"Sungguh melelahkan. Berapa lama lagi kita harus berjalan?" Tanya Arya Dewantara.
"Sampai kita bisa menemukan laut. Jujur saja, aku sendiri tidak tahu letak lokasi perkampungannya." Dewi Kinanti duduk dibawah pohon untuk beristirahat. "Aku lapar…." Arya Dewantara terus memegangi perutnya. Pengobatan dari Dewi Sari Kencana telah membuahkan hasil yang sangat bagus. Arya Dewantara perlahan telah pulih dan bahkan bisa berjalan dari gua Rawitan ke wilayah selatan selama kurang lebih lima jam. Namun pemuda itu masih terlihat sempoyongan karena akhirnya ia telah sampai pada batasnya."Aku akan mencari beberapa buah. Tunggu di sini," ucap Dewi Kinanti. Ia segera bangkit dan berdiri. "Tunggu! Apa kau tidak dengar sesuatu?" Arya Dewantara menghentikan langkah temannya. "Dengar apa?" Tanya Dewi Kinanti."Ada yang menangis, tapi suaranya lirih. Sepertinya asal suara itu tidak jauh dari sini." Arya Dewantara memfokuskan pendengarannya.Dewi Kinanti mencoba untuk diam dan memperhatikan suara yang didengarkan oleh Arya Dewantara. Tidak terlalu jelas. Suara itu seperti mendengung dan tiba-tiba hilang lalu perlahan muncul kembali. Dewi Kinanti segera mencari asal suara itu. Ia menyusuri semak-semak dan tetap mendengarkan dengan baik. "Itu bukan suara penghuni hutan ini, bukan? Atau itu suara siluman?" Arya Dewantara merasa cemas. Ia berjalan di belakang wanita yang sok berani itu. "Aku lebih khawatir bila suara itu adalah suara seekor macan betina yang sedang menangis. Di saat kita menghampirinya, mungkin ia siap menerkam kita dengan kedua tangannya." Dewi Kinanti menghentikan langkahnya tepat di depan semak-semak yang berdaun lebat."Ada apa?" Tanya Arya Dewantara.Wanita itu mengayunkan tangannya dan membuka kumpulan daun-daun lebat tersebut seperti membuka sebuah tirai. Kedua matanya terkejut ketika melihat ada dua orang anak kecil kira-kira berusia 7 dan 8 tahun yang sedang tiduran dan duduk menangis di bawah pohon rindang. "Itu anak kecil!" Ucap Dewi Kinanti."Mana?" Arya Dewantara masih belum melihat.Dewi Kinanti segera menghampiri kedua anak itu. Ia melintasi semak-semak tersebut dan sampai di tempat kedua anak itu. "De–Dewi!" Arya Dewantara tidak sempat menghentikan langkah dari temannya. Alhasil, ia akhirnya mengikuti wanita itu dan menemui kedua anak tersebut. "Kenapa kalian di sini?" Tanya Dewi Kinanti. Ia mencoba mendekati salah satu anak laki-laki yang sedang duduk mendekap satu anak lagi yang terlihat sedang sakit. "Tolong kami… adikku sakit. Semua orang di kampung dikutuk," ucap anak yang menangis itu. "Sakit? Tu–tunggu sebentar, apa maksudmu dikutuk?" Dewi Kinanti merasa bingung. "Apa yang sebenarnya terjadi? Adikmu sakit apa? Siapa namamu?" Arya Dewantara langsung menghampiri anak itu dan duduk di sampingnya. "Aku, Cakra. Ini adikku, Jaka. Kami berasal dari perkampungan nelayan Cimandala. Lokasinya tidak jauh dari sini. Aku tidak tahu apakah itu kutukan atau hanya wabah penyakit biasa. Tapi seluruh warga desa sedang merasakan apa yang adikku rasakan," jelas Cakra. Dewi Kinanti meminta izin kepada Cakra untuk memeriksa keadaan Jaka. Ia mengecek suhu tubuh dari Jaka dan reaksi tubuhnya. "Tubuhnya demam tinggi. Ia juga menggigil dan berkeringat. Ini gawat, aku belum pernah menemukan kasus seperti ini," ucap Dewi Kinanti. "Sebentar, coba aku cek nadinya." Arya Dewantara mengambil alih. Ia memeriksa denyut nadi dari Jaka. "Bagaimana?" Tanya Dewi Kinanti."Tidak seperti biasanya. Denyutnya lebih cepat dari keadaan normal. Kita harus melakukan sesuatu." Arya Dewantara mulai khawatir dengan keadaan Jaka. Disaat seperti ini, Dewi Kinanti yang mempelajari cara meracik obat terlihat begitu kebingungan. Apa yang ia pelajari belum sepenuhnya ia kuasai. Ia merasa begitu bodoh dan tidak berguna. Pandangannya kosong dan ia hanya bengong menatap Jaka. "Dewi?""Dewi!" Teriak Arya Dewantara."Hah?" Dewi Kinanti tersentak dengan teriakannya Arya."Jangan melamun. Fokuslah! Coba pikirkan cara untuk menyelamatkan anak ini," ucap Arya Dewantara."A–Aku bingung. Ini bukanlah demam biasa. Aku bahkan tidak bisa memprediksikan ia sakit apa," jawab Dewi Kinanti. Ia menjadi gugup dan merasa takut. Arya Dewantara langsung meminta kepada Dewi Kinanti untuk membuatkan obat penurun demam. Ia segera mengambil alih dan meminta Cakra untuk membawakan air bersih. "Cakra, tolong carikan air bersih untuk Jaka. Cepat lakukan dan cepat kembali ke sini," pinta Arya Dewantara."Um! Baiklah." Cakra segera bergegas pergi. Ia menuju ke sungai terdekat. Arya Dewantara segera menggunakan pisau energi miliknya dan memotong sebuah pohon yang mengandung banyak air. Ia menyobek kain bajunya dan membasahi kain tersebut dengan air. "Dewi, cepat racik obat penurun demam. Dan tolong carikan buah atau sesuatu yang bisa di makan." Arya Dewantara menoleh ke arah temannya yang masih melamun karena panik."Dewi? Kau mendengarkan?" Tanya Arya Dewantara."Hah? Oh, baiklah. Aku akan meraciknya." Dewi Kinanti segera berdiri dan mulai mencari beberapa tanaman obat yang ia perlukan. Namun sebelum pergi terlalu jauh, ia menoleh ke belakang."Arya… terima kasih. Kau sangat luar biasa. Kau tidak merasa panik dan bergerak sangat cepat untuk memberikan pertolongan pertama. Andai saja kau tidak ada, mungkin aku akan sangat panik dan ragu bisa menolong anak itu," ungkap Dewi Kinanti."Jangan pikirkan sesuatu hal yang bodoh. Cepat pergi dan kembali ke sini. Aku tidak peduli dengan semua hal itu. Jadi, kau juga tidak perlu memikirkannya. Mengerti?" Ungkap Arya Dewantara.Dewi Kinanti hanya mengangguk. Ia segera melintasi semak-semak dan mencari tanaman obat itu. Arya Dewantara segera meletakkan kain basah itu di dahi Jaka. Ia berharap kain basah tersebut bisa meredakan demamnya sedikit. Namun saat melihat tangan dan kaki Jaka yang menggigil, Arya Dewantara merasa panik dan cemas. Ia takut bila dirinya akan gagal menolong Jaka. "Ibu, seandainya kau ada di sini. Kau pasti bisa menolong anak ini." Sekilas Arya Dewantara mengingat sosok Dewi Sekar Harum.Setelah sekitar beberapa menit berlalu, Cakra datang membawa air bersih dari sungai terdekat. Ia menempatkannya di sebuah batok kelapa. "Ini airnya. Maaf agak lama," ucap Cakra. "Bagus. Kau pintar sekali. Istirahatlah dahulu." Arya Dewantara segera menyuruh Jaka untuk duduk. Ia butuh minum air agar tidak terserang dehidrasi. Cara ini juga dilakukan untuk menurunkan demam dari dalam. Di lain tempat, Dewi Kinanti yang sedang mencari buah atau hewan yang bisa diburu malah bertemu dengan seseorang. "Si–siapa kau?" Dewi Kinanti terkejut. "Kau yang siapa?" Orang asing itu malah balik bertanya."Aku sedang memburu kelinci itu!" Dewi Kinanti langsung melirik ke arah kelinci liar di dekat kaki orang asing itu. "Maaf, tapi kelinci ini sudah menjadi targetku sejak dari tadi," ucap orang asing itu. "Ti–tidak bisa! Aku yang pertama melihatnya!" Dewi Kinanti menjawab lagi. Ia begitu takut karena orang asing itu membawa busur dan anak panah. Dan di saat mereka berdua sedang berseteru, dari arah belakang Dewi Kinanti ada seseorang yang mengenakan topeng Barong. Ia menarik tali busur dan menargetkan Dewi Kinanti. "Awas!" Orang asing itu langsung menarik tangan wanita itu. Dan menghindari anak panah yang dilepaskan dari pria bertopeng. WUSH!!!Orang asing itu langsung menarik tali busurnya dan melepaskan satu anak panah tepat ke arah dada pria bertopeng itu. "Astaga!" Dewi Kinanti terkejut saat melihat pria bertopeng. "Kau kenal pria itu?" Tanya orang asing."Ia adalah kelompok penjahat yang sudah membantai desa kami. Ke–kenapa ia berada di sini?" Dewi Kinanti merasa bingung."Itu namanya pelacakan jejak. Sepertinya mereka sedang melacakmu," jawab orang asing itu. "Apa katamu? Melacak? Oh, tidak! Arya!" Dewi Kinanti langsung teringat dengan Arya Dewantara dan kedua anak itu. "Arya?" Orang asing itu terlihat bingung."Kau, cepat ikut aku!" Dewi Kinanti menarik tangan pria asing itu."Hei, tu–tunggu dulu?!" Pria asing itu kebingungan. Tubuhnya langsung ditarik paksa untuk mengikuti ke mana Dewi Kinanti pergi."Arya, kau tidak apa-apa?!" Ketika Dewi Kinanti tiba, ada banyak orang mengenakan topeng Barong yang mengerubungi temannya."Oh, jadi ini yang kau maksud dengan temanmu?" Joko Ireng, pemimpin komplotan itu segera mengkonfirmasi ke Arya Dewantara. Joko Ireng adalah salah satu anggota dari 13 Pendekar Topeng Barong yang mengincar kitab Dhanwantari milik Arya Dewantara. Ia memimpin ekspedisi pencarian kitab Dhanwantari dan ia juga yang memerintahkan anak buahnya untuk membantai seluruh warga desa Cikulon. "Hei, jangan bergerak. Kita jelas kalah jumlah, lebih baik mundur." Orang asing itu membidik kepala Joko Ireng dengan busurnya. Ia meminta kepada Dewi Kinanti untuk tidak bertindak gegabah. "Apa maumu!" Tanya Dewi Kinanti."Sederhana dan sangat mudah. Kitab Dhanwantari, itu saja," jawab Joko Ireng."Sudah kubilang, kau tidak akan menemukan kitab itu padaku!" Arya Dewantara merasa gusar. Kedua tangannya diikat.Jaka yang sedang sakit pun juga ikut diikat. Namun untungnya, Cakra berhasi
"Kita harus melakukannya dengan cepat, sebentar lagi hujan akan turun," ucap Arya Dewantara. Ia bersama para pria di perkampungan nelayan sedang memindahkan para warga yang mengalami sakit ke dalam pondok-pondok kayu. Awan hitam kian menyebar dan menghantarkan kilat yang begitu keras terdengar. Tiupan angin dari arah laut beserta gelombang air laut pun kian kencang dan tinggi. Beberapa kapal warga nelayan pun terlihat terombang-ambing dan hampir terlepas dari ikatan tali ke dermaga kecil. "Apa sudah semuanya?" Tanya Aji Saka."Sudah tidak ada lagi. Sekarang kita harus jemput Dewi Kinanti." Arya Dewantara segera bergegas menuju ke tempat temannya. Aji Saka mengikuti pemuda itu dari belakang. Ada rasa bersalah karena menilai Arya Dewantara sebagai orang asing yang akan membawa masalah di desanya. Namun setelah mengetahui bs Arya Dewantara adalah putra dari seorang kenalannya yang merupakan ahli dalam pengobatan, ia mulai melunak dan mempercayainya. "Terima kasih sudah membantu kami
"Apa kita akan menepi di pantai ini? Tanya Arya Dewantara."Dari sini bukit Kulon lebih dekat untuk dicapai. Kita butuh berjalan lagi untuk menuju ke sana," ucap Aji Saka. Ia menurunkan jangkar kapal layarnya. "Aku merasa hutan itu sangat berbeda dari hutan kebanyakannya. Entahlah, aku merasa ada yang aneh di dalam hutan itu," pikir Dewi Kinanti sambil menunjuk ke arah hutan lebat.Aji Saja menurunkan satu perahu kayu kecil untuk menyeberangi laut menuju pantai. Karena tidak adanya dermaga, jadi kapal layar tersebut harus berlabuh di tengah laut. "Tenanglah Dewi Kinanti. Itu hanya hutan purba yang konon ada siluman, Buto dan beberapa manusia liar pemakan manusia." Aji Saka mencoba menakuti wanita itu. Arya Dewantara dan Aji Saka mendayung perahu tersebut hingga akhirnya bisa menepi di tepi pantai. Dewi Kinanti merasa ada yang tidak beres dengan hutan di depan dirinya. "Kita butuh semalaman untuk berlayar sampai ke sini, bukankah lebih baik untuk mengisi perut dulu sebelum menyusur
"Sial!" Arya Dewantara langsung mencabut pedang dari sarungnya. Ia mendapatkan pedang itu dari pemberian salah satu warga desa yang bekerja sebagai penempa senjata. Meski begitu, Arya Dewantara tidak tahu apakah ia bisa membunuh para siluman itu atau tidak."Dewi Kinanti, sembunyilah di belakang kami!" Ucap Aji Saka.Ketika para siluman itu ingin menyerang, sosok tudung putih yang berada di mimpi Arya Dewantara sebelumnya muncul entah dari mana. Ia lompat ke hadapan para siluman tersebut dan menghentakkan tongkat. DUUUM!!!Seketika semua siluman tersebut berusaha menghindar dan berangsur menghilang karena pancaran dari cahaya putih terang yang berpendar. Arya Dewantara, Dewi Kinanti dan Aji Saka merasa terkejut dan sekaligus bingung. Mereka merasa penasaran dengan sosok bertudung putih yang tidak mau menunjukkan jati dirinya itu. "Tu–tunggu dulu! Kenapa kau ada di sini? Kenapa kau m
Tujuh hari berlalu setelah Arya Dewantara baru pertama kali datang ke bukit Kulon. Begitu banyak pelajaran yang telah diberikan oleh Ki Semar Ismaya ke dirinya dan dua orang temannya. Arya Dewantara memilih untuk fokus mengembangkan ilmu pengobatan melalui energi. Ia juga belajar cara membedah beberapa binatang untuk mengasah dirinya. "Aku sudah membedah lebih dari dua puluh katak! Apa tidak ada hewan lain yang bisa aku bedah lagi?!" Arya Dewantara merasa bosan harus terus-menerus membedah binatang berisik seperti katak."Jangan mengeluh! Lakukan saja! Bila kau sudah handal dan mengingat beberapa titik vital dan tata letak organ dalam serta pembuluh darahnya, maka aku akan menghentikan latihanmu," teriak Ki Semar Ismaya yang sangat kesal dengan keluhan Arya Dewantara.Ki Semar Ismaya sedang berada di tempat Dewi Kinanti. Ia mengajarkan teknik meracik obat dan bahan-bahan dari alam. Dewi Kinanti belajar dengan giat cara membuat penawar racun
"Cepat kita tolong mereka!" Dewi Kinanti langsung bergegas menghampiri para warga desa.Aji Saka pun ikut di belakangnya. Namun Arya Dewantara merasa sedikit malas untuk melakukannya. Maklum saja, begitu cepat ia berpindah tempat dan terasa membosankan mengurus orang yang sakit lagi setelah ia berkutat dengan penyakit aneh di desa selatan. "Apa yang terjadi di sini? Kami adalah utusan Ki Semar Ismaya," tanya Dewi Kinanti."Mereka baru saja memakan makanan yang diberikan oleh seorang pengelana. Namun beberapa saat setelah pengelana asing itu pergi, beberapa warga yang memakan kue basah malah mengalami kram, pusing, mual dan tiba-tiba jatuh ke tanah," ungkap kepala desa.Dewi Kinanti segera memeriksa salah satu warga yang tergeletak di tanah. Warga tersebut dekat dengan ketiga pemuda itu. Dewi Kinanti langsung memeriksa bagian pupil mata, denyut nadi dan bagian rongga mulutnya. "Racunnya sepertinya berbeda dengan orang yang kita temukan di hutan," ucap Dewi Kinanti."Benar sekali. Rac
"Kurang ajar! Ternyata ini semua ulah kalian?!" Kepala desa membentak para bandit bertopeng barong. Ia tidak merasa takut sama sekali saat menunjuk wajah Joko Ireng dengan telunjuk kanannya. Sayangnya, hal itu tidak berlangsung lama. Saat Joko Ireng memberi tanda kepada salah satu anak buahnya, satu anak panah melesak dan menusuk dahi kepala desa.JLEB!!!AAAARGH!!!Para warga yang lain berteriak saat tubuh kepala desa jatuh ke tanah. Arya Dewantara langsung menggapai tubuh pria tua itu dengan tatapan kesal. "Apa yang kalian mau!" Dewi Kinanti berdiri melindungi para warga lainnya. "Beberapa hari berlalu, sekarang kau jadi berani sekali. Apa kau punya ilmu kebal atau sejenisnya?" Joko Ireng menyindir."Mungkin saja. Kau mau mencobanya?" Dewi Kinanti malah menyulut reaksi si pemimpin bandit. "Menarik sekali! Bunuh wanita itu," ucap Joko Ireng. Salah satu
"Lepaskan wanita itu, atau kepala kalian akan menggelinding." Arya Dewantara mengancam mereka semua. "Bunuh pemuda sombong itu," ucap Joko Ireng. Beberapa bandit langsung berlarian menyerang Arya Dewantara. Mereka mengayunkan pedang dan golok mereka secara bergantian. Satu per satu menyerang Arya Dewantara tanpa rasa takut dan jeda. JLEB! JLEB!Dua tebasan membuat dua kepala menggelinding jatuh ke bawah. Arya Dewantara memang pendekar pemula yang bahkan belum lulus dari padepokan milik saudara jauhnya, namun soal keahlian berpedang, ia sangat jago memainkannya. "Majulah," ucap Arya Dewantara.Pedang pisau perak yang diselubungi oleh teknik pisau energi menari dengan indah di genggaman tangan Arya Dewantara. Begitu tajamnya pedang itu, sampai dalam sekali tebasan bisa memutilasi bagian tubuh para bandit tersebut. Bahkan Arya Dewantara bisa mencincang satu tubuh bandit menjadi delapan potong seperti memotong ayam. "Cepat bawa Aji Saka pergi. Obati lukanya dan sembunyilah. Biar aku