“Kenapa, Des?”“Nggak usah aja, aku bisa sendiri.”Desi hendak menutup pintu tapi Anto lebih dulu menahannya.“Nggak bisa, aku nggak percaya sama kamu. Aku juga mau lihat langsung hasil dari dokter.”“Ya udah, pergi aja sendiri.”Anto menghela nafas panjang, “kamu yang hamil, Des. Masa iya aku yang kamu suruh pergi ke dokter sih? Jangan kekanakan gini, udah cukup ya selama ini aku ngalah terus.”“Kalau nggak mau sendiri minta temenin aja sama istri kamu itu.”Karena Anto tidak peka ia masih menganggap Desi itu begitu menyebalkan karena sulit diatur. Anto tidak tahu saja jika wanita yang sedang mengandung anaknya itu saat ini sedang cemburu tapi enggan untuk mengakui kecemburuannya.Desi berpikir harga dirinya akan hancur jika sampai itu terjadi. Dekap saja terus harga diri sampai ia merasa sakitnya karena tidak dipedulikan, laki-laki itu bukan makhluk peka. Jarang sekali ada laki-laki yang bisa mengerti perasaan pasangannya, jika diberitahu baru mengerti jika tidak maka ia akan diam s
“Trauma karena masalah ini?”Damar mengangguk, “di kampung lebih aman, kamu udah nggak diganggu Desi lagi 'kan?”“Emang udah nggak. Tapi kamu yakin memilih tinggal di kampung?”“Iya. Aku juga bakalan ke sana nunggu kerjaan beres. Handle kerjaan bisa dari sana kok. Kalau ada meeting penting baru aku baik ke sini.”Launa juga tidak bisa membantah, ia akan ikut seperti apa keinginan suaminya yang terpenting sekarang tidak ada lagi urusan mereka dengan masalah Vivian dan Liliyana.Bu Nia meminta Launa untuk tinggal lebih lama di kampung seolah-olah tahu jika pergi ke kota ada sesuatu yang akan terjadi. Dan memang benar, ada masalah yang untungnya masih bisa diatasi.Masalah di kampung tidak akan seberat masalah di kota. Di kampung hanya harus pasang telinga tebal agar tidak perlu makan hati oleh omongan tetangga yang kadang nyinyir, memang hal satu ini tidak bisa dipungkiri.“Kapan kira-kira selesai desainnya?”“Dua minggu, aku bakalan selesaikan dalam waktu dua minggu.”“Kamu yakin? Jang
“Kalau nggak ada lagi yang kamu butuhkan, aku pulang.”Melihat Desi terdiam berarti tidak ada lagi yang wanita itu butuhkan, Anto langsung pergi begitu saja meninggalkan Desi yang masih duduk mematung.Reaksi Anto biasa saja, jelas tidak ada ketertarikan soal apa yang dikatakan oleh Launa tadi. Anto tidak ingin lagi menyakiti istrinya, sudah cukup sebelumnya ia selingkuh. Laras terlalu berharga untuk disakiti.Sampai di rumahnya, Anto sudah ditunggu oleh Laras. Meski menunggu hampir satu jam tapi senyum masih tersungging di bibir wanita itu.“Mau makan sekarang, Mas?” tanyanya.“Maaf Mas buat kamu menunggu.”Laras menggeleng, “nggak apa-apa kok, Mas. Kamu harus lebih mengutamakan Desi yang lagi hamil.”“Terima kasih ya. Aku bukannya nggak peduli sama kamu.”“Iya, Mas. Aku ngerti, kamu juga lakuin itu untuk anak dalam kandungan Desi. Aku nggak sabar pengen gendong bayi itu.”Laras mencoba menyembunyikan rasa sedihnya, ia menahan setidaknya sampai bayi itu ada di tangannya. Laras ingin
“Una, Mas Damar. Duluan aja.”Launa dan Damar tidak percaya Desi mengatakan itu tapi mereka juga tidak mau ikut campur dan memilih untuk lebih dulu masuk ke dalam toko.Sedangkan Anto masih berdiri di samping Desi.“Emang bener tukang halu ya kamu. Ngomongnya suami CEO eh ternyata supir, untung nggak sampai gila kamu ngehalu,” cibirnya.“Cukup, Mbak. Jangan sembarangan bicara pada orang hamil!” Anto tidak ingin ada orang yang bicara tidak pantas, masalahnya Desi sedang hamil. Mungkin jika tidak, Anto pun tidak akan peduli.“Ya ampun, suaminya yang CEO eh maksudnya supir ini mau jadi pahlawan kesiangan gitu? Cocoklah kalian, satunya tukang halu satunya tukang tipu. Makanya cari suami itu kayak suami aku, Des. Berpendidikan dan setia. Kiranya nggak mampu nggak usah ngaku-ngaku, Des. Bikin malu diri sendiri aja.” Dengan mudah Lela bicara tanpa peduli wajah Desi yang sudah merah padam menahan amarah yang memuncak.“Saya mengakui saya bukan orang berpendidikan, itu lebih baik daripada anda
“Loh, nelpon kok nggak ngomong.” Anto menatap heran layar ponselnya lalu memutuskan sambungan dan kembali memasukan ponsel itu ke dalam saku celananya.Ia sedang berada di pabrik. Pembangunan pabrik masih berjalan, memakan waktu cukup lama karena memang bukan pabrik kecil yang dibuatnya.Setelah beberapa menit lalu menerima telepon Desi, Anto malah jadi tidak tenang. Ia menelpon balik tapi tidak diangkat.“Pak, saya izin sebentar boleh?” tanya Anto pada Damar yang juga sedang ada disana untuk mengawasi pembangunan.“Kemana, To?”“Tadi Desi nelpon tapi nggak ngomong apa-apa, saya telepon balik tapi nggak diangkat.”“Oh ya udah, pergilah. Takutnya kenapa-napa.”“Terima kasih, Pak.”Takut terjadi apa-apa ia langsung bergegas ke rumah Desi untuk memastikan. Bekerja pun ia tidak akan tenang jika seperti ini. Meski kemarin bertemu, Desi terlihat baik-baik saja namun Anto mengingat Desi yang mengeluh perutnya kram.“Des, Desi!” Anto mengetuk pintu rumah Desi namun tidak ada sahutan.“Tidur k
“Da-leman?” Anto mengenyit tidak mengerti karena Desi bangun tiba-tiba mengatakan soal pakaian dalamnya.Wajah Desi langsung merah apdam, merutuki dirinya sendiri yang refleks bicara seperti itu. Mungkin terbawa obrolannya dengan sang ibu tadi sore.“I-ibu mana?” Memalingkan wajah guna menghindari tatapan Anto, berpura-pura mencari ibunya.“Sudah pulang. Aku meminta mereka untuk istirahat, kasihan juga setelah perjalanan jauh.”Kedua alis Desi saling bertaut, “terus kamu ngapain disini?”“Jagain kamu.”“Aku bisa sendiri kok, nggak usah dijagain segala.” Desi masih seperti biasa, padahal tinggal bilang terima kasih nyatanya begitu sulit.“Kamu harus segera pulih biar bisa lihat anak kita.”Ada desiran aneh saat Anto mengatakan itu. Anak kita, kata yang biasa tapi berdampak luar biasa pada Desi. Ia ingat betul Anto pernnah mempertanyakan soal ayah biologi bayi yang dikandung oleh Desi meski Desi sudah menjelaskan tidak pernah berhubungan lagi dengan lelaki manapun dan terakhir dengan An
“Sakit, Bu.” Desi meringis saat ia mencoba untuk duduk rasanya begitu nyeri.“Pelan-pelan aja, nanti kamu juga harus belajar jalan.”“Mau duduk aja sakitnya nggak ketulungan apalagi nanti jalan.”“Udah, jangan banyak ngeluh gitu. Kamu mau cepat ketemu anak kamu 'kan?”“Iya, Bu.”Hanya itu yang bisa membuat Desi semangat agar bisa berjalan. Dari balik pintu, Anto melihat bagaimana Desi berusaha untuk segera pulih. Ia tidak tahu bagaimana rasa sakit yang dirasakan Desi tapi melihat wanita itu sering meringis sudah pasti bukan sakit biasa yang dirasa.Lelaki itu terperanjat saat pundaknya ditepuk dari belakang.“Kenapa nggak masuk, To?” tanya Pak Adi.“Saya baru mau masuk, Pak,” bohongnya padahal dari tadi ia berdiri saja memperhatikan Desi.Pak Adi pun tahu itu, ia merasa ada sesuatu diantara Desi dan Anto tapi ia tidak akan ikut campur jika bukan mereka yang meminta saran padanya.Desi sudah diperbolehkan untuk pulang setelah lima hari berada di rumah sakit tapi bayi laki-laki yang dib
Belum sempat Launa kembali bicara, ia melihat Anto yang datang mendekat pada Desi dan menyerahkan minuman botol.“Teh botol yang ini?” tanyanya.“Iya, nggak papa.” Desi menerima botol itu.“Kalian … rujuk?” Akhirnya kata itu keluar juga dari mulut Launa.Desi dan Anto saling melempar pandangan dan tersenyum, tanpa kata pun itu sudah sangat menjelaskan. Keduanya sepakat memulai hubungan baru tentu dengan seizin Laras, Desi tahu Laras pasti tidak benar-benar merelakan tapi ia juga tahu Laras bukan wanita egois, ia begitu murah hati.Launa sudah biasa melihat orang-orang memiliki istri dua tapi baru sekarang orang yang ada di sekelilingnya, lebih tepatnya karyawan suaminya itu memiliki dua istri. Kaget, sudah jelas karena sebelumnya Launa melihat hubungan Anto dan Desi itu merenggang. Tapi sekarang mendengar kabar keduanya rujuk.“Dia yang maksa sih.” Desi menyikut perut Anto sambil terkekeh geli.“Kok aku sih? Kamu juga mau 'kan?” balas Anto tidak terima.“Udahlah, kalian sama-sama mau