“Irene, kenapa bengong terus?” tanya Zee. Saat ini mereka sedang berada di kantin fakultas. Karena hari ini Zee ada bimbingan dengan dosennya. Akhirnya saat jam makan siang, mereka memutuskan bertemu untuk sekedar makan Mie ayam favorit-nya. “Hah? Nggak.” Dengan cepat Irene menggeleng, lalu dia menyantap makanannya. Zee menyipitkan kedua matanya, jelas-jelas ada yang sedang dipikirkan oleh Irene. “Dari kemarin aku perhatikan kamu banyak diemnya, Ren. Kenapa? Kamu mikirin tempat tinggal? Tenang, kamu masih punya banyak waktu sampai aku sidang,” terangnya.“Tapi kamu sidang bulan depan,” timpal Irene. Memang benar, salah satu yang sedang Irene pikirkan adalah tempat tinggal. Dia tahu, kalau sebentar lagi Zee akan lulus. Setelah dia lulus, gadis itu akan kembali ke pekerjaannya di dunia entertain. Maka sudah jelas, sahabatnya itu akan meninggalkan kota kembang.. Namun, selain itu ada hal lain yang lebih mengganggu pikirannya. Apalagi kalau bukan tentang Juna. Pasca hari pembuktian i
Sudah satu minggu sejak perjanjian itu ditandatangani. Irene pun akhirnya pindah ke unit apartemen milik Juna. Mereka tidak tinggal satu tempat. Hanya saja unit yang dihuni oleh Irene, tepat berada di depan unit milik Juna. Hari ini, Juna sengaja berangkat pagi. Karena dia harus menyelesaikan pekerjaan, yang kemarin tertinggal di ruangannya. Setelah semuanya siap, Juna langsung melangkahkan kaki keluar dari flat-nya. Matanya pun kemudian bertemu dengan Irene yang sama-sama baru saja keluar. “Berangkat selalu jam segini?” tanya Juna. “Oh, i-iya,” jawab Irene. Padahal mereka sudah tinggal satu gedung bersama selama satu minggu. Namun, Irene masih terlihat canggung. Selama ini, belum ada yang terjadi di antara mereka. Karena Juna ingin memberikan Irene kesempatan menyesuaikan diri. “Pagi banget, ya,” komentar Juna. Sekarang masih pukul 06:15. Sedangkan jam masuk kantor pukul setengah delapan pagi.“Iya, saya memang suka berangkat pagi. Kalau begitu, saya duluan, ya,” pamit Irene. “
“Bercanda lo nggak seru, Yan. Masa iya Juna impoten?” ucap Abby, yang baru saja mendengar sebuah informasi dari Tryan.“Sumpah, gue bener-bener nggak bohong. Istri gue itu temennya suami Amara, mantan istri Juna,” ujar Tryan dengan wajah yang serius berbicara dengan ketiga temannya. “Istri gue pernah jenguk Amara yang baru saja melahirkan. Dan dia bilang kalau happy banget bisa punya anak. Karena dari pernikahan pertamanya, mustahil buat punya anak. Alasannya, karena si Juna impoten.”“Emang Amara bilang langsung kalau Juna impoten?” sela Stefan. Dia adalah satu-satunya orang yang mengetahui rahasia terbesar Juna. Sebisa mungkin, Stefan mengontrol raut wajahnya. Tryan terdiam, dia langsung mengalihkan pandangannya. “Ya nggak sampai bilang gitu juga, sih. Tapi istri gue yakin, kalau arah pembicaraan Amara ke sana. Lo tahu? Feeling cewek itu kuat, bro,” akunya. Sebisa mungkin Tryan mempertahankan argumennya.“Huh!” Stefan menghela napas sambil menggelengkan kepalanya, “parah, sih. Itu
Memori tentang kejadian di mana Irene pertama kali melayani Juna, selalu terngiang di pikirannya. Bahkan setelah satu minggu berlalu, Irene masih memikirkan apa yang ia lakukan malam itu. Setiap kenangan itu terlintas di benaknya. Perasaan Irene mendadak tak karuhan. Jantungnya selalu berdentum dengan cepat. Sensasi panas terasa di sekujur tubuhnya. Wajahnya kadang memerah, karena malu membayangkan dirinya berbuat demikian. Padahal Irene sudah berjanji pada dirinya sendiri. Untuk pelayanan pertama dia cukup menggunakan tangannya saja. Dia merasa belum siap dan jijik, jika harus memasukkan milik Juna ke dalam mulutnya. Namun, malam itu perasaan jijik seketika hilang. Karena dirinya sudah hanyut dalam permainan panas tersebut. “Ouh! Irene kamu mikirin apaan, sih? Masih pagi juga,” ucapnya sambil menggelengkan kepala. Menepis semua pikiran kotornya. Kemudian ia menarik napas dalam. “Oke, sudah jangan dipikirkan. Bersikap biasa saja, Irene. Lagi pula ke depannya kamu akan terbiasa,” im
Mau bagaimana lagi, Irene tak bisa mengelak ajakan dari Juna. Sudah jelas-jelas perutnya berbunyi, kala dirinya hendak mengelak ajakan pria tersebut. Alhasil sekarang Irene sedang duduk di sebuah restoran yang bisa dikatakan mewah, untuk standar Irene. Irene mengedarkan pandangannya. Dia baru pertama kali mengunjungi tempat seperti ini. Desain interior yang terlihat mewah, membuat Irene sedikit jiper. Karena ini adalah pertama kalinya dia menginjakkan kaki di tempat yang menurutnya berkelas “Pesan dulu, Ren,” ucap Juna sambil membuka buku menu. “Hah?” Irene terkesiap, lalu dia melihat Juna. Segera Irene membuka menu tersebut. Sedetik kemudian, matanya langsung membulat. ‘Gila, ini menu apaan? Mana pakai bahasa Inggris, terus mahal pula,’ batinnya. Jujur, Irene tak mengerti nama dari menu-menu yang tersedia. Namanya sangat asing di mata Irene. Selain itu, dia lebih kaget dengan harga yang tertera di sana. ‘Buset! Air mineral aja sampai dua puluh ribu lebih? Ini sih bisa dapat sega
Atmosfer di apartemen Juna benar-benar terasa panas. Padahal pendingin ruangan menunjukkan suhu enam belas derajat celcius. Suhu yang bisa dikatakan rendah untuk sebuah ruangan dan kota seperti Bandung. Namun, Irene sudah merasakan kegerahan saat memberikan pelayanan pada Juna. Jantungnya itu terus memompa aliran darah yang sudah mendidih ke seluruh tubuhnya. Irene merasa dirinya sudah tak mampu menahan kegilaannya.“Jun,” panggil Irene dengan mendesah. Tatapan matanya sayu, membuat siapa pun yang melihatnya akan merasa tergoda.Juna yang sudah diselimuti hasrat dan gairah, tiba-tiba menarik Irene yang sedang berjongkok menghadapnya. Tak ada perlawanan, Irene malah menurut dengan usaha Juna. Kemudian laki-laki itu mendudukkan Irene di pangkuannya. “Jun.” Irene lagi-lagi mendesah ketika mendapatkan sentuhan seduktif dari Juna. Tentu Juna kegirangan, karena Irene sama sekali tak menolak. Bahkan dari raut wajahnya Juna bisa melihat dengan jelas, kalau Irene meminta lebih. Tanpa basa-
Irene baru saja turun dari motor besar berwarna merah. “Terima kasih, ya atas tumpangannya. Kalau nggak ada kamu, kayaknya aku harus balik jalan kaki,” ucap Irene sambil tersenyum tipis. “Sama-sama. Lagi pula tujuan kita juga sama, Mbak. Kalau gitu saya balik dulu ke parkiran, ya,” timpal seorang laki-laki yang ternyata dia adalah mahasiswa pindahan dari Bahasa Jerman. Ia dengan baik hati mengantarkan Irene sampai lobi depan fakultas. “Oke, hati-hati, Ray. Sekali lagi terima kasih banyak,” pamit Irene sambil tersenyum. Ray membalas senyuman itu sebelum ia membawa motornya pergi.Mereka berdua bertemu di toko fotocopy fakultas FEB. Gara-gara mesin fotocopy di ruang kerja Irene rusak, ia harus memperbanyak dokumen di luar. Gadis itu harus jauh-jauh pergi ke fakultas lain, karena suatu hal. Toko fotocopy di depan fakultas FIB ramai oleh mahasiswa.Sudah sejak Irene kuliah di sini, tempat itu paling banyak pelanggannya. Bahkan ada yang rela jauh-jauh dari fakultas lain, seperti dari fak
“Lain kali jangan telat dimata kuliah Pak Juna,” ucap Irene. Dia sedang bersama dengan Ray di depan ruang enam. Ray menghela napas. “Paham, tapi ini juga bukan kepengen aku telat, Mbak,” balasnya.“Memangnya kamu dari mana?”“Habis kasih tugas dulu ke Pak Erik, tadi beliau masih di luar. Jadi, saya tunggu dulu sebentar. Tapi ya udahlah udah biasa juga kayak gini,” jawabnya dengan santai.Irene menggeleng. “Tapi jangan dibiasakan juga. Ya sudah saya balik kerja lagi, ya. Semangat!” Irene mengepalkan tangannya sambil tersenyum. Kemudian dibalas oleh Ray. “Mbak Irene,” panggil Ray. “Hmm?” Irene menoleh ke arah Ray yang ada di belakang. Laki-laki itu kemudian melangkah mendekat ke arah Irene. Kedua tangannya terlihat ia masukkan ke dalam saku celana. “Mmm … saya boleh minta kontak Mbak Irene? Denger-denger Mbak Irene juga alumni sini, kan? Dan katanya Mbak Irene juga salah satu mahasiswa berprestasi. Ya, saya mau tanya-tanya aja perihal matkul. Biar cepet mengejar ketertinggalan,” ung