Fiona meneguk ludahnya setelah mendengar penjelasan Vano. Vano bilang pertemuan mereka terjadi karena mereka tidak sengaja terlibat obrolan yang membahas tentang tujuan perjalanan mereka yang ternyata sama.
Dan untuk informasi yang sangat penting, mereka bukan manusia biasa, manusia biasa sudah tidak ada yang tahu keberadaannya. Mereka sekarang disebut sebagai manusia berkemampuan khusus.
Mereka, katakanlah Mutan yang tercipta karena adanya cahaya gelombang radiasi di bumi tiga dekade lalu. Radiasi itu menstimulasi pembentukan gen baru pada semua manusia yang menjadi penyebab manusia mengeluarkan kemampuan tubuh di atas batas wajar karena mengalami mutasi.
Dan begitulah, manusia biasa tidak ada yang tahu keberadaannya. Mereka mengira semua manusia bermutasi. Berubah menjadi Mutan yang berisiko menjadi buas saat mencapai umur tertentu.
“Aku ingin ke Sentral?” tanya Fiona setelah Vano mengatakan kemana tujuan mereka yang ternyata sama, saat sebelum ia lupa ingatan. Vano mengangguk.
Ia bertanya lagi, “Untuk apa?”
Morgan menjawab, “Kau tidak mengatakan tentang tujuanmu. Mana kami tahu? Tapi karena kau lupa ingatan, mungkin itu berarti agar kau tidak pergi,” Fiona mengerutkan dahinya, Morgan kembali melanjutkan, “Sentral bukanlah tempat yang baik. Apa lagi bagi kita, Mutan Bebas.”
“Tapi,” ucapan Fiona terputus.
“Jika kau tidak tahu apa itu Mutan Bebas, kau adalah salah satunya. Dan Mutan Bebas diburu oleh pihak Sentral. Lebih tepatnya oleh Pusat Pemberdayaan.” Morgan menatapnya tajam.
Pusat Pemberdayaan itu apa? Memangnya Sentral itu tempat yang bagaimana? Mengapa mereka semua ingin ke sana?
Fiona menggeleng sebagai balasan tatapan Morgan, “Tapi, mungkin aku bisa mencari petunjuk dari sana.” Ia juga membalas tatapan Morgan, membuat Morgan sempat tertegun karena melihat keyakinan Fiona.
“Aku kira bisa mempengaruhimu, nyatanya sulit membuatmu tidak pergi ke Sentral atau mungkin mustahil?" tanya Morgan tampak merenung.
Morgan berkata lagi, "Waktu itu, kau juga sangat serius dengan tujuanmu. Sayangnya aku tidak tahu apa itu. Dan itu membuatku takut apa rencanamu. Kau terlihat seperti monster yang siap menghancurkan Sentral.” Morgan mengalihkan pandangan sembari meringis.
Apa? Fiona ingin bertanya, tapi kemudian membatalkan keinginan itu. Bertanya terus rasanya sia-sia. Untuk mengerti semua perkataan mereka, ia butuh ingatannya sendiri. Dan sebenarnya apa tujuannya ke Sentral?
Ema tiba-tiba bangkit berdiri dari lantai yang berdebu, membuat Fiona dan yang lainnya kaget.
“Kenapa Ema?” tanya Vano mewakili Fiona dan Morgan yang terkejut.
“Aku merasakan tegangan listrik. Rasanya familier.” Ema terlihat mengerutkan alisnya. Fiona bertanya-tanya dalam hati. Apa yang Ema pikirkan dengan raut seserius itu?
Dan yang terjadi selanjutnya adalah Ema yang menampilkan raut muka panik, Fiona tidak tahu pasti karena ekspresi Ema terlalu kaku.
Tapi Fiona yakin karena melihat bibir Ema yang terbuka, ia seperti hendak mengatakan sesuatu.
Namun sesuatu terjadi membuat Ema tidak bisa berkata, salah satu jendela di dinding ruangan tiba-tiba hancur seperti terkena ledakan dan menyebarkan pecahan kaca. Serbuk dinding, kaca dan debu berhamburan menyerupai asap membuat mereka terbatuk-batuk.
Beberapa bagian dinding yang hancur mungkin karena sudah tua, terlempar mengenai wajah dan badan Fiona. Fiona yakin keadaaan yang lainnya juga pasti tidak jauh beda. Beruntung mereka berada cukup jauh dari dinding sehingga tidak terkena material besar. Ia terkejut melihat ke arah dinding yang hancur itu, ia mendapati Garter dalam keadaan babak belur persis di dekat lubang jendela dinding.
Bagaimana bisa Garter menabrak jendela besar dan terdorong ke dalam bangunan?
Fiona dan yang lainnya segera mendekati Garter. “Ada apa ini?” tanya Vano merendahkan tubuhnya di dekat Garter. Kali ini bukan hanya Vano saja yang ketakutan, Fiona dan lainnya juga. Tidak lupa jika Fiona akan lebih merasa kebingungan.
Fiona mendengar Garter mengaduh karena sakit di punggungnya dan keadaannya yang mengenaskan, “Dia datang.”
Garter melihat dengan tajam ke arah luar bangunan dengan setengah kesakitan.
“Apa?” kali ini Morgan yang bertanya sembari merendahkan tubuhnya. Fiona melihat ke arah yang dilihat Garter.
Mengabaikan rasa heran saat dirinya melihat luka di leher Garter menutup.
Hal yang sama dilakukan Ema lebih dulu, Ema melihat sesuatu.
Tidak lama kemudian perlahan muncul seseorang yang sedang berjalan lurus dari jauh.
“Mutan Liar itu.... dia datang kembali,” ungkap Ema setelah melihat pria paruh baya yang tampak awet muda dengan pakaian compang-camping, penampilannya tampak kumal.
Tubuhnya terlihat kekar, tatapan matanya buas membuat wajahnya terkesan sangar, dan penampilannya yang kotor jauh lebih buruk dari mereka yang berada di dalam bangunan.
Jika penampilan mereka seperti seminggu tidak pernah mandi dan mengganti pakaian. Pria itu pasti sudah satu tahun tidak pernah mandi dan mengganti pakaian. Satu minggu tanpa mandi saja membuat Fiona merinding apa lagi satu tahun.
Ah, benar. Fiona belum melihat manusia yang berpakaian rapi dan bersih. Tapi itu tidak penting sekarang.
"Mutan Liar?" tanya Fiona. Ia memandang Ema.
"Apa yang harus kita lakukan?" Vano bertanya dengan panik.
"Awas dia menyerang!" Morgan berseru ketika pria paruh baya itu merentangkan kedua tangannya.Tiba-tiba angin seolah berputar di sekeliling tubuh pria itu.
Ema bergegas memasang tubuhnya di depan dengan tangan terangkat. Kilatan cahaya memancar dari tubuhnya dan tersalurkan ke tangannya. Fiona melihat kilatan putih layaknya petir berasal dari Ema bergerak melesat cepat ke arah pria itu.
Sebelum Fiona sadar apa yang terjadi, kilatan petir itu terpantul ke tanah dan membuat lubang dan berasap seolah terkena meteor jatuh.
"Lari!" Ema menarik tangan Fiona dan Vano. Sedangkan Morgan membantu Garter berdiri.
Mereka masuk ke bangunan lebih dalam. Fiona tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Ia hanya pasrah di tarik Ema sambil melihat ke belakang ke arah Morgan dan Garter.
"Mereka tertinggal," ucapku pada Ema.
"Mereka akan baik-baik saja." Ema telah melepas genggaman tangannya dari Vano. Membuat Vano memimpin di depan karena larinya lebih cepat.
Fiona ingin bertanya lagi kenapa Ema bisa begitu yakin, tapi urung karena merasa ragu. Ema orang yang pendiam dan mereka sedang dalam kondisi kacau. Jika Fiona ingin bertanya ia bisa melakukannya nanti saja. Sekarang mereka tampaknya harus bersembunyi dulu.
Mereka bertiga akhirnya berhenti di sebuah ruangan tanpa jendela yang terletak di paling kanan bangunan. Mereka tidak mau beresiko naik ke lantai-lantai di atas. Bisa saja bangunan ini nanti runtuh karena serangan Mutan Liar itu. Mungkin lebih baik keluar dari bangunan ini sekalian. Tapi Fiona hanya bisa pasrah mengikuti Ema dan Vano.
*****
Suara langkah kaki bergema di salah satu lorong bangunan tua bertingkat itu. Tiga orang remaja belasan tahun tengah berlari mencari tempat yang aman. Mereka meninggalkan dua orang lainnya yang mana keduanya berjenis kelamin laki-laki.Fiona, nama gadis yang termasuk tiga remaja itu mengikuti dua temannya yang memimpin jalan. Mereka memasuki sebuah ruangan kosong yang kotor berdebu."Kenapa ini bisa terjadi?" Akhirnya Fiona bisa bertanya ketika mereka duduk di sudut ruangan.Bunyi sesuatu yang terdengar layaknya suara ledakan terdengar, Fiona yakin itu adalah suara hancurnya dinding bangunan ini sama seperti sebelumnya."Mutan Liar tidak akan melepas siapa pun yang pernah lolos hidup-hidup darinya. Anggaplah seperti binatang yang memburu mangsanya. Dan kita sekarang menjadi mangsanya." Satu-satunya laki-laki di satu ruangan itu menjawab pertanyaan Fiona.
Beberapa menit yang lalu. Sebelum Mutan Liar datang mencari mereka. “Fiona...” Nama gadis yang tak sadarkan diri itu disebut. “Kenapa dia belum sadar juga?” tanya sebuah suara terdengar panik, berasal dari pemuda yang berambut pirang pucat. Laki-laki yang paling muda diantara mereka. “Kau terlalu berisik! Lihat, dia terganggu.” Suara lain yang halus menyahut pelan. Tidak sejalan dengan kalimatnya yang menyindir, kalimat yang lebih cocok jika dikeluarkan dengan nada keras untuk membentak. Pemilik suara itu adalah pemuda yang memiliki mata kelabu terang. “Tapi bagus juga, dia bisa segera sadar.” Suara yang lebih feminim terdengar, tapi bersamaan nadanya yang keluar juga lebih datar. Ia satu-satunya perempuan diantara mereka yang bersuara. “Mungkin lukanya parah sampai membuatnya pingsan cukup lama.” Suara yang pertama memanggil Fiona kembali menimpali, berasal dari pemuda bertubuh
“Sudah, jangan dilanjutkan. Yang pasti kalian berdua itu sama. Sama-sama jarang tersenyum. Yang satunya pendiam yang dingin. Satunya lagi pemarah yang jutek.” Spontan saja pandangan kedua orang yang disindir itu segera teralihkan pada yang berbicara, Morgan. Mereka kompak mengganti objek kebencian mereka dengan sasaran yang sama. Fiona ingin tahu apakah Morgan sebenarnya berniat melerai mereka dengan mengorbankan diri agar dibenci atau malah menambah kemarahan mereka? Si pemuda pirang terlihat sangat kebingungan, Fiona mengira dia lah yang benar-benar ingin berperan menenangkan kedua temannya. Hingga pemuda pirang itu berbicara. “Kalian tidak akan saling bunuh dengan tatapan, kan?” tanya si pemuda pirang dengan takut. Sekarang Fiona harus memperbaiki sedikit tebakan dari pikirannya tadi. Apa maksudnya perkataan pemuda itu? &nbs
Morgan, pemuda dengan suara lembut tapi sinis itu namanya Morgan, memiliki rambut hitam dan mata kelabu. Tubuhnya lebih tinggi dari mereka yang ada di dalam ruangan. Tapi kalah tinggi dengan Garter. Wajahnya yang lumayan tampan dengan mata kelabu terang. Mata yang menarik perhatian Fiona saat pertama kali melihatnya. Apalagi wajahnya yang kotor tidak menghilangkan kesan tampannya. Sayang, ucapan yang dikeluarkan sering menyindir, padahal Morgan tipe pemuda bersuara lembut. Vano, pemuda yang sering terlihat ketakutan, sepertinya dia orang yang mudah khawatir. Dia memiliki rambut pirang pucat dan mata cokelat terang nyaris keemasan. Tubuhnya lebih tinggi dari Ema tapi lebih pendek dari dua temannya yang lain. Pemuda tipe ini, terlihat kekanakan di mata Fiona karena selalu gugup. Mungkin dia lebih muda daripada yang lain, lalu tertindas. Fiona mencoba berpikiran positif, tapi kemungkinan Vano ditindas karena umurnya bisa jadi alasan sifatnya yang sering ta
Mereka bilang ia belum lama berkenalan dengan mereka. Itu artinya, ia baru bergabung dengan mereka. Meski ia ragu jika sudah bergabung dengan mereka mengingat Ter yang dengan mudahnya mau meninggalkannya.Fiona meneguk ludahnya setelah mendengar penjelasan Vano. Vano bilang pertemuan mereka terjadi karena mereka tidak sengaja terlibat obrolan yang membahas tentang tujuan perjalanan mereka yang ternyata sama.Dan untuk informasi yang sangat penting, mereka bukan manusia biasa, manusia biasa sudah tidak ada yang tahu keberadaannya. Mereka sekarang disebut sebagai manusia berkemampuan khusus.Mereka, katakanlah Mutan yang tercipta karena adanya cahaya gelombang radiasi di bumi tiga dekade lalu. Radiasi itu menstimulasi pembentukan gen baru pada semua manusia yang menjadi penyebab manusia mengeluarkan kemampuan tubuh di atas batas wajar karena mengalami mutasi.Dan begitulah, manusia biasa tidak ada yang tahu keberadaanny
Morgan, pemuda dengan suara lembut tapi sinis itu namanya Morgan, memiliki rambut hitam dan mata kelabu. Tubuhnya lebih tinggi dari mereka yang ada di dalam ruangan. Tapi kalah tinggi dengan Garter. Wajahnya yang lumayan tampan dengan mata kelabu terang. Mata yang menarik perhatian Fiona saat pertama kali melihatnya. Apalagi wajahnya yang kotor tidak menghilangkan kesan tampannya. Sayang, ucapan yang dikeluarkan sering menyindir, padahal Morgan tipe pemuda bersuara lembut. Vano, pemuda yang sering terlihat ketakutan, sepertinya dia orang yang mudah khawatir. Dia memiliki rambut pirang pucat dan mata cokelat terang nyaris keemasan. Tubuhnya lebih tinggi dari Ema tapi lebih pendek dari dua temannya yang lain. Pemuda tipe ini, terlihat kekanakan di mata Fiona karena selalu gugup. Mungkin dia lebih muda daripada yang lain, lalu tertindas. Fiona mencoba berpikiran positif, tapi kemungkinan Vano ditindas karena umurnya bisa jadi alasan sifatnya yang sering ta
“Sudah, jangan dilanjutkan. Yang pasti kalian berdua itu sama. Sama-sama jarang tersenyum. Yang satunya pendiam yang dingin. Satunya lagi pemarah yang jutek.” Spontan saja pandangan kedua orang yang disindir itu segera teralihkan pada yang berbicara, Morgan. Mereka kompak mengganti objek kebencian mereka dengan sasaran yang sama. Fiona ingin tahu apakah Morgan sebenarnya berniat melerai mereka dengan mengorbankan diri agar dibenci atau malah menambah kemarahan mereka? Si pemuda pirang terlihat sangat kebingungan, Fiona mengira dia lah yang benar-benar ingin berperan menenangkan kedua temannya. Hingga pemuda pirang itu berbicara. “Kalian tidak akan saling bunuh dengan tatapan, kan?” tanya si pemuda pirang dengan takut. Sekarang Fiona harus memperbaiki sedikit tebakan dari pikirannya tadi. Apa maksudnya perkataan pemuda itu? &nbs
Beberapa menit yang lalu. Sebelum Mutan Liar datang mencari mereka. “Fiona...” Nama gadis yang tak sadarkan diri itu disebut. “Kenapa dia belum sadar juga?” tanya sebuah suara terdengar panik, berasal dari pemuda yang berambut pirang pucat. Laki-laki yang paling muda diantara mereka. “Kau terlalu berisik! Lihat, dia terganggu.” Suara lain yang halus menyahut pelan. Tidak sejalan dengan kalimatnya yang menyindir, kalimat yang lebih cocok jika dikeluarkan dengan nada keras untuk membentak. Pemilik suara itu adalah pemuda yang memiliki mata kelabu terang. “Tapi bagus juga, dia bisa segera sadar.” Suara yang lebih feminim terdengar, tapi bersamaan nadanya yang keluar juga lebih datar. Ia satu-satunya perempuan diantara mereka yang bersuara. “Mungkin lukanya parah sampai membuatnya pingsan cukup lama.” Suara yang pertama memanggil Fiona kembali menimpali, berasal dari pemuda bertubuh
Suara langkah kaki bergema di salah satu lorong bangunan tua bertingkat itu. Tiga orang remaja belasan tahun tengah berlari mencari tempat yang aman. Mereka meninggalkan dua orang lainnya yang mana keduanya berjenis kelamin laki-laki.Fiona, nama gadis yang termasuk tiga remaja itu mengikuti dua temannya yang memimpin jalan. Mereka memasuki sebuah ruangan kosong yang kotor berdebu."Kenapa ini bisa terjadi?" Akhirnya Fiona bisa bertanya ketika mereka duduk di sudut ruangan.Bunyi sesuatu yang terdengar layaknya suara ledakan terdengar, Fiona yakin itu adalah suara hancurnya dinding bangunan ini sama seperti sebelumnya."Mutan Liar tidak akan melepas siapa pun yang pernah lolos hidup-hidup darinya. Anggaplah seperti binatang yang memburu mangsanya. Dan kita sekarang menjadi mangsanya." Satu-satunya laki-laki di satu ruangan itu menjawab pertanyaan Fiona.