Irene membaringkan tubuhnya di atas kasur. Dia mendesah sembari memejamkan matanya. Melepaskan penat dan lelah setelah seharian bekerja. Seolah pekerjaannya itu tidak ada hentinya.
Suara notifikasi pesan berbunyi, membuat kedua mata Irene terbuka. Dengan malas, dia mencoba meraih ponselnya yang ia letakan di atas nakas. Benda pipih itu ia pegang di atas wajahnya. Ia membaca pesan yang muncul di layar. Ternyata pesan itu berasal dari grup bersama dengan Gita dan Zee.
Zee mengirim pesan yang menanyakan agenda mereka di bulan Agustus. Dia ingin berkumpul dan kalau bisa pergi mengunjungi Gita. Sayangnya, Irene hanya memiliki libur satu minggu dan itu akan ia gunakan untuk menemani sang adik. Ia pun segera membalas pesan tersebut.
[Irene: Maaf, aku harus nemenin Irgie cari kosan di Jakarta. Dia mau kuliah tahun ini
Juna menyibakkan rambutnya yang basah. Tubuh kekarnya kini dibasahi oleh keringat. Beberapa menit lalu dia baru saja melakukan layanan telepon panas dengan partner-nya, Bella. Punggunya itu ia daratkan pada sandaran kursi. Kepalanya mendongak ke atas, menatap langit-langit kamar apartemennya. Dengan napas yang masih tersengal-sengal, dia menarik sudut bibirnya sebelah. “Gila!” ucapnya. Perlahan Juna mengumpulkan tenaganya, yang sudah terkuras karena permainannya sendiri. Memang melakukan hal ini tidak mendapatkan kepuasan seratus persen. Namun, apa boleh buat, hanya ini yang bisa Juna lakukan untuk melepaskan hasrat dan gairahnya. “Ternyata selama ini kalian orang yang sama,” ungkap Juna lagi. Awalnya Juna tidak ingin mempercayai apa yang ia dengar dari Irene dan Aldi. Dari percakapan itu, Juna mendapatkan sebuah fakta bahwa Irene adalah Bella. Untuk meyakinkan hatinya yang sedikit ragu. Juna pun mengubungi Irene dengan nomor ponsel utamanya. “Suara di telepon emang bener-bene
“Bu Mia, kalau Pak Juna ke mana, ya? Kok udah hampir satu minggu aku nggak lihat dia,” tanya Irene.“Oh, dia kan jadwal semester pendeknya cuman hari Rabu sama Kamis saja. Kenapa Emangnya?” terang Mia yang langsung menanyakan alasan Irene bertanya tentang Juna.Irene mengangguk. “Oh, ini … anu ….” Dia harus mencari alasan sebagus mungkin. Tidak mungkin kalau dia harus menjawab, kalau dirinya ingin bertemu dengan Juna, karena ada yang ingin dia katakan. Yang ada nanti Mia akan terus menghujaninya pertanyaan. “Temen saya nanyain. Dia ada keperluan terkait mata kuliah,” ujarnya.“Suruh dia temui hari Rabu atau Kamis saja.”“Baik, Bu.” Irene pun mengangguk. Dia kembali fokus den
Irene kedatangan tamu yang selalu ia nantikan. Siapa lagi kalau bukan, Reno. Laki-laki itu datang atas permintaan Irene, yang meminta bantuan untuk memperbaiki printer-nya yang mendadak tak bisa digunakan. “Ini, sih harus ganti cartridge,” ucap Reno yang tengah mengotak-atik benda berwarna hitam itu.“Wah, besok kali ya beli?” timpal Irene.“Mau sekalian nitip? Kebetulan aku juga mau ke Electronic Center,” tawar Reno. Irene langsung menarik kedua sudut bibirnya, dan ia merapatkan kedua telapak tangannya. “Boleh. Kira-kira berapa?” tanya Irene menanyakan nominal harga yang harus dia berikan pada Reno. “Mmm … 800 sampai 1 juta mungkin ada.” Irene menautkan alisnya. ‘Memangnya semahal itu, ya?’ batin Irene. Tak ingin mempertanyakan pada Reno. Irene mengambil ponselnya yang ia simpan di atas kasur. Lalu, ia membuka aplikasi m-banking dan mengirim sejumlah uang pada Reno.“Ya sudah aku transfer.” Kemudian ia menunjukkan ponselnya pada Reno. Memberi tahu kalau dia sudah mengirim uang se
“Reno! Kamu lagi apa?” Irene terkejut ketika melihat laki-laki itu sedang membuka lemarinya.“Hah?” Sontak Reno membalikkan badannya. Terkejut, karena mendapati sang pemilik kamar berdiri di ambang pintu. Mata hitamnya itu membulat, ia menggigit bagian bibir dalamnya. Perlahan, Reno menutup lemari yang ada di belakangnya.Irene berjalan mendekat ke arah Reno. “Kenapa kamu buka lemari aku?” tanya Irene.“Oh … i-itu,” gagap Reno.Irene mengintip ke belakang tubuh Reno. Lemari itu belum tertutup rapat. Dia bisa melihat laci yang di dalamnya tersimpan barang-barang berharga milik Irene terbuka.“Oh, jadi, kamu yang mengambil barang aku?&rdq
Juna mendadak panik, saat mendengar sedikit keributan dari seberang teleponnya. Saat inj sedang menelepon Bella, yang sudah ia ketahui identitas aslinya.“Bel, are you ok?” tanya Juna. Dia bisa mendengar percakapan Irene dengan seorang laki-laki. Yang akhirnya dia ketahui adalah Reno. “Oh, shit! Gawat,” resah Juna. Ia langsung menyambar kunci mobil yang disimpan pada rak. Kemudian dia bergegas menuju kosan Irene. Panggilannya dengan Irene pun tidak dimatikan. Juna bisa mendengar dengan jelas apa yang sedang mereka bicarakan. Keadaan pun semakin mendesak, dia segera menancapkan gas, melaju dengan kecepatan tinggi. “Irene, tunggu sebentar,” ucapnya sembari terus mengemudikan mobil di jalanan.Juna bisa mendengar dengan jelas rintihan dan isak tangis Irene. Ia juga bisa mendengar suara Reno yang mengancam gadis itu. Tak tahu pasti apa yang sedang mereka lakukan di sana. Namun, Juna berharap Tuhan masih memberikannya kesempatan untuk menyelamatkan Irene, tanpa terlambat. “Bangsat, Ren
Juna melangkahkan kakinya di lorong fakultas MIPA. Dia meniti tangga menuju lantai tiga, di mana tempat ketua departemen Ilmu Komputer berada. Dia sudah membuat janji dengan Zena, karena dia ingin memberikan pelajaran pada salah satu mahasiswanya.Zena yang tahu status Juna, dia pun tak bisa membantah. Ia juga tahu alasan Juna menggunakan kekuasaannya kali ini. Apa pun keputusan Juna, Zena sudah mengetahui dan mengizinkannya.“Selamat pagi, Pak Zena,” sapa Juna, saat dirinya memasuki ruang ketua departemen.“Oh, selamat pagi, Pak Juna.” Zena langsung beranjak dari kursi kebesarannya. Lalu menghampiri Juna dan menjabat tangannya, “saya sudah memanggil mahasiswa bersangkutan. Apa perlu ditemani?” tanya Zena.Juna
“Irene?” Gadis itu menaikan wajahnya, menatap Juna. “Aku sedang ada urusan di sini, Pak,” ungkapnya. Akhirnya Irene pun membuka mulut. Walau setelah menjawab pertanyaan Juna, dia kembali tertunduk. Hening sejenak, yang terdengar hanya suara kendaraan yang lalu lalang melintas di depan mini market. “Pak Juna,” panggil Irene. Juna hanya berdeham membalas panggilan Irene. Perlahan gadis itu menaikkan kepalanya lagi dan menatap Juna, “terima kasih,” ucapnya. Juna menarik kedua sudut bibirnya tipis. Namun, sedetik kemudian seseorang datang menghampiri mereka. Membuat Juna menoleh ke arahnya, dan mendapati seorang remaja laki-laki yang baru saja datang. “Kak Irene?” panggil seorang laki-laki, yang terlihat jauh lebih muda dari Juna. Juna yang melihat remaja laki-laki itu, tersenyum. Lalu senyuman itu dibalas oleh Irgie. “Lagi apa? Kok lama? Ini siapa?” bisik Irgie yang menghujani Irene pertanyaan.“Maaf, aku ketemu sama Pak Juna, jadi ngobrol sebentar,” ungkap Irene sambil mendongak.
Juna membawa mobil SUV hitamnya itu berhenti di sebuah rest area. Sebenarnya perjalanan Jakarta Bandung tidaklah panjang. Hanya saja Juna harus menjernihkan pikirannya sejenak.Mendapatkan pertanyaan seperti itu dari Irene, membuat Juna berpikir. Apakah harus dia utarakan sekarang tentang siapa dirinya? Dan alasan kenapa dia bisa ada di kosan Irene malam itu? Namun, sepertinya lambat laun pun pasti identitas Juna akan terbongkar. Seperti dia yang sudah bisa mengetahui identitas asli Bella. “Makan dulu,” ucap Juna, yang kemudian memberikan makanan fast food yang baru saja ia beli. “Terima kasih, Pak,” jawab Irene. Sebenarnya dia tidak terlalu lapar, tapi sudah terlalu sering Irene menolak pemberian Juna. “Kalau sedang tidak di tempat kerja, panggil saja Juna,” pintanya.Irene menggeleng. Dia merasa tidak enak memanggil pria yang umurnya terpaut jauh darinya, hanya dengan sebutan nama. “Ya sudahlah, gimana kamu saja.” Akhirnya Juna menyerah.Mereka mulai menghabiskan makanan yang b