Share

Langit Merah
Langit Merah
Author: Dina Dwi

Bab 1

Author: Dina Dwi
last update Last Updated: 2021-09-24 17:50:32

Suara langkah kaki bergema di salah satu lorong bangunan tua bertingkat itu. Tiga orang remaja belasan tahun tengah berlari mencari tempat yang aman. Mereka meninggalkan dua orang lainnya yang mana keduanya berjenis kelamin laki-laki.

Fiona, nama gadis yang termasuk tiga remaja itu mengikuti dua temannya yang memimpin jalan. Mereka memasuki sebuah ruangan kosong yang kotor berdebu.

"Kenapa ini bisa terjadi?" Akhirnya Fiona bisa bertanya ketika mereka duduk di sudut ruangan. 

Bunyi sesuatu yang terdengar layaknya suara ledakan terdengar, Fiona yakin itu adalah suara hancurnya dinding bangunan ini sama seperti sebelumnya. 

"Mutan Liar tidak akan melepas siapa pun yang pernah lolos hidup-hidup darinya. Anggaplah seperti binatang yang memburu mangsanya. Dan kita sekarang menjadi mangsanya." Satu-satunya laki-laki di satu ruangan itu menjawab pertanyaan Fiona. 

Keringat mengalir di wajahnya yang kusam, namun karena ia yang paling muda diantara lainnya. Wajahnya lebih terlihat seperti anak kecil bukan seorang remaja yang beranjak dewasa. Imut sekali jika di perhatikan lebih dekat. Vano adalah nama laki-laki itu.

"Memangnya apa untungnya dia mengejar kita?" Fiona mengernyit kebingungan. Setelah terbangun sejak beberapa menit yang lalu ia tidak bisa paham dengan keadaannya saat ini.

"Kau benar-benar tidak tahu apa pun, ya?" perempuan selain Fiona menimpali. Terdengar seperti sedang menyindir karena nada datarnya saat berkata.

Fiona mengalihkan pandangannya pada perempuan yang bernama Ema. 

Dalam hati Fiona cemberut. Aku kan lupa ingatan! Serunya dalam hati. Benar, ia lupa ingatan sejak terbangun dari tidurnya terakhir kali. Lebih tepatnya ia bangun dari pingsannya.

Tapi entah kenapa Fiona tidak berani membalas Ema secara terang-terangan. Ia merasa segan. Lagipula Ema mungkin saja tidak berniat menyindirnya, Fiona mencoba berpikir positif karena dari awal bertemu ia tidak bisa menebak Ema. 

Ema itu perempuan yang sangat pendiam.

"Sebelumnya, mutan inilah yang menyerang kami dan kau membantu kami karena kita bersama ke Sentral. Mutan Liar ini tidak sendirian, kami berhadapan dengan enam Mutan Liar lainnya." Sekali lagi Vano mengambil alih menjelaskan padaku.

"Lalu yang lainnya? Kemana keenam Mutan Liar lainnya itu?" tanya Fiona. Ia seolah mengabaikan jika sebenarnya ia tidak mengerti apa arti dari Mutan Liar.

Fiona melihat Vano mengangkat alisnya dan tersenyum, hal yang mengejutkan untuk Fiona. Vano lebih sering ketakutan kali ini tersenyum? Mau tak mau, Fiona tanpa sadar ingin membalas senyuman itu.

Kali ini ia yang ketakutan sedangkan Vano si penakut itu malah tersenyum tanpa beban.

Tapi kemudian Fiona tidak bisa tersenyum membalasnya karena mendengar jawaban dari pertanyaannya.

"Kau membunuh mereka, kau membunuh keenam teman Mutan Liar itu." jawab Vano.

Fiona membeku. Ia tidak bisa mengerti bagian mana yang membuat Vano tersenyum. Sebaliknya Fiona merasa napasnya tertahan hingga membuatnya merasa menarik napas itu terasa sulit.

"Bohong, kan?" tanya Fiona pada Vano. Ia menatap Vano dengan tatapan tidak percaya.

"Eh?" senyum di wajah Vano digantikan raut bingung. Reaksi Fiona yang seperti itu yang jadi penyebabnya.

"Aku membunuh?" gumam Fiona dengan rasa terkejutnya yang kentara.

Vano dan Ema saling berpandangan. 

Ema sekali lagi kembali menatap Fiona yang kini tengah menunduk dan akhirnya sadar. Sadar bahwa Fiona mendengar jawaban yang tidak menyenangkan. Mungkinkah Fiona merasa tertekan karena sudah pernah membunuh? Fiona tampak terguncang mentalnya.

"Yah, jika kau tidak melakukannya mungkin kita semua tidak akan berada di sini." Ema menarik perhatian Fiona.

Benar, Fiona terguncang. Wajahnya bahkan memucat dan terlihat mirip dengan ekspresi Vano saat ketakutan bahkan mungkin lebih parah.

"Karena Ter itu kuat dan Morgan itu pintar, mereka pasti bisa mengalahkan yang satu ini." Vano menimpali. Ia menyebut nama dua orang laki-laki yang sebelumnya mereka tinggalkan.

Ema memutar bola matanya mendengar itu. Vano tidak peka dengan apa yang terjadi pada mental Fiona.

"Hm, membunuh Mutan Liar adalah hal yang perlu dilakukan saat diincar oleh mereka. Itu untuk bertahan hidup. Berhadapan dengan mereka, katakanlah kau membunuh atau terbunuh." Ema berkata lagi. Berniat meredakan rasa tertekan Fiona. 

Meski sebenarnya nada suara yang datar dari mulutnya itu sama sekali tidak membantu.

"Apa, apa itu hal yang wajar?" Fiona bersuara. Ia bertanya dengan panik, suara bergetar.

Ema mengangkat sebelah alisnya, "Tergantung dari dirimu sendiri, tergantung menurutmu seperti apa. Kau menyamakan bertahan hidup dari Mutan Liar ini sama seperti kebutuhan makan untuk bertahan hidup, itu terserah kau. Makan itu hal yang wajar, bukan?"

Fiona terdiam. Dirinya merenungkan perkataan Ema. Apa membunuh itu sama dengan mencari makan?

Fiona mengerutkan keningnya dengan wajah yang masih tertekan. Ia bergumam pelan, "Mungkin memang sama. Mungkin ini sama seperti mengalahkan binatang buas yang menyerang kita saat berada di hutan lebat untuk mencari makanan. Entah binatang itu tengah mencari makan juga atau tidak." 

Gumaman Fiona terdengar tidak jelas dan sulit dipahami. Tapi Ema paham apa yang ingin Fiona katakan itu. Sepertinya Fiona mulai mengerti situasinya, meski Ema merasa itu terlalu cepat. Apa lagi Fiona itu lupa ingatan sejak terbangun dari pingsannya.

Ema lagi-lagi mengangkat alisnya, "Kau bisa tahu tentang itu seolah pernah mengalaminya. Tidak, meski kau pernah mengalaminya, tapi saat ini kau 'kan lupa ingatan?"

Ah, yang dikatakan Ema memang benar-benar. Fiona bahkan kaget saat menyadari ini. Bagaimana bisa dia berkata seperti itu seolah masih mengingat informasi tentang hidup mahluk hidup. Ia juga bahkan merasa membunuh itu salah bagi manusia. Bagaimana bisa?

Tapi bukan itu masalahnya sekarang. Fiona menatap Ema, masih ada yang mengganjal pikirannya.

"Mereka juga mahluk hidup yang sama dengan kita, tetap saja membunuh mereka itu terasa salah. Apa benar itu tidak apa-apa?"

Menurut Fiona, mereka sama-sama manusia. Atau boleh dikatakan mereka sama-sama mutan?

"Memang. Memang mereka mahluk yang dulunya sama dengan kita. Tapi tahukah Fiona? mereka yang mencapai usia tertentu akan kehilangan pikiran dan hati mereka. Mereka berubah menjadi mahluk layaknya binatang buas. Bahkan mereka tidak bisa merasa kenyang bahkan setelah memakan lawannya." 

Ema memberi tahu hal yang lebih mengejutkan lagi bagi Fiona. Entah kenapa terdengar menyeramkan di telinga Fiona.

"Kau tadi tidak mengatakan mereka akan memakan mangsanya, maksudku lawannya." Fiona berkata, lagi-lagi dengan rasa tidak percaya karena terkejut.

"Kan, sudah ku katakan. Mereka seperti binatang yang memburu mangsanya. Itu bukan hanya sekedar kata penggambaran. Karena kenyataannya memang seperti itu." Ema masih bersabar menjelaskan pada Fiona karena ia mengerti keadaan Fiona bukanlah amnesia tipuan.

Lagi pula jika itu tipuan, Fiona tidak akan mungkin mereka tinggalkan karena seperti yang sebelumnya dikatakan Vano, Fiona pernah menyelamatkan nyawa mereka.

Fiona masih belum memperbaiki ekspresi ekspresi wajahnya. Ia masih shock.

Jadi kata-kata itu berarti yang sebenarnya. 

Mereka bagai binatang yang memburu mangsanya lalu memakannya belum lagi mereka memakan sesamanya. Bahkan lebih mengerikan lagi dari binatang kanibal, mereka bahkan tidak pernah merasa kenyang. 

"Jadi, kau sudah merasa lebih paham atau malah sebaliknya?" tanya Ema.

Fiona tidak tahu harus menjawab apa, "Aku tidak tahu," gumamnya pelan sekali. 

Ema tidak bertanya lagi dan pembicaraan mereka berhenti sampai disitu. Sedangkan Vano sudah terlelap entah sejak kapan. Laki-laki itu tertidur sambil bersandarkan di dinding ruangan.

*****

Related chapters

  • Langit Merah   Bab 2

    Beberapa menit yang lalu. Sebelum Mutan Liar datang mencari mereka. “Fiona...” Nama gadis yang tak sadarkan diri itu disebut. “Kenapa dia belum sadar juga?” tanya sebuah suara terdengar panik, berasal dari pemuda yang berambut pirang pucat. Laki-laki yang paling muda diantara mereka. “Kau terlalu berisik! Lihat, dia terganggu.” Suara lain yang halus menyahut pelan. Tidak sejalan dengan kalimatnya yang menyindir, kalimat yang lebih cocok jika dikeluarkan dengan nada keras untuk membentak. Pemilik suara itu adalah pemuda yang memiliki mata kelabu terang. “Tapi bagus juga, dia bisa segera sadar.” Suara yang lebih feminim terdengar, tapi bersamaan nadanya yang keluar juga lebih datar. Ia satu-satunya perempuan diantara mereka yang bersuara. “Mungkin lukanya parah sampai membuatnya pingsan cukup lama.” Suara yang pertama memanggil Fiona kembali menimpali, berasal dari pemuda bertubuh

    Last Updated : 2021-09-24
  • Langit Merah   Bab 3

    “Sudah, jangan dilanjutkan. Yang pasti kalian berdua itu sama. Sama-sama jarang tersenyum. Yang satunya pendiam yang dingin. Satunya lagi pemarah yang jutek.” Spontan saja pandangan kedua orang yang disindir itu segera teralihkan pada yang berbicara, Morgan. Mereka kompak mengganti objek kebencian mereka dengan sasaran yang sama. Fiona ingin tahu apakah Morgan sebenarnya berniat melerai mereka dengan mengorbankan diri agar dibenci atau malah menambah kemarahan mereka? Si pemuda pirang terlihat sangat kebingungan, Fiona mengira dia lah yang benar-benar ingin berperan menenangkan kedua temannya. Hingga pemuda pirang itu berbicara. “Kalian tidak akan saling bunuh dengan tatapan, kan?” tanya si pemuda pirang dengan takut. Sekarang Fiona harus memperbaiki sedikit tebakan dari pikirannya tadi. Apa maksudnya perkataan pemuda itu? &nbs

    Last Updated : 2021-09-24
  • Langit Merah   Bab 4

    Morgan, pemuda dengan suara lembut tapi sinis itu namanya Morgan, memiliki rambut hitam dan mata kelabu. Tubuhnya lebih tinggi dari mereka yang ada di dalam ruangan. Tapi kalah tinggi dengan Garter. Wajahnya yang lumayan tampan dengan mata kelabu terang. Mata yang menarik perhatian Fiona saat pertama kali melihatnya. Apalagi wajahnya yang kotor tidak menghilangkan kesan tampannya. Sayang, ucapan yang dikeluarkan sering menyindir, padahal Morgan tipe pemuda bersuara lembut. Vano, pemuda yang sering terlihat ketakutan, sepertinya dia orang yang mudah khawatir. Dia memiliki rambut pirang pucat dan mata cokelat terang nyaris keemasan. Tubuhnya lebih tinggi dari Ema tapi lebih pendek dari dua temannya yang lain. Pemuda tipe ini, terlihat kekanakan di mata Fiona karena selalu gugup. Mungkin dia lebih muda daripada yang lain, lalu tertindas. Fiona mencoba berpikiran positif, tapi kemungkinan Vano ditindas karena umurnya bisa jadi alasan sifatnya yang sering ta

    Last Updated : 2021-09-24
  • Langit Merah   Bab 5

    Mereka bilang ia belum lama berkenalan dengan mereka. Itu artinya, ia baru bergabung dengan mereka. Meski ia ragu jika sudah bergabung dengan mereka mengingat Ter yang dengan mudahnya mau meninggalkannya.Fiona meneguk ludahnya setelah mendengar penjelasan Vano. Vano bilang pertemuan mereka terjadi karena mereka tidak sengaja terlibat obrolan yang membahas tentang tujuan perjalanan mereka yang ternyata sama.Dan untuk informasi yang sangat penting, mereka bukan manusia biasa, manusia biasa sudah tidak ada yang tahu keberadaannya. Mereka sekarang disebut sebagai manusia berkemampuan khusus.Mereka, katakanlah Mutan yang tercipta karena adanya cahaya gelombang radiasi di bumi tiga dekade lalu. Radiasi itu menstimulasi pembentukan gen baru pada semua manusia yang menjadi penyebab manusia mengeluarkan kemampuan tubuh di atas batas wajar karena mengalami mutasi.Dan begitulah, manusia biasa tidak ada yang tahu keberadaanny

    Last Updated : 2021-09-24
  • Langit Merah   Bab 6

    "Kenapa ini bisa terjadi?" Akhirnya Fiona bisa bertanya ketika mereka duduk di sudut ruangan. Bunyi sesuatu yang seperti ledakan terdengar, Fiona yakin itu seperti suara hancurnya dinding sebelumnya. "Mutan Liar tidak akan melepas siapa pun yang pernah lolos hidup-hidup darinya. Anggaplah seperti binatang yang memburu mangsanya. Dan kita sekarang menjadi mangsanya." Vano menjawab pertanyaan Fiona. Keringat mengalir di wajahnya yang kusam namun karena yang paling muda wajahnya lebih terlihat seperti anak kecil. Imut sekali jika di perhatikan."Memangnya apa untungnya dia mengejar kita?" Fiona mengernyit."Kau benar-benar tidak tahu apa pun, ya?" Ema menimpali. Terdengar seperti Morgan yang menyindir karena nada datarnya.Dalam hati Fiona cemberut. Aku kan lupa ingatan! Tapi entah kenapa Fiona tidak berani membalas Ema. Ia merasa segan. Lagipula Ema mungkin saja tidak berniat menyindirnya, Fiona mencoba berpikir positif karena tidak bisa menebak Ema."Sebelumnya, mutan inilah yang men

    Last Updated : 2025-03-07
  • Langit Merah   Bab 7

    "Ter!" Morgan berseru begitu angin tornado dilontarkan si mutan liar ke arah mereka. Jarang sekali ia berteriak tidak seperti biasanya yang sering berkata lembut."Berisik! Aku disampingmu! Kau bisa membuatku tuli." Ter merentangkan tangan kedepan. Angin tornado itu seketika menghilang saat mendekati tangannya.Mereka bisa berlari dengan sejajar karena Morgan butuh kemampuan Ter. Ter hanya bisa melindungi jika Morgan tidak jauh darinya.Tapi si mutan liar tidak berhenti disitu saja, dia mengeluarkan banyak serangan berkali-kali. Hal itu membuat Ter juga berkali-kali menetralkan serangannya. Ia mulai kelelahan padahal jarak mereka sudah dekat. Beberapa serangan yang tidak mengarah ke mereka berdua mengenai bangunan di belakang. Akibatnya, dinding bangunan itu dihiasi lebih dari satu lubang.Dan ketika Morgan dan Ter melompat ke arah mutan liar itu, seketika angin layaknya badai hurikan membentengi tubuh mutan liar itu.Ter tak sempat bertindak mencegah karena tidak memperkirakan serang

    Last Updated : 2025-03-07
  • Langit Merah   Bab 8

    "Sudah mulai senja. Ayo kita kembali saja," kata Gar yang tengah memegang seekor burung dan seekor tupai."Itu ide bagus." Vano tidak bisa menyembunyikan ras leganya."Berburu seperti ini memang tidak mudah. Tenaga yang keluar tidak sebanding dengan hasil yang didapatkan," sahut Morgan yang tidak mendapatkan apa-apa."Tapi meski aku begini, kau itu ya?! Sudah tidak berusaha apa-apa, tidak tahu malu dan tidak merasa bersalah malah nyengir kalau waktunya kembali. Memangnya ini cukup untuk kita yang totalnya berlima?!" lanjut Morgan dan mengomel pada Vano."Kenapa marah padaku? Kan, Gar yang mengusulkan kembali karena sudah mulai gelap." Vano merenggut."He, kau memang tidak mengerti, ya. Kau juga bahkan hanya mengeluh terus. Kau malah jadi beban tahu. Sadarlah, hilangkan rasa takutmu yang berlebihan itu." Morgan memutar bola matanya teringat Vano yang terus-terusan gelisah saat mereka berburu tadi.Tapi mau bagaimana lagi, Vano tidak bisa mengendalikan pikirannya yang selalu memikirkan

    Last Updated : 2025-03-07
  • Langit Merah   Bab 9

    Dari awal memang Fiona merasa aneh dengan senyuman Ema. Biasanya gadis itu selalu menampakkan wajah datar. Sekalinya tersenyum ternyata ada makna tersembunyi. Dan lagi, Fiona lebih terkejut ketika tahu Ema keluar dari karakternya yang dikenal Fiona, apa maksud tindakan konyol Ema yang seperti itu tadi?"Ini yang kalian maksud?!" Vano berseru menatap seekor sapi hutan yang sudah mati. Matanya menatap Ema, meminta penjelasan."Yap, silakan dibawa. Itu tugasmu sekarang." Ema berkata dan tampak sengaja mengabaikan tatapan kesal Vano, Vano merasa kesal karena ketakutan pada hal seperti ini gara-gara Ema. Takut pada sapi hutan? Mata Vano jelas terlihat seperti sudah dikerjai dan tertipu."Jadi kau bisa melakukannya?" tanya Fiona memastikan. Karena ia dan Ema tidak bisa membawa sapi utuh itu.Vano tersenyum kecil, "Tentu saja, serahkan padaku."Vano merenggangkan kedua tangannya, lalu dengan tangan kurusnya itu, Fiona melihatnya mengangkat sapi itu."Wah!" Fiona tercengang. Awalnya ia tidak

    Last Updated : 2025-03-07

Latest chapter

  • Langit Merah   Bab 30

    "Ayah setuju jika saya pergi ke Pusat Pemberdayaan?" Vano menatap ayahnya tidak percaya.Padahal sebelumnya ayahnya sangat gigih tidak setuju jika Vano pergi. Dan Vano sudah berencana membuat dirinya pergi bahkan jika ayahnya tidak setuju. Tapi belum sempat Vano berbuat apa-apa ayahnya ternyata sudah berubah pikiran.Keesokan harinya orang-orang yang Vano duga sebagai orang dari Pusat Pemberdayaan datang ke rumah Vano. Mereka jumlahnya tiga orang sama seperti kemarin tapi orangnya tidaklah sama. Mereka berbeda dengan orang yang sebelumnya."Kami di beri tahu jika seharusnya anak anda dijemput kemarin. Tapi anda meminta waktu sehari untuk menundanya."Zack mengangguk saat salah satu tiga orang itu berbicara."Aku butuh waktu berpikir dan mempersiapkan segalanya. Karena tentu saja Vano butuh persiapan." Zack menaruh dua tangannya dibawah dagunya. Tatapannya sangat serius."Sebenarnya anda tidak perlu mempersiapkan apa-apa. Kami hanya diperintahkan untuk menjemput anaknya tanpa membawa b

  • Langit Merah   Bab 29

    Vano mencuri dengar dari balik pintu saat ayahnya berusaha keras untuk bernegosiasi pada orang-orang yang ingin membawaku. Aku tidak tahu harus merasakan apa, ayah bahkan mengatakan hal yang mustahil."Aku akan memilih penguji dan peneliti untuk anakku sendiri.""Maaf tuan Zack, anda tidak bisa melanggar aturan meski keluarga anda adalah keluarga besar. Ini adalah kewajiban semua masyarakat. Dan ini semua untuk kebaikan bersama. Bagaimana jika kemampuan anak anda muncul di saat yang tidak tepat? Maka sebelum itu terjadi kami harus membawanya. Tenang saja kami akan menjaga dan merawat mereka dengan baik. Anak anda akan kembali kepada anda lagi jika sudah mendapatkan perizinan. Dan itu biasanya tidak sampai bertahun-tahun. Bahkan ada yang hanya sebulan saja." Vano mendengar suara pria yang bersama ayahnya di ruang kerja ayahnya.Vano lalu pergi menjauh ketika merasa orang-orang berserta ayahnya hendak keluar ruangan. Tapi Vano tidak menjauh terlalu jauh. Ia bersembunyi di balik dinding

  • Langit Merah   Bab 28

    "Lalu.. bagaimana denganmu?" tanya Fiona dengan sedikit takut. Pandangannya kosong.Morgan tersenyum miring. Fiona mengeraskan wajahnya, "Kau benar-benar mau menjadi tawanan yang ditangkap?" sindir Fiona.Fiona mengepalkan tangannya. Ia yakin Ter dan Vano juga menegang saat ia mengatakan itu."Jangan bercanda. Kau ke Sentral untuk menjadi tawanan?!" ulangnya dengan marah. Fiona untuk pertama kalinya menampakkan wajah yang benar-benar murka. Morgan sampai terkejut melihat itu."Aku tidak punya tujuan, jadi.." Morgan mencoba menjelaskan."Jangan konyol," desis Ter menarik baju bagian atas Morgan hingga Morgan harus terpaksa melihat ekspresi Ter yang sama murkanya.Sedangkan Vano mengangkat wajahnya dan menatap Morgan yang sedang berdebat dengan temannya yang lain. Tarikan napas lebih keras dilakukan Vano. Saat Morgan menyinggung tujuannya ke Sentral. Tiba-tiba ingatan tentang masa lalu menyeruak di benak Vano.*****"Silakan," ucap seorang pria berumur tiga puluhan setelah menarik kursi

  • Langit Merah   Bab 27

    "Tidak perlu dilanjutkan lagi." Pemuda bermata biru itu menatap mereka berempat dan Viktoria dengan bergantian.Ia melewati Viktoria yang tidak bersuara. Viktoria hanya menatap dalam diam ketika ketua kelompoknya maju.Pemuda itu buka suara lagi. "Perkenalkan namaku Zayn. Dan yah, aku ketua dari kelompok ini. Pertarungan ini kita hentikan saja."Perkataan tiba-tiba seperti itu tentu saja mengejutkan. Morgan dan yang lainnya terkejut dengan permintaan Zayn. Bahkan Viktoria yang selalu tidak berekspresi menampakkan getaran di wajahnya."Kalian bisa pergi dan kami tidak akan mengganggu lagi." Zayn kembali melanjutkan.Fiona terkejut dengan mata sedikit melebar. Morgan menarik napas tiba-tiba tapi tidak langsung mengeluarkannya dan memilih menahan napas. Pikiran mereka saat ini mencoba menebak pikiran pemuda bermata biru itu.Pemuda itu tidak menampakkan ekspresi yang membuat mereka terancam. Itu ekspresi seperti mengalah. Tapi tetap saja tindakannya mengundang banyak pertanyaan."Jadi ka

  • Langit Merah   Bab 26

    "Aku tidak tahu ternyata kita bisa mengalahkan mereka dengan waktu secepat ini." Fiona buka suara di belakang Morgan."Sebelumnya kita kesusahan untuk menangkap mereka. Tapi kesempatan tidak terduga muncul. Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang ada," balas Morgan."Tapi jika mereka punya kemampuan seperti itu, kenapa mereka tidak mengeluarkannya dari awal? Kenapa mereka tidak mengalahkan kita dari awal? Itu yang belum aku pahami." Morgan melanjutkan. Ia sedikit menebak alasannya tapi belum benar-benar yakin dengan tebakannya itu.Fiona meletakkan tangannya di bawah dagu tampak seolah sedang berpikir. "Apakah mereka butuh kekuatan lebih untuk melakukan itu? Dan mungkin itu akan menguras banyak energi mereka," tebak Fiona.Morgan mengangguk, "Itu juga yang aku pikirkan. Karena itu, saat mereka merasa sulit untuk mengalahkan kita maka saat itulah mereka harus mengeluarkan kemampuan itu." "Jadi mungkin saja mereka tidak akan menyerang dengan serangan yang melumpuhkan dalam sekej

  • Langit Merah   Bab 25

    Rino menyiapkan kedua telapak tangannya yang seketika mengeluarkan cahaya. Perlahan api mengumpul di telapak tangannya membentuk bola api yang semakin lama semakin membesar.Tak butuh peringatan, Rino melemparkan bola api dari kedua tangannya ke arah Helen. Helen tidak diam saja langsung mengeluarkan airnya.Aliran air muncul melindunginya dan Hans. Membentuk pusaran yang mengelilingi mereka dan mereka berdua berada di dalamnya. Rena melompat atau bisa dikatakan terbang ke atas pusaran dimana bagian atasnya terbuka dan menampakkan Hans dan Helen sedang berdiri diantara aliran air yang berputar.Yang membuat Fiona takjub adalah saat Rena melompat dengan kakinya yang mengeluarkan api. Rena terbang di udara dengan kaki yang terbakar. Dia mengingatkan Fiona dengan benda yang terbuat dari logam dan bisa terbang menembus udara menuju angkasa. Tapi Fiona tidak mau memikirkan itu sekarang. Ia terfokus dengan aksi mereka.Saat di atas udara, juga di atas pusaran air yang terbuka di tengahnya,

  • Langit Merah   Bab 24

    "Tumben kau biasa saja saat berhadapan dengan orang asing." Ter kembali mengajak Vano berbicara lagi.Vano meringis, "Setidaknya dia hanya kategori Raga. Jadi aku rasa dia sedikit tidak berbahaya."Ter mendengkus, "Yang benar saja. Kalau dia tidak berbahaya, bagaimana mungkin dia bisa bertahan setelah ku lempar tubuhnya mengenai batu, sampai-sampai batu besar itu hancur."Vano melebarkan matanya, "Eh, benarkah?"Vano segera memperhatikan sekitar gadis itu, musuhnya. Memang benar. Ada beberapa potongan batu di belakang gadis itu."Hm," Vano memiringkan kepalanya. "Tapi itu wajar saja menurutku. Soalnya dia kategori Raga, kan? Tubuhnya tentu saja lebih kebal. Aku juga tahan benturan, kok."Ter melihat Vano seolah kepalanya tumbuh dua."Dari dulu aku tidak paham. Kenapa di saat bahaya tidak mungkin terjadi, kau ketakutan setengah mati. Tapi saat bahaya yang jelas seperti ini, kau justru biasa saja. Kalau begitu kenapa kau ketakutan saat kau tahu tubuhmu itu juga kuat?" Ter terperangah me

  • Langit Merah   Bab 23

    Fiona membuat dinding tanah yang kokoh sebagai tameng dari serangan balasan dari Hans yang sedang berdiri di batang pohon. Fiona sudah memperkuat strukturnya supaya tidak mudah dihancurkan serangan es dari musuhnya itu."Fiona, di sebelah kiri!" Morgan berseru memperingati Fiona. Jangan lupakan musuh pengendali air juga ada di sini.Berkat itu, Fiona mengubah bentuk dinding yang tegak menjadi kubah yang menutupi mereka. Seketika pandangan Morgan menjadi gelap. Mereka berdua terkurung di dalam."Rasanya kesal sekali," kata Morgan disela-sela gemuruh suara yang terdengar dari kubah tanah yang bergetar. Tampaknya musuh mereka mencoba menghancurkan tanah yang melingkupi mereka.“Hei. Apa hanya ini yang bisa kau lakukan?” tanya Morgan.“Apa?” Fiona terkejut mendengar pertanyaan Morgan yang terkesan meremehkan.“Setahuku kemampuanmu itu telekinesis. Aku terkejut kau bisa mengendalikan tanah. Tapi jika kemampuan telekinesismu menghilang mungkin akan sulit untuk mengalahkan mereka.” Morgan m

  • Langit Merah   Bab 22

    Kehidupan Garter yang keras berubah karena kecelakaan yang dialaminya. Saat umurnya sudah sepuluh tahun, saatnya anak sepertinya diantar ke Pusat Pemberdayaan. Karena anak yang diantar bukan hanya Garter. Mereka harus naik ke mobil angkutan khusus. Mirip mobil boks tapi bak tertutupnya dilengkapi kursi untuk beberapa orang.Dan lagi ternyata anak-anak yang diantar bukan hanya dari panti asuhan dimana Garter berasal. Mereka juga menjemput anak-anak dari panti asuhan lain dan membawanya ke Pusat Pemberdayaan.Saat berhenti di sebuah panti asuhan, Garter yang sudah duduk bersama beberapa anak di dalam mobil mendengar sesuatu. Mereka tidak diperbolehkan untuk keluar. Makanya mereka tidak bisa melihat bagaimana pemandangan panti asuhan. Apakah sama seperti panti asuhan mereka atau lebih bagus lagi?"Apa yang terjadi?" Anak di depan Garter bertanya entah pada siapa. Posisi duduk mereka saling berhadapan dengan Garter berada di ujung dalam mobil. Berbatasan dengan logam yang memisahkannya d

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status