Dia selesai berkata, tiba-tiba tenggorokan terasa gatal, sehingga batuk ringan. Rayn tidak berani terlalu kuat batuknya, apabila terlalu menggerakkan bagian perut, lukanya akan semakin sakit. Dia baru saja sedikit lega, sedari tadi dia kelihatannya sangat sengsara dan menyesak.“Aku tuangkan air untukmu.”Areum buru-buru bangkit, namun tangannya malah ditarik oleh Rayn. “Aku tidak mau minum air.” suara Rayn sedikit serak, dia menarik lengannya, memeluk Areum ke dalam pelukannya.“Areum, kamu masih belum minta kado ulang tahun padaku lagi.” Rayn tersenyum dan berkata.“Aku minta atau tidak, kamu tetap akan memberikannya padaku, iya kan?” Areum mengangkat mata dan menatapnya, berkata dengan nada datar.“Tidak, tebak dulu apa kadonya?” Rayn mengangkat alis dan tersenyum ringan. Areum menggeleng kepala, sifatnya memang tidak suka tebak menebak.“Tidak tahu.”Rayn tersenyum lembut, tangannya masuk ke dalam saku jas besarnya, lalu mengeluarkan sebuah kotak cincin berwarna hitam. Ketika Areu
“Kamu jangan selemah itu dihadapanku, demi seorang wanita, membuat diri sendiri di ambang kematian seperti ini, sungguh tidak berguna.”Rayn tersenyum dengan datar, dalam senyumnya ada rasa sakit yang begitu dalam, rasa sakit yang menusuk sampai ke tulang. Dibandingkan dengan rasa sakit yang dialami Areum ketika itu, lukanya ini sama sekali tidak ada apa-apanya. Ketika itu, jelas-jelas yang salah adalah dia, namun yang menerimanya malah hanya Areum sendiri.Gadis yang paling ia cintai, pernah mencoba bunuh diri dengan menelan obat obat karenanya, ini merupakan hal yang membuatnya tidak bisa memaafkan dirinya seumur hidupnya. Rayn berpikir, seumur hidupnya, dia sudah berhutang terlalu banyak pada Areum, bahkan mungkin dia tidak akan sanggup menebus semuanya. Di kehidupan yang akan datang, ia ingin bertemu dengannya lagi, mencintainya lagi.“Kak, aku merasa sedikit lelah, bisa kah kamu berhenti bicara?” Suara Rayn terdengar tidak bertenaga, berkata dengan lemah. Rainer memelototinya de
Ketika Emilio mendengarnya ia hanya terdiam, ia tersenyum lembut tanpa mengatakan apapun. Sementara Elijah membawa hadiah yang sudah dia siapkan. Emilio menyiapkan sebuah lukisan antik untuk Earnest, lukisan yang sudah berumur itu begitu indah. “Bagaimana bisa kamu mendapatkan ini?” Earnest tercengang. “kamu memang berbeda, dan terbaik.” “Ayah terlalu memuji.” Emilio berkata dengan rendah hati. Earnest meletakkan lukisan antiknya, berkata dengan serius. “Kamu tidak perlu rendah hati, aku tidak akan memujimu hanya karena kamu adalah putraku.” “Ayah, Anda dan Emilio benar-benar ayah dan anak, Emilio juga tidak pernah memuji Stela dengan mudah. Ketika Stela ikut lomba melukis, yang ikut serta adalah anak-anak yang lebih tua beberapa tahun darinya, Stela mendapatkan juara dua sudah pencapaian yang lumayan, namun Emilio malah menyuruhnya berusaha lebih keras lagi dengan wajah yang begitu tegas. Haih, menjadi anak keluarga Xavier sungguh tidak mudah.” Elijah berkata sambil tersenyum. Se
Emilio menyeruput tehnya, dengan santai lalu berkata dengan datar. “Istriku tengah mengandung anakku sendiri, jadi tidak ada alasan jika kalian menentangnya. Toh aku akan memiliki penerusku sendiri, darah dagingku yang selama ini aku nantikan.” “Syukurlah, jika dia tengah mengandung anakmu. Setidaknya kamu menikahinya dan dapat memliki seorang anak yang milikmu sendiri.” Earnest mengangguk, namun segera bicara lagi. “Istrimu sudah sangat baik dalam semua hal, hanya saja masa lalu tragis itu akan selalu membayanginya. Apa dia sudah berdamai dengan masa lalunya?” Setelah Emilio mendengarnya, wajahnya yang awalnya hangat langsung muram dan berkata, “Elijah masih sangat muda, tidak perlu cemas, dia pasti bisa melewatinya. Kalau pun tidak bisa aku akan tetap menemaninya hingga dia benar-benar sembuh dan berdamai dengan keadaan.” “Terserah kalian.” Earnest berkata dengan datar. Bagaimana pun itu kehidupan putra juga menantunya. Emilio tidak mempermasalahkan kehidupan rumah tangga yang sep
“Elijah sedang hamil, dia terlihat bahagia saat menceritakannya.” Areum tersenyum tapi di balik senyumnya itu ada rasa iri dan rasa sakit karena kecelakaan itu telah membunuh harapannya memiliki seorang anak. Sebastian menyadari itu dia pun mencoba untuk menghiburnya.“Suatu saat kamu juga akan mendapatkan bahagia itu, aku harap kamu tidak menyalahkan dirimu sendiri.” Rayn menatapnya dengan tatapan hangat yang penuh kasih sayang terhadapnya.“Uhm,” Areum mengangguk pelan. Setelah Areum selesai berbicara, ia mengambil smoothie buah di atas meja dan mengambil sendok kecil untuk memakannya. Gayanya ketika makan terlihat elegan dan indah. Rayn tidak menonton TV nya lagi, hanya menatap Areum dengan dalam, lalu mengingatkannya.“Tidak baik makan yang terlalu dingin.”“Oh. Kalau begitu aku tidak memakannya lagi.”Areum tidak pernah berdebat untuk hal sepele dengannya, ia dengan patuh menaruh smoothie buah di atas meja yang ada di depannya. Namun, begitu ia meletakkan sendoknya, Rayn langsung
Elijah berjalan keluar kamar, saat akan menuruni anak tangga ia melirik ke arah pintu ruang kerja Emilio yang tidak tertutup rapat. Ditatapnya sejenak lalu ia berpikir sembari mengelus perutnya.“Sepertinya ayahmu sudah kembali menggilai pekerjaannya, ayo kita buatkan kopi untuknya.” Elijah tersenyum lembut.Lampu ruang tamu telah mati, begitu pula lampu di area dapur, ia melirik sekilas jam dinding antik yang cukup besar menghiasi sudut ruang tamu. Di sana menunjukkan pukul 00:05 tengah malam. Ia menghela napas lalu menyalakan lampu dapur, yang tadinya gelap kini sudah terang benderang.Elijah membuka kulkas, berharap ada sedikit cemilan untuknya, karena makin hari dia sudah mulai kelaparan saat tengah malam, dan selalu terbangun untuk sekedar mencari cemilan. Di saat dia membuka pintu satunya ia tercengang dengan apa yang tersimpan di sana, senyuman manis itu terukir indah di wajahnya."Kamu benar-benar perhatian,” batinnya.Entah kenapa air mata jatuh tak terkendali, air mata memen
Di dalam ruangan ini. suasana ruangan selalu redup dan temaram. Tirai gorden abu-abu bertali keemasan menutupi seluruh jendela kaca yang besar, cat dinding yang berwarna abu-abu dan hitam menambah kesan misterius dan dingin. Layaknya sang pemilik rumah. Satu set sofa kulit asli warna hitam dengan meja kayu jati kecil di depannya. Lampu dan kristal berukuran sedang di tengah ruangan dan lantai granit mengkilat bercorak kayu abu-abu membuat nuansa semakin elegan dan mewah.Elijah tengah berada di dalam dekapan Emilio suaminya. Di sana dia bisa merasakan kenyamanan yang selalu membuatnya tenang. Emilio terus mengusap punggung serta mengecup lembut puncak kepalanya."Apa kamu sudah mau bicara padaku?” Emilio bertanya dengan hati-hati dan sabar tapi, Elijah masih diam. Dia masih mencoba untuk menenangkan dirinya untuk bisa bicara.Mendapati hal itu Emilio dengan sabar menunggu hingga Emosi Elijah kembali stabil baru mengajaknya berbicara lagi. sudah sekian jam posisi keduanya masih sama.
Emilio menggelengkan kepala, sambil berdecak pelan. Menit berikutnya mobil Myabach hitam meluncur menuju pintu keluar. Emilio yang duduk di kursi penumpang tatapannya lurus ke arah luar jendela, pikirannya sedikit melayang mencoba mengingat kembali apa yang dikatakan oleh Elijah padanya tadi malam.Emilio menggelengkan kepalanya mencoba menepis semua pikiran yang ada di kepalanya. Mencoba dengan cara memikirkan bagaimana sahamnya yang telah dia investasikan di perusahaan-perusahaan yang telah dia pilih. Emilio mencoba untuk mendatanginya satu persatu untuk melihat dan memastikan saham miliknya juga ikut berkembang.Sesampainya di kantor seperti biasa Sebastian telah menunggunya di pintu masuk perusahaan. Beberapa staf juga ikut berjajar menyambut kedatangan Emilio. mobil Maybach berhenti, pintu terbuka menunjukkan satu kaki panjang yang terlihat pertama kali keluar. Ada sesuatu yang aneh kala Emilio keluar dari mobil, wajahnya pucat, matanya sedikit memerah membuatnya tampak jelas ji