Fiona meneguk ludahnya setelah mendengar penjelasan Vano. Vano bilang pertemuan mereka terjadi karena mereka tidak sengaja terlibat obrolan yang membahas tentang tujuan perjalanan mereka yang ternyata sama.
Dan untuk informasi yang sangat penting, mereka bukan manusia biasa, manusia biasa sudah tidak ada yang tahu keberadaannya. Mereka sekarang disebut sebagai manusia berkemampuan khusus.
Mereka, katakanlah Mutan yang tercipta karena adanya cahaya gelombang radiasi di bumi tiga dekade lalu. Radiasi itu menstimulasi pembentukan gen baru pada semua manusia yang menjadi penyebab manusia mengeluarkan kemampuan tubuh di atas batas wajar karena mengalami mutasi.
Dan begitulah, manusia biasa tidak ada yang tahu keberadaannya. Mereka mengira semua manusia bermutasi. Berubah menjadi Mutan yang berisiko menjadi buas saat mencapai umur tertentu.
“Aku ingin ke Sentral?” tanya Fiona setelah Vano mengatakan kemana tujuan mereka yang ternyata sama, saat sebelum ia lupa ingatan. Vano mengangguk.
Ia bertanya lagi, “Untuk apa?”
Morgan menjawab, “Kau tidak mengatakan tentang tujuanmu. Mana kami tahu? Tapi karena kau lupa ingatan, mungkin itu berarti agar kau tidak pergi,” Fiona mengerutkan dahinya, Morgan kembali melanjutkan, “Sentral bukanlah tempat yang baik. Apa lagi bagi kita, Mutan Bebas.”
“Tapi,” ucapan Fiona terputus.
“Jika kau tidak tahu apa itu Mutan Bebas, kau adalah salah satunya. Dan Mutan Bebas diburu oleh pihak Sentral. Lebih tepatnya oleh Pusat Pemberdayaan.” Morgan menatapnya tajam.
Pusat Pemberdayaan itu apa? Memangnya Sentral itu tempat yang bagaimana? Mengapa mereka semua ingin ke sana?
Fiona menggeleng sebagai balasan tatapan Morgan, “Tapi, mungkin aku bisa mencari petunjuk dari sana.” Ia juga membalas tatapan Morgan, membuat Morgan sempat tertegun karena melihat keyakinan Fiona.
“Aku kira bisa mempengaruhimu, nyatanya sulit membuatmu tidak pergi ke Sentral atau mungkin mustahil?" tanya Morgan tampak merenung.
Morgan berkata lagi, "Waktu itu, kau juga sangat serius dengan tujuanmu. Sayangnya aku tidak tahu apa itu. Dan itu membuatku takut apa rencanamu. Kau terlihat seperti monster yang siap menghancurkan Sentral.” Morgan mengalihkan pandangan sembari meringis.
Apa? Fiona ingin bertanya, tapi kemudian membatalkan keinginan itu. Bertanya terus rasanya sia-sia. Untuk mengerti semua perkataan mereka, ia butuh ingatannya sendiri. Dan sebenarnya apa tujuannya ke Sentral?
Ema tiba-tiba bangkit berdiri dari lantai yang berdebu, membuat Fiona dan yang lainnya kaget.
“Kenapa Ema?” tanya Vano mewakili Fiona dan Morgan yang terkejut.
“Aku merasakan tegangan listrik. Rasanya familier.” Ema terlihat mengerutkan alisnya. Fiona bertanya-tanya dalam hati. Apa yang Ema pikirkan dengan raut seserius itu?
Dan yang terjadi selanjutnya adalah Ema yang menampilkan raut muka panik, Fiona tidak tahu pasti karena ekspresi Ema terlalu kaku.
Tapi Fiona yakin karena melihat bibir Ema yang terbuka, ia seperti hendak mengatakan sesuatu.
Namun sesuatu terjadi membuat Ema tidak bisa berkata, salah satu jendela di dinding ruangan tiba-tiba hancur seperti terkena ledakan dan menyebarkan pecahan kaca. Serbuk dinding, kaca dan debu berhamburan menyerupai asap membuat mereka terbatuk-batuk.
Beberapa bagian dinding yang hancur mungkin karena sudah tua, terlempar mengenai wajah dan badan Fiona. Fiona yakin keadaaan yang lainnya juga pasti tidak jauh beda. Beruntung mereka berada cukup jauh dari dinding sehingga tidak terkena material besar. Ia terkejut melihat ke arah dinding yang hancur itu, ia mendapati Garter dalam keadaan babak belur persis di dekat lubang jendela dinding.
Bagaimana bisa Garter menabrak jendela besar dan terdorong ke dalam bangunan?
Fiona dan yang lainnya segera mendekati Garter. “Ada apa ini?” tanya Vano merendahkan tubuhnya di dekat Garter. Kali ini bukan hanya Vano saja yang ketakutan, Fiona dan lainnya juga. Tidak lupa jika Fiona akan lebih merasa kebingungan.
Fiona mendengar Garter mengaduh karena sakit di punggungnya dan keadaannya yang mengenaskan, “Dia datang.”
Garter melihat dengan tajam ke arah luar bangunan dengan setengah kesakitan.
“Apa?” kali ini Morgan yang bertanya sembari merendahkan tubuhnya. Fiona melihat ke arah yang dilihat Garter.
Mengabaikan rasa heran saat dirinya melihat luka di leher Garter menutup.
Hal yang sama dilakukan Ema lebih dulu, Ema melihat sesuatu.
Tidak lama kemudian perlahan muncul seseorang yang sedang berjalan lurus dari jauh.
“Mutan Liar itu.... dia datang kembali,” ungkap Ema setelah melihat pria paruh baya yang tampak awet muda dengan pakaian compang-camping, penampilannya tampak kumal.
Tubuhnya terlihat kekar, tatapan matanya buas membuat wajahnya terkesan sangar, dan penampilannya yang kotor jauh lebih buruk dari mereka yang berada di dalam bangunan.
Jika penampilan mereka seperti seminggu tidak pernah mandi dan mengganti pakaian. Pria itu pasti sudah satu tahun tidak pernah mandi dan mengganti pakaian. Satu minggu tanpa mandi saja membuat Fiona merinding apa lagi satu tahun.
Ah, benar. Fiona belum melihat manusia yang berpakaian rapi dan bersih. Tapi itu tidak penting sekarang.
"Mutan Liar?" tanya Fiona. Ia memandang Ema.
"Apa yang harus kita lakukan?" Vano bertanya dengan panik.
"Awas dia menyerang!" Morgan berseru ketika pria paruh baya itu merentangkan kedua tangannya.Tiba-tiba angin seolah berputar di sekeliling tubuh pria itu.
Ema bergegas memasang tubuhnya di depan dengan tangan terangkat. Kilatan cahaya memancar dari tubuhnya dan tersalurkan ke tangannya. Fiona melihat kilatan putih layaknya petir berasal dari Ema bergerak melesat cepat ke arah pria itu.
Sebelum Fiona sadar apa yang terjadi, kilatan petir itu terpantul ke tanah dan membuat lubang dan berasap seolah terkena meteor jatuh.
"Lari!" Ema menarik tangan Fiona dan Vano. Sedangkan Morgan membantu Garter berdiri.
Mereka masuk ke bangunan lebih dalam. Fiona tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Ia hanya pasrah di tarik Ema sambil melihat ke belakang ke arah Morgan dan Garter.
"Mereka tertinggal," ucapku pada Ema.
"Mereka akan baik-baik saja." Ema telah melepas genggaman tangannya dari Vano. Membuat Vano memimpin di depan karena larinya lebih cepat.
Fiona ingin bertanya lagi kenapa Ema bisa begitu yakin, tapi urung karena merasa ragu. Ema orang yang pendiam dan mereka sedang dalam kondisi kacau. Jika Fiona ingin bertanya ia bisa melakukannya nanti saja. Sekarang mereka tampaknya harus bersembunyi dulu.
Mereka bertiga akhirnya berhenti di sebuah ruangan tanpa jendela yang terletak di paling kanan bangunan. Mereka tidak mau beresiko naik ke lantai-lantai di atas. Bisa saja bangunan ini nanti runtuh karena serangan Mutan Liar itu. Mungkin lebih baik keluar dari bangunan ini sekalian. Tapi Fiona hanya bisa pasrah mengikuti Ema dan Vano.
*****
"Kenapa ini bisa terjadi?" Akhirnya Fiona bisa bertanya ketika mereka duduk di sudut ruangan. Bunyi sesuatu yang seperti ledakan terdengar, Fiona yakin itu seperti suara hancurnya dinding sebelumnya. "Mutan Liar tidak akan melepas siapa pun yang pernah lolos hidup-hidup darinya. Anggaplah seperti binatang yang memburu mangsanya. Dan kita sekarang menjadi mangsanya." Vano menjawab pertanyaan Fiona. Keringat mengalir di wajahnya yang kusam namun karena yang paling muda wajahnya lebih terlihat seperti anak kecil. Imut sekali jika di perhatikan."Memangnya apa untungnya dia mengejar kita?" Fiona mengernyit."Kau benar-benar tidak tahu apa pun, ya?" Ema menimpali. Terdengar seperti Morgan yang menyindir karena nada datarnya.Dalam hati Fiona cemberut. Aku kan lupa ingatan! Tapi entah kenapa Fiona tidak berani membalas Ema. Ia merasa segan. Lagipula Ema mungkin saja tidak berniat menyindirnya, Fiona mencoba berpikir positif karena tidak bisa menebak Ema."Sebelumnya, mutan inilah yang men
"Ter!" Morgan berseru begitu angin tornado dilontarkan si mutan liar ke arah mereka. Jarang sekali ia berteriak tidak seperti biasanya yang sering berkata lembut."Berisik! Aku disampingmu! Kau bisa membuatku tuli." Ter merentangkan tangan kedepan. Angin tornado itu seketika menghilang saat mendekati tangannya.Mereka bisa berlari dengan sejajar karena Morgan butuh kemampuan Ter. Ter hanya bisa melindungi jika Morgan tidak jauh darinya.Tapi si mutan liar tidak berhenti disitu saja, dia mengeluarkan banyak serangan berkali-kali. Hal itu membuat Ter juga berkali-kali menetralkan serangannya. Ia mulai kelelahan padahal jarak mereka sudah dekat. Beberapa serangan yang tidak mengarah ke mereka berdua mengenai bangunan di belakang. Akibatnya, dinding bangunan itu dihiasi lebih dari satu lubang.Dan ketika Morgan dan Ter melompat ke arah mutan liar itu, seketika angin layaknya badai hurikan membentengi tubuh mutan liar itu.Ter tak sempat bertindak mencegah karena tidak memperkirakan serang
"Sudah mulai senja. Ayo kita kembali saja," kata Gar yang tengah memegang seekor burung dan seekor tupai."Itu ide bagus." Vano tidak bisa menyembunyikan ras leganya."Berburu seperti ini memang tidak mudah. Tenaga yang keluar tidak sebanding dengan hasil yang didapatkan," sahut Morgan yang tidak mendapatkan apa-apa."Tapi meski aku begini, kau itu ya?! Sudah tidak berusaha apa-apa, tidak tahu malu dan tidak merasa bersalah malah nyengir kalau waktunya kembali. Memangnya ini cukup untuk kita yang totalnya berlima?!" lanjut Morgan dan mengomel pada Vano."Kenapa marah padaku? Kan, Gar yang mengusulkan kembali karena sudah mulai gelap." Vano merenggut."He, kau memang tidak mengerti, ya. Kau juga bahkan hanya mengeluh terus. Kau malah jadi beban tahu. Sadarlah, hilangkan rasa takutmu yang berlebihan itu." Morgan memutar bola matanya teringat Vano yang terus-terusan gelisah saat mereka berburu tadi.Tapi mau bagaimana lagi, Vano tidak bisa mengendalikan pikirannya yang selalu memikirkan
Dari awal memang Fiona merasa aneh dengan senyuman Ema. Biasanya gadis itu selalu menampakkan wajah datar. Sekalinya tersenyum ternyata ada makna tersembunyi. Dan lagi, Fiona lebih terkejut ketika tahu Ema keluar dari karakternya yang dikenal Fiona, apa maksud tindakan konyol Ema yang seperti itu tadi?"Ini yang kalian maksud?!" Vano berseru menatap seekor sapi hutan yang sudah mati. Matanya menatap Ema, meminta penjelasan."Yap, silakan dibawa. Itu tugasmu sekarang." Ema berkata dan tampak sengaja mengabaikan tatapan kesal Vano, Vano merasa kesal karena ketakutan pada hal seperti ini gara-gara Ema. Takut pada sapi hutan? Mata Vano jelas terlihat seperti sudah dikerjai dan tertipu."Jadi kau bisa melakukannya?" tanya Fiona memastikan. Karena ia dan Ema tidak bisa membawa sapi utuh itu.Vano tersenyum kecil, "Tentu saja, serahkan padaku."Vano merenggangkan kedua tangannya, lalu dengan tangan kurusnya itu, Fiona melihatnya mengangkat sapi itu."Wah!" Fiona tercengang. Awalnya ia tidak
"Itu kesimpulanmu?" tanya Fiona."Yeah." Jawab Morgan."Baru kali ini aku menjumpai kemampuan Elektro gravitasi. Benar-benar gravitasi. Biasanya Elektro mengendalikan suatu unsur. tapi kau bisa lebih dari satu bahkan banyak unsur yang bisa kau kendalikan." Lanjut Morgan."Benarkah? Sehebat itu?" Tanya Fiona terkejut dengan kenyataan tentang kemampuannya itu. Morgan mengangguk.“Apa itu hal yang bagus?” tanya Fiona lagi.“Tergantung dari mana kau melihatnya.” jawab Ema tiba-tiba. Fiona segera mengalihkan perhatiannya pada Ema. Tapi Morgan bersuara lagi membuat Fiona memandangnya lagi.“Kemampuan yang hebat bisa melindungi tapi bisa juga mengundang bahaya untuk diri sendiri. Kau tahu banyak orang yang mengincar kemampuan yang hebat dan istimewa atau pun unik.”“Contohnya?” tanya Fiona.“Contohnya, mungkin Pusat Pemberdayaan? Mereka seolah terlihat baik karena mengarahkan para mutan untuk mengendalikan kemampuannya. Mereka membantu mengenali dan mengembangkan kemampuan mutan yang masih k
Ema dan Fiona tidak lagi membicarakan tentang kemampuan seorang mutan. Mereka membicarakan tentang para lelaki di kelompok mereka yang saat ini sedang tertidur semuanya. Tentang bagaimana sifat mereka semua.Fiona dan Ema masih mengobrol ketika api dari kayu yang dibakar mulai mengecil dan hampir padam. "Kayunya sudah habis, ya." Kata Ema yang hendak menambah potongan kayu ke dalam api. Tapi sudah tidak ada, ia kembali duduk ke samping Fiona."Lalu bagaimana?" Tanya Fiona sembari menatap Ema dengan lebih teliti karena cahaya yang semakin berkurang.Ema terlihat berpikir tapi tidak menemukan jawaban untuk yang memuaskan pertanyaan Fiona."Mungkin kita harus mengandalkan pendengaran saja untuk berjaga." Kata Ema."Apa waktu terbitnya matahari masih lama?" Tanya Fiona lagi."Lumayan lama. Apa lagi kita berada di ruangan tanpa jendela yang terhubung langsung keluar. Cahaya matahari akan lebih lambat masuk menerangi ruangan." Jawab Ema."Sengaja memilih ruangan bagian dalam bangunan, kare
“Tapi, bicara soal kategori kemampuanmu, kau termasuk kategori Elektro, bukan? Telekinesis?” tanya Gar pada Fiona.“Tapi aku tidak tahu mengeluarkan kemampuanku. Aku lupa aku termasuk kategori apa, apa lagi mengendalikan kemapuanmku. Aku tidak tahu.” Fiona membalas.“Mungkin kau hanya perlu pelatihan sedikit.” kata Ema. Gar mengangguk setuju.“Baik, aku akan mencobanya besok.” balas Fiona.Keesokan harinya Fiona dan Ema pergi ke sungai yang sama ketika mereka mengambil air untuk diminum. Kali ini mereka juga berniat sekalian mandi. Suara aliran air sungai membuat tenang suasana. Fiona berjongkok dan menggerakkan tangannya menyentuh air sungai yang tidak keruh namun juga tidak terlalu bening. Rasa dingin yang menyegarkan membelai tangannya.“Ada apa?” tanya Ema yang sedang membuka kancing kemejanya satu persatu.Fiona mendongak menatap Ema saat merasa dirinya ditanyai. Ia memandang Ema yang berdiri disampingnya, “Airnya dingin.”“Kau tidak suka?” tanya Ema lagi.Fiona menggeleng, “Aku
Saat Fiona mendengar seruan dari remaja laki-laki yang menyuruh ia dan Ema untuk menunggu, ia justru bergerak cepat. Sama seperti Ema. Dalam hatinya ia berkata, mana mungkin kami menunggu, menunggu bahaya?! Yang benar saja.Saat Fiona dan Ema sudah naik ke permukaan, mereka terpaksa berhenti bergerak. Tubuh mereka langsung tertahan. Hal itu karena mereka berdua tiba-tiba terkurung di dalam pusaran air. Tidak salah lagi, ini adalah ulah salah satu dari mereka.“Sial, hanya mau ambil baju saja tidak bisa.” Ema menampakkan wajahnya geram.“Bagaimana ini?” tanya Fiona spontan dalam keadaan dikelilingi air yang berputar hingga menutupi pandangannya. Selain Ema, ia hanya bisa melihat air di sekelilingnya dan langit di atasnya.Meski airnya tidak jernih, tapi seharusnya masih bisa menampakkan apa yang ada di luar pusaran air. Namun karena gerakan airnya yang cepat membuatnya semakin buram. Fiona juga takut dengan kecepatan berputarnya, jangan remehkan bagaimana rasanya ditampar oleh air.“Ke
"Ayah setuju jika saya pergi ke Pusat Pemberdayaan?" Vano menatap ayahnya tidak percaya.Padahal sebelumnya ayahnya sangat gigih tidak setuju jika Vano pergi. Dan Vano sudah berencana membuat dirinya pergi bahkan jika ayahnya tidak setuju. Tapi belum sempat Vano berbuat apa-apa ayahnya ternyata sudah berubah pikiran.Keesokan harinya orang-orang yang Vano duga sebagai orang dari Pusat Pemberdayaan datang ke rumah Vano. Mereka jumlahnya tiga orang sama seperti kemarin tapi orangnya tidaklah sama. Mereka berbeda dengan orang yang sebelumnya."Kami di beri tahu jika seharusnya anak anda dijemput kemarin. Tapi anda meminta waktu sehari untuk menundanya."Zack mengangguk saat salah satu tiga orang itu berbicara."Aku butuh waktu berpikir dan mempersiapkan segalanya. Karena tentu saja Vano butuh persiapan." Zack menaruh dua tangannya dibawah dagunya. Tatapannya sangat serius."Sebenarnya anda tidak perlu mempersiapkan apa-apa. Kami hanya diperintahkan untuk menjemput anaknya tanpa membawa b
Vano mencuri dengar dari balik pintu saat ayahnya berusaha keras untuk bernegosiasi pada orang-orang yang ingin membawaku. Aku tidak tahu harus merasakan apa, ayah bahkan mengatakan hal yang mustahil."Aku akan memilih penguji dan peneliti untuk anakku sendiri.""Maaf tuan Zack, anda tidak bisa melanggar aturan meski keluarga anda adalah keluarga besar. Ini adalah kewajiban semua masyarakat. Dan ini semua untuk kebaikan bersama. Bagaimana jika kemampuan anak anda muncul di saat yang tidak tepat? Maka sebelum itu terjadi kami harus membawanya. Tenang saja kami akan menjaga dan merawat mereka dengan baik. Anak anda akan kembali kepada anda lagi jika sudah mendapatkan perizinan. Dan itu biasanya tidak sampai bertahun-tahun. Bahkan ada yang hanya sebulan saja." Vano mendengar suara pria yang bersama ayahnya di ruang kerja ayahnya.Vano lalu pergi menjauh ketika merasa orang-orang berserta ayahnya hendak keluar ruangan. Tapi Vano tidak menjauh terlalu jauh. Ia bersembunyi di balik dinding
"Lalu.. bagaimana denganmu?" tanya Fiona dengan sedikit takut. Pandangannya kosong.Morgan tersenyum miring. Fiona mengeraskan wajahnya, "Kau benar-benar mau menjadi tawanan yang ditangkap?" sindir Fiona.Fiona mengepalkan tangannya. Ia yakin Ter dan Vano juga menegang saat ia mengatakan itu."Jangan bercanda. Kau ke Sentral untuk menjadi tawanan?!" ulangnya dengan marah. Fiona untuk pertama kalinya menampakkan wajah yang benar-benar murka. Morgan sampai terkejut melihat itu."Aku tidak punya tujuan, jadi.." Morgan mencoba menjelaskan."Jangan konyol," desis Ter menarik baju bagian atas Morgan hingga Morgan harus terpaksa melihat ekspresi Ter yang sama murkanya.Sedangkan Vano mengangkat wajahnya dan menatap Morgan yang sedang berdebat dengan temannya yang lain. Tarikan napas lebih keras dilakukan Vano. Saat Morgan menyinggung tujuannya ke Sentral. Tiba-tiba ingatan tentang masa lalu menyeruak di benak Vano.*****"Silakan," ucap seorang pria berumur tiga puluhan setelah menarik kursi
"Tidak perlu dilanjutkan lagi." Pemuda bermata biru itu menatap mereka berempat dan Viktoria dengan bergantian.Ia melewati Viktoria yang tidak bersuara. Viktoria hanya menatap dalam diam ketika ketua kelompoknya maju.Pemuda itu buka suara lagi. "Perkenalkan namaku Zayn. Dan yah, aku ketua dari kelompok ini. Pertarungan ini kita hentikan saja."Perkataan tiba-tiba seperti itu tentu saja mengejutkan. Morgan dan yang lainnya terkejut dengan permintaan Zayn. Bahkan Viktoria yang selalu tidak berekspresi menampakkan getaran di wajahnya."Kalian bisa pergi dan kami tidak akan mengganggu lagi." Zayn kembali melanjutkan.Fiona terkejut dengan mata sedikit melebar. Morgan menarik napas tiba-tiba tapi tidak langsung mengeluarkannya dan memilih menahan napas. Pikiran mereka saat ini mencoba menebak pikiran pemuda bermata biru itu.Pemuda itu tidak menampakkan ekspresi yang membuat mereka terancam. Itu ekspresi seperti mengalah. Tapi tetap saja tindakannya mengundang banyak pertanyaan."Jadi ka
"Aku tidak tahu ternyata kita bisa mengalahkan mereka dengan waktu secepat ini." Fiona buka suara di belakang Morgan."Sebelumnya kita kesusahan untuk menangkap mereka. Tapi kesempatan tidak terduga muncul. Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang ada," balas Morgan."Tapi jika mereka punya kemampuan seperti itu, kenapa mereka tidak mengeluarkannya dari awal? Kenapa mereka tidak mengalahkan kita dari awal? Itu yang belum aku pahami." Morgan melanjutkan. Ia sedikit menebak alasannya tapi belum benar-benar yakin dengan tebakannya itu.Fiona meletakkan tangannya di bawah dagu tampak seolah sedang berpikir. "Apakah mereka butuh kekuatan lebih untuk melakukan itu? Dan mungkin itu akan menguras banyak energi mereka," tebak Fiona.Morgan mengangguk, "Itu juga yang aku pikirkan. Karena itu, saat mereka merasa sulit untuk mengalahkan kita maka saat itulah mereka harus mengeluarkan kemampuan itu." "Jadi mungkin saja mereka tidak akan menyerang dengan serangan yang melumpuhkan dalam sekej
Rino menyiapkan kedua telapak tangannya yang seketika mengeluarkan cahaya. Perlahan api mengumpul di telapak tangannya membentuk bola api yang semakin lama semakin membesar.Tak butuh peringatan, Rino melemparkan bola api dari kedua tangannya ke arah Helen. Helen tidak diam saja langsung mengeluarkan airnya.Aliran air muncul melindunginya dan Hans. Membentuk pusaran yang mengelilingi mereka dan mereka berdua berada di dalamnya. Rena melompat atau bisa dikatakan terbang ke atas pusaran dimana bagian atasnya terbuka dan menampakkan Hans dan Helen sedang berdiri diantara aliran air yang berputar.Yang membuat Fiona takjub adalah saat Rena melompat dengan kakinya yang mengeluarkan api. Rena terbang di udara dengan kaki yang terbakar. Dia mengingatkan Fiona dengan benda yang terbuat dari logam dan bisa terbang menembus udara menuju angkasa. Tapi Fiona tidak mau memikirkan itu sekarang. Ia terfokus dengan aksi mereka.Saat di atas udara, juga di atas pusaran air yang terbuka di tengahnya,
"Tumben kau biasa saja saat berhadapan dengan orang asing." Ter kembali mengajak Vano berbicara lagi.Vano meringis, "Setidaknya dia hanya kategori Raga. Jadi aku rasa dia sedikit tidak berbahaya."Ter mendengkus, "Yang benar saja. Kalau dia tidak berbahaya, bagaimana mungkin dia bisa bertahan setelah ku lempar tubuhnya mengenai batu, sampai-sampai batu besar itu hancur."Vano melebarkan matanya, "Eh, benarkah?"Vano segera memperhatikan sekitar gadis itu, musuhnya. Memang benar. Ada beberapa potongan batu di belakang gadis itu."Hm," Vano memiringkan kepalanya. "Tapi itu wajar saja menurutku. Soalnya dia kategori Raga, kan? Tubuhnya tentu saja lebih kebal. Aku juga tahan benturan, kok."Ter melihat Vano seolah kepalanya tumbuh dua."Dari dulu aku tidak paham. Kenapa di saat bahaya tidak mungkin terjadi, kau ketakutan setengah mati. Tapi saat bahaya yang jelas seperti ini, kau justru biasa saja. Kalau begitu kenapa kau ketakutan saat kau tahu tubuhmu itu juga kuat?" Ter terperangah me
Fiona membuat dinding tanah yang kokoh sebagai tameng dari serangan balasan dari Hans yang sedang berdiri di batang pohon. Fiona sudah memperkuat strukturnya supaya tidak mudah dihancurkan serangan es dari musuhnya itu."Fiona, di sebelah kiri!" Morgan berseru memperingati Fiona. Jangan lupakan musuh pengendali air juga ada di sini.Berkat itu, Fiona mengubah bentuk dinding yang tegak menjadi kubah yang menutupi mereka. Seketika pandangan Morgan menjadi gelap. Mereka berdua terkurung di dalam."Rasanya kesal sekali," kata Morgan disela-sela gemuruh suara yang terdengar dari kubah tanah yang bergetar. Tampaknya musuh mereka mencoba menghancurkan tanah yang melingkupi mereka.“Hei. Apa hanya ini yang bisa kau lakukan?” tanya Morgan.“Apa?” Fiona terkejut mendengar pertanyaan Morgan yang terkesan meremehkan.“Setahuku kemampuanmu itu telekinesis. Aku terkejut kau bisa mengendalikan tanah. Tapi jika kemampuan telekinesismu menghilang mungkin akan sulit untuk mengalahkan mereka.” Morgan m
Kehidupan Garter yang keras berubah karena kecelakaan yang dialaminya. Saat umurnya sudah sepuluh tahun, saatnya anak sepertinya diantar ke Pusat Pemberdayaan. Karena anak yang diantar bukan hanya Garter. Mereka harus naik ke mobil angkutan khusus. Mirip mobil boks tapi bak tertutupnya dilengkapi kursi untuk beberapa orang.Dan lagi ternyata anak-anak yang diantar bukan hanya dari panti asuhan dimana Garter berasal. Mereka juga menjemput anak-anak dari panti asuhan lain dan membawanya ke Pusat Pemberdayaan.Saat berhenti di sebuah panti asuhan, Garter yang sudah duduk bersama beberapa anak di dalam mobil mendengar sesuatu. Mereka tidak diperbolehkan untuk keluar. Makanya mereka tidak bisa melihat bagaimana pemandangan panti asuhan. Apakah sama seperti panti asuhan mereka atau lebih bagus lagi?"Apa yang terjadi?" Anak di depan Garter bertanya entah pada siapa. Posisi duduk mereka saling berhadapan dengan Garter berada di ujung dalam mobil. Berbatasan dengan logam yang memisahkannya d