Share

2. Pertanda dari Mimpi

Selama bertahun-tahun, Azura selalu bermimpi tentang hal yang membahagiakan. Sialnya, beberapa hari terakhir, yang terjadi justru sebaliknya. Azura kini menjadi sangat terganggu dengan mimpi yang ceritanya selalu menegangkan.

Tiap kali terbangun, dahinya sudah dipenuhi dengan peluh. Napasnya memburu dengan tubuh yang seolah remuk. Bukannya mengembalikan tenaga, saat bangun tidur Azura justru merasa jauh lebih lemas.

"An, aku ada cerita penting," ucap Azura saat dia baru tiba di kantornya.

"Ada masalah dengan Pak Pemred?" Anna balik bertanya ketika melihat wajah Azura tampak lusuh.

"Bukan itu."

"Terus?"

"Tentang Mars."

Semula, kisah mengenai lelaki itu tidak pernah tidak menyenangkan. Segala sesuatu tentang Mars tidak pernah mengecewakan. Namun, tepat setelah Azura berulang tahun ke dua puluh enam, mimpinya tentang Mars berangsur menjadi mimpi buruk.

"Dia meninggalkanmu?" tanya Anna.

Azura menggeleng. "Dia nggak pernah meninggalkan aku."

"Lalu?"

"Aku nggak tau bagaimana menjelaskannya. Tapi belakangan ini aku sering bermimpi tentang kondisi bahaya."

Dahi Anna mengernyit. "Bahaya?"

"Iya. Aku seperti dalam bahaya."

"Dan Mars adalah pelakunya?"

"Bukan," pungkas Azura. "Justru dia yang menyelamatkan aku."

"Berarti bukan mimpi buruk. Nyatanya tetap happy ending, 'kan?"

Azura diam selama beberapa detik. "Entahlah."

"Nggak perlu dipikirkan, Ra. Itu hanya mimpi biasa."

Tidak bisa. Azura tidak bisa tidak memikirkannya. Jujur saja, Azura mulai merasa takut dengan mimpi-mimpi itu.

Serupa mimpi sebelumnya, mimpi ini pun terasa seperti nyata. Azura seperti benar-benar dalam situasi bahaya. Meski tidak tahu apa penyebabnya, tapi ketegangan tetap saja terasa meski Azura sudah terbangun dari tidurnya.

"Tenanglah. Semua orang pernah mengalami mimpi buruk. Itu hal yang wajar," ucap Anna.

Ya. Anna benar. Mimpi buruk memang sesuatu yang normal. Namun, mengapa Azura merasa ada yang berbeda dengan mimpi yang satu ini?

Entah mengapa, mimpi ini seperti sebuah ... pertanda. Ya. Pertanda.

***

Sakit, lemas, dan udara di sekitarnya penuh dengan aroma darah.

'Aku belum ingin mati,' batin Azura yang kedua matanya sudah basah.

Azura kembali mengayunkan kaki sambil menyeka darah di sudut bibir. Rasa nyeri yang semula hanya ada di kepala lantas menjalar ke hampir seluruh tubuhnya. Entah bagian mana saja yang terluka, yang jelas Azura sudah sangat tidak berdaya.

"Azura!"

Teriakan seseorang tiba-tiba terdengar dari kejauhan. Azura tak tahu siapa lelaki yang kini sedang mengejarnya. Entah di mana dirinya berada pun, Azura tidak tahu. Satu-satunya hal yang Azura tahu adalah dia harus berlari secepatnya.

"Azura! Berhenti!"

Napas Azura semakin terengah. Dadanya berdebar dengan detak tak beraturan. Dari arah belakang, Azura bisa mendengar langkah kaki berat dari sekumpulan lelaki berbaju hitam. Sejak tadi, mereka terus mengejar Azura tanpa henti.

"Azura! Kamu harus mati!"

Pekikan kencang bernada penuh ancaman terdengar sangat memekakan. Mau tak mau, Azura harus terus mengayunkan kaki meski rasa sakit di tubuhnya semakin menyiksa. Dia belum ingin mati. Dia harus bertahan, apapun yang terjadi.

Jalan setapak penuh ranting dan tanah berlumpur sempat membuat langkahnya terasa berat. Ingin sejenak beristirahat, tapi saat Azura menoleh ke belakang, ternyata bayangan hitam itu sudah semakin mendekat.

Damn! Azura harus segera menemukan tempat berlindung.

"Ya, Tuhan. Aku sudah nggak kuat lagi," lirih Azura sambil masih mencoba berlari.

Tubuh Azura sudah hampir ambruk. Namun, sebuah tangan hangat tiba-tiba menarik lengan Azura dengan lembut. Hanya dalam satu kedipan mata, tangan itu berhasil membawa Azura menuju ke tempat yang terang benderang.

Tak ada lagi kegelapan, tak ada lagi teriakan, tak ada lagi ancaman, dan tak perlu lagi Azura berkejar-kejaran. Di sini, Azura merasa aman. Terlebih, saat merasakan tubuhnya didekap dalam pelukan hangat yang membuat seluruh ketakutannya menghilang.

"Tenang, Azura. Kamu sudah aman sekarang," bisik lelaki yang salah satu tangannya sedang mengusap kepala Azura.

Azura mendongak, lalu tersenyum. Tepat di depan matanya, dia melihat wajah lelaki yang sudah sangat dia kenal. Mata abu-abu yang meneduhkan, rambut cokelat bersemu merah yang berkilau di bawah cahaya matahari, dan lengkungan bibir yang selalu menjadi candu tersendiri.

Perlahan, tangan lelaki itu terulur untuk mengusap lembut pipi kiri Azura. Demi Tuhan, sentuhan jemarinya selalu berhasil membuat Azura merasa luar biasa tenang. Azura tidak bisa memungkiri kalau kemunculan lelaki itu serupa pertanda kalau dirinya telah selamat.

"Terima kasih karena kamu selalu ada. Terima kasih karena kamu selalu menjadi penyelamat bagiku. Terima kasih, Mars."

Tepat saat Azura selesai bicara, bibirnya yang masih sedikit terbuka harus terkatup ulah bibir Mars yang tengah sibuk memberikan kecup. Tidak terlalu lama, tapi terasa sangat lembut. Bohong kalau Azura bilang ciuman ini tidak membawa dirinya terbang. Nyatanya, Azura selalu terbuai saat bibir merah muda gelap itu mendarat di satu demi satu bagian wajah Azura.

Aroma tubuh yang sudah Azura hapal semakin tertangkap hidung ketika kepalanya tenggelam di antara dekapan dua lengan. Azura tahu, Mars tidak akan melepaskan rengkuhan tangannya sebelum berhasil membuat Azura tenang. Dadanya yang bidang memanglah serupa tempat pulang yang sangat menentramkan.

"Berapa kali aku bilang kalau seharusnya kamu nggak perlu takut lagi?" bisik Mars. "Kamu tahu kalau aku selalu ada di sini."

Azura mengangguk. Mars memang selalu menenangkan. Sungguh sial, rasa tenang itu ternyata tidak berlangsung lama. Azura tiba-tiba tersentak, tubuhnya bergetar, dan dia langsung membuka mata.

Semua ini hanyalah mimpi.

"Ya Tuhan," lirih Azura seraya mengusap jejak keringat yang membasahi dahi. "Mimpi ini lagi."

Mimpi serupa sudah Azura alami sejak beberapa minggu terakhir. Di dalam mimpi itu, Azura selalu berada dalam bahaya, dan Mars selalu datang menolongnya. Mimpi itu memang berujung pada keselamatan. Namun, entah mengapa Azura masih belum bisa tenang.

Ada satu hal yang menurut Azura janggal. Di dalam mimpi itu, adegannya selalu sama. Azura selalu seperti sedang dikejar oleh seseorang, dan hal itu terus terjadi berulang-ulang. Azura sampai hapal dengan deret pepohonan yang menjadi latar dari mimpinya.

Dulu, Azura selalu bermimpi tentang tempat-tempat indah di salah satu negara benua biru. Namun, belakangan ini, yang menjadi latar adalah justru tempat yang mengerikan. Azura beberapa kali merasa seperti sedang berada di area makam, berlari di tengah hutan, dan seolah sedang bersembunyi di sebuah bangunan asing yang tak kalah menyeramkan.

Dulu, Azura sangat menikmati waktu istirahatnya. Tidur seolah menjadi perantara akan terwujudnya kehidupan yang Azura idam-idamkan. Namun, saat ini, tidur adalah sesuatu yang Azura hindari. Jujur saja, Azura selalu takut akan terjadinya mimpi buruk.

"Azura, kamu belum bangun?"

Suara seorang wanita dari arah pintu kamar membuat Azura menghentikan lamunannya. "Sudah. Masuklah," balas Azura.

Kepala Anna lantas menyembul dari balik pintu. "Kamu sepertinya sedang melamun. Mimpi apa?"

Azura tersenyum kecut. "Mimpi buruk."

"Mars?"

Kedua alis Azura terangkat, sebagai tanda kalau tebakan Anna memang tepat.

"Tapi setidaknya mimpimu berakhir dengan indah. Iya, 'kan? Mars-mu akan selalu datang," ucap Anna.

"Iya, tapi —"

"Nggak ada tapi. Aku nggak mau kamu tersugesti. Lupakan soal kondisi bahaya, karena aku lebih suka kamu bercerita tentang kekasihmu yang tampan itu."

Bibir Azura sontak melengkung. Sahabatnya itu memang tahu betul kalau Azura sedang sering terlibat dalam suatu kejadian bahaya bersama lelaki yang bisa dikatakan menawan. Jadi, entah harus disebut sebagai apa mimpi-mimpi itu, apakah mimpi buruk, ataukah mimpi indah.

"Bolu pandan kesukaan kalian." Mulan, ibu Azura lantas muncul membawa kue dan dua cangkir teh yang asapnya masih mengepul.

"Makasih, Tante," ucap Anna.

"Mama sama Papa mau pergi?" Azura bertanya setelah terlebih dahulu meraih satu potong kue buatan ibunya.

"Iya," jawab Mulan. "Mungkin nanti Mama sama Papa akan pulang malam."

"It's okay," ucap Azura.

Beni, ayah Azura lantas muncul dari celah pintu. "Mau Papa belikan sesuatu? Mau cokelat atau macaroon?"

Bibir Azura melengkung lebar. "Macaroon."

Well, usia Azura memang sudah menginjak angka dua puluh enam. Dia sudah bekerja, dan sudah memiliki kehidupan sendiri. Namun, ayah dan ibunya memang masih menganggap Azura layaknya gadis balita yang manja.

"Bye, honey," ucap Mulan dan Beni yang kemudian mengecup pipi Azura kanan dan kiri.

Sejauh ini, hidup Azura bisa dikatakan sempurna. Pekerjaannya menyenangkan, hidupnya berkecukupan, dan Azura juga dikelilingi oleh orang tua dan sahabat yang tak pernah lupa menyalurkan rasa sayang.

Semuanya indah, tak ada cela. Azura berpikir kalau semua ini pasti akan berlangsung selamanya. Namun, tak ada yang tahu kalau sebenarnya mimpinya tentang Mars adalah cerminan masa depan.

Termasuk, ... sederet bahaya yang sebentar lagi akan datang mengancam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status