[Pras, aku percayakan Liliyana padamu. Hanya sementara, nanti aku jemput lagi. Keluarga aku nggak menerimanya, sebagai ayahnya aku minta kamu menjaganya sebentar sampai aku kembali. -Vivian.]Kening Damar berkerut membaca isi dalam surat kecil itu, Launa juga ikut membaca. Ia menatap suaminya dengan lekat.“Mas ….”“Vivian … perasaan aku nggak punya mantan yang namanya Vivian deh. Aku juga nggak pernah begituan sebelum nikah, sumpah,” ujar Damar sambil meremas kertas yang baru saja dibacanya itu.“Lebih jelasnya ayo kita lihat aja. Aku udah capek loh ada masalah terus, aku harap ini juga cuman salah paham.”“Aku juga sama.”Launa sangat percaya pada suaminya, ia tidak ingin berpikir buruk lagi dan membuat kondisinya memburuk pada akhirnya. Mereka sekarang sudah berada di ruang pengawas menunggu stafnya yang sedang mencari bagian CCTV di depan ruangan Damar.Seorang wanita keluar dari lift bersama Liliyana wanita itu berbisik pada Liliyana sebelum meninggalkan anak itu seorang diri. Ha
Amel diminta untuk menunggu Liliyana yang tertidur di mobil sedangkan Damar dan Launa masuk ke dalam rumah sakit untuk menemui Vivian.Vivian yang baru saja diminta untuk istirahat oleh dokter, dibuat kaget dengan kedatangan Damar.“Pras, kamu disini?”“Iya, untuk mengembalikan anakmu itu. Rumahku bukan penitipan anak.”Launa menyelipkan jarinya untuk mengenggan Damar agar lelaki itu tidak dikuasai emosi. Sudah banyak masalah dan sekarang ditambah emosi sudah pasti lelaki itu akan mudah meledak.“Jangan buat ribut, ini rumah sakit dan dia orang sakit, Mas,” bisik Launa.Vivian menatap Launa, ia tidak tahu jika Damar akan datang bersama dengan istrinya.“Aku hanya minta tolong, Pras. Titip Lily sebentar sampai aku pulih nanti,” ujarnya memohon.Sangat jelas jika Vivian tengah sakit, terlihat dari wajahnya yang sangat pucat bahkan wanita itu kurus sekali.Jika bukan karena terpaksa Vivian tidak akan mungkin melakukan hal ini. Ia juga merasa bersalah karena mengganggu kebahagiaan orang l
“Kamu jatuhkan talak, To?” Pak Adi menatap tidak percaya pada menantunya.“Iya, Pak. Maaf, karena saya nggak bisa menepati janji.”Pak Adi tidak bisa menyalahkan Anto, ia sudah bisa menebak jika apa yang terjadi adalah kesalahan Desi. Sejauh ini Anto sudah bersabar pada Desi tapi wanita itu sendiri yang ingin berpisah. Anto tidak ada pilihan selain melakukan apa yang diinginkan oleh Desi karena ia juga tidak ingin terlalu jauh membuat Laras terluka karena dimadu.“Kita bicara lagi nanti. Ayo, pulang.” Pak Adi menjatuhkan pandangan pada Desi yang masih terdiam.Tanpa menjawab ia naik ke atas motor bapaknya.Melihat itu Anto hanya bisa menghela nafas panjang lalu kembali ke rumah karena memang seharusnya ia mengantarkan Laras ke tempat Bu Nia.“Kenapa pulang lagi, Mas? Desi sudah nggak ada?”Anto menggeleng, “tadi ada Pak Adi, Desi ikut bapaknya pulang.”“Mas, kamu masih bisa kembali bersama Desi.”“Nggak. Sejauh ini Mas sering menyakiti kamu, mungkin memang jalannya begini. Kamu nggak
“Itu anak kenapa sih dari kemarin nggak keluar kamar. Apa dia nggak lapar.” Bu Siti beranjak untuk memanggil Desi.Belum sempat ia mengetuk pintu, Desi sudah keluar dengan mata sembab. Penampilannya berantakan, jelas saja wanita hamil ini tengah patah hati. Patah hati berat karena ditalak. Salah sendiri sekarang ia bisa merasakan perihnya disia-siakan.“Kamu kenapa sih? Sedih karena cerai sama si Anto?” tanya Bu Siti penasaran.“Aku capek, Bu. Kepala aku sakit makanya semalaman nggak keluar.”“Capek? Emang kamu dari mana sampai capek segala. Orang biasanya di rumah terus.” Bu Siti mengernyit heran.“Capek karena nggak pernah bisa bahagia,” sahutnya lalu melangkah menuju kamar mandi.Bahagia itu sebenarnya sederhana, cukup mensyukuri apa yang dimiliki bukannya mencari sesuatu yang sulit bahkan mustahil untuk digapai. Damar tak didapat ia pun kehilangan Anto yang bahkan me
“Jordan, Bangs*t! Vivian juga ada dendam apa sih sampai begini ke aku?” Damar mengumpat hampir saja melempar benda pipih di tangannya jika saja Launa tidak menahan gerakan lelaki itu.Damar tidak tahu kesalahan apa yang dilakukannya sampai mendapat kesialan bertubi-tubi, pertama Anto dan sekarang masalah Vivian. Padahal semasa mereka kenal dulu Damar tidak pernah sekalipun mengusik Vivian meskipun memang diakuinya dulu ia pernah mencintai Vivian. Tapi hanya sebatas cinta monyet saja yang langsung pudar setelah tidak lagi di lingkungan yang sama.“Mas, ini rumah sakit. Jangan buat ribut disini. Kita bicara di rumah ya, sekalian bawa Lily untuk diserahkan ke keluarga Vivian.”“Kalau keluarga Vivian menolak, terpaksa kita bawa dia ke panti asuhan. Dia bukan anakku, pasti anaknya Jordan.”Jordan memang terkenal seorang trouble maker jadi bukan hal yang aneh jika lelaki itu berulah tapi apa yang dilihat Damar dalam video itu memang sudah keterlaluan. Jordan membuat Damar mendapatkan getah
“Kenapa, Des?”“Nggak usah aja, aku bisa sendiri.”Desi hendak menutup pintu tapi Anto lebih dulu menahannya.“Nggak bisa, aku nggak percaya sama kamu. Aku juga mau lihat langsung hasil dari dokter.”“Ya udah, pergi aja sendiri.”Anto menghela nafas panjang, “kamu yang hamil, Des. Masa iya aku yang kamu suruh pergi ke dokter sih? Jangan kekanakan gini, udah cukup ya selama ini aku ngalah terus.”“Kalau nggak mau sendiri minta temenin aja sama istri kamu itu.”Karena Anto tidak peka ia masih menganggap Desi itu begitu menyebalkan karena sulit diatur. Anto tidak tahu saja jika wanita yang sedang mengandung anaknya itu saat ini sedang cemburu tapi enggan untuk mengakui kecemburuannya.Desi berpikir harga dirinya akan hancur jika sampai itu terjadi. Dekap saja terus harga diri sampai ia merasa sakitnya karena tidak dipedulikan, laki-laki itu bukan makhluk peka. Jarang sekali ada laki-laki yang bisa mengerti perasaan pasangannya, jika diberitahu baru mengerti jika tidak maka ia akan diam s
“Trauma karena masalah ini?”Damar mengangguk, “di kampung lebih aman, kamu udah nggak diganggu Desi lagi 'kan?”“Emang udah nggak. Tapi kamu yakin memilih tinggal di kampung?”“Iya. Aku juga bakalan ke sana nunggu kerjaan beres. Handle kerjaan bisa dari sana kok. Kalau ada meeting penting baru aku baik ke sini.”Launa juga tidak bisa membantah, ia akan ikut seperti apa keinginan suaminya yang terpenting sekarang tidak ada lagi urusan mereka dengan masalah Vivian dan Liliyana.Bu Nia meminta Launa untuk tinggal lebih lama di kampung seolah-olah tahu jika pergi ke kota ada sesuatu yang akan terjadi. Dan memang benar, ada masalah yang untungnya masih bisa diatasi.Masalah di kampung tidak akan seberat masalah di kota. Di kampung hanya harus pasang telinga tebal agar tidak perlu makan hati oleh omongan tetangga yang kadang nyinyir, memang hal satu ini tidak bisa dipungkiri.“Kapan kira-kira selesai desainnya?”“Dua minggu, aku bakalan selesaikan dalam waktu dua minggu.”“Kamu yakin? Jang
“Kalau nggak ada lagi yang kamu butuhkan, aku pulang.”Melihat Desi terdiam berarti tidak ada lagi yang wanita itu butuhkan, Anto langsung pergi begitu saja meninggalkan Desi yang masih duduk mematung.Reaksi Anto biasa saja, jelas tidak ada ketertarikan soal apa yang dikatakan oleh Launa tadi. Anto tidak ingin lagi menyakiti istrinya, sudah cukup sebelumnya ia selingkuh. Laras terlalu berharga untuk disakiti.Sampai di rumahnya, Anto sudah ditunggu oleh Laras. Meski menunggu hampir satu jam tapi senyum masih tersungging di bibir wanita itu.“Mau makan sekarang, Mas?” tanyanya.“Maaf Mas buat kamu menunggu.”Laras menggeleng, “nggak apa-apa kok, Mas. Kamu harus lebih mengutamakan Desi yang lagi hamil.”“Terima kasih ya. Aku bukannya nggak peduli sama kamu.”“Iya, Mas. Aku ngerti, kamu juga lakuin itu untuk anak dalam kandungan Desi. Aku nggak sabar pengen gendong bayi itu.”Laras mencoba menyembunyikan rasa sedihnya, ia menahan setidaknya sampai bayi itu ada di tangannya. Laras ingin
Patah hati terparah yang pernah Bagas rasakan, padahal hanya mengetahu mantan istrinya disukai lelaki lain. Itu baru sebatas menyukai bagaimana jika Hanum benar menikah dengan Malik? Hatinya akan lebih hancur daripada ini.“Ayah kenapa?” Mentari menegur sang ayah yang diam mematung dengan kedua sorot matanya tidak lepas dari kedua orang yang masih saling berinteraksi.“Nggak papa kok. Ayo masuk.” Bagas mencoba untuk bersikap wajar meski hatinya porak-poranda.Ia menemani Mentari karena Bu Wiwik sedang tidak ada di rumah sedangkan Hanum masih sibuk di warung, Bagas memiliki banyak kesempatan untuk bersama dengan Mentari tapi tidak sebahagia sebelumnya karena saat ini melihat Hanum dan laki-laki bernama Malik itu membuat pikiran Bagas tidak karuan.“Ayah capek ya, tidur aja dulu. Nanti kalau nenek pulang aku bangunin.” Mentari begitu perhatian padahal yang membuat Bagas tampak lesu jelas bukan karena ia yang memang merasa kelelahan tapi karena faktor lain yang tidak akan dimengerti oleh
Faz mengerucutkan bibirnya kesal, “Apaan sih, Ma. Aku sama Rendi nggak ngapa-ngapain kok,” sangkalnya karena memang mereka hanya sebatas berpelukan.“Halah. Mana ada maling mau ngaku. Kalau Mama nggak dateng pasti sudah kebablasan,” cibir Bunga.“Enggak, Ma. Jangan nuduh begitu, kasihan Rendi. Orang kita cuman pelukan kok.”Rendi tesenyum kikuk, “Maaf, Tante. Saya nggak bermaksud.”“Kalian udah lama loh berduaan.” Bunga mengusir dengan halus.“Kalau begitu saya pamit, Tante.” Lelaki itu langsung peka jika dirinya saat ini sudah disuruh untuk pulang.“Pinter.”“Ma.” Faz langsung melayangkan protes, “lama dari mananya, belum seharian kok.”“Aku pulang dulu ya.” Rendi langsung pamit pada Faz dan juga Bunga.Rendi itu sangat peka apalagi tahu seperti apa watak dari calon ibu mertuanya, meski terlihat galak Bunga itu sebenarnya baik dan sudah mulai membuka pintu restu untuk Faz dan juga Rendi.“Mama main ngusir aja sih!”Bunga langsung mengambil posisi duduk di samping sang putri, “kamu be
“Nggak, Ma. Aku tetap pada pendirian aku, aku mau tinggal di kampung. Setelah menemui Faz nanti baru aku pergi, nanti aku kembali saat Faz melahirkan.”Bukan tidak ingin tanggung jawab dengan terus ada di samping Faz tapi Bagas tahu jika Faz tidak menginginkan kehadirannya karena rasa bencinya pasti begitu besar. Jadi daripada membuat Faz semakin tidak nyaman lebih baik Bagas sadar diri.“Kok kamu jadi gini sih, Gas? Kamu diancam sama Hanum?”Bagas enggan mendengar ocehan sang ibu yang selalu saja merendahkan Hanum dan menganggap Hanum itu tidak baik. Kurang apa Hanum selama ini, wanita itu begitu setia dan menerima Bagas apa adanya, menunggu restu yang tak kunjung didapat dan pada akhirnya Hanum pun mundur.“Sudah ya, Ma. Aku capek.” Bagas menutup pintu kamarnya dan langsung mengunci dari dalam, enggan untuk diganggu.Semuanya sudah hancur tak bersisa, jika masih melakukan sesuatu yang buruk apalagi berdampak pada orang lain maka Bagas tidak akan bisa tenang mungkin saja akan lebih h
“Bukan, bukan. Aku nggak pernah sama sekali berpikir kayak gitu, Faz. Aku terima kamu dan bayi kamu tapi kalau sampai harus ikut merahasiakan aku nggak bisa. Lebih baik segera kamu bicarakan sama Bagas. Aku nggak maksa, tapi menurut aku lebih baik seperti itu.”Faz akan percaya jika Rendi benar-benar mencintainya setelah mereka resmi menikah sedangkan sekarang kondisi masih tidak memungkinkan karena memang Faz masih hamil. Harus menunggu beberapa bulan lagi sampai nanti bayi itu lahir.“Kalau bisa aku menikahi kamu sekarang agar kamu percaya pasti akan aku lakukan, tapi kondisi saat ini kamu tahu sendiri seperti apa. Aku mohon percaya sama aku, aku sama sekali nggak berpikir sampai ke situ.”Faz merasa bersalah juga karena akhir-akhir ini ia memang mudah sekali tersulut emosinya dan akhirnya Rendi yang kena semprot padahal lelaki itu begitu setianya mendampingi, mendengar semua keluhan yang dirasakan oleh Faz meski memang tidak bisa mendampingi benar-benar ada di samping Faz karena la
Bagas tidak percaya saat membaca ulang pesan yang dikirimkan oleh Hanum. Ia tahu betul Hanum tidak akan mungkin meminta pisah seberat apapun masalah dalam rumah tangga mereka, bahkan saat tak kunjung mendapat restu saja ia masih bertahan bertahun-tahun. Bagas malah berpikir pasti ada yang menghasut Hanum sampai berpikir untuk berpisah, ia tidak sadar jika Hanum seperti ini karenanya yang malah mengejar Faz yang sudah jelas tidak akan mungkin bisa didapatkannya lagi.Harusnya saat Hanum menerima semuanya setelah tahu Bagas menikah lagi, lelaki itu jangan berbuat hal macam-macam yang membuat Hanum semakin tersakiti. Tapi Bagas malah melakukan hal yang sebaliknya dan sekarang kaget sendiri saat Hanum bertindak tegas."Ma, aku pergi dulu." Bagas berdiri dengan perasaan tidak karuan."Mau kemana?""Ada urusan. Pokoknya sebelum urusan aku selesai aku nggak bakalan pulang." Menyambar kunci mobil lalu berlari keluar membuat sang ibu terheran-heran.Saat mencoba menelpon Hanum, malah tidak bis
"Nggaklah, aku nggak mau. Sembarangan!""Nggak usah ngegas juga, Papa cuman becanda." Aslan bercanda tapi dengan wajah yang datar, siapapun tidak akan menyangka lelaki itu bercanda.Faz mencebik. "Bercandanya nggak lucu, Pa.""Kamu nggak bisa menikah dalam keadaan hamil, Faz. Kamu nggak tahu itu?""Tahu dong, Pa. Tapi 'kan dapet restu dari Papa sama Mama nggak gampang jadi dari sekarang aja ngomongnya karena belum tentu langsung dikasih jalan.""Ya udah."Mata Faz langsung berbinar. "Papa kasih restu?""Ya udah kamu keluar sana, Papa lagi kerja nih. Kamu sama Mama kamu sama aja ganggu Papa hobinya.""Terus kapan kasih restu, Pa? Aku pengen nikah.""Kapan-kapan aja. Kamu juga pengen nikah tetep nggak bisa sekarang, udah kalian keluar."Faz menghela nafas panjang lalu melangkah keluar dari ruangan sang ayah sedangkan Bunga masih berdiri di samping meja kerja sang suami."Mas, gimana?"Sebelah alis lelaki itu terangkat. "Gimana apanya?""Mau kasih restu? Aku nggak mau ya kalau punya mena
Jika hati dan tubuhnya bahkan sudah terbagi, apalagi yang menjadi alasan Hanum bertahan jika bukan Mentari. Berat rasanya bertahan bersama Bagas saat tahu lelaki itu sudah mencintai wanita lain yang sekarang sudah menyandang status sebagai mantan istri lelaki itu.Hanum lebih rela menemani masa sulit suaminya, daripada menemani lelaki yang sudah membagi hatinya seperti ini. Itu sangat menyakitkan.Mungkin jika kebohongan Bagas tidak diketahui oleh Faz, bisa saja Hanum yang akan ditinggalkan oleh Bagas. Sekarang Hanum tidak lagi merasa takut jika akan ditinggalkan. Ia sudah sangat lelah dengan apa yang terjadi, kesabarannya sudah dipertebal tapi malah ini yang didapatkan.Sudah satu minggu Bagas pergi, semenjak Hanum melihat foto Faz yang masih tersimpan di ponsel Bagas bahkan dijadikan tampilan layar. Lelaki itu hanya menghubungi sekedar untuk bicara pada Mentari, Hanum seolah tidak dianggap dan wanita itu pun tidak peduli lagi. Ia lelah jika terus meladeni Bagas yang sama sekali tida
POV Author“Mau kemana, Mas?”“Ada urusan.”“Urusan apa?”“Urusan penting.” Bagas menepis tangan Hanum membuat wanita itu mengernyit heran.Sikap Bagas berubah meski lelaki itu terus menepis dan mengatakan jika ia tidak berubah sama sekali tapi di sini Hanum yang merasakannya. Suaminya itu bersikap dingin bahkan jarang pulang padahal Bagas sendiri yang mengatakan jika ia tidak akan lagi bekerja di kota. Tapi lelaki itu selalu beralasan ada urusan di kota tapi tidak menjelaskan dengan detail urusan apa yang sedang dilakukannya.“Apa ini cuman perasaan aku doang ya.” Hanum menggeleng, “jangan mikir macam-macam, Hanum. Mas Bagas pasti lagi sibuk apalagi perusahaannya sekarang udah hancur.”Hanum tahu soal perusahaan keluarga suaminya yang akhirnya hancur. Ada rasa bersalah menyusup dalam dadanya karena ia yang berencana untuk memberitahu secara tidak langsung pada Faz soal siapa Hanum sebenarnya.Kalau saja Bagas tahu Hanum sengaja tidak memberitahu jika Faz akan mengikuti, sudah pasti l
“Aku cinta sama kamu.”“Bullshit! Nggak usah kamu keluarkan rayuan kamu dalam situasi ini, Mas. Aku tetep pada keputusan aku buat pisah. Aku nggak mau jadi sumber derita buat wanita lain yang nggak tahu apa-apa. Mbak Hanum pasti nggak tahu soal permainan kamu ini 'kan?”“Kita selesaikan baik-baik ya, jangan kayak gini.”“Iya, aku emang mau selesaikan ini baik-baik sama kamu. Kita pisah tapi aku nggak bakalan cabut dana yang mengalir ke perusahaan ayah kamu tapi setelah kerjasama selesai jangan harap dapat bantuan lagi kalau sampai nanti perusahaan itu kembali jatuh!”“Sayang ….”“Cukup, Mas! Kamu nggak kasihan sama istri dan anak kamu. Nggak usah kamu korbankan mereka cuman akrena harta yang nggak bakalan kamu bawa mati.”“Ini bukan soal harta tapi perasaan aku. Kamu nggak percaya?”“Nggak, aku sama sekali nggak percaya sama kamu. Kebohongan kamu sebelumnya bahkan aku masih nggak percaya kalau itu sebuah kenyataan.”Aku merasa beruntung karena belum memberikan hatiku padanya, tidak ma