"Kita harus melakukannya dengan cepat, sebentar lagi hujan akan turun," ucap Arya Dewantara.
Ia bersama para pria di perkampungan nelayan sedang memindahkan para warga yang mengalami sakit ke dalam pondok-pondok kayu. Awan hitam kian menyebar dan menghantarkan kilat yang begitu keras terdengar. Tiupan angin dari arah laut beserta gelombang air laut pun kian kencang dan tinggi. Beberapa kapal warga nelayan pun terlihat terombang-ambing dan hampir terlepas dari ikatan tali ke dermaga kecil. "Apa sudah semuanya?" Tanya Aji Saka."Sudah tidak ada lagi. Sekarang kita harus jemput Dewi Kinanti." Arya Dewantara segera bergegas menuju ke tempat temannya. Aji Saka mengikuti pemuda itu dari belakang. Ada rasa bersalah karena menilai Arya Dewantara sebagai orang asing yang akan membawa masalah di desanya. Namun setelah mengetahui bs Arya Dewantara adalah putra dari seorang kenalannya yang merupakan ahli dalam pengobatan, ia mulai melunak dan mempercayainya. "Terima kasih sudah membantu kami. Aku sangat bersyukur dengan adanya kau dan Dewi Kinanti," ungkap Aji Saka."Simpan itu setelah kita berhasil mengobati semua warga desa. Butuh waktu yang lama untuk bisa mengetahui kinerja dari obatnya. Jangan terlalu terburu-buru berterima kasih," balas Arya Dewantara.Akhirnya mereka berdua sampai di tempat Dewi Kinanti. Terlihat wanita itu sedang menyeduh air panas ke dalam batang bambu yang sudah dimodifikasi sebagai tempat minuman. Di dalamnya terdapat racikan jahe dan kayu manis yang akan diseduh sebagai obat pereda demam.Dengan menggunakan jahe dan kayu manis, Dewi Kinanti berharap bisa menghentikan peradangan dan menciptakan antioksidan dan anti bakteri di dalam tubuh. Minuman itu akan dibagikan langsung ke semua penduduk desa yang sakit. Lalu untuk obat racikan penurun demam kedua, daun Sambiloto yang bisa ditemukan di hutan akan menjadi pencegah utama untuk penyakit aneh tersebut."Apa ini?" Tanya Aji Saka. Ia melihat air rebusan berwarna hijau di dalam bambu yang sedang dibakar. "Itu adalah rebusan air dari daun Sambiloto. Daun itu sama seperti rebusan jahe dan kayu manis. Karena penduduk yang sakit banyak, aku membuat dua racikan. Ditambah lagi, aku ingin tahu mana yang paling efektif untuk mengobati penyakit itu," jelas Dewi Kinanti.Arya Dewantara segera menutup rebusan air jahe dan kayu manis yang sudah ditambahkan sedikit madu. Ia segera mengikat bambu tersebut dan membawanya di punggung. Ada empat bambu berisi racikan air jahe dan kayu manis. Sedangkan Aji Saka membawa empat batang bambu berisi racikan daun Sambiloto yang telah dicampur dengan sedikit madu di punggungnya. Mereka bertiga segera kembali menuju desa. Terasa rintik hujan telah membasahi kepala ketiganya. Meski masih jarang, namun mereka segera bergegas karena tidak mau mengambil resiko terlalu besar. "Kuharap racikan ini bisa mengobati mereka semua," ucap Arya Dewantara."Aku juga berharap begitu. Namun kita harus menunggu setidaknya dua sampai tiga hari untuk melihat kondisi mereka," ungkap Dewi Kinanti."Aku akan ajarkan beberapa pemuda untuk meracik obat-obat ini. Akan sangat berbahaya juga bila kalian berdua tetap berada di desa. Aku takut para penjahat bertopeng akan kembali ke sini untuk mengejar kalian." Aji Saka menoleh ke kedua teman barunya. "Artinya, kau akan menuntun kami menuju ke tempat Ki Semar Ismaya?" Arya Dewantara tersenyum mendengarkan arah pembicaraan Aji Saka."Ya, aku akan memandu kalian untuk menuju ke sana," ucap Aji Saka."Tunggu sebentar, kau tahu Ki Semar Ismaya? Ba–bagaimana bisa?" Dewi Kinanti merasa bingung. Ia bahkan menghentikan langkahnya. "Aku akan beritahu nanti. Sekarang, kita fokus untuk menyembuhkan para warga desa dulu," ucap Aji Saka.Mereka akhirnya segera pergi ke pondok-pondok kayu dan memberikan minuman racikan tersebut. Setiap orang mendapatkan dua gelas untuk di minum dua kali. Dewi Kinanti juga memberi penyuluhan untuk tidak takut akan wabah penyakit yang melanda perkampungan nelayan. Setelah semua minuman racikan tersebut habis, Aji Saka memberi penyuluhan kepada para pria untuk mencari kembali tanaman jahe, kayu manis atau pun daun Sambiloto dan beberapa pengganti lainnya untuk berjaga-jaga. Ia memberitahu cara untuk meracik semua itu. "Sepertinya tidak jadi hujan. Namun anginnya bertiup sangat kencang," ungkap Dewi Kinanti. Ia duduk di tangga depan sebuah pondok kayu kosong yang diperuntukkan untuk tamu. "Rintik hujannya berhenti, tapi sepertinya badai belum akan reda. Aku takut hujan besar akan terjadi malam nanti," pikir Arya Dewantara."Semoga saja tidak. Bagaimana keadaannya Jaka?" Dewi Kinanti menoleh ke dalam pondok. Ia melihat Jaka sedang beristirahat dan ditemani oleh saudara kandungnya, Cakra, yang tertidur di samping Jaka. "Demamnya sudah mulai turun. Racikan tersebut lumayan berhasil dalam waktu beberapa jam. Tapi sayangnya kita tidak bisa lama berada di sini. Aku merasa para penjahat itu akan mengejar kita sampai ke sini," pikir Arya Dewantara."Aku juga berpikir begitu. Apa sebaiknya kita pergi malam ini juga? Kita harus berjaga-jaga dan sekaligus mengalihkan jejak kita dari desa ini," pikir Dewi Kinanti."Aku setuju. Aku akan beritahu Aji Saka. Lebih baik kau segera berkemas." Arya Dewantara menghampiri Aji Saka di kerumunan para pria desa. Ia berbisik di telinga pemuda itu. Aji Saka langsung mengikuti Arya Dewantara kembali menuju ke pondok dan menemui Dewi Kinanti."Aji Saka, kita akan pergi malam ini. Apa kau bisa menuntun kami ke tempat Ki Semar Ismaya? Kau bisa ceritakan tentang beliau di sepanjang perjalanan nanti. Aku merasa bila para penjahat itu akan menemukan kami berdua di sini. Jadi, kami memilih untuk pergi," ungkap Dewi Kinanti."Baiklah, aku mengerti. Tunggu aku di jalan masuk desa. Kita akan menyusuri pantai selatan dan memasuki hutan selatan menuju ke arah barat. Aku akan berpamitan dulu dengan semua warga desa." Aji Saka segera bergegas pergi. Mendengar hal itu, Arya Dewantara segera meminta Dewi Kinanti untuk bergegas menuju ke jalan masuk desa bersama dirinya. Mereka berpamitan seadanya dengan Jaka dan Cakra tanpa membangunkan mereka berdua. "Aku harap kau bisa sembuh," bisik Dewi Kinanti."Dewi, ayo." Arya Dewantara telah berada di pintu pondok. Mereka berdua akhirnya meninggalkan media anak kecil itu berduaan saja di pondok kosong. Segeraungkin mereka berdua bergegas menuju ke tempat yang diberitahukan Aji Saka.Namun ketika sampai di sana, Arya Dewantara langsung menarik pundak Dewi Kinanti untuk bersembunyi di balik sebuah pondok kayu. Ia melihat ada sekitar dua puluh orang menggunakan kuda dan bertopeng sedang mengintrogasi kepala desa dan beberapa pria lainnya. "Sssuut!"Arya Dewantara mendengar ada yang bersiul. Ia langsung menoleh ke arah asal suara itu. "Aji Saka?" Arya Dewantara hampir jantungan. Ia mengira bila itu orang lain."Apa yang terjadi? Apa mereka penjahat bertopeng yang menyerang desa Cikulon?" Dewi Kinanti mencoba mencari informasi."Benar sekali. Sepertinya mereka berhasil melacak jejak kalian sampai ke sini. Dan untungnya aku sudah membicarakan tentang menyembunyikan jati diri kalian ke kepala desa. Ia akan membantu kita untuk kabur dari desa. Ayo!" Aji Saka memberi jalan keluar dengan cara mengikutinya. Namun ketika ingin berpaling dan mengikuti Aji Saka, Arya Dewantara terkejut ketika Joko Ireng terlihat turun dari kuda dan memenggal kepala sang kepala desa. SHAT!!!"Kurang ajar!" Arya Dewantara merasa gusar."Arya! Hentikan!" Dewi Kinanti coba menahan temannya. "Kalian berdua, cepat kemari! Kita harus segera pergi." Aji Saka berbisik dari kejauhan. Ia telah berada di ujung dermaga. Dengan berat hati Arya Dewantara memilih untuk menghampiri Aji Saka menuju ke dermaga. Ia dan Dewi Kinanti mengikuti Aji Saka untuk menaiki kapal layar yang lumayan besar. Untungnya, ombak laut telah kembali bersahabat. Meski pun angin masih bertiup cukup kencang, namun mereka bertiga tetap berlayar untuk menghindari kejaran para penjahat itu. "Apa tidak apa-apa membiarkan para penjahat bertopeng seenaknya membunuh para warga desa?" Arya Dewantara merasa kesal saat mengintip dari balik dek kapal. "Itu adalah keputusan mereka sendiri. Mereka melakukannya untuk berterima kasih kepada kalian berdua. Dua sampai lima nyawa belum ada apa-apanya dengan seratus orang yang baru kalian selamatkan. Anggap saja itu sebuah pertukaran yang adil," ungkap Aji Saka. Ia memegang kemudi.Arya Dewantara yang bertugas untuk mengatur layar merasa berat untuk berpaling dan membiarkan warga desa harus mengorbankan diri mereka untuk menutupi pelarian dirinya. "Dewi Kinanti sebaiknya kau tidur dahulu. Perjalanan kita masih sangat jauh.," Ucap Aji Saka."Ke mana kita akan pergi?" Tanya Dewi Kinanti."Bukit Kulon yang berada di ujung daratan Yawadwipa. Di sanalah tempat kediaman dari Ki Semar Ismaya," jawab Aji Saka."Hah?! Bukankah itu tempat untuk buang sial?!" Arya Dewantara terkejut dengan lokasi yang diberitahukan oleh Aji Saka."Yah, kurang lebih begitu," tambah Aji Saka."Apa kita akan menepi di pantai ini? Tanya Arya Dewantara."Dari sini bukit Kulon lebih dekat untuk dicapai. Kita butuh berjalan lagi untuk menuju ke sana," ucap Aji Saka. Ia menurunkan jangkar kapal layarnya. "Aku merasa hutan itu sangat berbeda dari hutan kebanyakannya. Entahlah, aku merasa ada yang aneh di dalam hutan itu," pikir Dewi Kinanti sambil menunjuk ke arah hutan lebat.Aji Saja menurunkan satu perahu kayu kecil untuk menyeberangi laut menuju pantai. Karena tidak adanya dermaga, jadi kapal layar tersebut harus berlabuh di tengah laut. "Tenanglah Dewi Kinanti. Itu hanya hutan purba yang konon ada siluman, Buto dan beberapa manusia liar pemakan manusia." Aji Saka mencoba menakuti wanita itu. Arya Dewantara dan Aji Saka mendayung perahu tersebut hingga akhirnya bisa menepi di tepi pantai. Dewi Kinanti merasa ada yang tidak beres dengan hutan di depan dirinya. "Kita butuh semalaman untuk berlayar sampai ke sini, bukankah lebih baik untuk mengisi perut dulu sebelum menyusur
"Sial!" Arya Dewantara langsung mencabut pedang dari sarungnya. Ia mendapatkan pedang itu dari pemberian salah satu warga desa yang bekerja sebagai penempa senjata. Meski begitu, Arya Dewantara tidak tahu apakah ia bisa membunuh para siluman itu atau tidak."Dewi Kinanti, sembunyilah di belakang kami!" Ucap Aji Saka.Ketika para siluman itu ingin menyerang, sosok tudung putih yang berada di mimpi Arya Dewantara sebelumnya muncul entah dari mana. Ia lompat ke hadapan para siluman tersebut dan menghentakkan tongkat. DUUUM!!!Seketika semua siluman tersebut berusaha menghindar dan berangsur menghilang karena pancaran dari cahaya putih terang yang berpendar. Arya Dewantara, Dewi Kinanti dan Aji Saka merasa terkejut dan sekaligus bingung. Mereka merasa penasaran dengan sosok bertudung putih yang tidak mau menunjukkan jati dirinya itu. "Tu–tunggu dulu! Kenapa kau ada di sini? Kenapa kau m
Tujuh hari berlalu setelah Arya Dewantara baru pertama kali datang ke bukit Kulon. Begitu banyak pelajaran yang telah diberikan oleh Ki Semar Ismaya ke dirinya dan dua orang temannya. Arya Dewantara memilih untuk fokus mengembangkan ilmu pengobatan melalui energi. Ia juga belajar cara membedah beberapa binatang untuk mengasah dirinya. "Aku sudah membedah lebih dari dua puluh katak! Apa tidak ada hewan lain yang bisa aku bedah lagi?!" Arya Dewantara merasa bosan harus terus-menerus membedah binatang berisik seperti katak."Jangan mengeluh! Lakukan saja! Bila kau sudah handal dan mengingat beberapa titik vital dan tata letak organ dalam serta pembuluh darahnya, maka aku akan menghentikan latihanmu," teriak Ki Semar Ismaya yang sangat kesal dengan keluhan Arya Dewantara.Ki Semar Ismaya sedang berada di tempat Dewi Kinanti. Ia mengajarkan teknik meracik obat dan bahan-bahan dari alam. Dewi Kinanti belajar dengan giat cara membuat penawar racun
"Cepat kita tolong mereka!" Dewi Kinanti langsung bergegas menghampiri para warga desa.Aji Saka pun ikut di belakangnya. Namun Arya Dewantara merasa sedikit malas untuk melakukannya. Maklum saja, begitu cepat ia berpindah tempat dan terasa membosankan mengurus orang yang sakit lagi setelah ia berkutat dengan penyakit aneh di desa selatan. "Apa yang terjadi di sini? Kami adalah utusan Ki Semar Ismaya," tanya Dewi Kinanti."Mereka baru saja memakan makanan yang diberikan oleh seorang pengelana. Namun beberapa saat setelah pengelana asing itu pergi, beberapa warga yang memakan kue basah malah mengalami kram, pusing, mual dan tiba-tiba jatuh ke tanah," ungkap kepala desa.Dewi Kinanti segera memeriksa salah satu warga yang tergeletak di tanah. Warga tersebut dekat dengan ketiga pemuda itu. Dewi Kinanti langsung memeriksa bagian pupil mata, denyut nadi dan bagian rongga mulutnya. "Racunnya sepertinya berbeda dengan orang yang kita temukan di hutan," ucap Dewi Kinanti."Benar sekali. Rac
"Kurang ajar! Ternyata ini semua ulah kalian?!" Kepala desa membentak para bandit bertopeng barong. Ia tidak merasa takut sama sekali saat menunjuk wajah Joko Ireng dengan telunjuk kanannya. Sayangnya, hal itu tidak berlangsung lama. Saat Joko Ireng memberi tanda kepada salah satu anak buahnya, satu anak panah melesak dan menusuk dahi kepala desa.JLEB!!!AAAARGH!!!Para warga yang lain berteriak saat tubuh kepala desa jatuh ke tanah. Arya Dewantara langsung menggapai tubuh pria tua itu dengan tatapan kesal. "Apa yang kalian mau!" Dewi Kinanti berdiri melindungi para warga lainnya. "Beberapa hari berlalu, sekarang kau jadi berani sekali. Apa kau punya ilmu kebal atau sejenisnya?" Joko Ireng menyindir."Mungkin saja. Kau mau mencobanya?" Dewi Kinanti malah menyulut reaksi si pemimpin bandit. "Menarik sekali! Bunuh wanita itu," ucap Joko Ireng. Salah satu
"Lepaskan wanita itu, atau kepala kalian akan menggelinding." Arya Dewantara mengancam mereka semua. "Bunuh pemuda sombong itu," ucap Joko Ireng. Beberapa bandit langsung berlarian menyerang Arya Dewantara. Mereka mengayunkan pedang dan golok mereka secara bergantian. Satu per satu menyerang Arya Dewantara tanpa rasa takut dan jeda. JLEB! JLEB!Dua tebasan membuat dua kepala menggelinding jatuh ke bawah. Arya Dewantara memang pendekar pemula yang bahkan belum lulus dari padepokan milik saudara jauhnya, namun soal keahlian berpedang, ia sangat jago memainkannya. "Majulah," ucap Arya Dewantara.Pedang pisau perak yang diselubungi oleh teknik pisau energi menari dengan indah di genggaman tangan Arya Dewantara. Begitu tajamnya pedang itu, sampai dalam sekali tebasan bisa memutilasi bagian tubuh para bandit tersebut. Bahkan Arya Dewantara bisa mencincang satu tubuh bandit menjadi delapan potong seperti memotong ayam. "Cepat bawa Aji Saka pergi. Obati lukanya dan sembunyilah. Biar aku
"Apa lukamu sudah sembuh sepenuhnya?" Tanya Arya Dewantara."Belum, masih ada rasa nyeri setiap kali aku menggerakkan pinggang atau perutku." Aji Saka masih merasakan dampak dari tusukan pisau Joko Ireng lusa kemarin. Sudah dua hari berlalu ketika penyerangan Joko Ireng ke desa nelayan di pantai Utara. Ki Semar Ismaya telah mendapat kabar bila beberapa warga yang sakit satu per satu telah kembali sehat. Lalu pemakaman kepala desa dilakukan cepat dan ditunjuk kepala desa yang baru. Ki Semar Ismaya memberikan perlindungan kepada desa nelayan dengan memasang empat tiang energi yang digunakan untuk menghalau ada orang asing selain warga desa yang masuk."Kenapa kita harus ke pelabuhan Sundakalpa? Memangnya kita mau ke mana?" Tanya Arya Dewantara. Ia menoleh ke arah gurunya. "Ada kabar burung yang mengatakan tentang keberadaan kitab Dhanwantari di Swarnadwipa bagian Utara. Kita akan mengeceknya ke sana. Namun untuk menuju ke sana, kita perlu ikut dengan kapal pedagang di pelabuhan Sunda
"Dasar sampah, rupanya kalian semua ingin mati!" Perampok itu menyerang Arya Dewantara dan Aji Saka. Semua perampok bergantian menyerang kedua pemuda itu. Namun sayangnya, permainan pisau milik Aji Saka lebih lihai dan mampu menyayat beberapa bagian tubuh dari perampok. Lima orang mengalami luka sayatan dan tidak bisa bangun untuk sementara waktu. "Arya, kuserahkan sisanya padamu!" Aji Saka menghadapi satu orang lagi.Arya Dewantara langsung menggunakan tapak dewa miliknya, namun ia menurunkan energinya agar para perampok tidak mati saat terkena serangan itu.BUAK!!!Pukulan keras mengenai dada masing-masing perampok tersebut. Keempat perampok terhempas ke belakang dan kesulitan untuk bangun kembali. Serangan tapak dewa berhasil membuat pembuluh darah mereka menjadi tidak teratur atau mengalami malfungsi. "Selesai juga akhirnya," ucap Arya Dewantara.Aji Saka mendatangi ia yang memiliki topeng Barong. Pemuda itu mencekik lehernya dan menyuruh perampok itu duduk bersandar di dinding