“Bercanda lo nggak seru, Yan. Masa iya Juna impoten?” ucap Abby, yang baru saja mendengar sebuah informasi dari Tryan.“Sumpah, gue bener-bener nggak bohong. Istri gue itu temennya suami Amara, mantan istri Juna,” ujar Tryan dengan wajah yang serius berbicara dengan ketiga temannya. “Istri gue pernah jenguk Amara yang baru saja melahirkan. Dan dia bilang kalau happy banget bisa punya anak. Karena dari pernikahan pertamanya, mustahil buat punya anak. Alasannya, karena si Juna impoten.”“Emang Amara bilang langsung kalau Juna impoten?” sela Stefan. Dia adalah satu-satunya orang yang mengetahui rahasia terbesar Juna. Sebisa mungkin, Stefan mengontrol raut wajahnya. Tryan terdiam, dia langsung mengalihkan pandangannya. “Ya nggak sampai bilang gitu juga, sih. Tapi istri gue yakin, kalau arah pembicaraan Amara ke sana. Lo tahu? Feeling cewek itu kuat, bro,” akunya. Sebisa mungkin Tryan mempertahankan argumennya.“Huh!” Stefan menghela napas sambil menggelengkan kepalanya, “parah, sih. Itu
Memori tentang kejadian di mana Irene pertama kali melayani Juna, selalu terngiang di pikirannya. Bahkan setelah satu minggu berlalu, Irene masih memikirkan apa yang ia lakukan malam itu. Setiap kenangan itu terlintas di benaknya. Perasaan Irene mendadak tak karuhan. Jantungnya selalu berdentum dengan cepat. Sensasi panas terasa di sekujur tubuhnya. Wajahnya kadang memerah, karena malu membayangkan dirinya berbuat demikian. Padahal Irene sudah berjanji pada dirinya sendiri. Untuk pelayanan pertama dia cukup menggunakan tangannya saja. Dia merasa belum siap dan jijik, jika harus memasukkan milik Juna ke dalam mulutnya. Namun, malam itu perasaan jijik seketika hilang. Karena dirinya sudah hanyut dalam permainan panas tersebut. “Ouh! Irene kamu mikirin apaan, sih? Masih pagi juga,” ucapnya sambil menggelengkan kepala. Menepis semua pikiran kotornya. Kemudian ia menarik napas dalam. “Oke, sudah jangan dipikirkan. Bersikap biasa saja, Irene. Lagi pula ke depannya kamu akan terbiasa,” im
Mau bagaimana lagi, Irene tak bisa mengelak ajakan dari Juna. Sudah jelas-jelas perutnya berbunyi, kala dirinya hendak mengelak ajakan pria tersebut. Alhasil sekarang Irene sedang duduk di sebuah restoran yang bisa dikatakan mewah, untuk standar Irene. Irene mengedarkan pandangannya. Dia baru pertama kali mengunjungi tempat seperti ini. Desain interior yang terlihat mewah, membuat Irene sedikit jiper. Karena ini adalah pertama kalinya dia menginjakkan kaki di tempat yang menurutnya berkelas “Pesan dulu, Ren,” ucap Juna sambil membuka buku menu. “Hah?” Irene terkesiap, lalu dia melihat Juna. Segera Irene membuka menu tersebut. Sedetik kemudian, matanya langsung membulat. ‘Gila, ini menu apaan? Mana pakai bahasa Inggris, terus mahal pula,’ batinnya. Jujur, Irene tak mengerti nama dari menu-menu yang tersedia. Namanya sangat asing di mata Irene. Selain itu, dia lebih kaget dengan harga yang tertera di sana. ‘Buset! Air mineral aja sampai dua puluh ribu lebih? Ini sih bisa dapat sega
Atmosfer di apartemen Juna benar-benar terasa panas. Padahal pendingin ruangan menunjukkan suhu enam belas derajat celcius. Suhu yang bisa dikatakan rendah untuk sebuah ruangan dan kota seperti Bandung. Namun, Irene sudah merasakan kegerahan saat memberikan pelayanan pada Juna. Jantungnya itu terus memompa aliran darah yang sudah mendidih ke seluruh tubuhnya. Irene merasa dirinya sudah tak mampu menahan kegilaannya.“Jun,” panggil Irene dengan mendesah. Tatapan matanya sayu, membuat siapa pun yang melihatnya akan merasa tergoda.Juna yang sudah diselimuti hasrat dan gairah, tiba-tiba menarik Irene yang sedang berjongkok menghadapnya. Tak ada perlawanan, Irene malah menurut dengan usaha Juna. Kemudian laki-laki itu mendudukkan Irene di pangkuannya. “Jun.” Irene lagi-lagi mendesah ketika mendapatkan sentuhan seduktif dari Juna. Tentu Juna kegirangan, karena Irene sama sekali tak menolak. Bahkan dari raut wajahnya Juna bisa melihat dengan jelas, kalau Irene meminta lebih. Tanpa basa-
Irene baru saja turun dari motor besar berwarna merah. “Terima kasih, ya atas tumpangannya. Kalau nggak ada kamu, kayaknya aku harus balik jalan kaki,” ucap Irene sambil tersenyum tipis. “Sama-sama. Lagi pula tujuan kita juga sama, Mbak. Kalau gitu saya balik dulu ke parkiran, ya,” timpal seorang laki-laki yang ternyata dia adalah mahasiswa pindahan dari Bahasa Jerman. Ia dengan baik hati mengantarkan Irene sampai lobi depan fakultas. “Oke, hati-hati, Ray. Sekali lagi terima kasih banyak,” pamit Irene sambil tersenyum. Ray membalas senyuman itu sebelum ia membawa motornya pergi.Mereka berdua bertemu di toko fotocopy fakultas FEB. Gara-gara mesin fotocopy di ruang kerja Irene rusak, ia harus memperbanyak dokumen di luar. Gadis itu harus jauh-jauh pergi ke fakultas lain, karena suatu hal. Toko fotocopy di depan fakultas FIB ramai oleh mahasiswa.Sudah sejak Irene kuliah di sini, tempat itu paling banyak pelanggannya. Bahkan ada yang rela jauh-jauh dari fakultas lain, seperti dari fak
“Lain kali jangan telat dimata kuliah Pak Juna,” ucap Irene. Dia sedang bersama dengan Ray di depan ruang enam. Ray menghela napas. “Paham, tapi ini juga bukan kepengen aku telat, Mbak,” balasnya.“Memangnya kamu dari mana?”“Habis kasih tugas dulu ke Pak Erik, tadi beliau masih di luar. Jadi, saya tunggu dulu sebentar. Tapi ya udahlah udah biasa juga kayak gini,” jawabnya dengan santai.Irene menggeleng. “Tapi jangan dibiasakan juga. Ya sudah saya balik kerja lagi, ya. Semangat!” Irene mengepalkan tangannya sambil tersenyum. Kemudian dibalas oleh Ray. “Mbak Irene,” panggil Ray. “Hmm?” Irene menoleh ke arah Ray yang ada di belakang. Laki-laki itu kemudian melangkah mendekat ke arah Irene. Kedua tangannya terlihat ia masukkan ke dalam saku celana. “Mmm … saya boleh minta kontak Mbak Irene? Denger-denger Mbak Irene juga alumni sini, kan? Dan katanya Mbak Irene juga salah satu mahasiswa berprestasi. Ya, saya mau tanya-tanya aja perihal matkul. Biar cepet mengejar ketertinggalan,” ung
“Irene! Zee!” seru Gita saat dirinya baru saja tiba di stasiun kereta api. Gadis itu langsung memeluk kedua sahabatnya. “Aaak! Kangen,” ucapnya lagi.“Sama! Udah lama banget kita nggak ketemu begini,” timpal Zee. Mereka pun melepas pelukannya. Gita sengaja datang ke Bandung, karena lusa Zee akan wisuda. Setelah beberapa bulan lalu dia dinyatakan lulus yudisium, dan mendapatkan gelar sarjananya. “Udah udah kita ngobrolnya nanti lagi. Sekarang kita ke tempatku dulu. Biar Gita bisa istirahat.” Irene pun menengahi. Kemudian mereka pun segera memesan taxi online dan pergi menuju tempat Irene.Untuk pertama kalinya, Irene membawa orang lain ke apartemen milik Juna. Sebenarnya Irene tak begitu ingin membawa sahabatnya itu. Karena pasti mengundang banyak pertanyaan dari kedua sahabatnya itu. Namun, karena tempat Zee tak bisa disinggahi Gita—karena ada keluarganya yang akan menginap di sana. Mau tak mau, Irene yang harus memberikan tumpangan pada Gita. Dia juga sudah meminta izin pada Juna, s
Akhirnya Irene ingat, kalau dia memiliki satu kelebihan yang sangat langka di antara manusia lainnya.“… karena aku kan berbeda. Kalian tahu sendiri, kan, kalau aku ini spesial?”Gita dan Zee saling melempar tatap. Mereka mengangguk, mempercayai apa yang baru saja dikatakan Irene.“Oke, kamu memang spesial. Kamu lahir di tanggal yang unik, nggak tiap tahun ada,” timpal Zee sambil menepuk pundak temannya.Irene pun langsung mengangguk. Akhirnya dia bisa menggunakan alasan ini. Untuk kali pertama, Irene bersyukur kalau dirinya lahir di tanggal spesial, yang hanya ada empat tahun sekali. Padahal dulu dia sempat mengeluh, karena ketika harus melakukan syukuran atas kelahirannya. Dia harus nebeng di tanggal lain.“Terus siapa orangnya. Apa kita kenal?” Kini giliran Gita yang bertanya.Irene menghela napas, dan memasak mimik kecewa. “Untuk itu aku nggak bisa ngomong. Soalnya privacy dan