Juna melangkahkan kakinya di lorong fakultas MIPA. Dia meniti tangga menuju lantai tiga, di mana tempat ketua departemen Ilmu Komputer berada. Dia sudah membuat janji dengan Zena, karena dia ingin memberikan pelajaran pada salah satu mahasiswanya.
Zena yang tahu status Juna, dia pun tak bisa membantah. Ia juga tahu alasan Juna menggunakan kekuasaannya kali ini. Apa pun keputusan Juna, Zena sudah mengetahui dan mengizinkannya.
“Selamat pagi, Pak Zena,” sapa Juna, saat dirinya memasuki ruang ketua departemen.
“Oh, selamat pagi, Pak Juna.” Zena langsung beranjak dari kursi kebesarannya. Lalu menghampiri Juna dan menjabat tangannya, “saya sudah memanggil mahasiswa bersangkutan. Apa perlu ditemani?” tanya Zena.
Juna
“Irene?” Gadis itu menaikan wajahnya, menatap Juna. “Aku sedang ada urusan di sini, Pak,” ungkapnya. Akhirnya Irene pun membuka mulut. Walau setelah menjawab pertanyaan Juna, dia kembali tertunduk. Hening sejenak, yang terdengar hanya suara kendaraan yang lalu lalang melintas di depan mini market. “Pak Juna,” panggil Irene. Juna hanya berdeham membalas panggilan Irene. Perlahan gadis itu menaikkan kepalanya lagi dan menatap Juna, “terima kasih,” ucapnya. Juna menarik kedua sudut bibirnya tipis. Namun, sedetik kemudian seseorang datang menghampiri mereka. Membuat Juna menoleh ke arahnya, dan mendapati seorang remaja laki-laki yang baru saja datang. “Kak Irene?” panggil seorang laki-laki, yang terlihat jauh lebih muda dari Juna. Juna yang melihat remaja laki-laki itu, tersenyum. Lalu senyuman itu dibalas oleh Irgie. “Lagi apa? Kok lama? Ini siapa?” bisik Irgie yang menghujani Irene pertanyaan.“Maaf, aku ketemu sama Pak Juna, jadi ngobrol sebentar,” ungkap Irene sambil mendongak.
Juna membawa mobil SUV hitamnya itu berhenti di sebuah rest area. Sebenarnya perjalanan Jakarta Bandung tidaklah panjang. Hanya saja Juna harus menjernihkan pikirannya sejenak.Mendapatkan pertanyaan seperti itu dari Irene, membuat Juna berpikir. Apakah harus dia utarakan sekarang tentang siapa dirinya? Dan alasan kenapa dia bisa ada di kosan Irene malam itu? Namun, sepertinya lambat laun pun pasti identitas Juna akan terbongkar. Seperti dia yang sudah bisa mengetahui identitas asli Bella. “Makan dulu,” ucap Juna, yang kemudian memberikan makanan fast food yang baru saja ia beli. “Terima kasih, Pak,” jawab Irene. Sebenarnya dia tidak terlalu lapar, tapi sudah terlalu sering Irene menolak pemberian Juna. “Kalau sedang tidak di tempat kerja, panggil saja Juna,” pintanya.Irene menggeleng. Dia merasa tidak enak memanggil pria yang umurnya terpaut jauh darinya, hanya dengan sebutan nama. “Ya sudahlah, gimana kamu saja.” Akhirnya Juna menyerah.Mereka mulai menghabiskan makanan yang b
Sebelum memasuki semester baru, para jajaran dosen dan staff departemen sejarah melaksanakan rapat. Untuk kali ini, Irene merasa ingin absen dari rapat. Dia masih belum siap untuk bertemu Juna.Setelah mengetahui fakta bahwa Jun adalah Juna. Irene dilanda kegelisahan dan overthinking. Ternyata orang yang selama ini dia puaskan adalah Juna. Dan, orang yang bisa membangkitkan sensasi aneh pada dirinya juga Juna. Rasanya dia ingin tenggelam di dasar samudera. Atau kemana pun, asal dia tidak bertemu dengan Juna. Namun, ada satu pertanyaan yang terlintas di benakIrene. Kenapa Juna melakukan hal seperti itu? Apakah alasan dirinya enggan memulai hubungan yang serius dengan seseorang itu hanya alasan saja? “Dia tuh ganteng, banyak yang naksir. Tapi kenapa harus begitu?” gumam Irene. Ia sedang merapikan perlengkapannya yang akan dia bawa saat rapat. Irene mengakui, kalau memang Juna itu tampan. Walau terkadang sikapnya dingin, tapi terkadang itu menjadi daya tarik tersendiri. “Siapa yang
Di hari liburnya, Irene harus bertemu dengan seseorang. Kondisinya lagi-lagi sedang membutuhkan uang. Apalagi dia harus segera mencari kosan baru. Karena sudah hampir satu bulan ini, dia menumpang di apartemen milik Zee. Pasca kejadian mengerikan itu, Irene memutuskan untuk pergi meninggalkan kosan yang sudah ia huni selama lebih dari empat tahun. Namun, dia tidak mendapatkan kosan yang harganya—minimal sama dengan kosan sebelumnya. Memang ada kosan yang harganya murah, tapi lokasinya terlalu jauh. Dia masih harus mengeluarkan ongkos untuk transportasi umum. “Sudah lama menunggu?” Suara seorang pria mengejutkan Irene yang sedang melamun. Kemudian pria itu duduk di depan Irene. “Tidak, Pak,” jawab Irene. Hari ini, Irene memang memiliki janji temu dengan Juna. Kemarin pria itu menawarkan pekerjaan untuk Irene. Awalnya sedikit ragu, tapi setelah dia menghitung-hitung kebutuhannya dengan sang adik. Tabungan Irene hanya cukup untuk bulan depan. “Jangan panggil Bapak, kalau sedang t
“I-impoten?” ucap Irene. Wajahnya menunjukkan bahwa dirinya terkejut dan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.Sebenernya Juna malu, karena harus mengungkapkan rahasia terbesarnya di depan umum seperti ini. Untung saja parkiran itu sedang sepi. Hanya ada beberapa mobil yang terparkir rapi.“Iya, saya im-po-ten,” ulang Juna dengan menekan kata terakhirnya. Irene bukan anak kecil, yang tidak tahu arti dari kata tersebut. Namun, dia tidak menyangka kalau penyakit itu nyata.“Ikut saya,” ajak Juna. Dia membawa Irene masuk ke dalam mobilnya. Berlama-lama di parkiran tidak enak, khawatir ada orang lain yang mengenal mereka dan mendapati mereka sedang berduaan.“Saya nggak salah denger, kan?” tanya Irene saat mereka sudah berada di dalam mobil milik Juna. Sepertinya Irene mengurungkan niat untuk pergi, dan merasa sedikit penasaran dengan pengakuan Juna. “Nggak.” Juna menjawab tegas. Lalu kedua bola mata cokelat milik Irene itu memindai tubuh Juna. Apakah benar, pria segagah d
“Jun, hentikan mobilnya. Kalau nggak aku bakal teriak!” ancam Irene. Dia mencoba menurunkan kaca mobil di sampingnya. Namun, sial dia tidak bisa menggunakannya. “Kok, nggak bisa, sih?” ucapnya sambil menekan-nekan tombol berwarna hitam. Tak ada balasan dari Juna, Irene langsung menoleh ke arah laki-laki itu. “Juna! Kamu mau culik saya, ya?” teriak Irene di dekat kuping pria itu. Juna langsung mengernyitkan wajah. Telinganya terasa sakit, karena Irene berteriak lumayan keras. “Bisa diam? Bukannya tadi kamu bilang nggak percaya. Saya sekarang mau buktikan agar kamu percaya!” tegasnya. Irene hanya diam, melihat wajah samping Juna yang terlihat serius. Apa benar pria ini mengidap impotensi? Karena jika tidak, sepertinya dia tidak akan bersikeras seperti ini. Mobil SUV hitam milik Juna berhenti di sebuah parkiran tempat karaoke. Juna pun segera keluar, menuju pintu samping dan memaksa Iren untuk turun. “Diam dan ikuti saja. Jangan melawan, kalau kamu tidak mau kehilangan pekerjaan ka
Semakin lama, Irene merasa atmosfer di ruangan ini memanas. Beberapa kali dia harus menarik napas dalam, bahkan sampai meminum air putih yang tersedia di sana. Dia sudah merasa tak sanggup melihat aksi Juna dan Monica yang bergulat di atas sofa. Walau mereka belum sampai menanggalkan pakaiannya, tapi aksi mereka sukses membuat Irene gerah. ‘Astaga, pengin keluar,’ batinnya gelisah. Ia ingin menenangkan dirinya. Minimal pergi ke toilet untuk membasuh wajahnya yang sudah memanas. Bohong rasanya, jika Irene tidak merasakan perasaan aneh. Jantungnya saja sudah berdegup dengnan sangat kencang. Memompa aliran darah ke seluruh tubuh. Tak hanya itu, napasnya pun berderu dengan cepat. Bahkan ia bisa merasakan napasnya sedikit panas. ‘Ternyata begini visual dua orang yang sedang dilanda hasrat.’ Lagi-lagi Irene hanya bisa bermonolog dalam hatinya. Selama ini, dia hanya berimajinasi sendiri saat membaca setiap adegan dalam novel dewasa yang ia baca. Namun, dia hanya sekedar membayangkan, tak
“Irene, kenapa bengong terus?” tanya Zee. Saat ini mereka sedang berada di kantin fakultas. Karena hari ini Zee ada bimbingan dengan dosennya. Akhirnya saat jam makan siang, mereka memutuskan bertemu untuk sekedar makan Mie ayam favorit-nya. “Hah? Nggak.” Dengan cepat Irene menggeleng, lalu dia menyantap makanannya. Zee menyipitkan kedua matanya, jelas-jelas ada yang sedang dipikirkan oleh Irene. “Dari kemarin aku perhatikan kamu banyak diemnya, Ren. Kenapa? Kamu mikirin tempat tinggal? Tenang, kamu masih punya banyak waktu sampai aku sidang,” terangnya.“Tapi kamu sidang bulan depan,” timpal Irene. Memang benar, salah satu yang sedang Irene pikirkan adalah tempat tinggal. Dia tahu, kalau sebentar lagi Zee akan lulus. Setelah dia lulus, gadis itu akan kembali ke pekerjaannya di dunia entertain. Maka sudah jelas, sahabatnya itu akan meninggalkan kota kembang.. Namun, selain itu ada hal lain yang lebih mengganggu pikirannya. Apalagi kalau bukan tentang Juna. Pasca hari pembuktian i