Share

Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam
Lelaki yang Datang di Mimpiku Setiap Malam
Penulis: Hanana

1. Mimpi yang Sama

"Sampai kapan kamu akan mengencani seorang lelaki yang nggak nyata?" ucap Anna.

Mendengar sahabatnya bicara, Azura memilih untuk tidak menjawab. Azura tahu kalau pembahasan ini hanya akan memicu perdebatan panjang. Meski begitu, Anna tetap belum puas membicarakan lelaki yang hanya datang di dalam mimpi.

"Setampan apa dia?" tanya Anna. "Sampai-sampai kamu hilang ketertarikan dengan lelaki yang selama ini ada di sekitarmu."

Azura tertawa selama beberapa detik. "Jauh lebih tampan dari semua lelaki yang pernah kita lihat."

"Dan kamu jatuh cinta hanya karena dia tampan?"

"Bukan cuma itu," sanggah Azura. "Dia manis, dia sangat mengerti aku, dan ... he's so fucking hot."

"Tapi dia nggak nyata, Ra."

"Well, buatku dia terasa nyata."

"Oh, c'mon, Ra. Kita berdua sama-sama tahu kalau dia nggak ada di dunia ini."

Azura yang semula sudah menutup dokumen kerjanya, kini memilih untuk membukanya lagi. Tak lupa, dia juga berpura-pura sibuk dengan sederet tulisan. Azura sudah bosan mendengar ceramah dari Anna tentang hal yang itu itu saja.

"Wake up, gurl! Kita hidup di dunia nyata, bukan di dunia mimpi." Anna menarik paksa lembaran kertas dari tangan Azura.

Azura hanya bisa tersenyum dengan wajah menerawang ke langit-langit ruangan. "Dia bisa kulihat, bisa kusentuh, bisa kupeluk, jadi kurang nyata apa lagi?"

"Kamu nggak bisa bertemu dengannya."

"Bisa," pungkas Azura. "Bahkan hampir setiap malam aku bertemu dengannya."

"Tapi kamu nggak akan bisa benar-benar 'bertemu' dengannya," ucap Anna seraya menekankan kata 'bertemu'.

"Bisa, An."

"Nggak bisa, Ra."

"Bisa," tegas Azura lagi. "Bahkan, hanya cukup dengan menutup mata."

Anna mendesahkan napas panjang. "Kamu semakin nggak waras."

Mimpi tentang lelaki itu sudah Azura alami sejak usianya 19 tahun. Azura tidak benar-benar tahu siapa nama lelaki itu. Namun, Azura memanggilnya dengan sebutan 'Mars'.

Mungkin semua orang akan menganggap hal ini sebagai suatu kemustahilan. Namun, nyatanya, Azura memang mendapatkan mimpi yang serupa selama bertahun-tahun. Adegannya tidak selalu sama, tapi orang yang menjadi karakter utama akan selalu sama. Bahkan, karena terlalu sering memimpikan lelaki itu, Azura sampai jatuh cinta kepadanya, kepada lelaki yang bahkan tidak ada di dunia nyata.

Mungkin ini gila, tapi Azura sempat menganggap Mars sebagai kekasihnya. Dia tampan, hangat, dan mampu memenuhi syarat sebagai tipe lelaki idaman. Kalau boleh dibilang, sosok Mars benar-benar mendekati kata sempurna.

Sekali lagi, semua ini memang hanya mimpi. Namun, jujur saja Azura begitu menikmati setiap episodenya. Bahkan, entah mengapa Azura seperti memiliki ikatan tersendiri dengan Mars yang sebenarnya tidak pernah ada.

Dia bukan kekasih khayalan, tapi sebutlah dia sebagai kekasih ... impian? Atau boleh juga disebut sebagai kekasih dambaan. Sebab, diam-diam Azura selalu mendambakan untuk memiliki pasangan seperti Mars.

"Udah, sekarang mending kamu pikirkan apa yang mau kita tulis di rubrik baru kita. Gara-gara kamu bahas Skotlandia, Pak Pemred jadi nyuruh kita buat artikel tentang Skotlandia. Kita mau nulis apa coba?" ucap Anna panjang lebar.

"Tinggal tulis aja tentang tempat-tempat yang menarik di sana," jawab Azura.

"Tapi kita tahu apa soal Skotlandia?" tanya Anna. "Kamu juga salah, Ra. Ngaku-ngaku pernah pergi kesana."

"Memang pernah."

Anna menoleh cepat. "Kapan?"

"Hampir setiap malam," jawab Azura enteng.

Kedua mata Anna sontak berputar. Meski tidak menjelaskan, Anna sudah tahu kalau hal yang Azura maksud adalah tentang mimpi-mimpinya dengan Mars. Azura memang tidak jarang mengalami mimpi dengan latar negara konstituen Britania Raya itu.

"Semalam, aku diajak jalan-jalan menyusuri pantai di Portobello," terang Azura.

"Ok, lalu?"

"It's so unreal. Kamu harus tahu betapa indah deretan bangunan seperti istana yang berjejer di tepian pantai."

"Itu memang unreal," balas Anna.

"Itu real. Tempat itu memang ada, An."

"Iya, memang ada. Tapi cerita kalau kamu ada di sana itu sebenarnya nggak real."

Azura terkekeh. "Tapi sensasinya seperti real."

Anna hanya menggeleng. Sudah terlalu sering dia mendengarkan cerita tentang, Mars, Edinburgh, dan beberapa tempat lain di Skotlandia. Meski sebenarnya kisah yang Azura ceritakan itu indah, tapi Anna tak mau terlalu menanggapi. Takut, jika saja nanti Azura menjadi semakin gila.

"Beberapa waktu lalu, Mars juga mengajakku ke sebuah rumah tua," lanjut Azura.

"Lalu kalian bercinta?" tebak Anna.

Azura tidak bisa tidak tertawa. "Sayangnya nggak."

"What?" Kedua mata Anna membelalak. "Jadi kamu berharap bisa bercinta dengannya? He doesn't exist!"

"Tapi —"

"Stop! Aku nggak mau debat," pungkas Anna.

"Ok, tapi aku tetep mau cerita."

Anna menatap lurus ke arah Azura, sebagai tanda kalau dia keberatan untuk mendengarkan kisah cinta yang sejatinya tidak benar-benar terjadi.

"Jangan khawatir, cerita aku kali ini ada faedahnya," ucap Azura seraya menampakkan deret giginya.

"Kalau cuma cerita tentang kalian yang selalu berjalan-jalan sambil pegangan tangan, mending aku baca novel. Seenggaknya novel lebih realistis daripada mimpi kamu."

"Nope! Ini bisa jadi bahan artikel. Jadi, kita nggak perlu mikir ide, kita cuma tinggal riset aja. At least, bukankah mimpi aku sedikit membantu pekerjaan kita?"

Anna menghela napas panjang. "Ok, apa?"

"Mars membawa aku melihat beberapa rumah tua di sekitar Royal Mile."

"Royal Mile?" Anna mulai tertarik saat Azura menyebut satu tempat itu.

"Yap! Can you imagine? Kita bisa menjelajahi dunia Harry Potter versi nyata."

Anna lantas menjelajahi browser di ponsel miliknya. Perlahan, dia menilik satu persatu gambar mengenai Royal Mile. Jujur saja, tempat ini memang menarik untuk diulas.

"Ok, aku akui, kali ini Mars memang ada gunanya," ucap Anna kemudian.

Dengan antusias, Azura menceritakan tentang satu persatu tempat yang pernah dia datangi bersama Mars. Sebenarnya, Anna tidak terlalu suka mendengar kisah lelaki itu. Namun, dia harus menyimak, karena apa yang keluar dari mulut Azura memang berkaitan dengan artikel yang akan mereka terbitkan.

"Angin di sana lumayan kenceng. And you know what? Mars membantu menyibak rambutku, dia mengusap pipi aku yang dingin, lalu dia juga —"

"Ra." Anna memotong pembicaraan Azura. "Bisa kita fokus ke tempatnya aja? Kita nggak mungkin naruh nama Mars di artikel kita."

Deret gigi Azura kembali tampak. "Okay."

"Lalu tempat apa lagi yang menarik? Aku akan coba riset lagi."

"Bagaimana kalau jembatan di atas Sungai Forth?"

Anna lantas mencari nama tempat yang Azura sebut. Well, ini memanglah bagus. Sebuah jembatan yang sangat besar membentang di atas sungai yang juga luas. Tak hanya bentuknya yang unik, landscape di balik jembatan itu juga cukup memukau.

"Dan kamu tahu? Kita berciuman di atas jembatan itu," ucap Azura dengan tatapan menerawang ke atas.

"Ok, next!" tegas Anna. "Tempat apa lagi?"

Mendengar Anna kembali menyela, kedua bibir Azura lantas memberengut. Tak rela rasanya saat momen yang paling penting justru dilewatkan begitu saja. Meski tidak nyata, Azura ingin Anna mendengar cerita mimpi ini secara utuh.

"Please, dengar dulu. Ini lagi adegan klimaks, An," ucap Azura.

Anna menarik napas, mencoba memanjangkan rasa sabar. "Ok, kalian berciuman. Lalu?"

"Lalu kita melihat matahari terbenam dari atas jembatan. Warna langit berubah jingga, dan memantul di atas permukaan sungai. Setelah itu, he hugs me tightly."

Mata Azura tampak berbinar. Dia seperti sedang menceritakan lelaki yang sangat dia cintai.

"Dan kamu tahu apa yang terjadi setelah itu?" tanya Azura.

"Apa?"

"Aku terbangun dari tidur."

Anna sontak tertawa. "Itu artinya, semesta ingin kamu sadar kalau semua itu memang hanya mimpi."

"Kalau dipikir-pikir, cukup miris juga ya kisah hidupku. Semua cuma mimpi."

"Memang. Baru sadar?"

Azura melipat bibirnya sebelum menjawab, "Tapi mimpi ini terlalu indah. Sepertinya aku nggak keberatan kalaupun ini hanyalah mimpi."

"You choose! Sekarang bisa kita lanjut ke tempat menarik selanjutnya?" tanya Anna.

"Yap!" balas Azura. "Sebenarnya ini mainstream, tapi Princes Street Gardens nggak bisa kalau nggak kita tulis. Itu salah satu tempat favorit aku dan Mars."

Bercerita tentang lelaki satu itu tidak akan ada habisnya. Setiap hari, Azura selalu menemukan kisah baru. Meski hanya mimpi, tapi tempat-tempat yang Azura kunjungi di dalam mimpi benar-benar persis layaknya gambaran nyata.

Azura belum pernah mengarungi negara lain. Namun, bersama Mars, Azura merasa seperti diajak keliling dunia. Itulah mengapa Azura selalu bersemangat saat malam telah tiba. Sebab, tidur adalah aktivitas yang justru membuat Azura merasa lebih hidup.

"Kita berangkat sekarang sekalian aja, yuk," ucap Anna setelah usai jam kerja.

"Kemana?"

"Kamu lupa Ryan mengundang kita makan malam?"

Mendengar satu nama itu, Azura seketika melengos. "Skip! Aku ngga ikut."

"C'mon. Aku rasa dia tertarik sama kamu."

"Justru itu," timpal Azura. "Aku nggak mau."

"Why? Dia udah terkenal tampan sejak kita masih kuliah."

"Nope! Aku punya yang lebih tampan," balas Azura.

"Jangan bilang kalau itu adalah Mars."

Azura sontak tertawa. Dia bangkit, lalu buru-buru menghindar dari Anna. Azura benar-benar tidak ingin memenuhi undangan makan malam.

"Kamu nggak bisa terus menolak Ryan, Ra," bujuk Anna.

"Kenapa nggak? Aku udah punya janji lain."

"Janji apa?"

"Bertemu dengan lelaki lain." Azura menaikkan kedua alisnya. "So, pergilah. Bilang sama Ryan kalau aku ada acara makan malam dengan ... my love?"

"Kamu mau kemana?"

"Mau kemana lagi? Tentu saja tidur," jawab Azura.

Anna yang lantas berteriak kesal, hanya Azura balas dengan tawa kencang. Setelah berhasil kabur ke mobilnya, Azura segera menutup pintunya rapat-rapat. Tanpa menunggu lebih lama, Azura lantas menancap gas untuk pulang, lalu tidur di ranjangnya yang nyaman.

Bukankah sudah saatnya bertemu dengan Mars?

***

Berisik, basah, dan langit berubah menjadi gelap. Itulah alasan mengapa Azura membenci hujan. Namun, kebencian Azura kepada hujan perlahan sirna semenjak Azura menemukan seorang lelaki yang tepat untuk menggenggam tangannya yang nyaris selalu kedinginan.

"Apa kamu selalu lupa membawa payung?" tanya Mars.

Azura menoleh dengan kepala sedikit mendongak. Persis seperti mimpi yang sudah-sudah, Azura menemukan dirinya terjebak di tengah hujan, lalu Mars akan selalu datang. Mars nyaris tidak pernah tersenyum, tapi tangannya akan tetap memberikan dekapan hangat.

"Dingin?" tanya Mars.

Azura mengangguk, lalu mulai bersembunyi di balik tubuh lelaki yang kini menawarkan peluk.

"Ayo pulang," ucap Mars kemudian.

Bangunan tinggi serupa kastil berjejer di hampir seluruh sudut kota. Tak seperti hujan biasa, hujan di Edinburgh justru terasa romantis. Terlebih, saat Azura bisa melihat landscape yang indah, lengkap dengan sosok lelaki yang tidak kalah indah.

Rintik hujan masih saja turun meski dinginnya sudah menciptakan banyak titik embun. Meski begitu, baru Azura tahu kalau hujan ternyata tidaklah sedingin itu. Nyatanya, Azura justru merasa hangat saat tangan Mars terpaut erat pada jemarinya.

Sambil berjalan di bawah payung, Azura pun merasa kalau hujan tidak selalu mencerminkan kesedihan. Sebab, sejak awal melihat wajah Mars, yang Azura rasa hanyalah kebahagiaan. Kalau boleh jujur, ini adalah hujan paling indah selama perjalanan hidup Azura.

"Mandilah dulu. Aku akan membuatkan minuman hangat," ucap Mars.

Entah bagaimana ceritanya, tapi setting tempat tiba-tiba saja berubah. Kini, Azura merasa sedang berada di sebuah rumah. Tidak terlalu besar, tapi terasa sangat nyaman.

Dua buah jendela menampakkan pemandangan kota dengan bangunan berwarna cokelat yang bentuknya hampir sama. Setiap bangunan seperti sengaja disusun secara simetris. Mungkin inilah salah satu hal yang membuat Edinburgh selalu tampak memukau.

"Aku suka bau tubuhmu." Suara Mars kembali terdengar.

Tidak terlalu jelas bagaimana alur kisah di antara mereka berdua. Tiba-tiba saja, Azura seperti sudah melompat menuju adegan lain. Saat ini, dia merasa sedang duduk di atas sofa menggunakan selimut yang dipintal dari wol.

Ada sebuah perapian yang menyala di ujung ruang. Teh hangat sudah tersaji di atas meja, lengkap dengan shortbread yang sudah hampir habis. Azura tidak terlalu suka biskuit, tapi shortbread adalah pengecualian.

"Apa yang sedang kamu baca?" tanya Mars.

Sebuah majalah yang Azura pegang, lantas dia taruh di pangkuan. "Konser Harry Styles akan berlangsung di liburan musim panas ini."

"Apa Harry Styles lebih menarik daripada aku?"

Azura tertawa, lalu pura-pura mengangguk. "Tentu."

Mars mendesah kesal, tapi kemudian tangannya menyelinap di sela tubuh Azura. Kepala yang direbahkan di atas paha Azura semakin merapat ke arah perut. Tak lupa, lelaki itu juga memberikan kecup pada salah satu sisi tubuh Azura yang masih tertutup.

Helaan napas hangat Mars sangat terasa. Pun dengan pelukan yang tidak kunjung terlepas meski lelaki itu sudah terlelap. Azura tak mungkin bisa merasa bosan dengan semua ini. Namun, sialnya, kebersamaan ini tidak berlangsung selamanya. Tepat saat Azura membalas dekapan Mars, tubuhnya tiba-tiba seperti terasa terlempar.

"Mars," lirih Azura.

Kedua mata Azura seketika terbuka. Dalam hening, dia harus merasa kecewa karena sosok yang sedang dia peluk ternyata hanya berupa gulungan selimut.

"Dammit," ucap Azura.

Aroma tubuh Mars seperti masih tercium. Tangannya yang hangat juga terasa seperti nyata. Sungguh sial, langit-langit kamar yang kini Azura pandang lantas menyadarkan kalau segala tentang Mars hanyalah mimpi.

"Bisakah semua ini menjadi nyata? Bisakah kamu benar-benar ada?" ucap Azura seraya menutup kembali kedua matanya.

Demi Tuhan, Azura ingin terus hidup di dalam mimpi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status