Share

Teknik Pisau Energi!

"De–Dewi Kinanti…?" Ucap Arya Dewantara yang tampak terkejut. 

"Kau sudah sadar sepenuhnya?" Tanya Dewi Kinanti mengusap air matanya.

"Aku sudah sadar sepenuhnya. Aku hanya merasa sempoyongan setelah berlarian dari desa ke hutan ini," jawab Arya Dewantara mengusap bekas luka di dadanya. 

Dewi Kinanti merasa cemas akan keadaan teman semasa kecilnya di desa Cikulon. Ia berhasil melarikan diri dari pembantaian di desanya karena sedang berada diluar desa untuk mencari tanaman obat. Saat ia kembali dan menemukan banyak warga desa yang dibunuh, Dewi Kinanti langsung berbalik arah menuju ke hutan selatan. 

Ia tidak menyangka bila bisa bertemu dengan Arya Dewantara yang juga berhasil selamat. 

Ia masih memikirkan nasib ibunya dan para warga desa lainnya yang dibantai oleh kelompok bertopeng.

"Kau berhasil melarikan diri dari pembantaian di desa. Untunglah…," ucap Arya Dewantara merasa lega.

"Aku beruntung karena tadi sedang mencari tanaman obat. Aku sangat terkejut saat melihat banyak sekali orang tidak dikenal berpakaian hitam dan mengenakan topeng masuk ke dalam desa. Mereka seenaknya saja membunuh seluruh warga desa," ucap Dewi Kinanti yang merasa marah.

"Maaf, mungkin semua itu karena salah keluargaku." Arya Dewantara menundukkan kepalanya.

"Apa maksudmu?" Tanya Dewi Kinanti. Ia merasa bingung.

Arya Dewantara menundukkan kepalanya. Sayup matanya dan raut wajahnya yang menunjukkan kehilangan orang yang dicintainya begitu menusuk hati Dewi Kinanti. 

Pemuda itu menoleh perlahan-lahan ke arah Dewi Kinanti dengan memperlihatkan kedua mata yang berlinang air mata. Amarah dan rasa kesal yang begitu luar biasa seakan mencekik leher dari Arya Dewantara.

"Mereka datang untuk mencuri kitab Dhanwantari yang disembunyikan oleh ibuku. Ini adalah lembaran asli yang ditulis di kertas emas. Namun sayangnya, demi kitab Dhanwantari ini, ibuku rela mengorbankan dirinya dan tewas untuk melindungiku dan lembaran ini," jelas Arya Dewantara sambil meneteskan air mata. Ia teringat saat-saat kematian ibunya.

Kesalahan dirinya karena begitu lemah membuat dirinya merasa kematian ibunya adalah karena dirinya. Andai saja dirinya bisa membawa sang ibu pergi dan kabur dari para bandit, mungkin air mata yang menetes di pipinya tidak akan sebanyak itu.

"Aku tahu itu," jawab Dewi Kinanti.

Sebelum melarikan diri ke dalam hutan, Dewi Kinanti sempat melihat kedua orang tuanya yang dibunuh tepat di depan matanya. Ia hanya bisa menahan teriakannya dari kejauhan. Rasa kesal kian terus memuncak dan berubah perlahan menjadi sebuah dendam. 

Setelah mendengar cerita Arya Dewantara, ia langsung mendekap erat tubuh temannya. Tanpa diketahui oleh Arya Dewantara, kedua mata dari wanita itu mulai berlinang. Ia menahan tangis dan rasa sakit yang menusuk hatinya.

"Dewi Sekar Harum sudah pernah memberitahukanku tentang kitab Dhanwantari. Sayangnya aku hanya bisa mendengar kisah kitab itu sekali saja." Dewi Kinanti mengusap air matanya.

"Andai saja aku berada di dekat dirimu dan ibumu, mungkin kita bisa melarikan diri dari desa." Dewi Kinanti merasa dirinya tidak berguna dan seakan membiarkan gurunya tewas dan temannya terluka seperti itu. Berkali-kali ia mengusap air matanya dan mencoba menahan tangisnya agar tidak tumpah. Namun ketika mengingat kembali Dewi Sekar Harum, ia tidak bisa membendung tetesan air mata yang jatuh. 

"Maaf, mungkin aku yang seharusnya bisa lebih berguna. Aku seharusnya bisa menjagamu dan ibu," ujar Arya Dewantara.

Dewi Kinanti menjelaskan bila Dewi Sekar Harum sebenarnya menginginkan putranya untuk melanjutkan usaha dari keluarga besarnya. Ia ingin melihat Arya Dewantara menjadi seorang tabib hebat yang memiliki julukan sebagai sang dewa obat.

Sayangnya apa yang diinginkan Dewi Sekar Harum harus diurungkan. Ia tidak ingin melihat kebahagiaan putranya hancur karena ambisi dirinya. Mimpi Arya Dewantara untuk menjadi seorang pendekar hebat telah menghentikan niatnya untuk memaksakan anaknya menjadi seorang ahli pengobatan.

Mendengar hal itu, Arya Dewantara merasa sangat kecewa pada dirinya sendiri. Seandainya ia mendengarkan perkataan ibunya dan mengikuti tradisi keluarganya, mungkin saja ia bisa menyelamatkan ibunya dengan ilmu kanuragan dan obat-obatan yang ia pelajari. 

"Kenapa kau menangis? Apa karena diriku?" Tanya Arya Dewantara.

"Tidak, aku hanya mengingat sosok kedua orang tuaku ketika aku menceritakan ibumu," jawab Dewi Kinanti.

Setelah ia kembali dari mencari tanaman obat, Dewi Kinanti yang merasa khawatir akan kemunculan para penjahat bertopeng langsung menuju ke kediamannya. Ibunya sedang memohon sambil meneteskan air mata. Suaminya telah tewas di pelukannya. Dewi Kinanti hanya bisa menahan gejolak hatinya yang ingin sekali mendatangi ibunya. 

"Ibuku tewas dengan dipotong kepalanya tepat didepan mataku. Padahal ia sudah memohon dan meminta ampun. Namun mereka semua malah membunuhnya dengan keji." Dewi Kinanti menangis.

"Maaf, aku tidak tahu. Kau pasti sangat menderita karena hal itu." Arya Dewantara mencoba menenangkan temannya.

"Sebaiknya kita menjauh dari hutan ini. Aku takut para penjahat itu menyusuri hutan ini untuk menemukan jejak kita," ucap Dewi Kinanti menyeka air matanya. Ia segera membantu Arya Dewantara untuk bangkit dan berdiri. 

"Kau benar, kita harus bersembunyi. Sebaiknya kita menuju ke gua Rawitan yang berada di selatan. Untuk sementara waktu kita bisa menetap di sana," jawab Arya Dewantara sambil mengembuskan napasnya. Ia mencoba untuk berjalan tanpa bantuan dari Dewi Kinanti. 

Mereka berdua akhirnya pergi menyusuri hutan dan terus masuk lebih dalam lagi. 

"Apa ibumu bilang sesuatu tentang sobekan kertas dari kitab Dhanwantari itu?" Dewi Kinanti bertanya karena merasa penasaran. 

"Ia pernah berkata tentang kitab itu. Namun aku tidak memperdulikannya karena aku anggap sebagai kitab biasa yang tidak ada gunanya," ungkap Arya Dewantara. 

"Apa hanya itu?" Tanya Dewi Kinanti. 

Arya Dewantara baru mengingat tentang perintah ibunya yang meminta dirinya untuk menemui seseorang yang bernama Ki Semar Ismaya. Ia menjelaskan kepada dirinya bila Ki Semar Ismaya adalah seseorang yang berjasa atas ilmu pengobatan di dalam keluarganya. Ia adalah guru dari Dewi Sekar Harum dan para pendahulunya. 

"Aku akan pergi mencari keberadaan Ki Semar Ismaya. Namun aku tidak akan melakukannya hari ini juga. Apa yang terjadi di hari ini telah membuatku tidak bersemangat," ungkap Arya Dewantara. Ia menundukkan kepalanya seraya termenung atas tragedi pembantaian di desa Cikulon.

Awan mulai berkumpul tepat di atas Arya Dewantara dan Dewi Kinanti. Kilatan petir mulai menyambar dengan membawa hawa dingin melalui angin yang berembus begitu kencang dari biasanya. 

"Aku mengerti. Namun aku pernah mendengar dari ibumu bila ada seorang pemuda yang merupakan nelayan di pantai selatan yang bisa membantu kita. Katanya ia pernah bertemu sekali dengan Ki Semar Ismaya," ucap Dewi Kinanti. Ia menoleh ke atas dan melihat awan hitam kian menebal. 

"Kalau begitu kita akan ke sana. Namun sebelum itu, kita harus meneduh di dalam gua." Arya Dewantara masuk ke dalam gua Rawitan. Dewi Kinanti menyusulnya di belakang. 

Tidak lama berselang, hujan pun turun dan perlahan menjadi bertambah deras. Arya Dewantara segera masuk ke dalam gua dan menemukan bekas perapian dari para pemburu hewan. Ia segera mengumpulkan beberapa kayu bakar yang masih bisa digunakan dan segera membuat api. 

"Boleh kulihat lembaran dari kitab Dhanwantari itu?" tanya Dewi Kinanti.

"Kenapa? Kau tertarik untuk mempelajarinya?" Arya Dewantara bertanya balik.

"Tidak juga. Aku hanya penasaran dengan bentuk dan apa yang ditulis di dalam kitab Dhanwantari yang asli," ucap Dewi Kinanti.

Arya Dewantara segera mengeluarkan lembaran kertas dari sobekan kitab Dhanwantari. Ia memberikannya kepada Dewi Kinanti.

"Aku tidak tertarik.sama sekali dengan ilmu pengobatan. Jadi, bila kau memang menyukainya, kukira akan lebih baik bila kau saja yang mempelajarinya," ungkap Arya Dewantara.

Dewi Kinanti tidak berkata apa pun . Ia memilih untuk fokus pada lembaran kertas tersebut. Ia tidak menyangka bila sobekan dari kitab Dhanwantari ditulis dari huruf Sansekerta kuno yang tersusun rapi menjadi beberapa kalimat yang membentuk beberapa paragraf panjang. 

"Aku tidak bisa membaca tulisan di lembaran kertas ini. Kalimatnya ditulis oleh bahasa sansekerta kuno yang tidak aku pahami," jelas Dewi Kinanti.

"Coba berikan kepadaku." Arya Dewantara mengambil kertasnya. 

Ia mencoba menelisik arti dari kalimat-kalimat tersebut. Sayangnya, semakin ia mencoba untuk memahaminya, ia justru semakin bingung. 

"Aneh, ke–kenapa tulisannya tiba-tiba berubah?" Arya Dewantara merasa terkejut. 

Di kala ia telah menyerah untuk membaca arti dari tulisan tersebut, tiba-tiba tulisan di lembaran emas itu berubah menjadi bahasa yang dimengerti oleh mata Arya Dewantara. 

"Luar biasa! Lembaran ini ternyata berisikan ilmu untuk memanipulasi energi sebagai media bedah dan menutup luka!" Ungkap Arya Dewantara.

Arya Dewantara menambahkan bila teknik tersebut memiliki cara penggunaan yang begitu unik. Energi yang dimanipulasi akan menyelimuti pisau bedah untuk menambah ketajaman dari pisau tersebut. Teknik tersebut juga bisa dilakukan menggunakan tangan dengan cara melapisinya menggunakan energi tersebut. 

"Dengan teknik ini, kita mampu membedah jaringan yang lebih kecil dan kompleks seperti pembuluh darah. Dan bila digunakan di kedua tangan, teknik ini bisa menyalurkan energi ke dalam sel-sel yang mati dan membuatnya beregenerasi kembali. Secara perlahan-lahan, luka pun akan menutup dan kembali seperti sedia kala," jelas Arya Dewantara.

"Jadi begitu, aku mengerti sekarang." Dewi Kinanti tersenyum mendengar penjelasan dari temannya. 

Tanpa basa-basi, sembari menunggu hujan berhenti, Arya Dewantara yang telah mempelajari teknik-teknik dasar bela diri dan pemusatan tenaga dalam yang berguna untuk mengumpulkan energi segera mencobanya.

"Apa kau yakin ingin mempelajarinya?" Tanya Dewi Kinanti.

"Tentu saja. Aku harus melakukannya demi janji yang kubuat dengan ibuku! Beliau telah memberikan hidupnya, aku telah bersumpah atas namanya, aku akan membunuh para penjahat bertopeng barong itu!" Ungkap Arya Dewantara mengernyitkan dahinya seakan marah dan mengutuk perbuatan para bandit sialan itu.

Ia duduk bersila dan berusaha untuk memfokuskan pikirannya pada kedua telapak tangan. Arya Dewantara mencoba mengalirkan tenaga dalam miliknya ke kedua tapak tangannya secara perlahan-lahan.

Ia terlihat begitu fokus, hingga akhirnya berhasil membentuk selimut energi berwarna hijau muda keputihan di kedua telapak tangannya.

"Kau berhasil!" Dewi Kinanti merasa terkejut dan takjub.

"Teknik yang menyusahkan. Untung saja aku mengerti cara kerjanya," ucap Arya Dewantara.

Ia langsung berdiri dan meninju sebuah batu raksasa yang letaknya berada tidak jauh dari dirinya. 

BRAK!!!

Seketika batu tersebut terpotong oleh pukulan dari Arya Dewantara. Meski potongannya masih kasar, namun teknik yang dinamai oleh Arya Dewantara sebagai pisau energi akhirnya berhasil.

"Ada orang!" Ucap Dewi Kinanti yang mendengar ada suara dari arah luar gua. Padahal hujan masih sangat deras mengguyur area hutan. 

"Sepertinya mereka berhasil menemukan jejak kita," pikir Arya Dewantara. Ia bersembunyi di belakang batu besar bersama Dewi Kinanti. 

Ia mengintip ke arah mulut gua, mencoba mencari tahu siapa yang sedang mengikuti mereka. 

"Anak itu pasti tidak jauh dari sini! Cepat cari di sekitar sini! Aku akan coba menyusuri gua ini," ucap salah satu dari kelompok bertopeng. Ia  memberikan perintah ke yang lain untuk kembali mencari dan berpencar menyusuri hutan. 

Ia sendiri memilih untuk menyusuri gua Rawitan setelah menemukan perapian yang masih menyala. 

"Aku tahu kau ada di sini! Api ini masih baru, jangan membuang-buang tenagaku untuk mencarimu! Cepat keluar! Dasar bocah bajingan!" Umpat pria bertopeng itu berteriak dengan lantang. 

"Hei, k–kau!" Dewi Kinanti mencoba menarik Arya Dewantara yang ingin keluar dari persembunyian. Namun sayangnya ia gagal. 

"Kau benar, mau tidak mau aku memang harus melawanmu!" Ucap Arya Dewantara yang keluar dari persembunyiannya dan berdiri di hadapan pria bertopeng itu. 

"Nah, begitu. Aku jadi tidak perlu bersusah payah untuk membawamu ke depan para tetua!" Ujar pria bertopeng itu sambil mencabut golok berwarna hitam dari sarungnya. 

Arya Dewantara menggunakan dasar pelajarannya di perguruan Cikulon dan menggabungkannya dengan teknik pisau energi di kedua tangannya. 

MATILAH KAU!!!

"Arya, awas!!!" Dewi Kinanti berteriak.

SHAT!!!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status