Pagi itu embun masih bergayut di udara. Hawa dingin pegunungan menusuk sampai tulang sumsum. Di lapangan terbuka di depan pintu gerbang perguruan Wuwei di situ tersemat puluhan tenda tempat nginap para tamu undangan. Bahkan mereka yang tak diundang, asalkan punya nama yang cukup dikenal akan diberi tempat nginap di tenda.
Puluhan tenda diatur dalam lingkaran berlapis. Di tengah lingkaran sebuah tanah lapang dikosongkan, untuk arena tarung. Tenda-tenda yang berada di lingkaran dalam, di pinggir arena tarung disediakan bagi perguruan besar dan pendekar perorangan yang punya nama besar. Tenda-tenda itu terdiri tiga macam ukuran, yang paling besar untuk rombongan yang anggotanya banyak. Tenda ukuran sedang untuk rombongan yang sedikit anggotanya. Selain itu disediakan tenda kecil untuk satu atau dua pendekar perorangan.
Pagi itu semua tenda sudah terisi. Suasana sunyi dan sepi. Para pendekar duduk di luar tenda menghadap gelanggang. Mereka memperlihatkan wajah yang tegang.
Seorang wanita tua bangkit dari duduk. "Sebelum adu ilmu dimulai sebaiknya kita tentukan aturan mainnya. Aku usul, seorang pendekar yang sudah memenangkan pertandingan, maka dia memperoleh hak istirahat. Ia boleh istirahat atau jika ia mau boleh saja tarung terus. Sebab tidak mungkin seorang itu bertarung terus, lagipula lawan bisa memanfaatkan tenaganya yang sudah terkuras dan lelah.""Bagus, bagus aku setuju usul Chuan Mei. Itu usul bagus. Kutambahkan lagi, pertarungan harus satu lawan satu dan bebas. Siapa terbunuh tidak perlu disesali, hitung-hitung ilmunya yang dangkal."Jen Ting berbisik kepada Jiu Long, "Dia itu Sempai Chu!" Mendengar itu Jiu Long mengepal tinjunya. Sudah dua lawan yang dipergokinya di sini, Wita Chung dan Sempai Chu. Dua orang ini bertanggungjawab atas pembantaian di Partai Naga Emas. Hutang nyawa bayar nyawa!Peraturan tarung telah disepakati bersama. Tarung bebas dengan menggunakan senjata apa saja, tak ada batasan. Keroyokan pun boleh
Kalabe Cuan melompat keluar arena sambil berseru, "Aku mau istirahat dulu."Seorang lelaki botak, Tongkat Besi dari Gunung Jinhua menerobos arena menantang Qing Rong. Pertarungan berlangsung imbang dan ketat, tongkat besi lawan pedang. Setelah tarung puluhan jurus, Qing Rong berhasil melukai dada lawan Darah mengucur dan lukanya tetapi Tongkat Besi tak mau menyerah. Makin lama makin melemah, di pihak lain Qing Rong tak mau turun tangan kejam. Akhirnya Quan Bei memerintah adik perguruannya melerai perkelahian.Pertarungan berlanjut. Ada perkelahian lantaran dendam, ada yang memang ingin adu kepandaian semata. Waktu berjalan cepat. Matahari makin condong ke barat dan para pendekar yang masuk gelanggang makin lihai. Pendekar yang bertarung makin terpilih dan makin sedikit.Dari tadi Jiu Long duduk terpaku. Tanpa disadarinya matanya sering memandang kedua tempat, tenda Wita Chung dan Sempai Chu. Di lihatnya seorang lelaki menghampri Sempai Chu. Meski agak jauh tetap
Tak ayal lagi Im ji hye berteriak. Suaranya nyaring namun cukup jelas didengar semua orang. "Hai Sempai Chu, kamu belum berharga untuk menantang Kak Yu Jin. Semua orang tahu kamu adalah penjahat cabul, pemerkosa, mana bisa disejajarkan dengan Kak Yu Jin. Satu syarat dan aturan tarung di sini adalah sepadan. Kau tidak sepadan dengan Kak Yu Jin. Kamu orang jahat, penjahat cabul, dan entah apalagi kejahatanmu. Sedang Kak Yu Jin adalah orang jujur yang selalu menjaga kehormatannya."Orang-orang yang mendengar ucapan Im ji hye tertawa keras. Riuh tawa itu membuat Sempai Chu meluap amarahnya. "Jangan banyak bacot, bilang saja Yu Jin takut. Itu saja yang aku perlukan bahwa Yu Jin tidak punya kehormatan. Biar semua orang tahu kini bahwa Partai Naga Emas memang sudah tak punya kehormatan lagi. Ayo Yu Jin, keluar kau!"Im ji hye berteriak lagi, "Sempai Chu goblok, aku sudah katakan bahwa Kak Yu Jin itu tidak sepadan dengan kamu. Bukan karena takut tetapi ia merasa jijik berhadap
Tian Shan menoleh pada Sempai Chu. "Maaf Quan Bei, sudah bertahun-tahun aku mencari orang ini yang namanya Sempai Chu, ia tak boleh tarung dengan siapa pun, ia harus membayar hutang darah padaku!"Berkata demikian Tian Shan langsung menyerbu Sempai Chu dibuat kalang kabut menangkis. Dalam gelanggang tarung terjadi perkelahian sengit. Quan Bei berteriak keras. "Tian Shan kuharap dengan segala hormat, pandanglah mukaku, jangan merusak jamuanku, semua pertarungan harus ada tata kramanya. Hentikan dulu amarahmu."Bersamaan dengan itu empat pendekar yang dari tadi berdiri di belakang Quan Bei melesat ke dalam gelanggang. "Tahan!"Tian Shan menghentikan serangannya. Tadi orang hanya melihat bayangan berkelebat mengurung Sempai Chu. Tahu-tahu bayangan itu hilang dan Tian Shan terlihat berdiri tenang, lima tongkat dari Sempai Chu yang masih kalang kabut menangkis. Hebat gerakan Tian Shan. Sebagian orang meleletkan lidah, kagum, melihat ilmu ringan tubuh yang begitu ting
Tertawa Sempai Chu terhenti. Ia mendelong menatap Jiu Long. Ia cukup terkejut mendengar pameran tawa Jiu Long yang begitu menakjubkan. Bahkan hampir semua orang di situ tercengang akan tenaga dalam Jiu Long. Hampir tak masuk akal ada seorang muda yang memiliki tenaga dalam setinggi itu. Kalau muridnya saja sudah begitu jago, bagaimana lagi dengan Yu Jin gurunya, gumam sebagian orang.Sempai Chu menatap wajah anak muda di depannya. Ia melihat sinar mata yang tenang, bening dan sangat dalam. Tiba-tiba ia sadar, anak muda ini memiliki kepandaian yang sulit diukur tingginya. Melihat dari sinar matanya maka pameran tenaga dalam lewat tertawa tadi itu bukan isapan jempol belaka. Ada rasa enggan menyeruak dalam sanubarinya, ia merasa gentar. Sempai Chu cepat mengusir dan mengubur perasaan enggan dan takut itu. "Aku harus waspada, tak boleh main-main, kalau perlu satu serangan, ia modar, itu lebih baik!"Berpikir demikian, ia merogoh senjata dari balik jubahnya yang longgar. S
Perasaan takut itu kembali menghantuinya, untuk mengatasinya Sempai Chu berteriak keras. "Bukan aku yang mati, tetapi kau yang akan kukirim ke neraka, anak bangsat!"Jiu Long menyerbu dengan jurus Balaraksha. Hawa panas keluar dari sepasang tangannya. Sempai Chu terkejut, mundur dengan menggelinding ke belakang. Orang-orang terkejut melihat Sempai Chu begitu terdesak. Hebat anak muda ini, begitu gumam penonton.Pukulan Jiu Long tegas mengarah kepala Sempai Chu yang mau tidak mau harus menangkis dengan tongkat. Sempai Chu mengeluh, karena kalah tenaga. Sedang Jiu Long merasa senang dan yakin akan segera menghabisi lawannya. Ia tak tahu bahwa Sempai Chu sedang memasang perangkap. Ketika terjadi benturan tangan dengan tongkat, Sempai Chu naik ke atas. Ia bukan menendang, tetapi menyaruk tanah dengan kaki dan menghantamkannya ke wajah Jiu Long. Sementara tangan yang memegang tongkat mengemplang kepala Jiu Long.Dalam sekejap saja, dari posisi terdesak, Sempai Chu berubah menjadi unggul mu
Setelah meniup satu kali, Jiu Long masih menambah lagi tiupan susulan yang lebih bertenaga. Asap racun bergerak dengan tenaga besar ke wajah lawan. Sempai Chu bukannya takut akan asap racun itu, karena ia tadi sudah menelan pemunahnya.Tetapi ia terkejut karena tak menyangka Jiu Long dalam keadaan tarung, masih bisa meniup dengan tenaga besar. Hampir tak masuk akal.Bagi lain orang mungkin tak masuk akal dan mustahil, tetapi bagi Jiu Long yang telah menguasai Angin Es dan Api hal itu tak terlalu sulit. Semua berlangsung ringkas dan cepat. Tiga gerakan Jiu Long itu bukan cuma meloloskan diri dari ancaman bahaya, malahan berbaik mencelakakan Sempai Chu.Terdengar teriakan Sempai Chu. Tangannya seperti masuk ke dalam pusaran berkekuatan tenaga dahsyat. Ia tak berdaya mengatasinya. Tulang tangannya patah di beberapa bagian.Tetapi itu belum semua! Tangan Jiu Long yang berputar mendadak diluruskan ke depan. Sekali lagi Sempai Chu berteriak. Beberapa tulang dadanya remuk.Sempai Chu terlemp
Semua mata memandang Jiu Long dengan kagum Orang tak pernah menyangka ia bisa menang. Pertarungan berlangsung singkat tapi begitu mencekam dan dipenuhi saat-saat berbahaya. Bahkan disebut yang paling seru dan bahaya sejak tadi pagi.Jiu Long memandang ke tenda Zhang Ma. Dilihatnya lelaki itu, kurus kering bertelanjang dada dan bercelana hitam sebatas lutut. Zhang Ma duduk dengan pongah. Tiga muridnya berdiri di dekatnya. Amarah Jiu Long meluap."Zhang Ma, keluar kau, hayo kita jajal siapa lebih jago!" Tantangan Jiu Long itu menggema ke mana-mana. Semua mata memandang bergantian, dari Jiu Long ke arah Zhang Ma.Tapi Zhang Ma duduk tenang, ia meludah ke tanah. "Puuii! Kau pikir dengan mengalahkan Sempai Chu pendekar goblok itu, kau sudah bisa melawanku? Aku malas meladenimu!"Murid Zhang Ma yang paling tua, Kalabe Cuan, berseru lantang. "Hei, dulu aku tendang pantatmu, kau lari terkencing-kencing. Sekarang tak tahu diri menantang guruku."Murid yang kedua, Kalabe Chin ikut nimbrung. "Ka