“Sudah, jangan dilanjutkan. Yang pasti kalian berdua itu sama. Sama-sama jarang tersenyum. Yang satunya pendiam yang dingin. Satunya lagi pemarah yang jutek.” Spontan saja pandangan kedua orang yang disindir itu segera teralihkan pada yang berbicara, Morgan.
Mereka kompak mengganti objek kebencian mereka dengan sasaran yang sama.
Fiona ingin tahu apakah Morgan sebenarnya berniat melerai mereka dengan mengorbankan diri agar dibenci atau malah menambah kemarahan mereka?
Si pemuda pirang terlihat sangat kebingungan, Fiona mengira dia lah yang benar-benar ingin berperan menenangkan kedua temannya.
Hingga pemuda pirang itu berbicara.
“Kalian tidak akan saling bunuh dengan tatapan, kan?” tanya si pemuda pirang dengan takut.
Sekarang Fiona harus memperbaiki sedikit tebakan dari pikirannya tadi. Apa maksudnya perkataan pemuda itu?
“Memangnya mereka bisa mati hanya dengan tatapan?” Anehnya Fiona malah tertarik bertanya seperti itu karena jengah.
Ia rasanya ingin memutar bola matanya tapi urung karena ia harus menjaga sikap. Ada kemungkinan dirinya akan ditinggalkan jika sikapnya tidak disenangi oleh mereka. Dan ia tidak mau.
“Andai aku kategori Hipnosis, mereka berdua yang akan mati. Sayang aku hanya kategori Raga.” Morgan kembali berkata dengan lembut. Ema yang notabene satu-satunya perempuan diantara tiga lainnya justru lebih datar saat bicara. Benar-benar kelompok yang aneh.
Jika Morgan mengeluarkan kalimat yang tidak menghina, Fiona akan mengira dia pemuda polos dan baik hati.
Dan jangan lupakan jawaban dari Morgan. Bagi Fiona itu sama sekali tidak membantu. Seperti inilah jika tidak mengerti apapun, bertanya hal yang aneh lalu mendapat jawaban tidak jelas justru semakin memperparah ketidaktahuannya.
“Ya, aku tidak mengingkarinya. Karena kau memang yang paling lemah disini!” Pemuda bertubuh besar menimpali dan berhasil membungkam Morgan, itulah balasan darinya atas hinaan yang dia terima sebelumnya.
Ema juga hendak ikut menghina tapi pertanyaan Fiona membuatnya menutup mulutnya kembali.
“Apa itu kategori Hipnosis?” tanya Fiona.
“Sepertinya kita harus menjelaskan segala tentang dunia agar dia mengerti.” Morgan tersenyum pada Fiona. Kali ini perkataan itu tidak menyindirnya, Fiona merasa senang.
Fiona membalas senyuman lembut itu. Dari perkataannya Fiona menyimpulkan jika Morgan berniat menjelaskan padanya tentang hal-hal yang ia butuh ketahui.
“Kau sekarang, yang tidak tahu apapun, tidak ada bedanya dengan bayi yang merepotkan.” Senyum Fiona langsung menghilang begitu kalimat lanjutan Morgan terdengar, Ia mengganti ekspresinya menjadi kesal.
Vano mengambil alih menjelaskan mereka sedang berada di salah satu ruangan dalam bangunan kosong yang tidak berpenghuni. Fiona bahkan baru sadar bahwa tadi ia berbaring di lantai yang kotor. Benda-benda tidak jelas berhamburan di penjuru ruangan.
Tapi keadaan dirinya juga tidak lebih baik, pakaiannya banyak yang sobek dan kusam. Beruntung lapisan bajunya banyak, ia tidak perlu terlalu khawatir jika pakaiannya terbuka. Tapi karena itu juga ia harus menahan rasa panas, bahkan sejak ia pertama kali membuka mata ia sudah merasa gerah.
Yah, sekarang masih musim panas perlu bersabar menunggu musim gugur yang menyejukkan. Ia tahu tentang musim ini dari Vano juga.
Kulit di tubuhnya sungguh butuh perhatian, Fiona ingin membersihkan diri. Tapi, sepertinya kurang sopan meminta itu pada mereka, orang yang Fiona jumpai ketika membuka mata.
Apa lagi keadaan mereka juga tidak jauh beda. Tidak ada yang lepas dari noda diantara mereka semua.
“Mulai dari nama dulu. Kau memperkenalkan pada kami kalau namamu adalah Fiona. Menyebalkan juga, tapi aku harus memperkenalkan diri lagi. Namaku Morgan.”
Fiona mengernyit karena sedikit kesal.
Aku tidak memintamu memperkenalkan diri! Tidak ada yang memintamu! Penilaiannya pada pemuda bermata kelabu itu kembali memburuk padahal sebelumnya membaik karena mencegah Ter pergi karena tidak bertanggung jawab.
Sebelumnya Morgan bahkan menyebutnya sebagai bayi yang merepotkan.
Tapi Fiona berusaha mengabaikan kekesalannya karena ia masih butuh bimbingan dari pemuda itu dan teman-temannya, “Namaku Fiona,” Ia mengangguk menerima informasi lalu bertanya informasi lain, “Apa lagi?”
“Itu saja.” Morgan menjawab dengan santai. “Selanjutnya kalian perkenalkan diri masing-masing.” Morgan mengambil perhatian yang lainnya.
“Tunggu, hanya nama saja? Hanya itu? Tidak ada lagi?” Fiona mencoba mencari tahu jati dirinya, tapi cuma ini yang ia dapat?
“Benar nona, apa kau tidak mengerti perkataan ku? Jangan berharap banyak, kita juga belum kenal lama.” Morgan menjawab dengan kalem. Fiona meringis. Belum kenal lama? Apa artinya itu?
“Aku malas ikut-ikutan.” Pemuda bertubuh paling besar keluar ruangan. Fiona melongo melihatnya yang benar-benar pergi menjauh. Apa pemuda itu membencinya?
“Namaku Vano,” pemuda berambut pirang pucat mengulurkan tangannya dengan ragu-ragu setelah mendekat pada Fiona.
Fiona mengalihkan perhatian dan mengulum senyum melihat pemuda itu gugup.
Ia menyambut uluran tangan itu sembari berkata pelan, “Fiona.” Rasanya aneh memperkenalkan nama yang baru saja diberi tahu oleh Morgan.
“Aku Ema.” Ema menimpali tanpa mendekat dan tentu tanpa uluran tangan.
Fiona mengangguk sebagai balasannya. Ia tidak tahu harus menjawab apa dan akan merasa lebih canggung jika dua kali menyebut namanya lagi. Tidak seperti Vano sebelumnya, perkenalan yang ini kesannya terlalu kaku.
“Oh iya. Pemuda yang pemarah tadi, namanya Garter.” ungkap Vano sembari melirik pintu keluar ruangan, pintu yang dilewati temannya yang berbadan besar.
“Garter?” Nama yang aneh menurut Fiona.
Morgan mengangguk, “Gar dan Ter. Dia aneh, seaneh namanya.”
Fiona menganga tidak paham. Ternyata Morgan sepemikiran dengan Fiona, tapi Fiona tidak tahu maksud Morgan seluruhnya, ia juga mengira Morgan mulai menghina orang lain lagi.
“Itu... Garter bisa dibilang berkepribadian ganda,” Vano menimpali, menjawab ketidak pahaman Fiona tentang maksudnya. Tapi Fiona semakin melongo.
“Jika kau merasa sikapnya ramah, maka dirinya adalah Gar. Tapi jika sikapnya kasar, berarti itu Ter.” Vano menjelaskan lagi sembari melirik ke pintu dimana arah perginya pemuda yang bernama Garter itu dengan takut-takut.
Mungkin Vano takut kedengaran oleh Ter karena dia baru saja menyebut sikapnya kasar.
Setelah Fiona mengerti, ia tetap tidak bisa berkata-kata. Memilih diam dan termenung dalam pikirannya sendiri.
Jadi sekarang ia hanya tahu tentang mereka dari perkenalan-perkenalan tadi, dan juga dari sikap yang mereka perlihatkan.
Entah kenapa ia merasa tertarik dengan mereka. Sekelompok orang aneh. Mereka berempat terdiri tiga orang laki-laki dan satu orang perempuan.
Ema, Morgan, Vano dan Garter. Fiona penasaran dengan mereka semua seolah lupa dengan dirinya sendiri. Bagaimana mereka bisa berkumpul, sejak kapan mereka bersama dan latar belakang mereka masing-masing.
Tapi dari pada mencari tahu tentang mereka dan tentang dirinya sendiri, Fiona merasa bagaimana ia menjadi bagian kelompok itu adalah prioritasnya saat ini.
Ia tidak sendirian dan bergantung pada mereka untuk mencari tahu ingatannya yang hilang tentang siapa dirinya dan mengapa ia bisa berada dalam keadaan ini.
*****
Morgan, pemuda dengan suara lembut tapi sinis itu namanya Morgan, memiliki rambut hitam dan mata kelabu. Tubuhnya lebih tinggi dari mereka yang ada di dalam ruangan. Tapi kalah tinggi dengan Garter. Wajahnya yang lumayan tampan dengan mata kelabu terang. Mata yang menarik perhatian Fiona saat pertama kali melihatnya. Apalagi wajahnya yang kotor tidak menghilangkan kesan tampannya. Sayang, ucapan yang dikeluarkan sering menyindir, padahal Morgan tipe pemuda bersuara lembut. Vano, pemuda yang sering terlihat ketakutan, sepertinya dia orang yang mudah khawatir. Dia memiliki rambut pirang pucat dan mata cokelat terang nyaris keemasan. Tubuhnya lebih tinggi dari Ema tapi lebih pendek dari dua temannya yang lain. Pemuda tipe ini, terlihat kekanakan di mata Fiona karena selalu gugup. Mungkin dia lebih muda daripada yang lain, lalu tertindas. Fiona mencoba berpikiran positif, tapi kemungkinan Vano ditindas karena umurnya bisa jadi alasan sifatnya yang sering ta
Mereka bilang ia belum lama berkenalan dengan mereka. Itu artinya, ia baru bergabung dengan mereka. Meski ia ragu jika sudah bergabung dengan mereka mengingat Ter yang dengan mudahnya mau meninggalkannya.Fiona meneguk ludahnya setelah mendengar penjelasan Vano. Vano bilang pertemuan mereka terjadi karena mereka tidak sengaja terlibat obrolan yang membahas tentang tujuan perjalanan mereka yang ternyata sama.Dan untuk informasi yang sangat penting, mereka bukan manusia biasa, manusia biasa sudah tidak ada yang tahu keberadaannya. Mereka sekarang disebut sebagai manusia berkemampuan khusus.Mereka, katakanlah Mutan yang tercipta karena adanya cahaya gelombang radiasi di bumi tiga dekade lalu. Radiasi itu menstimulasi pembentukan gen baru pada semua manusia yang menjadi penyebab manusia mengeluarkan kemampuan tubuh di atas batas wajar karena mengalami mutasi.Dan begitulah, manusia biasa tidak ada yang tahu keberadaanny
Suara langkah kaki bergema di salah satu lorong bangunan tua bertingkat itu. Tiga orang remaja belasan tahun tengah berlari mencari tempat yang aman. Mereka meninggalkan dua orang lainnya yang mana keduanya berjenis kelamin laki-laki.Fiona, nama gadis yang termasuk tiga remaja itu mengikuti dua temannya yang memimpin jalan. Mereka memasuki sebuah ruangan kosong yang kotor berdebu."Kenapa ini bisa terjadi?" Akhirnya Fiona bisa bertanya ketika mereka duduk di sudut ruangan.Bunyi sesuatu yang terdengar layaknya suara ledakan terdengar, Fiona yakin itu adalah suara hancurnya dinding bangunan ini sama seperti sebelumnya."Mutan Liar tidak akan melepas siapa pun yang pernah lolos hidup-hidup darinya. Anggaplah seperti binatang yang memburu mangsanya. Dan kita sekarang menjadi mangsanya." Satu-satunya laki-laki di satu ruangan itu menjawab pertanyaan Fiona.
Beberapa menit yang lalu. Sebelum Mutan Liar datang mencari mereka. “Fiona...” Nama gadis yang tak sadarkan diri itu disebut. “Kenapa dia belum sadar juga?” tanya sebuah suara terdengar panik, berasal dari pemuda yang berambut pirang pucat. Laki-laki yang paling muda diantara mereka. “Kau terlalu berisik! Lihat, dia terganggu.” Suara lain yang halus menyahut pelan. Tidak sejalan dengan kalimatnya yang menyindir, kalimat yang lebih cocok jika dikeluarkan dengan nada keras untuk membentak. Pemilik suara itu adalah pemuda yang memiliki mata kelabu terang. “Tapi bagus juga, dia bisa segera sadar.” Suara yang lebih feminim terdengar, tapi bersamaan nadanya yang keluar juga lebih datar. Ia satu-satunya perempuan diantara mereka yang bersuara. “Mungkin lukanya parah sampai membuatnya pingsan cukup lama.” Suara yang pertama memanggil Fiona kembali menimpali, berasal dari pemuda bertubuh
Mereka bilang ia belum lama berkenalan dengan mereka. Itu artinya, ia baru bergabung dengan mereka. Meski ia ragu jika sudah bergabung dengan mereka mengingat Ter yang dengan mudahnya mau meninggalkannya.Fiona meneguk ludahnya setelah mendengar penjelasan Vano. Vano bilang pertemuan mereka terjadi karena mereka tidak sengaja terlibat obrolan yang membahas tentang tujuan perjalanan mereka yang ternyata sama.Dan untuk informasi yang sangat penting, mereka bukan manusia biasa, manusia biasa sudah tidak ada yang tahu keberadaannya. Mereka sekarang disebut sebagai manusia berkemampuan khusus.Mereka, katakanlah Mutan yang tercipta karena adanya cahaya gelombang radiasi di bumi tiga dekade lalu. Radiasi itu menstimulasi pembentukan gen baru pada semua manusia yang menjadi penyebab manusia mengeluarkan kemampuan tubuh di atas batas wajar karena mengalami mutasi.Dan begitulah, manusia biasa tidak ada yang tahu keberadaanny
Morgan, pemuda dengan suara lembut tapi sinis itu namanya Morgan, memiliki rambut hitam dan mata kelabu. Tubuhnya lebih tinggi dari mereka yang ada di dalam ruangan. Tapi kalah tinggi dengan Garter. Wajahnya yang lumayan tampan dengan mata kelabu terang. Mata yang menarik perhatian Fiona saat pertama kali melihatnya. Apalagi wajahnya yang kotor tidak menghilangkan kesan tampannya. Sayang, ucapan yang dikeluarkan sering menyindir, padahal Morgan tipe pemuda bersuara lembut. Vano, pemuda yang sering terlihat ketakutan, sepertinya dia orang yang mudah khawatir. Dia memiliki rambut pirang pucat dan mata cokelat terang nyaris keemasan. Tubuhnya lebih tinggi dari Ema tapi lebih pendek dari dua temannya yang lain. Pemuda tipe ini, terlihat kekanakan di mata Fiona karena selalu gugup. Mungkin dia lebih muda daripada yang lain, lalu tertindas. Fiona mencoba berpikiran positif, tapi kemungkinan Vano ditindas karena umurnya bisa jadi alasan sifatnya yang sering ta
“Sudah, jangan dilanjutkan. Yang pasti kalian berdua itu sama. Sama-sama jarang tersenyum. Yang satunya pendiam yang dingin. Satunya lagi pemarah yang jutek.” Spontan saja pandangan kedua orang yang disindir itu segera teralihkan pada yang berbicara, Morgan. Mereka kompak mengganti objek kebencian mereka dengan sasaran yang sama. Fiona ingin tahu apakah Morgan sebenarnya berniat melerai mereka dengan mengorbankan diri agar dibenci atau malah menambah kemarahan mereka? Si pemuda pirang terlihat sangat kebingungan, Fiona mengira dia lah yang benar-benar ingin berperan menenangkan kedua temannya. Hingga pemuda pirang itu berbicara. “Kalian tidak akan saling bunuh dengan tatapan, kan?” tanya si pemuda pirang dengan takut. Sekarang Fiona harus memperbaiki sedikit tebakan dari pikirannya tadi. Apa maksudnya perkataan pemuda itu? &nbs
Beberapa menit yang lalu. Sebelum Mutan Liar datang mencari mereka. “Fiona...” Nama gadis yang tak sadarkan diri itu disebut. “Kenapa dia belum sadar juga?” tanya sebuah suara terdengar panik, berasal dari pemuda yang berambut pirang pucat. Laki-laki yang paling muda diantara mereka. “Kau terlalu berisik! Lihat, dia terganggu.” Suara lain yang halus menyahut pelan. Tidak sejalan dengan kalimatnya yang menyindir, kalimat yang lebih cocok jika dikeluarkan dengan nada keras untuk membentak. Pemilik suara itu adalah pemuda yang memiliki mata kelabu terang. “Tapi bagus juga, dia bisa segera sadar.” Suara yang lebih feminim terdengar, tapi bersamaan nadanya yang keluar juga lebih datar. Ia satu-satunya perempuan diantara mereka yang bersuara. “Mungkin lukanya parah sampai membuatnya pingsan cukup lama.” Suara yang pertama memanggil Fiona kembali menimpali, berasal dari pemuda bertubuh
Suara langkah kaki bergema di salah satu lorong bangunan tua bertingkat itu. Tiga orang remaja belasan tahun tengah berlari mencari tempat yang aman. Mereka meninggalkan dua orang lainnya yang mana keduanya berjenis kelamin laki-laki.Fiona, nama gadis yang termasuk tiga remaja itu mengikuti dua temannya yang memimpin jalan. Mereka memasuki sebuah ruangan kosong yang kotor berdebu."Kenapa ini bisa terjadi?" Akhirnya Fiona bisa bertanya ketika mereka duduk di sudut ruangan.Bunyi sesuatu yang terdengar layaknya suara ledakan terdengar, Fiona yakin itu adalah suara hancurnya dinding bangunan ini sama seperti sebelumnya."Mutan Liar tidak akan melepas siapa pun yang pernah lolos hidup-hidup darinya. Anggaplah seperti binatang yang memburu mangsanya. Dan kita sekarang menjadi mangsanya." Satu-satunya laki-laki di satu ruangan itu menjawab pertanyaan Fiona.