Senyum jahat muncul di bibir. Ia tertawa seperti professor jahat berhasil membuat senjata pemusnah dan siap menterror kota.
Vivi menemukan cara super hebat untuk membuat novel yang ia tulis mendapat banyak vote, juga kehujanan komentar positif, sekaligus menambah banyak follower. Sebenarnya ini cara yang ... yang penting berhasil.
Dimulai dari membuat ratusan akun kloningan. Semua itu bukan hanya untuk promo, tetapi memberi vote palsu, komentar palsu, juga follower palsu. Dalam waktu singkat novel abal-abal yang dia tulis masuk peringkat sepuluh besar dalam aplikasi tulis menulis online.
Di kampus, ketika waktu pergantian mata kuliah, Vivi gaduh sendiri di depan kelas yang nyaris kosong ditinggal penghuni ke kantin. Dia berdiri seperti artis, tapi hanya beberapa orang yang peduli.
Sambil memamerkan layar hp, dia berkata, “Hai, guys and girls, lihat nih, followerku sudah banyak banget. Terus yang vote juga ratusan. Mereka semua suka sama karyaku!”
Suara cempreng Vivi membuat beberapa murid di luar kelas menoleh ke arahnya, berbisik-bisik lalu terbahak sambil bergeleng pergi. Tetap saja dia bersikap masa bodoh, ketebalan mukanya melampaui tebal dinding tembok Berlin.
“Hoaks.” Komentar seorang pemuda yang duduk di kursi baris ke dua sambil makan siomai bungkusan. Beberapa teman lain ikut berucap hoaks hoaks, menghina Vivi tentunya.
“Ih, enggak hoaks kok, kalau enggak percaya coba kalian baca novelku. Ceritanya tentang cewek berumur 30 tahun, yang enggak laku bertemu dengan—“
“Vi, Vivi.” Sasa menghela napas panjang, membuat Vivi tersedak. Gadis itu hendak berucap sesuatu, tapi urung, entah apa alasannya tak jadi berucap.
Vivi yang mendapati hal ini jadi penasaran. Ia mendekati Sasa. “Apaan? Hmm, speak girl.” Gayanya bicara sengak banget, apalagi ditambah pakai melipat tangan di depan dada segala, merasa jadi orang penting.
“Aku tau rahasiamu, jadi enggak usah banyak gaya.” Sasa bicara tanpa memandang balik, malah menulis sesuatu di buku.
Dengan panik Vivi membungkam mulut Sasa. “Apaan sih, ribut deh, hahaha. Rahasianya Cuma tulisanku tuh bagus banget, jadi banyak yang baca dan vote. Gitu kan, Mi?”
Mimi yang sembari tadi tak peduli dengan Sasa atau Vivi menoleh sebentar, lalu fokus lagi pada layar hp yang dia pegang.
"Mi, ditanya tuh, jawab," celetuk Vivi.
Mimi menjawab, “Iyain biar cepat selesai.”
Sebenarnya beberapa murid lain juga tak terlalu peduli pada apa yang Vivi gembar-gemborkan. Mereka hanya gabut kurang kerjaan, jadi tadi menghina Vivi. Mereka membaca pelajaran saja malas apalagi mengurusi novel. Sayang sekali Vivi gagal melihat ini. Dia menilai jika seluruh dunia sedang melihatnya, ada yang kagum, iri, bahkan banyak yang dengki.
Jam perkuliahan telah usai. Vivi cabut dari sana. Ketika sampai rumah, dia tak henti bersiul. Cara jalannya seperti kancil kepanasan, melompat-lompat kecil sempat jatuh sekali di depan muka tangga, tapi tak ada cidera, dia bangkit lagi.
Ulahnya sangat mengganggu April yang sedang santai nonton TV di ruang tengah. Tanpa tudung aling aling Vivi meloncat dari belakang sofa, duduk di sebelah April yang kaget setengah hidup.
"Vivi, polahmu loh, petakilan banget. Minta dirukiah apa gimana?" gerutu April, matanya tetap fokus pada wajah ganteng Wang Yi Bo di TV, aktor kungfu drama idolanya yang sekarang sedang bermain film Romance.
Vivi malah bersenandung dengan keras sambil bermain hp, membuka menu, back, menu, back. Semua dia lakukan demi mendapat perhatian April, tapi gagal. Kakaknya terhipnotis oleh aktor ganteng.
Vivi mulai berulah. “Kak, Kakak.”
“Hmm.”
“Lihat nih, banyak yang vote. Banyak follower. Banyak komentar positif, Kak. Kata Kakak jelek, ternyata enggak, malah ada yang bilang bagus banget. Nih, kalau enggak percaya lihat deh komentar untuk novelku. Kata orang novelku sekelas sama novel best seller. Kak! Ih, noleh kek.”
Supaya tak terus-terusan diganggu setan di sebelahnya, April menoleh sebentar memandang muka Vivi yang bermandi senyum, lalu kembali lagi ke layar TV.
Vivi kesal, menepuk paha April. “Ih, Kak. Lihat dong, ini adikmu mau pamer, kok dicuekin. Harusnya Kakak sirik.”
Dari pada Vivi mengganggu ketenteraman, April mengalah. Dengan ogah-ogahan dia mencoba membaca novel karangan Vivi. “Enggak ada perubahan, tetap jelek, tulisanmu ancur. Ini kamu mau cerita apa? Dialog enggak dikasih tanda petik, narasi amburadul, bahasa Jawa keluar semua. Dah lah, pusing Kakak bacanya.” Kasar April melempar hp Vivi ke sofa.
“Dih, bilang aja sirik. Kakak enggak bisa nulis bagus, kan? Kakak ingin populer tapi gagal. Hayo ngaku.”
“Terserah. Dah sana, main di kamar, jangan berisik dan kalau bisa jangan keluar sampai besok pagi.”
"Ih, apaan sih! Sok banget."
Vivi cemberut merebut remote lalu mematikan TV, hingga mengundang teriakan April yang segera mengejarnya sampai kamar. Dia cekikikan mengunci diri dalam kamar, menduduki kursi untuk bersiap membuat akun palsu lebih banyak lagi guna kesuksesan novel.
Dia mendorong kedua tangan ke depan memajukan tempat duduk, bersiap mengetik. “Semangat !” Sepertinya Vivi lupa jika seorang penulis dipanggil penulis karena menulis, bukan membuat akun kloningan.
Satu Minggu berlalu. Vivi semakin menggila dengan kegiatan barunya. Semua part dalam novel dibanjiri pujian yang dia buat sendiri, juga vote yang diberi sendiri. Walau demikian novelnya semakin melambung hingga mencapai peringkat satu dalam genre teenfiction. Mulailah datang para pembaca asli yang mengikuti arus memuji karyanya.
Karena waktu habis untuk membuat akun kloningan, Vivi mengupdate novel pakai karya orang lain. Dia melakukan hal paling hina di dunia literasi, plagiat dengan cara copy-paste.
Alasan Vivi menjadi plagiator simpel, karena tak punya waktu untuk membuat premis, mengatur plot, juga membentuk karakter, apalagi menulis novel berkualiatas tinggi. Apa Vivi masih punya malu?
Tentu dia manusia dan punya perasaan juga, termasuk rasa malu. Terutama karena karya yang dia curi milik seorang penulis baru. Di mana akun penulis korban baru dibuat beberapa bulan lalu, masih minim follower.
Peduli amat. Inilah dunia, kehidupan keras. Dunia literasi adalah dunia rimba. Yang kuat yang bertahan. Begitu anggapan Vivi seperti merasa paling hebat.
Namun, kala malam tiba Vivi sering merenung. Sebenarnya untuk apa dia menulis semua ini? Toh hasil dari tulisan ini semu. Semua hanya demi angka yang tak bisa dia bawa mati kelak.
“Vivi.”
Yang dipanggil menoleh ke belakang. Sontak dadanya berdebar-debar. Sosok pemuda di toko buku singgah lagi. Berdiri di belakang, kedua tangan melingkar ke lehe Vivi. Dagu pemuda singgah ke atas kepala Vivi.
“Bagaimana novelmu?”
“Baik, Kak. Cuma ya gini. Aku … aku mencuri novel orang.”
“Kok begitu? Kenapa enggak menulis sendiri?”
“Kalau menulis sendiri, jelek.”
Pemuda itu memutar kursi putar Vivi. Ia bertumpu lutut di hadapan pemilik kursi. Wajah mereka sejajar. Senyum lembut membuat Vivi ikut tersenyum. Elusan di pipi berubah menjadi cubit.
“Tujuanmyu menulis untuk apa?” tanya pemuda.
Vivi tertunduk malu.
Cowok itu lanjut bicara, “Kalau terus begini, kamu akan selamanya hidup dalam halusinasi kosong, Vi.”
Vivi menggeleng. “Rencanaku setelah banyak follower akan mulai menulis dengan kemampuan sendiri, Kak.”
“Kapan?”
“Ya nanti, kalau sudah banyak follower.”
"Sekarag kan sudah banyak."
"Kurang banyak."
Pemuda itu menghela napas panjang, bangkit dari sana. Dia membuka pintu dan April masuk. Bayang itu seperti nyata sekarang sirna oleh kehadiran Kakak.
“Eh, Vi, Kakak mau bicara.” April duduk di tepi kasur Vivi, mengamati layar hp di tangan, lalu menunjukkan layar kepada Vivi. “Jujur, ini bukan tulisanmu, kan?”
Tenggorokan Vivi mendadak kering. “Apaan sih, katanya jelek, gitu tetap dibaca. Kak, Kakak.” Dia memutar kursi putar menghadap meja, tapi April memutar lagi kursi itu menghadapnya.
Kali ini layar android nyaris bersenggolan dengan wajah Vivi . “Ini bukan tulisanmu, kan? Ngaku aja.”
“Tulisanku.”
“Emang jalan ceritanya bagaimana?”
Wajah Vivi menoleh ke atas, garuk-garuk kepala juga. “Apa ya?”
“Enggak tahu kan?” April bediri tegap memandang tajam pada wajah sok polos adiknya. “Karya siapa yang kamu curi?”
Tiada jawab dari Vivi. Dia terlalu bingung harus bilang apa pada Kakak.
“Kamu copy paste karya orang, itu plagiat namanya. Kakak enggak percaya kamu melakukan hal ini.” Cukup lama April memandang jengah adiknya, menanti jawaban yang tak pernah datang. “Parah, parah. Hati-hati loh, sepandai-pandainya pocong melompat, ada kalanya kesandung juga, dan pocong enggak bisa berdiri sendiri.” April kesal, keluar kamar membanting pintu.
Vivi bukannya tak sadar, tetapi apa daya. Hanya ini yang dia mampu untuk saat ini. Yang mampu membuatnya tersenyum hanya sosok dalam mimpi. Dia mematikan laptop, juga lampu kamar, terlentang di kasur berusaha memejam, tidur tak tenang.
*
Di kampus pada jam istirahat, Vivi, Mimi dan Sasa berkumpul sambil bercanda seperti biasa di kantin. Suara mereka menandingi suara pengunjung lain. Sambil memakan bakso ketiganya membahas novel Vivi yang stay di urutan sepuluh besar genre teenfiction selama seminggu penuh.
“Apa aku bilang.” Sasa yang duduk di sebelah Vvii berkomentar. “Kalau latihan terus menerus, tulisanmu tambah bagus, loh."
Vivi mengunyah pelan, senyum pun lembut. Dia bingung harus komentar apa.
“Vi, lihat deh, ada komentar masuk, komentar baru untuk novelmu.” Mimi meminjamkan android pada Vivi, supaya sahabatnya bisa membaca komentar yang dimaksud.
[Kak, tolong jangan mencuri karya saya. Saya enggak akan memperpanjang masalah ini, tapi tolong hapus karya Kakak. Terima kasih.]
"Jadi kamu nyolong?" celetuk Sasa yang ikut membaca dari samping. "Astagfirullahaladzim, aku kira kamu ada perkembangan, enggak tahunya malah--"
"Enggak, aku enggak nyolong! Itu tulisanku! Kisahnya tentang masa lalu seorang gadis, menceritakan kisah jaman SMA." Vivi bisa tahu hal itu karena sempat membaca sekilas. Yup, dia membaca. Setelah kejadian di kamar bersama April, ia akhirnya mau membaca novel walau cuma membaca loncat-loncat dari bab satu ke bab lima dan langsung ke bab akhir.
"Wah parah nih orang, mau pansos." Mimi mengambil androidnya lagi.
"Mi, mau apa?" tanya Vivi, mendapati Mimi membuka instagram.
"Tuh bocah ngajak war, kan? Lumayan nih buat instastory. Kamu jangan takut Vi, massa ku banyak nih, ada ribuan! Biar kita report bersama tuh akun penulis pansos!"
"Astagfirullah," Sasa mengelus dada. "Dah lah aku enggak ikut-ikut!"
Vivi terdiam. Perasaannya campur aduk. Dia tahu kalau perbuatannya salah, tapi, mengaku sekarang sudah terlambat. Vivi hanya berharap penulis itu tabah.
Malam semakin larut. Vivi duduk di kursi belajar dalam kamar fokus pada layar laptop di atas meja. Kepalanya mengangguk-angguk kecil mendengar lagu SHINee, boy band Korea Selatan favoritnya.Dia sedang stalking akun facebook penulis yang karyanya ia colong. Dengan tabah ia membuka satu-satu akun bernama Efendi, hingga sampai juga ke sebuah akun penulis itu. Dengan akun palsu Vivi meng-add dia jadi teman, berharap bisa mengetahui lebih banyak sosok itu.First impression dari Vivi untuknya, Efendi cowok baik, ramah dan cukup supel. Dia enggak garing, terus terang ia sangat nyaman mengobrol dengan cowok itu. Tidak nampak kesedihan dari pesan-pesan balasan yang ia terima.Iseng-iseng dia mengunjungi akun Efendi di aplikasi tulis menulis. Mau tau, sejauh mana terror follower Mimi menggempur akun itu.Vivi membaca beberapa komentar barbar di novel, juga di wall, dan semua itu membuatnya menghela napas juga memaksa bibir bergetar. Semakin lama ia
Perkataan Mimi membuat Vivi dan Sasa bertukar pandang bingung, terlebih sahabat mereka itu menarik lengan mereka."Ayo duduk dulu. Aku jelasin."Keduanya menurut seperti murid TK disuruh guru untuk duduk. Di mata mereka Mimi memang spesial. Cowok mana yang tidak takluk oleh Ratu Tomboy Sejagat? Anak basket? Mimi pernah suka sama senior, dia menantang basket dan cowok itu tunduk. Anak band? Ada murid SMA yang ditaklukkan dengan cara dia ikut bermain gitar. Seorang dokter? Dulu Mimi pura-pura sakit dan berhasil memacari dokter muda itu. Semua cowok-cowok itu hanya bertahan seminggu jadi pacarnya, lalu secara sepihak dia memutuskan mereka. Benar-benar playgirl sejati.Sekarang keduanya menanti apa yang akan Mimi ucapkan.Dan tak butuh waktu lama untuk gadis itu berucap. "Jangan mengejar cogan, tapi buat mereka penasaran dengan kita.""Penasaran gimana?" selidik Vivi."Ya jangan jadi murahan. Intinya--""Intinya nge-drama, ya kan?" sela S
Di bawah naungan langit yang sama, beda tempat dan beda suasana.April tampil cantik dengan gaun sabrina hitam panjang, duduk manis di jok depan mobil Camry keluaran terbaru warna hitam. Sesekali ia menoleh ke arah kursi kemudi sambil tertawa mendengar ucapan pemuda gendut berkaca mata, keturunan Tiongkok berpipi tembem lucu yang memakai kemeja dengan rompi sweeter tanpa lengan. Dia Rafa Rafi, mau dipanggil Rafa bisa, Rafi juga tak apa."Your so beautiful," puji Rafa."Thank you.""Jadi, buat apa nih, nyari editor?"April menjelaskan duduk perkara pada Rafa, mulai dari Vivi yang aneh sampai masalah plagiat dan penulis novel. Rafa mendengar dengan baik sekali, kadang memberi tanggapan dengan anggukan tetap fokus pada jalan di depan."... gitu." April menutup curhat dengan helaan napas berat, lalu bertanya, "Bagaimana, bisa bantu enggak?""Bantu gimana?" Rafa diam cukup lama hingga ketika sampai di lampu merah, mobil b
Setelah pulang dari mall, Vivi mengunci diri dalam kamar. Ia duduk di kasur menelungkup kepala ke antara dua kaki yang dilipat. Dadanya berdebar-debar ketika membayangkan kejadian di lahan parkir bawah tanah mall. Bukan hanya motor punya Anjas, tetapi beberapa motor lain pasti rusak. Dia benar-benar menjadi anak nakal di sana. Bagaimana jika para pemilik motor yang rusak menagih uang kompensasi? Vivi hanya mahasiswi yang belum mandiri, masih bergantung kepada orang tua. Apa yang ibu akan katakan ketika mengetahui hal ini? "Vi? Ada apa, Nak?" Suara ibu terdengar dari luar kamar, mengiringi ketukan lembut pintu. "Kamu kenapa, kok langsung masuk kamar? Sasa sama Mimi datang tuh. Vi, kamu mau menemui mereka?" Sayup terdengar suara Mimi di luar sana. "Sudah tidur mungkin, Tante. Tadi habis main kejar-kejaran soalnya jadi Vivi kecapekan. Kalau begitu kami pamit pulang dulu, permisi." Keadaan kembali sunyi hingga sayup terdengar suara TV dari luar kamar. Cuk
Vivi belum tau pasti editor itu gadis atau laki. Walau demikian dia tetap bersemangat untuk menemui editor. Menurutnya ini adalah jalan untuk menuju kesuksesan. Ia sangat berharap editor itu mampu mengajari tentang dunia literasi. Karena alasan itu, dia mengenakan pakaian terbaik milik Kakak, pakaian sopan serba tertutup. Blouse lengan panjang berwarna vanilla dengan bawahan celana jeans dan sepatu ket. Ia ingin tampil sesempurna mungkin dan membentuk image baik di pertemuan pertama. Setelah siap, Vivi pergi menemui editor di tempat mereka janjian. Di dalam kafe, dia duduk dekat jendela sambil menonton banyak pejalan kaki berhilir-mudik di trotoar. Aroma pastri memberi nuansa nikmat. Obrolan lembut dari pelanggan pun tidak menghalangi suara musik yang menyapa telinga. Seorang pelayan berkemeja panjang putih dengan rompi sweeter tanpa lengan datang menghampiri Vivi. Dia mentoel lengan gadis itu memakai ujung tumpul pena, membuat yang ditoel menol
Betapa terkejut Anjas mendapati Vivi keluar dari kafe sampai nyaris menjatuhkan hp. Dia tak menyangka gadis sial masih nekat stalking. Ini kesempatan untuk memarahinya karena aksi di mall benar-benar membuat sengsara. Ia bangkit hendak mengejar, tapi urung karena mendapati stop map warna kuning tergeletak di meja yang baru saja gadis itu tinggal. Sesuai perjanjian harusnya gadis yang bakal dia ditemui membawa stopmap warna itu. Dia belum percaya jika gadis itu Vivi, berdoa supaya semua isi pikiran tidak benar. Untuk itu dia pindah duduk ke kursi yang masih hangat bekas dipakai Vivi. Setelah memakai kacamata baca, Anjas mulai membaca satu persatu halaman dalam stopmap, mulai dari kalimat pembuka sampai penutup. Cekatan dia mencoret-coret kalimat memakai pena, hingga kertas draft menjadi seperti canvas berisi lukisan tinta hitam. Dengan kasar ia menaruh stopmap kembali ke meja. Lemas Anjas menghela napas, bersandar pada sandaran kursi sambil memijat kedua
April terpaksa merayu Rafa untuk membuat janji baru dengan Anjas. Syukurlah, semua bisa berjalan dengan baik. Karena kesibukan Anjas, pertemuan dijadwal ulang, tepatnya beberapa hari kedepan.April menyampaikan berita ini ketika Vivi baru pulang dari kampus, ia mencegat adiknya di muka anak tangga paling bawah, menggenggam kedua pundak gadis itu."Ingat, kamu harus bertemu dengannya, enggak peduli dia siapa, mengerti?" Pesan April, mewanti-wanti adiknya."Siap, Kak." Vivi sampai memberi hormat pada gadis di hadapannya.Setelah kejadian tempo hari, dia memang bersemangat untuk bertemu Anjas karena pemuda itu benar-benar punya niat baik untuk membantunya. Anggapan itu karena draft dalam stopmap Vivi benar-benar dikoreksi olehnya.Hari demi hari berlalu. Keanehan demi keanehan terjadi pada diri Vivi. Dia yang terkenal hiperaktif sekarang seperti kambing hendak disembelih buat kurban, tapi kalau kambing mungkin diamnya sedih, tak ada nafsu hidup, kalau
Anjas bengong melihat betapa cerah wajah Vivi ketika menjawab tadi. Sekilas ia teringat akan sosok yang dulu memiliki senyum tak kalah indah. Sosok yang sempat sangat dia sayangi, tetapi sekarang menjadi setan yang sangat dibenci, hingga ingin memakannya mentah-mentah."Romance itu genre, kan?" tanya Vivi, dengan wajah polos menyertai ucapan.Anjas terkekeh. Genre pilihan Vivi sangat sering dia dengar sampai membuat muak. "Kenapa harus Romance? Kenapa bukan Fantasy? Kenapa bukan History?""Karena Romance indah, banyak cinta dan uwu-uwu. Semua manusia pasti memiliki kisah cinta, kan? Kakak juga pasti punya. Jadi bakal mudah menulis novel Romance, percaya deh."Vivi menangkap perubahan raut wajah Anjas yang tadi ramah kembali dingin. Ia sadar jika telah berbuat salah, tapi apa? Kenapa? Mungkin karena sombong? Dia memilih bertanya dari pada tersesat dalam pikiran. "Kenapa Kak?""Premis apa yang ingin kamu buat untuk novel Romance?" lanjut Anjas, kali
Anjas duduk di sofa nyaman. Dua pria berjas berdiri di belakang. Beberapa gadis yang duduk tak jauh dari tempatnya duduk berbisik-bisik sambil tertawa genit. Ketika Anjas menoleh, mereka tersenyum tak berani memandang balik. Mungkin karena penampilan Anjas kali ini? Dia memakai kaos lengan panjang dengan kerah membentuk V, berlapis sweeter bentuk rompi. Celana panjang kain hitam serasi dengan pantofel yang ia kenakan. Tiba-tiba wajah kedua gadis berubah menjadi wajah Anis dan Vivi. anjas menggeleng pelan, sedikit menunduk mengurut kening. Ia lanjut membaca. "Psst, gadis aneh tadi siapa ya? Katanya mau bertemu pacar, gitu," bisik seorang gadis kepada pacarnya, melintas santai di depan Anjas. "Enggak tahu juga. Tapi heboh banget," jawab pemuda, mengajak pacarnya duduk di sofa sebelah Anjas. Pengumuman terdengar nyaring. Sebentar lagi pesawat akan berangkat. Anjas hanya membawa hp, juga tas satchel hitam. Sebelum pergi ia
Motor yang Vivi kendarai, sampai di lahan parkir apartemen Anjas. Dia melepas helm sambil berlari kecil menuju gedung. Ia tak peduli pada Mimi dan Efendi yang baru datang melintas di samping mengendarai motor mereka. "Astagfirullah, Vivi tunggu!" Sasa memungut helm yang Vivi lepas. Yang dipanggil benar-benar tak mendengar ucapan, malah nyelonong masuk seorang diri ke dalam gedung. "Vivi, tunggu dulu, jangan bergerak sendiri seperti ini!" sentak Sasa, mengekor. Di depan lift, Vivi memencet tombol berulang kali bagai tiada hari esok. "Cepet ... cepetan!" Pintu lift terasa lama terbuka, bagai seabad dia menanti. Kesal Vivi memukul tembok. "Vivi!" sentak Sasa, menahan kedua tangan sahabatnya. "Jangan seperti ini, malu dilihat orang." Vivi memandang sekitar. Dua sekuriti berada di dekatnya. Banyak mata pengunjung melihat dan mereka berbisik-bisik. Bahkan beberapa orang di kafe apartemen berkumpul di dekat kaca jendela memandang aneh k
"Itu siapa?" bisik Alvin sambil memandang Efendi. "Jadi, dia cowok yang kamu suka? Orang Timur Tengah?" Vivi menggeleng sambil tertawa kecil. "Bukan lah. Dia Ismed, temannya Kak Anis. Sebentar ya, Vin. aku ke sana dulu." "Jangan pergi, di sini banyak wartawan, nanti mereka bisa berpikir macam-macam kalau kamu menemui cowok itu." "Tapi--" "Nanti ya, setelah wawancara selesai, baru temui dia." Vivi memandang sekitar. Wartawan memang banyak mengerumuni mereka, membuatnya susah untuk bergerak. Terlebih Ismed terjebak di kerumunan, tertahan oleh pihak keamanan. Ismed bisa bertahan di sana menunggu. Vivi memberi kode anggukan pada pemuda itu hingga membuatnya sedikit tenang. Para wartawan tak memberi kesempatan untuk Alvin dan Vivi pergi, memaksa mereka dikawal para pengawal berpakaian safari hitam menuju lahan parkir mobil. Mereka semakin jauh dari Ismed. Di kejauhan anggota band Miracle Never Die yang lain nyaris mendapat perlakuan sama se
Alvin membuka pintu kamar hotel, menaruh tas ransel ke dalam kamar. Cukup besar kamar itu juga adem karena embusan angin dari AC."Nah Vi, Bu, selama di Malang, kalian tinggal di sini, ya. Tenang saja, semua biaya Alvin yang tanggung."Ibu tertawa kecil menepuk-nepuk pipi pemuda itu. "Kamu sudah bisa mentraktir rupanya, ya." Beliau memandang seisi kamar, duduk di tepi kasur besar empuk di tengah ruang. Beliau melihat Alvin membuka pintu kamar mandi."Nah, ini kamar mandinya, Bu.""Iya Nak, terima kasih. Tante mau istirahat dulu." Beliau mendapati anak gadisnya berdiri sambil tertunduk malu, begitu juga Alvin yang nampak tak tenang. "Sudah, kalian pergi main sana, bebas mau ke mana saja asal Vivi harus kembali ke kamar ini sebelum jam sepuluh malam, mengerti?"Alvin mengangguk kecil."Ibu beneran enggak ikut nonton konser Alvin?" tanya Vivi, raut wajahnya penuh harap. Ia mengambil lembut jemari tangan Ibu.Beliau menggeleng. "Ibu
Banyak orang hilir mudik, tapi tidak satu pun yang dia kenal. Secangkir kopi panas dan sepiring jamur goreng menghias meja. Sekantung plastik putih berada di atas kursi sebelah kursi yang diduduki Ismed. Dia bersenandung pelan mengamati lift dan pintu masuk apartemen, berharap Anjas cepat pulang. Sesuai janji dia ingin mengganti hp milik Anjas yang rusak karena insiden malam kemarin.Pengunjung kafe semakin sedikit. Pejalan kaki di lobby pun mulai jarang. Tak terasa tiga gelas kopi kosong menghias meja. Hingga saat ini belum nampak sosok yang ditunggu. Ismed memandang jam di layar hp. Angka 23.45 memaksa suara decak kesal keluar dari bibirnya."Mana sih, kok lama. Apa dia menginap di rumah Vivi?" Senyumnya mereka membayangkan hal itu. Baru saja hendak bangkit, sosok yang dinanti tiba.Perban melingkar di kening. Anjas melangkah pelan dibantu satpam. Beberapa orang di belakang meja resepsionis bergegas turut membantu."Ya Tuhan." Ismed bu
Terdengar suara obrolan dari lorong. Banyak sampul buku terbitan Rayon menghias dinding ruang berdinding putih. Di ruang lumayan luas itu, Sasa duduk berjajar dengan Anjas dan Efendi, menanti seorang pria duduk di balik meja. Pria itu membaca dengan seksama draft di tangan sembari sesekali mengangguk, tersenyum. "Bagus ini jalan ceritanya. Sudah matang sekali dalam penulisan dan plotnya mengalir. Pembentukan karakter pun nyaris sempurna. Hanya sedikit kesalahan dalam penggunaan kalimat berdasar KBBI. Apa kamu yang ngedit, Njas?" Anjas mengangguk. "Cuma sedikit. Mayoritas isi draft dibuat oleh Sasa sendiri." "Benar begitu. Mbak?" Sasa mengangguk kecil. Wajahnya memerah malu, tertunduk tiada berani memandang langsung pria ramah berkemeja lengan pendek yang sembari tadi memandang kagum pada Sasa. "Kenapa kok enggak pernah mengirim kemari?" tanya pria ramah. Sasa tak menjawab, mungkin karena dia sungkan. Anjas tahu jika Sasa
Vivi menemui tamu yang Kakak maksud. Sosok itu berdiri membelakangi pintu, memakai denim hitam, celana jeans biru muda pudar, kupluk biru tua dan bersenandung kecil. Kedua tangan berada di belakang pinggang memegang setangkai bunga merah.April sengaja tak bersuara pergi dari sana, menepuk pundak Vivi."Siapa?" bisik Vivi."Cari tahu sendiri."Perlahan Vivi mendekat. Pasti Anjas. Ya, siapa lagi. Pikirannya sekarang penuh oleh pria berkacamata itu. Walau dia tahu tinggi badan mereka tak sama, tetapi harapnya terlalu besar hingga tercetus untuk menebak. Lalu bunga yang pemuda itu bawa, bunga kenangan Vivi dan Anjas. Pasti dia."Kak Anjas?"Pemuda itu berbalik. Senyum lebar gigi putih terlihat jelas. Ia melambai. "Hai Vi.""Ya Tuhan, Alvin? Kok bisa?" Vivi bingung karena baru saja melihat sosok pemuda itu di tv. "Bukannya baru wawancara--""Itu kan kemarin. Sehabis wawancara, aku tanya sama wartawan ada apa dan dia mencerita
Berita di TV tentang Anis membuat Anjas tersenyum puas. Dia bangkit dari duduk di sofa, melangkah ringan menuju balkon.Dia berdiri di sana. Angin sejuk pagi menerpa wajah, membuat rambut bergerak-gerak. Cahaya matahari baru terbit menebar hangat nikmat, sampai meresap ke hati. Tak sabar ingin bertemu Vivi, memberi kabar gembira.Ketika hendak masuk ke ruang, sebuah mobil Pajero hitam menyita perhatian. Mobil itu parkir di dekat pohon mangga di lahan parkir depan gedung. Pengemudi mobil turun. Seorang pria berjas hitam mendongak, melambai kecil ke arahnya. Anjas tahu pagi ini dia bakal kedatangan seorang tamu.Dia turun menuju kafe lantai bawah. Di sana Ismed duduk seorang diri ditemani dua cangkir kopi di meja. Kafe masih sepi, hanya beberapa kursi terisi pelanggan. Suara obrolan kecil mengiringi langkahnya.Melihat Anjas, ia tersenyum melambai kecil. Anjas menyeringai karena tingkah pria itu. Ia duduk di kursi depan Ismed."Sudah kubelikan
Suara gemercik air berasal dari arah dapur. Air dingin menerpa kulit tangan. Vivi sibuk mencuci piring seorang diri. Rencananya sehabis ini dia bakal kerja bakti bersama April dan ibu bersih-bersih rumah. Sekali lagi dia memandang layar hp.Dia berharap Anjas menghubungi, setidaknya mengirim pesan, tetapi tidak. Semua harap itu sirna. Ia menghela napas. Kenapa masih berharap? Anjas telah kembali bersama Anis. Dia telah meninggalkan kapal yang tenggelam, bernama kapal Vivi dan melompat ke kapal yang besar, kapal yang membawanya berlayar ke samudera bahagia..Matanya berkedip dengan cepat. Bibir bergetar. Vivi menutup mulut supaya suara tangis tidak terdengar.Sakit hatinya. Walau mencoba percaya jika apa yang dia lihat menyembunyikan suatu alasan, tetap saja ... rasanya seperti berjalan di ribuan duri kaktus. Sebegitu jahat Anjas hingga setelah berjuang bersama, sekarang dengan mudah membuangnya?Pasti ada penjelasan kenapa pemuda itu tak bisa