Setelah beberapa jam diatas punggung panglima kumbang, Galuh Tapa sudah melihat sebuah tangga yang terbuat dari susunan batu pualam. Tampak sekali ada banyak liku tangga itu, bercabang-cabang dimana setiap cabangnya berdiri sebuah bangunan, yang terlihat seperti rumah batu. Dari tempat ini tidak mungkin melanjutkan perjalanan dengan menggunakan kuda, jadi Galuh Tapa menambang kuda-kudanya di pangkal tangga. Pemuda itu masih memperhatikan keadaan disekitarnya, mencari jalan lain yang mungkin bisa dilewati untuk tiba diatas gunung tapi tidak ada. Semuanya adalah tebing terjal, selain tangga ini tidak ada jalan lain untuk tiba kepuncak gunung. Namun jika diperhatikan gunung itu tidak terlalu tinggi, mungkin tidak bisa dikatakan sebuah gunung kecuali di puncaknya mengeluarkan asap tipis yang berasal dari dalam bumi. Tapi permukaannya sama seperti gunung yang lainya, gunung ini juga gersang dan penuh dengan bebatuan. "Apa itu padepokan Buluh Pitam seperti yang kau katakan tadi?" Galuh
Padepokan Buluh PItam sudah berdiri sejak lama, sahabat dekat teknik adalah Jarum yang beracun yang di pelajari oleh Lanang Hitam dan Cagar Alam. Dua teknik ini sebenarnya sedikit sama, menggunakan jarum kecil yang beracun.Perbedaan kedua teknik ini jelas dari penggunaan jarumnya, ada yang dilemparkan dengan tangan dan ada yang menggunakan alat berupa bilah sembilu bambu.Ketika malam harinya, Cagar Alam di undang oleh Sundaraweh ke ruangannya, sementara Galuh Tapa dan Rangga Rajasa ditinggalkan di ruangan lain.Ada lima sesepuh Buluh Pitam telah menunggu di tempat itu, mereka berlima selain Sundaraweh adalah orang tua yang memiliki janggut dan rambut yang putih. Nampaknya terlihat lebih kuat dari Sundareweh itu sendiri."Apakah kau yang bernama Cagar Alam?" Salah satu dari sesepuh bertanya.Wajah-wajah mereka terlihat sangat ramah, tapi aura Sembilu yang mereka pegang lebih pekat dari yang di miliki Sundaraweh."Benar sesepuh, hamba memberi hormat." Cagar Alam membungkukkan seban
Sebenarnya tidak ada yang tahu, membutuhkan waktu berapa lama untuk menguasai sepenuhnya teknik jarum beracun dari surgawi. Mengingat teknik itu ternyata sangat sulit dari teknik Sembilu beracun"Teman! kau boleh tinggal ditempat ini tapi kau harus ingat. Berlatihlah dengan sangat keras demi orang-orang yang akan kita perjuangkan." Galuh Tapa, kemudian meletakkan telapak tangan di dada. "Suban Darah akan menjadi pijakan dan penopang serta akan menjadi atap bagi semua orang yang membutuhkan. Suban Darah akan selalu akan melindungi rakyat dan menegakkan keadilan. Kau harus menanamkan itu di dalam hatimu." Lanjut pemuda itu.Cagar Alam tersenyum kecil, tapi kemantapan hati jelas terpancar diwajahnya.Dia kemudian mengeluarkan sebilah pisau kecil, menggenggam mata pisau itu kemudian menariknya dengan kuat, hingga darah mengalir menodai tanah."Aku berjanji kepada pemimpin Suban Darah dan bersumpah atas nama surga. Aku anggota Suban Darah akan menjadi pijakan, dan menjadi atap bagi semua
Menyadari hal itu, pria itu mencoba menyalurkan tenaga dalamnya, hanya untuk menguji apakah perkataan Galuh Tapa benar, tapi dia langsung pucat pasai mengetahui tidak ada satupun ajian yang bisa digunakan saat ini. Semuanya telah lenyap."Kau adalah tawanan kami." Galuh Tapa meminta prajuritnya untuk membawa orang itu. "Kau akan menjadi kunci kami menaklukan markas cabang."Orang itu tidak berkutik setelah dua orang menyeret tubuhnya dan meletakan didalam kereta yang mengangkut makanan. Padahal tubuh orang itu sangat kekar dan tinggi, berwajah luar biasa hitam dan berkumis lebat, tapi tampang menyeramkannya menjadi ciut seketika. "Kalian tidak akan sanggup menghancurkan markas Periang bahkan kekuatan kalian tidak akan sanggup menghancurkan markas kecil.""Dasar bodah! Apa kau tahu? Kami sudah menghancurkan dua markas kecil dibelakang, rata dengan tanah, dasar bodoh, bodoh! Menurutmu kenapa kami telah sampai di tempat ini, jika bukan karena berhasil menguasai dua markas kecil ?" Tiran
Pria itu bertubuh jangkung, berhidung mancung dan rambut lurus yang kering. Matanya sedikit jendul, dan telinga yang lebar. Di telinga itu ada anting-anting yang panjang sekali nyaris unjung anting mengenai pundaknya.Namun Galuh Tapa tidak merasakan tenaga dalam dan aura membunuh di dalam diri pria itu."Tunggu, apa kau akan memecatku?" Dia kembali berkata, aku mohon jangan lakukan itu, aku baru saja ditugaskan di tempat ini, jadi belum mengenal para prajurit perak."Galuh Tapa kembali menaikan alisnya, sungguh mengejutkan sekali perkataan pria itu.Galuh Tapa kemudian memperhatikan kedai makanan yang berdiri dekat mereka. "Bagaimana jika kau mentraktir makan, dan aku anggap kau tidak mempunyai masalah denganku.""Aku setuju."Setelah beberapa waktu berlalu, Galuh Tapa tiba disebuah rumah makan yang sangat ramai dan penuh dengan sesak prajurit. Harus antri satu jam lamanya, agar mereka mendapat pelayanan. Membuat pemuda itu kesal bukan kepalang."Bibi, aku pesan makanan paling enak d
Disisi lain, Galuh Tapa berpapasan dengan para pendekar yang telah dirantai tangan dan kakinya. Beberapa orang itu terlihat mambawa luka yang tidak ringan, sehingga kesulitan berjalan."Mereka sudah beberapa kali berniat memberontak kita." pria jangkung tadi kembali membuka suara. "Hingga akhirnya Nona Ringgina beserta gurunya Patmawati turun langsung untuk menaklukkan mereka.""Akan di apakan mereka?" Galuh Tapa kembali bertanya. "Kau tahu bukan hanya sering lupa nama orang, terkadang aku lupa dengan berbagai pekerjaan. Aku tidak sepintar dirimu."Mendapat pujian itu, Wajah pria jangkung tampak berseri-seri. Tidak banyak orang yang memuji dirinya pintar kecuali ibunya dan mantan istrinya, sebelum akhirnya mereka bercerai lalu kata 'Bodoh' keluar dari mulut mantan istrinya itu."Mereka kan menjadi budak jika tidak patuh." Dia mulai menjelaskan garis besarnya, kemudian menatap Galuh Tapa kembali. "Apa sekarang kau sudah mengingatnya, apa aku harus mengulanginya lagi?""Tidak-tidak aku
Sehingga hal itu, membuat semua prajurit Kelabang Iblis menjadi murka, tidak menyangka pria tersebut yang dikatakan memiliki seni beladiri garis lurus malah melakukan tindakan seperti itu."Jangan bergerak, biarkan kami semua pergi dari sini!" Dia memperingatkan.Patmawati segera mencabut sebilah pedang yang berwarna hijau peka. Pedang pusaka yang menjadi andalan dari negeri Singunan. Sangat beracun lagi tajam.Ringgina sebenarnya bukanlah gadis yang begitu hebat dalam bertarung. Dia hanya mempelajari beberapa teknik dalam beladiri. Dibanding dengan bertarung, wanita itu lebih mengandalkan otaknya yang berlian.Meski demikian, Ringgina tidak kehilangan wibawa. Gadis itu masih tersenyum kecil mendapati situasi buruk yang menimpa dirinya."Nona, tenanglah!" Patmawati berujar, "Aku akan menyelamatkan dirimu""Beri kami jalan!" Pria itu berteriak. "Biarkan kami pergi dari tempat ini"Sehingga ratusan prajurit membuka jalan bagi empat padepokan. Sementara Galuh Tapa belum melakukan tindak
Galuh Tapa tersenyum kecil, dia kembali memandangi gadis itu. "Kami akan mengambil budak dan markas ini, Nona. Kau bisa pergi sebelum kami menyerang, atau tetap di sini dan mungkin melihat semua orang mati."Setelah mengatakan hal itu, Galuh Tapa segera melayang dengan cepat lalu pergi meninggalkan tempat itu. Semua prajurit yang melihat tindakan pemuda itu tidak bisa menutup mulutnya, terpukau beberapa saat.Namun kemudian Patmawati tiba-tiba menghampiri Ringgina dengan wajah cemas. "Nona, apa yang terjadi, apa kau baik-baik saja?""Siapkan pasukan! Kita akan kedatangan tamu!" Perintah Ringgina, kemudian dia menyerang pelan, "Aku tidak akan menyerah pada kerugian itu"***Galuh Tapa kembali pada teman-temannya yang menunggu dengan harap-harap cemas."Kanda Galuh, apa yang kau dapatkan?" Tanya Kinanti, pemuda itu dengan wajah khawatir.“Bagaimana kondisi ditempat itu?” Bagas Sanjaya menyambung pertanyaan."Mereka memiliki benteng yang benar-benar kokoh, dan ada sembilan orang prajuri
"Aku tidak sempat menanyakan hal itu pada ayahku, kedatangan kita bersamaan dengan surat panggilan dari Negri Singunan untuk Ayahanda" ucap Ringgina."Surat dari Negri Singunan?" Galuh Tapa terlihat kecewa."Negri Singunan memberi informasimengenai Putra bungsu mereka. Pangeran Rengkeh dikabarkan belum kembali setelah melakukan Kunjungan ke Negri Bumi Besemah.""Rengkeh?" Galuh Tapa bergumam pelan."Apa kau mengetahui nama itu?" Ringgina bertanya."Ah, aku belum pernah mengenal namapangeran dari Negri Singunan." Galuh Tapa berbohong, tentu saja dia mengetahui Pangeran Rengkeh, karena dia sendirilah yang berhasil mengalahkan pemuda licik itu beserta senopati dan anak buahnya."Tapi jangan risau, Ayahku memang sedang kembali lagi ke Negri Singunan, disini ada tabib hebat yang bisa membuat penawar racun itu, dia adalah kepercayaan Ayahku.""Benarkah?""Ya, aku akan menemui tabib itu besokpagi" Ringgina tersenyum kecil, meski diatidak begitu yakin dapat meminta sangtabib untuk membua
Sehingga Angsa Putih mendesah pelan, lantas menepuk pundak temannya tiga kali. "Ki Santa tidak di undang dalam rapat itu, ketentuan nasip para tawanan tergantung Paduka Raja Jaya Negara beserta pejabat kerajaan. Kita hanya persatuan Hulubalang, bahkan Damar Tirta tidak di undang dalam rapat itu."Ki Jangga menatap mata Angsa putih dengan tajam, untuk beberapa saattidak berkedip sedikitpun. Lantasmengalihkan pandangan pada seributawanan dengan kebencian."Tenangkan perasaanmu kawan! Tidak ada gunanya kau menaruh dendam padatawanan yang tidak lagi berdaya." AngsaPutih menuangkan arak pada dua cawan,kemudian salah satunya disodorkan kepada Ki Jangga. "Akan ada waktunya kau bisa mengamuk sesuka hatimu, tentu saja bukan pada seribu orang di sana yang tidak memiliki kemampuan, atau pula pada tua bangka Ki Santa.Ki Jangga terdiam lagi, kali iniurat-urat di keningnya keluar bak cacingdibalik kulit, tampak sedang berpikirmungkin pula mencerna perkataansahabatnya."Perang belum berhe
"Tawanan?" Ki Jangga berkata geram.Wajah pak tua itu terlihat tergores tipisakibat panah yang melesat ke arahkepalanya. "Aku akan membunuh kaliansemuanya, semuanya!" Dia berteriak keras."Musuh sudah mengaku kalah, tidak adayang berhak untuk membunuh mereka." Ki Santa membantah keputusan Ki Jangga."Tua Bangka, kau bukan orang suci yangbisa menentukan siapa yang layak dan tak layak hidup di sini." Ki Jangga beteriak kesal, ya diantara Sesepuh tua hanya dia yang terluka, bagaimana wajah orang itu tidak merah karena marah atau pula karena malu?"Tidak ada yang boleh membunuh siapapun yang mengaku kalah, menyerah dan mengangkat bendera putih" Ki Santaberkata lagi, menegaskan bahwaucapannya tidak main-main.Orang tua itu melirik beberapa pendekarhebat yang berada di hadapannya satupersatu, bahkan Damar Tirta selaku ketua Persatuan Hulubalang. Terlihat tiada orang yang membantah keputusan orang tua itu, kecuali Ki Jangga."Meski kita dalam medan perang, tapitoleransi hidup haru
Baru saja berdiri, -menyeka darah yangmengalir dari luka di dada akibat tebasan Ki Santa, Angsa Putih segera mematukkepala mereka hingga mati.Hingga Ki Santa tersenyum kecil di kejauhan, dia memang sengaja tidak membunuh mereka berdua agar Angsa Putih tidak merasa kecil hati atau, tidak terlalu terhina. Sudah cukup perselisihan selama ini hanya karena beranggapan-siapa paling hebat dari siapa?Namun terlihat Angsa Putih meludah dua kali, orang tua itu lalu menyapukan pandangan di sekitarnya mencoba menemukan Ki Santa tapi tidak berhasil.Kemudian senyum kecil tersungging dibibirnya yang peot dan berkerut, lalusemenit kemudian terkekeh. "Sekarang aku mengakui, dia lebih hebat dariku. Tuabangka Ki Santa itu, sudah sepatutnyanamanya di kenal di seluruh dunia Persilatan di tanah Pasmah."Hingga kemudian Angsa Putih kembali memasuki kerumunan pertempuran. Dia bergerak cepat, melawan orang-orang yang terlihat cukup kuat. Orang tua itu juga membantu beberapa prajurityang sedang dalam
"Senjatamu besar sekali, tapi bergeraklambat." Kerangka Ireng berkata datar, lali melepaskan kembali dua serangan hingga dua larik cahaya keluar dari matatombaknya, melesat cepat.Damar Tirta harus rela merebahkantubuhnya, menopang dengan telapaktangan kanan. Dua larik cahaya tipis itulewat satu jengkal di atas wajah, terusnyasar dan mengenai lima tubuh di belakang Damar Tirta.Hingga lima detik setelah tubuh orang itu dilewati cahaya -meledak seperti terpanggang.Damar Tirta berdecak kesal, dia memutartubuhnya kemudian secara bersamaanmenjentikkan jari telunjuk. Pedang cahaya miliknya melesat ke arah Krangka Ireng, tapi pria itu memiliki tubuh yang licin, dengan mudah dia menghindari serangan Damar Tirta.Tidak menarik kembali pedangnya Damar Tirta terus melajukan pedang hingga menembus dua puluh orang bawahan Kerangka Ireng. empat kali lipat lebih banyak dibandingkan serangan Pria berzirah perang itu.Baru dalam beberapa menit saja, telahterjadi pertukaran ratusan serangan
Sehingga sontak saja semua prajurit yang mendengar perkataan pria itu berteriak penuh semangat, seolah tubuh mereka mendidih karena marah. Dada mereka berdetak lebih cepat dari sebelumnya, mata mereka nanar tajam menyambut derap penjajah."Teriakan keberanian" Pekik Candi Jaya. "Hidup kita untuk mati, mati kita untuk hidup.""Hidup kita untuk mati, mati kita untuk hidup."Sontak pula para prajurit Jalang Pasmahmengikuti teriakan yang bergema darimulut prajurit Bumi Besemah, hingga dalam hitungan detik saja seisi benteng pertahanan dipenuhi teriakan bergema.Ki Santa dan dua orang bersamanya tersenyum kecil di atas tiang menara tertinggi, sebuah kata bijak yang membangkitkan semangat juang, pikirnya.Lalu dua menit kemudian, terdengar suara terompet dari tanduk kerbau berbunyi di sisi paling selatan kemudian disusul suara terompet di sisi paling utara. Lalu setelah itu, genderang perang bertabuh-tabuh, tanda musuh sudah berada di depan mata.Bak semut hitam, musuh berbaris rapimele
Setelah kepergian Galuh Tapa. Bagas Sanjaya adalah orang yang bertanggung jawab penuh atas Markas Periangan. Dia mengatur segala hal sendirian, kecuali jika Tiran Putih sedang memiliki waktu luang untuk memberikan masukan untuknya.Galingga Tirta memang petarung hebat,tapi dia tidak memiliki otak. Kecualibertarung dan menggoda gadis-gadiscantik di tempat ini, tiada hal lain yangdilakukan pemuda itu.Tidak beberapa lama, derap langkah kakikuda tiba-tiba memasuki gerbang Markas Periangan. Ada sekitar dua puluh orang penunggang kuda, dan salah satu dari mereka jelas dikenali Bagas Sanjaya, Rangga rajasa."Patih Bagas Sanjaya" Rangga Rajasa memberi hormat. "Setelah mendengar kalian berhasil menaklukkan markas ini, aku segera menyusul bersama dengan beberapa orang yang lainnya. Jangan khawatir, markas kecil di seberang sungai sangat aman terkendali, sekarang Buja Surut beserta pendekar pemanah dan beberapa pendekar lain bertugas mengatur markas itu."Bagas Sanjaya menarik napas lega.
Hingga terang benderang pikiran Pendekar Janggala setelah tiga benda kegelapan itu hilang dari kepalanya. Sekarang pikirannya terasa lebih jernih, kepalanya terasa lebih ringan dari sebelumnya.Seperti yang di ketahui, susuk Magalahtidak akan bisa di cabut kecuali penggunanya akan mengalami kematian.Tapi Galuh Tapa bisa melakukan hal itu,mungkin saja karena energi alam yangbercampur dengan berkah batu mustika yang ada, atau pula karena nasib baik Pendekar Janggala untuk menebus dosa-dosannya.Lidah Pendekar Janggala terasa kelu untuk beberapa saat, dia hendak mengatakan rasa syukur dan terima kasih tapi suaranya terasa terhenti di kerongkongan. Hanya air mata yang menjawab perkataan Pemuda Pedang Pusaka Lintang Kuning."Terima kasih...terima kasih..." Merah Jambon Barat sujud tiga kali di telapak kaki Galuh Tapa, lalu buru mengangkat tubuh Janggala."Kau harus merawat gurumu dengan baik, lukanya perlu diobati!" ucap Galuh Tapa."Kami akan mengingat kebaikan ini, suatu saat nanti j
Belum sampai kuku tajamnya di wajahGaluh Tapa, tiba-tiba gerakannyaterhenti seketika. Wajah bangganya mulai menyurut.lima detik kemudian dia berteriak kesakitan, tubuhnya tersungkur di permukaan tanah, kedua tangannya mencengkram dada dengan kuat. Pak tua itu berguling tak karuan, darah segar keluar menodai pakaian.Ketika hal itu terjadi, Galuh Tapa tidakingin menunggu lama, segera dia melesat di udara. Dia melepaskan beberapa serpihan batu mustika sebagai senjata tepat mengenai kaki orang tua itu, hingga tubuhnya terpasak di tanah, lalu dua buah lagi senjata secara bersamaan mengenai bahu kiri dan kanan.Pendekar Janggala dalam kondisiterlentang, serpihan tertancap dalam dan terasa panas membara. Tangannya berusaha melepaskan dua pedang yang menancap di bahunya tapi tidak mampu.Nampak belum menyerah, kilatan ungumemancar sesaat lalu dua larik cahayamelesat menuju Galuh Tapa, tapi kali inipemuda itu dapat menangkisnya.Beberapa saat kemudian, suasana ditempat itu menjadi pa