Makasih, Tante," ucap Anna. "Mama sama Papa mau pergi?" Azura bertanya setelah terlebih dahulu meraih satu potong kue buatan ibunya. "Iya," jawab Mulan. "Mungkin nanti Mama sama Papa akan pulang malam." "It's okay," ucap Azura. Beni, ayah Azura lantas muncul dari celah pintu. "Mau Papa belikan sesuatu? Mau cokelat atau macaroon?" Bibir Azura melengkung lebar. "Macaroon." Well, usia Azura memang sudah menginjak angka dua puluh enam. Dia sudah bekerja, dan sudah memiliki kehidupan sendiri. Namun, ayah dan ibunya memang masih menganggap Azura layaknya gadis balita yang manja. "Bye, honey," ucap Mulan dan Beni yang kemudian mengecup pipi Azura kanan dan kiri. Sejauh ini, hidup Azura bisa dikatakan sempurna. Pekerjaannya menyenangkan, hidupnya berkecukupan, dan Azura juga dikelilingi oleh orang tua dan sahabat yang tak pernah lupa menyalurkan rasa sayang. Semuanya indah, tak ada cela. Azura berpikir kalau semua ini pasti akan berlangsung selamanya. Namun, tak ada yang tahu kalau sebenarnya mimpinya tentang Mars adalah cerminan masa depan. Termasuk, ... sederet bahaya yang sebentar lagi akan datang mengancam.Pagi yang indah tidak menjamin kalau hari akan berakhir dengan indah juga. Buktinya, Azura yang pagi tadi masih bisa tertawa dengan Mulan, Beni, dan Anna, kini justru harus menangis sejadi-jadinya. Hidup Azura seolah benar-benar berbalik dalam satu kedipan mata."Yang kuat ya," ucap salah seorang dokter jaga.Azura hanya diam. Kedua bibirnya tidaklah bungkam. Namun, mulutnya tidak mengeluarkan suara apapun selain isak tangis yang memilukan.Malam ini menjadi kali pertama Beni dan Mulan tidak menepati janji. Sosok ayah yang juga merupakan cinta pertama Azura tidak datang membawakan macaroon kesukaannya. Ibunya juga ingkar saat berucap kalau mereka akan pulang larut malam. Nyatanya, hingga dini hari, mereka sama sekali belum kembali.Mmmm ralat, mereka TIDAK akan pernah kembali.Entah sudah berapa lama Azura larut dalam tangis. Dia sempat tak sadarkan diri, lalu bangun, menangis lagi, dan kembali pingsan lagi. Begitu seterusnya hingga malam berganti pagi.Saat cahaya matahari mulai masu
Semua orang pasti akan sibuk menyesap kesedihan saat menatap jenazah kedua orang tuanya dikebumikan. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Azura. Wanita muda itu justru tak punya banyak kesempatan untuk berduka.Gaun hitam yang cukup longgar berhasil menutupi tubuh Azura yang sedang gemetar. Kacamata berwarna gelap juga mampu menyamarkan sorot mata yang penuh dengan rasa gentar. Azura sadar, dirinya sedang dalam bahaya besar."Azura, turut berduka, ya. Kamu harus sabar, harus kuat, harus ikhlas."Puluhan orang berbaju hitam bergantian memberikan ucapan belasungkawa. Namun, Azura sama sekali tidak menanggapi. Dia terus berjongkok dengan telapak tangan bergerak meremas tanah dari dua pusara yang masih basah.Masih ada jutaan kesedihan saat melihat nama orang tuanya pada papan di atas makam. Meski begitu, jiwa Azura masih harus diterpa oleh rasa ketakutan. Sebab, keluarga yang seharusnya menjadi pelindung dan sumber penghiburan, kini justru menjadi ancaman terbesar bagi hidup Azura."Bagaima
Mimpi yang berubah menjadi kenyataan tampak seperti bualan. Namun, Azura seperti benar-benar melihat Mars sesaat sebelum dia pingsan. Wajah lelaki itu sangat amat persis. Rasanya tidak mungkin kalau Azura hanya sekadar berhalusinasi."Mars." Sebelum sepenuhnya sadar, Azura sempat membisikkan nama itu beberapa kali.Perlahan, kelopak matanya mulai terbuka. Ada nyeri yang tajam di bagian kepala saat Azura mencoba menggerakkan badan. Alhasil, Azura hanya sedikit menoleh ke sebelah kanan.Pandangannya masih kabur. Namun, dia bisa merasakan kalau dirinya berada di tempat yang aman, rumah seseorang.Tubuh yang lemas masih berbaring pada sofa abu-abu dengan selimut berwarna senada. Setelah beberapa kali berkedip pelan, bayangan buram di hadapan Azura mulai terbentuk dengan jelas. Seorang lelaki tengah berdiri di dekat jendela sambil memandangnya dengan tatapan serius."Ah, kamu udah bangun." Suara lelaki itu terdengar lembut. Dia berbalik, lalu kembali mendekat sambil membawakan segelas air.
Azura menatap bingung saat Gavin berjongkok di hadapannya. Lelaki itu menunduk sambil membawa satu kantong es yang sudah dibalut dengan kain. Merasa tak nyaman dengan posisi seperti ini, Azura lantas bergerak sedikit mundur."Kamu mau apa?" tanya Azura.Gavin tersenyum tipis, seolah sudah langsung paham kalau Azura sedang sangat canggung. "Kakimu sedikit bengkak. Kamu sepertinya terkilir. Kalau nggak dikompres, bengkaknya bisa tambah parah."Mendengar penjelasan Gavin, Azura justru membisu dan membatu. Ada sedikit geliat aneh di hati saat mendapati perhatian kecil dari lelaki itu. Lagi-lagi, Gavin tampak semakin mirip seperti sosok Mars yang ada dalam mimpi."Kamu mau mengompresnya sendiri?" tanya Gavin.Tangan kanan Gavin sudah terangkat seraya menyodorkan gulungan kain. Namun, Azura masih mematung. Dalam diam, manik cokelatnya terus saja tertuju pada mata abu-abu terang yang sedikit bercampur dengan corak biru.'Mars,' batin Azura.Sungguh, Azura merasa seperti hidup dalam mimpi. Be
'Jika kamu bersikeras ingin hidup, maka kupastikan hidupmu tidak akan tenang. Dan jika kamu menginginkan ketenangan, aku bersedia membantu mewujudkannya dengan cara mengembalikan kamu kepada Tuhan.'Kalimat itu terngiang jelas saat Azura menatap tiap sudut kamar di hadapannya. Semakin lama berada di sini, Azura semakin ingat dengan sederet peristiwa yang dia alami di dalam mimpi. Tempat ini benar-benar sama persis."Are you ok?" tanya Gavin.Azura menoleh ke samping, lalu menganggukkan kepala."Duduklah dulu. Wajahmu pucat," ucap Gavin.Meski tidak menatap diri lewat cermin, tapi Azura merasa kalau dirinya memang tidak baik-baik saja. Terbukti dari munculnya beberapa titik keringat dingin pada dahi. Bahkan, Azura juga merasa kalau tarikan napasnya berubah semakin sesak."Aku merasa mereka sedang mencariku. Dan entah mengapa, aku merasa kalau mereka sangat dekat dengan rumah ini," ucap Azura."Jangan khawatir. Nggak akan ada yang bisa masuk ke rumah ini tanpa membuat janji dulu dengank
"Kamu bisa tinggal di sini sembari kita mencari jalan keluar untuk masalah ini," ucap Gavin.Azura menggeleng cepat. Dia tidak mungkin semudah itu menerima tawaran untuk tinggal di bawah satu atap."Setidaknya untuk malam ini," lanjut Gavin. "Besok pagi aku akan menemanimu mencari tempat tinggal sementara.""Sebenarnya aku bisa sendiri, dan —""Aku sudah bilang kalau aku akan menemanimu," pungkas Gavin.Azura terpaku. Semakin lama berbicara dengan Gavin, lelaki itu semakin mirip dengan Mars. Bahkan, bagaimana aksen bicaranya saat menggunakan Bahasa Indonesia juga sama persis."Sekarang kamu mau istirahat dulu?" tanya Gavin. "Kamu bisa menggunakan kamarku kalau kamu nggak mau tidur di kamar yang tadi."Azura menggeleng. "Aku di sini saja.""Ok, I hear you."Di sela pembicaraan mereka, ponsel Gavin lantas berdering. Buru-buru lelaki itu menekan tombol hijau, lalu mendekatkan ponsel pada telinga kanan. Meski tidak tahu sedang membicarakan tentang apa, tapi Azura bisa menebak kalau Gavin
Azura terduduk lesu di atas lantai. Jiwanya seolah terbelah menjadi dua kubu. Satu sisi sedang membujuk diri untuk tetap percaya pada Gavin, sementara sisi yang lain tengah sibuk merutuk.'Bodoh!'Benaknya berteriak dengan berisik. Seluruh isi kepala berebut ingin memaki. Bagaimana bisa Azura sempat semudah itu percaya kepada Gavin yang sejatinya bukan siapa-siapa?Seharusnya Azura tahu kalau di dunia ini tidak ada yang bisa dipercaya selain dirinya sendiri. Keluarga yang merupakan orang terdekat saja bisa dengan tega membunuh orang tuanya. Apalagi Gavin yang baru saja Azura kenal beberapa jam yang lalu.'Shit!' Azura mengumpat dalam hati.Rasa panik dan ketakutan mulai merayap. Azura merasa sesak. Dadanya seperti dihimpit beban berat.'Nggak mungkin kalau ini cuma kebetulan,' pikirnya.Dia mulai menduga, mungkin Gavin dan Riki bekerja sama. Mungkin semua ini adalah jebakan yang sudah direncanakan sejak awal. Mungkin Gavin adalah alat untuk mempermudah Riki melancarkan rencananya.'Ak
Udara malam terasa sejuk, mendekati dingin. Namun, keringat tetap saja mengalir di pelipis Azura. Beberapa helai rambut yang terlepas dari ikatan juga tampak menggumpal karena basah.Azura masih tidak tahu arah tujuan kakinya melangkah. Ke mana pun itu, yang jelas dia harus menjauh dari Gavin dan Riki. Orang asing yang ternyata berbahaya, dan keluarga yang sangat mengancam nyawa."Di mana ini?" monolog Azura seraya menoleh kanan dan kiri.Begitu tiba di jalan raya, Azura berhenti sejenak untuk mengatur napas dan menenangkan pikiran. Dia mengamati sekeliling, kemudian sadar kalau tempat ini tidaklah asing. Azura sangat mengenali jalan dan bangunan di sekitar sini.Sebuah perasaan lega muncul di dadanya. Setiap sudut jalan terlihat cukup akrab, karena wilayah ini tidak jauh dari rumah tempat dirinya tinggal. Namun, perasaan lega itu dengan cepat berubah menjadi kecemasan. Keluarga Riki, termasuk Riki sendiri, juga tinggal di area sekitar sini. Jadi, Azura harus sangat berhati-hati.Azur
Lobi kantor terlihat luas dengan pencahayaan hangat, kontras dengan area luar yang dingin dan cenderung abu-abu. Lantainya mengkilap, memantulkan bayangan tubuh Azura yang tampak kecil dan semakin kerdil. Udara di ruangan itu sejuk, tapi bukannya menenangkan, malah terasa asing dan tak bersahabat.Suara sepatu hak tinggi yang berdetak pelan di lantai marmer, suara ponsel yang bergetar, dan dentingan keyboard dari meja resepsionis membentuk simfoni kesibukan yang tidak berkesudahan. Tidak ada yang memedulikan Azura. Tidak ada yang memperhatikannya. Azura benar-benar hanyalah seorang pendatang tanpa identitas.Tenggorokannya terasa kering, kakinya sedikit gemetar, tapi tekad memaksa Azura untuk tetap tegak. Jemarinya mencengkeram tas, seolah mencari pegangan di tengah lautan ketidakpastian. Napasnya berat, tapi dia menolaknya menjadi tanda kelemahan. Dia sudah terlalu jauh untuk berbalik. Entah apa yang menantinya di depan, satu-satunya pilihan adalah melangkah."Permisi, saya mencari G
Warna langit begitu pekat, tanpa bintang, pun tanpa bulan. Hanya sayap pesawat yang sesekali berkilat terkena cahaya dari dalam kabin. Azura duduk diam, mencoba berpikir. Sialnya, dia seolah tidak diizinkan untuk memutar otak.Pesawat terus berguncang. Bahkan, lebih kencang dari sebelumnya. Azura menutup rapat kedua mata karena baru pertama kali mengalami turbulensi semengerikan ini. Napasnya tertahan di tenggorokan. Getaran itu merayap dari sandaran kursi hingga ke tulang belakang. Setiap gerak seolah sedang mengingatkan bahwa Azura sedang melayang di udara, menggantung di antara negara yang dia tinggalkan dan negara yang belum tentu menyambutnya.'Gila! Apa aku benar-benar sedang melakukan ini?' batin Azura dalan hati.Azura tidak tahu apakah kepergiannya ini merupakan keberanian atau kebodohan. Tidak ada yang bisa memastikan apakah Gavin masih di sana, apakah dia baik-baik saja, atau apakah dia benar-benar menginginkan Azura datang.Layar ponsel menampakkan itinerary yang dulu Gav
Langit tampak kelabu, tapi hati Azura jauh lebih suram dari warna di luar jendela. Dia duduk di tepi ranjang, meremas selimut dengan tangan gemetar. Dadanya terasa sesak, seakan ada sesuatu yang mendesak, menekannya untuk bertindak. Namun, harus ke mana? Azura bahkan tidak tahu akan memulai dari mana.Gavin masih menghilang. Sudah berapa lama? Azura tidak lagi bisa menghitung. Pesan-pesan yang dia kirim tetap tanpa balasan. Panggilan teleponnya selalu berujung pada nada sambung yang menyebalkan.Azura mencoba mencari tahu tentang Edinburgh, kota yang bahkan belum pernah dia injak. Namun, nihil. Dia tidak mengenal siapa pun di sana. Tidak ada satu pun nama atau alamat yang bisa membantunya menemukan Gavin."How did it come to this?" monolog Azura Matanya memanas, tapi dia berusaha menahan diri. Ini bukan saatnya untuk menangis. Dia harus melakukan sesuatu, apa pun itu.Memesan tiket ke Edinburgh tanpa tujuan jelas, lalu mencari Gavin tanpa petunjuk sama sekali, mungkin itu akan terden
Azura berdiri di tengah lorong panjang yang suram. Dinding batu tua yang berlumut dan lembap mengapitnya. Cahaya remang menyorot ke arah jalanan licin. Bau tanah basah bercampur dengan bau sesuatu yang lebih tajam. Azura mengernyit sambil merapatkan jemari pada hidung. Ini seperti bau karat yang menyengat. Perutnya kemudian mendadak mual saat menyadari kalau yang dia cium adalah darah.Ingin menjerit, tapi suaranya tertahan. Azura tidak bisa berbicara, persis seperti seseorang yang sedang mengalami ketindihan. Alhasil, sambil menahan sesak, Azura hanya bisa mengamati sekitar.Matanya yang nanar berkedip beberapa kali demi menajamkan pandangan. Azura yakin belum pernah menginjak tempat ini. Dilihat dari bentuk bangunannya, ini bukanlah Yogyakarta, pun bukan Indonesia.Area sekitar yang semula buram, kini mulai tampak lebih jelas. Semakin lama mengamati, akhirnya Azura bisa mengenali tempat ini.Edinburgh.Sayangnya, ini bukan Edinburgh yang terang dengan kastil megah dan festival yang
Gavin telah pergi. Benar-benar pergi. Dan ini bukan mimpi.Pagi tadi, di bandara, Azura masih bisa merasakan genggaman tangan Gavin. Namun, kini, dia hanya bisa menggenggam udara. Rindu ini terlalu dini. Kesepian ini terlalu tajam untuk dirasakan.Hening menjadi lebih menusuk dari biasanya. Tidak ada suara langkah kaki Gavin, tidak ada pula suara khasnya yang selalu memanggil dengan berbagai sebutan sayang. Azura hanya bisa mendengar kekosongan yang bergaung di pikirannya sendiri.'Aku akan mengabari kamu setiap hari, Sayang.' Itu kata terakhir dari Gavin yang Azura jadikan sebagai penguat.Sejak Gavin pergi, waktu berjalan lebih lambat. Azura sudah mencoba menyibukkan diri. Mulai dari menulis, membaca buku, menonton film, dan bekerja hingga dini hari. Namun, pikirannya selalu kembali pada satu nama, Gavin.Mereka tentu selalu saling bertukar kabar. Meski hanya hal sederhana seperti keluhan Gavin mengenai Edinburgh yang terasa jauh lebih dingin, tapi hal itu sudah sedikit membuat Azur
Suara announcer menggema di langit-langit bandara. Derap langkah tergesa berpadu dengan percakapan yang menyesakkan. Gavin terus menggenggam tangan Azura erat, seolah enggan melepaskan."Sayang." Suara Gavin lebih pelan dari biasanya, hampir tertelan dalam hiruk-pikuk sekitar. Tatapannya penuh dengan sesuatu yang tidak terucapkan. Jika ditelisik lebih dalam, sorot mata itu menggambarkan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar perpisahan singkat.Azura menelan ludah, mencoba mengabaikan benak yang penat. "Kamu yakin nggak bisa menundanya?" tanya Azura, meski sudah tahu jawaban yang akan diterima.Gavin menggeleng, menyesap napas dalam. "Aku ingin tetap di sini, Azura. Kamu tahu itu," gumamnya. "Tapi ini sesuatu yang nggak bisa aku tunda. Pekerjaan ini sangat mendesak."Azura mengangguk kecil. Dia tahu Gavin tidak akan pergi jika tidak ada alasan yang benar-benar penting. Namun, tetap saja ada sesuatu yang mengganjal. Azura masih memiliki sederet pertanyaan yang menggantung tanpa jaw
"Mars," lirih Azura pelan.Gavin mengernyit, hampir terkejut. "Kamu bilang apa?""Mars," ucap Azura lagi.Hujan turun perlahan, menari di atas dedaunan dan menciptakan simfoni lembut yang mengisi udara. Aroma tanah basah bercampur dengan wangi teh yang mengepul di antara jemari Azura. Dia bersandar pada Gavin, merasakan kehangatan tubuhnya yang kontras dengan udara dingin di sekeliling mereka."Dulu, saat aku masih kuliah, aku sering bermimpi seperti ini," ujar Azura. Suaranya terdengar seperti bisikan yang hampir tenggelam dalam suara hujan.Gavin menoleh, menatapnya dengan penuh minat. "Seperti ini?"Azura mengangguk pelan, matanya menerawang jauh ke masa lalu. "Menikmati hujan di Edinburgh, bersama Mars."Gavin terdiam. Ada sesuatu yang menghangat di dalam dadanya. Nama itu, Mars, adalah dirinya. Sebuah nama yang dulu Azura berikan kepada lelaki dalam mimpi-mimpinya, jauh sebelum mereka bertemu di dunia nyata."Jadi, kamu pernah membayangkan kita seperti ini?" Gavin bertanya, suara
Dua hari telah berlalu sejak kepergian Gavin. Langit di atas rumah kecil Azura tetap sama, burung gagak yang sempat datang juga tak lagi muncul di jendela. Tidak ada firasat buruk, tidak ada pula kabar mengejutkan.Dunia tetap berputar seperti biasa.Azura memandang ponselnya, jemarinya mengusap layar tanpa benar-benar mengetikkan pesan. Gavin sudah beberapa kali mengirim kabar, suara tenangnya di telepon pun selalu berhasil meredakan ketakutannya. Namun, tetap saja, ada sesuatu di dalam dirinya yang belum sepenuhnya percaya.Seakan mampu membaca kerisauan hati Azura, nama Gavin langsung tertera di layar.Azura tersenyum kecil sebelum mengangkatnya. “Hai.”“Kenapa suaramu seperti itu?” Gavin langsung bisa menebak. Suara Azura memang terdengar sedikit serak, tapi tetap penuh perhatian.“Seperti apa?”“Seperti seseorang yang nggak yakin kalau aku baik-baik saja.”Azura menghela napas. “Mungkin karena aku memang belum yakin.”Di seberang sana, Gavin tertawa kecil. “Maukah kamu percaya ka
Seharusnya ini adalah pagi yang indah. Seharusnya Azura merasa damai dengan hidupnya yang nyaris sempurna. Namun, Azura justru membuka mata dalam keadaan gelisah.Azura menggerakkan tubuhnya perlahan, berusaha menghilangkan semua perasaan aneh. Namun, saat dia menoleh ke jendela, badannya justru kian menegang. Di sana, di balik kaca yang berembun, Azura melihat seekor burung yang biasa disebut sebagai simbol kematian."Ya Tuhan," ucap Azura dengan napas tertahan.Gagak yang ukurannya cukup besar sedang bertengger di ujung jendela. Matanya yang hitam pekat menatap lurus ke arahnya. Sorotnya tajam, menusuk, seolah membawa pesan yang tidak bisa diabaikan.Azura tetap duduk, diam di tempat. Sedangkan burung itu tidak bergerak, tidak pula mengeluarkan suara. Dia hanya diam, menatap, seakan sedang mengawasi setiap pergerakan Azura."Azura?" Suara serak Gavin membuyarkan lamunannya. Laki-laki itu mengerjap beberapa kali sebelum menoleh ke arahnya. "Kamu kenapa?"Azura menoleh kembali ke jend