Di hari liburnya, Irene harus bertemu dengan seseorang. Kondisinya lagi-lagi sedang membutuhkan uang. Apalagi dia harus segera mencari kosan baru. Karena sudah hampir satu bulan ini, dia menumpang di apartemen milik Zee. Pasca kejadian mengerikan itu, Irene memutuskan untuk pergi meninggalkan kosan yang sudah ia huni selama lebih dari empat tahun. Namun, dia tidak mendapatkan kosan yang harganya—minimal sama dengan kosan sebelumnya. Memang ada kosan yang harganya murah, tapi lokasinya terlalu jauh. Dia masih harus mengeluarkan ongkos untuk transportasi umum. “Sudah lama menunggu?” Suara seorang pria mengejutkan Irene yang sedang melamun. Kemudian pria itu duduk di depan Irene. “Tidak, Pak,” jawab Irene. Hari ini, Irene memang memiliki janji temu dengan Juna. Kemarin pria itu menawarkan pekerjaan untuk Irene. Awalnya sedikit ragu, tapi setelah dia menghitung-hitung kebutuhannya dengan sang adik. Tabungan Irene hanya cukup untuk bulan depan. “Jangan panggil Bapak, kalau sedang t
“I-impoten?” ucap Irene. Wajahnya menunjukkan bahwa dirinya terkejut dan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.Sebenernya Juna malu, karena harus mengungkapkan rahasia terbesarnya di depan umum seperti ini. Untung saja parkiran itu sedang sepi. Hanya ada beberapa mobil yang terparkir rapi.“Iya, saya im-po-ten,” ulang Juna dengan menekan kata terakhirnya. Irene bukan anak kecil, yang tidak tahu arti dari kata tersebut. Namun, dia tidak menyangka kalau penyakit itu nyata.“Ikut saya,” ajak Juna. Dia membawa Irene masuk ke dalam mobilnya. Berlama-lama di parkiran tidak enak, khawatir ada orang lain yang mengenal mereka dan mendapati mereka sedang berduaan.“Saya nggak salah denger, kan?” tanya Irene saat mereka sudah berada di dalam mobil milik Juna. Sepertinya Irene mengurungkan niat untuk pergi, dan merasa sedikit penasaran dengan pengakuan Juna. “Nggak.” Juna menjawab tegas. Lalu kedua bola mata cokelat milik Irene itu memindai tubuh Juna. Apakah benar, pria segagah d
“Jun, hentikan mobilnya. Kalau nggak aku bakal teriak!” ancam Irene. Dia mencoba menurunkan kaca mobil di sampingnya. Namun, sial dia tidak bisa menggunakannya. “Kok, nggak bisa, sih?” ucapnya sambil menekan-nekan tombol berwarna hitam. Tak ada balasan dari Juna, Irene langsung menoleh ke arah laki-laki itu. “Juna! Kamu mau culik saya, ya?” teriak Irene di dekat kuping pria itu. Juna langsung mengernyitkan wajah. Telinganya terasa sakit, karena Irene berteriak lumayan keras. “Bisa diam? Bukannya tadi kamu bilang nggak percaya. Saya sekarang mau buktikan agar kamu percaya!” tegasnya. Irene hanya diam, melihat wajah samping Juna yang terlihat serius. Apa benar pria ini mengidap impotensi? Karena jika tidak, sepertinya dia tidak akan bersikeras seperti ini. Mobil SUV hitam milik Juna berhenti di sebuah parkiran tempat karaoke. Juna pun segera keluar, menuju pintu samping dan memaksa Iren untuk turun. “Diam dan ikuti saja. Jangan melawan, kalau kamu tidak mau kehilangan pekerjaan ka
Semakin lama, Irene merasa atmosfer di ruangan ini memanas. Beberapa kali dia harus menarik napas dalam, bahkan sampai meminum air putih yang tersedia di sana. Dia sudah merasa tak sanggup melihat aksi Juna dan Monica yang bergulat di atas sofa. Walau mereka belum sampai menanggalkan pakaiannya, tapi aksi mereka sukses membuat Irene gerah. ‘Astaga, pengin keluar,’ batinnya gelisah. Ia ingin menenangkan dirinya. Minimal pergi ke toilet untuk membasuh wajahnya yang sudah memanas. Bohong rasanya, jika Irene tidak merasakan perasaan aneh. Jantungnya saja sudah berdegup dengnan sangat kencang. Memompa aliran darah ke seluruh tubuh. Tak hanya itu, napasnya pun berderu dengan cepat. Bahkan ia bisa merasakan napasnya sedikit panas. ‘Ternyata begini visual dua orang yang sedang dilanda hasrat.’ Lagi-lagi Irene hanya bisa bermonolog dalam hatinya. Selama ini, dia hanya berimajinasi sendiri saat membaca setiap adegan dalam novel dewasa yang ia baca. Namun, dia hanya sekedar membayangkan, tak
“Irene, kenapa bengong terus?” tanya Zee. Saat ini mereka sedang berada di kantin fakultas. Karena hari ini Zee ada bimbingan dengan dosennya. Akhirnya saat jam makan siang, mereka memutuskan bertemu untuk sekedar makan Mie ayam favorit-nya. “Hah? Nggak.” Dengan cepat Irene menggeleng, lalu dia menyantap makanannya. Zee menyipitkan kedua matanya, jelas-jelas ada yang sedang dipikirkan oleh Irene. “Dari kemarin aku perhatikan kamu banyak diemnya, Ren. Kenapa? Kamu mikirin tempat tinggal? Tenang, kamu masih punya banyak waktu sampai aku sidang,” terangnya.“Tapi kamu sidang bulan depan,” timpal Irene. Memang benar, salah satu yang sedang Irene pikirkan adalah tempat tinggal. Dia tahu, kalau sebentar lagi Zee akan lulus. Setelah dia lulus, gadis itu akan kembali ke pekerjaannya di dunia entertain. Maka sudah jelas, sahabatnya itu akan meninggalkan kota kembang.. Namun, selain itu ada hal lain yang lebih mengganggu pikirannya. Apalagi kalau bukan tentang Juna. Pasca hari pembuktian i
Sudah satu minggu sejak perjanjian itu ditandatangani. Irene pun akhirnya pindah ke unit apartemen milik Juna. Mereka tidak tinggal satu tempat. Hanya saja unit yang dihuni oleh Irene, tepat berada di depan unit milik Juna. Hari ini, Juna sengaja berangkat pagi. Karena dia harus menyelesaikan pekerjaan, yang kemarin tertinggal di ruangannya. Setelah semuanya siap, Juna langsung melangkahkan kaki keluar dari flat-nya. Matanya pun kemudian bertemu dengan Irene yang sama-sama baru saja keluar. “Berangkat selalu jam segini?” tanya Juna. “Oh, i-iya,” jawab Irene. Padahal mereka sudah tinggal satu gedung bersama selama satu minggu. Namun, Irene masih terlihat canggung. Selama ini, belum ada yang terjadi di antara mereka. Karena Juna ingin memberikan Irene kesempatan menyesuaikan diri. “Pagi banget, ya,” komentar Juna. Sekarang masih pukul 06:15. Sedangkan jam masuk kantor pukul setengah delapan pagi.“Iya, saya memang suka berangkat pagi. Kalau begitu, saya duluan, ya,” pamit Irene. “
“Bercanda lo nggak seru, Yan. Masa iya Juna impoten?” ucap Abby, yang baru saja mendengar sebuah informasi dari Tryan.“Sumpah, gue bener-bener nggak bohong. Istri gue itu temennya suami Amara, mantan istri Juna,” ujar Tryan dengan wajah yang serius berbicara dengan ketiga temannya. “Istri gue pernah jenguk Amara yang baru saja melahirkan. Dan dia bilang kalau happy banget bisa punya anak. Karena dari pernikahan pertamanya, mustahil buat punya anak. Alasannya, karena si Juna impoten.”“Emang Amara bilang langsung kalau Juna impoten?” sela Stefan. Dia adalah satu-satunya orang yang mengetahui rahasia terbesar Juna. Sebisa mungkin, Stefan mengontrol raut wajahnya. Tryan terdiam, dia langsung mengalihkan pandangannya. “Ya nggak sampai bilang gitu juga, sih. Tapi istri gue yakin, kalau arah pembicaraan Amara ke sana. Lo tahu? Feeling cewek itu kuat, bro,” akunya. Sebisa mungkin Tryan mempertahankan argumennya.“Huh!” Stefan menghela napas sambil menggelengkan kepalanya, “parah, sih. Itu
Memori tentang kejadian di mana Irene pertama kali melayani Juna, selalu terngiang di pikirannya. Bahkan setelah satu minggu berlalu, Irene masih memikirkan apa yang ia lakukan malam itu. Setiap kenangan itu terlintas di benaknya. Perasaan Irene mendadak tak karuhan. Jantungnya selalu berdentum dengan cepat. Sensasi panas terasa di sekujur tubuhnya. Wajahnya kadang memerah, karena malu membayangkan dirinya berbuat demikian. Padahal Irene sudah berjanji pada dirinya sendiri. Untuk pelayanan pertama dia cukup menggunakan tangannya saja. Dia merasa belum siap dan jijik, jika harus memasukkan milik Juna ke dalam mulutnya. Namun, malam itu perasaan jijik seketika hilang. Karena dirinya sudah hanyut dalam permainan panas tersebut. “Ouh! Irene kamu mikirin apaan, sih? Masih pagi juga,” ucapnya sambil menggelengkan kepala. Menepis semua pikiran kotornya. Kemudian ia menarik napas dalam. “Oke, sudah jangan dipikirkan. Bersikap biasa saja, Irene. Lagi pula ke depannya kamu akan terbiasa,” im