Setelah pulang dari mall, Vivi mengunci diri dalam kamar. Ia duduk di kasur menelungkup kepala ke antara dua kaki yang dilipat. Dadanya berdebar-debar ketika membayangkan kejadian di lahan parkir bawah tanah mall.
Bukan hanya motor punya Anjas, tetapi beberapa motor lain pasti rusak. Dia benar-benar menjadi anak nakal di sana. Bagaimana jika para pemilik motor yang rusak menagih uang kompensasi? Vivi hanya mahasiswi yang belum mandiri, masih bergantung kepada orang tua. Apa yang ibu akan katakan ketika mengetahui hal ini?
"Vi? Ada apa, Nak?" Suara ibu terdengar dari luar kamar, mengiringi ketukan lembut pintu. "Kamu kenapa, kok langsung masuk kamar? Sasa sama Mimi datang tuh. Vi, kamu mau menemui mereka?"
Sayup terdengar suara Mimi di luar sana. "Sudah tidur mungkin, Tante. Tadi habis main kejar-kejaran soalnya jadi Vivi kecapekan. Kalau begitu kami pamit pulang dulu, permisi."
Keadaan kembali sunyi hingga sayup terdengar suara TV dari luar kamar. Cukup lama Vivi terdiam membayangkan bagaimana keadaan Anjas. Apa dia dihakimi orang banyak? Beberapa kali suara getar android di atas meja belajar menggema dalam kamar, tetap dia tak bersedia mengangkat. Terlalu takut, bagaimana jika itu para pemilik motor? Atau Anjas? Mereka pasti meminta ganti rugi.
Suara mobil dari arah jalan depan rumah membuat Vivi sadar jika April baru pulang dari kondangan bersama pacarnya. Benar saja, suara Kakak dan Rafi terdengar mengobrol dengan ibu di luar sana. Lalu mesin kendaraan berangsur mengecil hingga sirna.
Tak lama kemudian pintu kamarnya diketuk. Ia berharap pengetuk segera pergi, tapi tidak. April malah masuk ke kamar, menyalakan lampu.
"Vi--ya Tuhan, kamu kenapa?"
April duduk di sebelah adiknya di kasur, membimbing Vivi tersayang masuk dalam rangkul serta memberi pundak untuk tempat bersandar gadis malang itu.
Hangat perlakuan Kakak membuat Vivi sedikit nyaman, sampai terdengar ucapan yang sedikit menusuk hati terucap dari bibir April.
"Kok jadi begini sih, putus sama cowok--eh, sorry, jomblo kok, ya, lupa." April berharap mampu membuat Vivi tertawa atau marah, tapi gagal. Adiknya itu malah semakin larut dalam kehampaan. "Kenapa Vi? Kenapa jadi seperti ini? Ayo katakan, ada apa?"
Pertanyaan itu tak langsung terjawab karena Vivi menangis sesenggukan. Semakin lama semakin kencang suara tangis Vivi. Pelukan pada tubuh April juga semakin erat. "Aku takut banget, Kak. Bagaimana ini?"
"Ini ada apa? Takut kenapa? Kamu hamil?"
"Enggak! Tadi, tadi, tadi--"
Tentunya karena cara menjawab yang belepotan, tersedan-sedan, muncul tanda tanya di benak April. "Tadi tadi apa? Tadi habis mengaca terus sadar kalau kamu enggak cantik-cantik amat? Apa lihat pocong? Di mana? Waduh bahaya nih, pocongnya tau rumah kita enggak?"
"Bukan!" Akhirnya Vivi mengamuk juga, sampai teriak gede banget, lalu menangis lagi. "Tadi di mall tuh aku buat salah gede banget, Kak. Gimana ini? Nanti kalau ketahuan rumahku, didatengin, terus disuruh bayar--"
"Astaga, kamu mecahin kaca mall? Udah dibilangin kalau main jangan petakilan!"
"Bukan! Kok tega banget sih, adik sendiri juga dituduh hamil, mecahin kaca, jelek."
"Terus, apa?"
"Tadi kan, ceritanya begini ...." Vivi menceritakan semua kepada April. Mulai dari pertemuan dengan cowok super ganteng, sampai ulahnya di lahan parkir bawah tanah mall. "... nanti kalau mereka datang ke sini, minta ganti rugi, gimana Kak? Minta Kak Rafa Rafi buat bayar ya, please."
"Enak saja, pacar orang dijadikan tameng. Makannya cari pacar sendiri!" April melirik datar, dari pandangan itu sepertinya perasaan dia saat ini campur aduk antara kasihan sama marah. "Mereka lihat wajahmu, enggak?"
Vivi mencoba mengingat-ingat, lalu menggeleng pelan dengan bibir menjeb-menjeb.
Histeris pula nada bicara April menanggapi jawaban adiknya. "Kamu terekam dalam CCTV, enggak?"
"Sepertinya nggak."
"Ya sudah, santai saja, asal enggak ketahuan, aman."
"Kalau ketahuan?"
"Ya sudah, kan kamu yang dicari, bukan Kakak."
Tangis Vivi semakin kencang sampai memaksa guguk menggonggong di luar sana, bahkan membuat alarm mobil tetangga berbunyi. Alhasil suara itu menarik kehadiran ibu. Beliau berdiri di muka kamar menggeleng kecil tak percaya dengan apa yang dia lihat dan dengar.
"April, kamu sudah besar jangan mengganggu adikmu. Itu kamu apain sampai nangis begitu?"
Vivi sigap membungkam mulut Kakak. "Enggak apa-apa Bu, cuma latihan nge-drama. Ibu balik nonton TV saja, biar aku sama Kakak latihan. Ditutup Bu, pintunya."
"Sopan sama orang tua seperti itu? Nyuruh-nyuruh." Ibu menggeleng kecil menutup pintu hingga berbunyi dentuman pelan. Sepertinya beliau pergi dari sana.
Sekarang ruang kembali sunyi, hanya suara tersedu-sedu Vivi yang tersisa. April menanti gadis itu supaya bisa mengontrol emosinya yang tak stabil terlebih dahulu, supaya ketika diberi nasihat kelak bisa masuk dan menetap dalam kepala.
Sebenarnya April tak ingin memberi kabar gembira ini karena belum pasti, tapi karena Vivi sedang terendam dalam laut galau, mungkin hal ini bisa menjadi penghibur. "Vi, Kakak punya berita bagus."
"Kabar apa? Mau nikah sama Rafa? Kasihan, dapet suami bunting duluan sebelum nikah." Mendapati lirikan tajam April, Vivi tersenyum pamer gigi putih, gigi sigungnya lumayan gede. "Bercanda kak. Apa nih berita gembiranya?"
"Kamu masih ingin menjadi penulis cerita profesional?"
"Masih, lah. Kenapa, mau nyuruh berhenti?" Ketus nada bicara Vivi.
"Apa itu membuatmu gembira? Enggak, kan? Makannya, dengar dulu, jangan asal menebak. Kakak ada kenalan editor novel, yang mengedit novel Kejora itu, loh."
"Bohong."
"Serius, sebenarnya kenalan Rafa sih, tapi nanti juga pasti jadi kenalan Kakak juga. Nah, tadi Rafa yang menawarkan, enggak mungkin bohong. Berhubung Kakak sedang baik, kamu mau enggak ketemu sama editor--"
"Mau! Mau banget, Kak!" Vivi merangkul Kakak seperti merangkul guling hingga yang dirangkul sesak napas. "Makasih banget ya, Kak! Vivi taku Kakak memang yang paling baik sedunia dan akhirat!"
Kasar April mendorong adiknya hingga pelukan terlepas demi menghirup udara segar lagi. Ia batuk-batuk mengelus dada yang kembang kempis. "Kamu sengaja mau bunuh Kakak apa gimana?"
"Ya sorry, kan sedang happy. Kapan Kak kita ketemu editor? Cewek apa cowok editornya?"
"Belum tau ya, mungkin cowok--hayo! Kalo berani peluk-peluk lagi, kutampol mukamu." Diancam seperti itu Vivi urung memeluk. "Kamu bisa bertemu dengan editor itu, tapi ada syaratnya."
"Syarat apaan? Aku enggak punya duit."
"Tahu kok kalau kamu miskin, bocil mana punya duit. Syaratnya kamu harus berhenti membuat akun kloningan. Stop memberi vote palsu. Jangan memberi komentar positif dalam ceritamu sendiri dan jangan plagiat cerita milik orang lagi. Kalau bisa, kamu juga coba minta maaf sama orang yang karyanya kamu curi, hapus semua akun palsumu. Bagaimana, sanggup?"
"Banyak banget, ditawar boleh?"
April bangkit berjalan pergi dari sana. Ia menahan pintu kamar sebelum keluar. "Kakak serius. Asal kamu tau, orang yang ceritanya kamu curi pasti sedih banget. Coba posisikan dirimu sebagai orang itu."
"Cara minta maaf yang baik, bagaimana?"
April terpaksa duduk lagi di tepi kasur demi menemani adiknya yang tertunduk bingung. "Ya minta maaf, sama seperti ketika kamu berbuat nakal dan dimarahi guru dulu."
"Nanti fansku bakal kabur, dong. Nama baikku hancur, kredibilitas pun bakal dipertanyakan, terus--"
"Parah banget otakmu, ya. Hati-hati, kena karma baru tahu rasa." April pergi ke luar kamar, mematikan lampu lalu menutup pintu sampai berbunyi cukup keras hingga suara dentuman menggema di ruang itu.
Vivi terlentang di atas kasur menerawang lepas ke langit-langit kamar. Followernya sekarang kebanyak akun asli. Pujian-pujian dalam part cerita juga nyata. Hujan vote pun deras. Ia sadar semua itu bukan untuknya, tapi untuk Efendi sang penulis asli. Semua pujian akan musnah bahkan bisa jadi berganti menjadi hujatan jika ia jujur pada dunia. Lalu bagaimana kelak?
"Vivi." Suara itu membuat yang dipanggil duduk di tepi kasur, menoleh ke balkon kamar di mana sumber suara berasal. Sosok Anjas tersenyum, melambai dari sana.
"Mas Kak Oppa ganteng, kok bisa ke sini?" Ia bangkit membuka pintu kaca dorong menarik lembut lengan pemuda itu. "Ayo masuk, di luar dingin."
Anjas menggeleng, duduk di lantai balkon sambil bersandar pintu kaca. Ia menepuk-nepuk lantai di sebelah, membuat Vivi duduk di sana.
Semilir angin hangat malam khas Surabaya menerpa kulit gadis itu, juga membuat rambut hitam sedikit berantakan. Langit malam sedikit merah karena polusi cahaya tiba-tiba bertabur bintang. Anjas bermain-main dengan tangannya.
"Waah, Kakak magician!"
Pemuda itu mengangguk kecil. "Dengan imajinasi kamu bisa membuat khayalan menjadi nyata. Lalu, jika seseorang mengklaim keindahan yang kamu ciptakan, bagaimana perasaanmu?"
Vivi tertunduk. Ia tahu mau dibawa ke mana percakapani ini. "Pastinya marah, sedih, ingin menempeleng kepala pencurinya. Terus menghujat mati-matian, sampai yang dihujat mati kena serangan diare."
Anjas mengangguk kecil. "Sama seperti Efendi, dia pasti ingin menghajarmu. Asal kamu tahu, untuk menciptakan suatu karya butuh waktu, usaha, keinginan kuat, juga dedikasi. Semua itu dirampas begitu saja."
"Tapi kan--"
"Bagaimana jika kamu menjadi Efendi?"
Vivi menggeleng. Air mata kembali tumpah dari matanya. Ia memeluk lengan Anjas. "Aku pasti menangis."
"Nah. Cukup, sudah, cukup, jangan menangis. Sekarang coba minta maaf kepadanya. Beri apa yang pantas untuknya."
"Tapi, kalau begitu ceritaku hilang, dong."
"Ya harus. Itu bukan karyamu. Itu milik Efendi."
"Kalau minta maaf saja, enggak usah bilang ke publik bagaimana? Ya ... ok, aku hapus karyanya, tapi pakai alasan untuk direvisi atau apa, terus minta maaf pakai pesan gitu, ke Efendi." Vivi tak ingin kehilangan pamor.
Anjas menghela napas panjang. Ia bangkit, melangkah pelan menuju pintu utama kamar, keluar dari sana tanpa membuka pintu. "Pikirkan lagi Vi. Apa pantas kamu mendapat follower, vote dan sanjungan?"
"Kak? Kakak mau ke mana?" Vivi berusaha mengejar Anjas, tapi gagal. Cahayaterang perlahan muncul, membuat silau.
"Kak!" Vivi terbangun, duduk di kasur. Cahaya matahari hangat menerpa kulit wajah. Ia mengatur napas yang tak beraturan. Sekujur tubuh berkeringat. Semua tadi hanya mimpi. Sekarang keputusan akhir ada di tangan Vivi.
"Vi, bangun woi!" April membuka pintu tanpa mengetuk. Kepalanya nongol dari sela pintu yang terbuka. "Tuh editornya bisa menemuimu nanti sore, jam lima di kafe Manyar. Kenapa, kok sepertinya suntuk banget? Enggak mau ketemu editor? Kalau enggak mau, aku batalkan, biar dia enggak menunggu, kasihan."
"Mau lah!"
Vivi benar-benar dilema. Andai dia bertemu editor tanpa membawa karya, apanya yang mau diedit? Sementara karyanya, delapan puluh persen hasil plagiat, hanya part-part awal yang benar-benar ia tulis.
Sekarang ia menghela napas kecil, tak bernafsu turun dari kasur membuka laptop, menyalakan mesin print. "Bagaimana ini?"
Vivi belum tau pasti editor itu gadis atau laki. Walau demikian dia tetap bersemangat untuk menemui editor. Menurutnya ini adalah jalan untuk menuju kesuksesan. Ia sangat berharap editor itu mampu mengajari tentang dunia literasi. Karena alasan itu, dia mengenakan pakaian terbaik milik Kakak, pakaian sopan serba tertutup. Blouse lengan panjang berwarna vanilla dengan bawahan celana jeans dan sepatu ket. Ia ingin tampil sesempurna mungkin dan membentuk image baik di pertemuan pertama. Setelah siap, Vivi pergi menemui editor di tempat mereka janjian. Di dalam kafe, dia duduk dekat jendela sambil menonton banyak pejalan kaki berhilir-mudik di trotoar. Aroma pastri memberi nuansa nikmat. Obrolan lembut dari pelanggan pun tidak menghalangi suara musik yang menyapa telinga. Seorang pelayan berkemeja panjang putih dengan rompi sweeter tanpa lengan datang menghampiri Vivi. Dia mentoel lengan gadis itu memakai ujung tumpul pena, membuat yang ditoel menol
Betapa terkejut Anjas mendapati Vivi keluar dari kafe sampai nyaris menjatuhkan hp. Dia tak menyangka gadis sial masih nekat stalking. Ini kesempatan untuk memarahinya karena aksi di mall benar-benar membuat sengsara. Ia bangkit hendak mengejar, tapi urung karena mendapati stop map warna kuning tergeletak di meja yang baru saja gadis itu tinggal. Sesuai perjanjian harusnya gadis yang bakal dia ditemui membawa stopmap warna itu. Dia belum percaya jika gadis itu Vivi, berdoa supaya semua isi pikiran tidak benar. Untuk itu dia pindah duduk ke kursi yang masih hangat bekas dipakai Vivi. Setelah memakai kacamata baca, Anjas mulai membaca satu persatu halaman dalam stopmap, mulai dari kalimat pembuka sampai penutup. Cekatan dia mencoret-coret kalimat memakai pena, hingga kertas draft menjadi seperti canvas berisi lukisan tinta hitam. Dengan kasar ia menaruh stopmap kembali ke meja. Lemas Anjas menghela napas, bersandar pada sandaran kursi sambil memijat kedua
April terpaksa merayu Rafa untuk membuat janji baru dengan Anjas. Syukurlah, semua bisa berjalan dengan baik. Karena kesibukan Anjas, pertemuan dijadwal ulang, tepatnya beberapa hari kedepan.April menyampaikan berita ini ketika Vivi baru pulang dari kampus, ia mencegat adiknya di muka anak tangga paling bawah, menggenggam kedua pundak gadis itu."Ingat, kamu harus bertemu dengannya, enggak peduli dia siapa, mengerti?" Pesan April, mewanti-wanti adiknya."Siap, Kak." Vivi sampai memberi hormat pada gadis di hadapannya.Setelah kejadian tempo hari, dia memang bersemangat untuk bertemu Anjas karena pemuda itu benar-benar punya niat baik untuk membantunya. Anggapan itu karena draft dalam stopmap Vivi benar-benar dikoreksi olehnya.Hari demi hari berlalu. Keanehan demi keanehan terjadi pada diri Vivi. Dia yang terkenal hiperaktif sekarang seperti kambing hendak disembelih buat kurban, tapi kalau kambing mungkin diamnya sedih, tak ada nafsu hidup, kalau
Anjas bengong melihat betapa cerah wajah Vivi ketika menjawab tadi. Sekilas ia teringat akan sosok yang dulu memiliki senyum tak kalah indah. Sosok yang sempat sangat dia sayangi, tetapi sekarang menjadi setan yang sangat dibenci, hingga ingin memakannya mentah-mentah."Romance itu genre, kan?" tanya Vivi, dengan wajah polos menyertai ucapan.Anjas terkekeh. Genre pilihan Vivi sangat sering dia dengar sampai membuat muak. "Kenapa harus Romance? Kenapa bukan Fantasy? Kenapa bukan History?""Karena Romance indah, banyak cinta dan uwu-uwu. Semua manusia pasti memiliki kisah cinta, kan? Kakak juga pasti punya. Jadi bakal mudah menulis novel Romance, percaya deh."Vivi menangkap perubahan raut wajah Anjas yang tadi ramah kembali dingin. Ia sadar jika telah berbuat salah, tapi apa? Kenapa? Mungkin karena sombong? Dia memilih bertanya dari pada tersesat dalam pikiran. "Kenapa Kak?""Premis apa yang ingin kamu buat untuk novel Romance?" lanjut Anjas, kali
Vivi memandang Anjas tanpa kedip. Kedua tangan mengepal. Dia tak ingin berakhir seperti ini. Terlalu jauh untuk kembali. BErapa banyak pengorbanan yang ia beri. Tak sadar air mata mengalir di pipi.Anjas bangkit menarik lengan Vivi supaya mau duduk, tapi gagal.Vivi menepis tangan Anjas. "Aku enggak mau berhenti. Kakak membuatku ingat alasan menulis. Membuatku mengerti walau baru dikit. Kenapa sekarang malah disuruh berhenti? Maaf kalau aku bodoh--"Anjas duduk kembali. Cukup lama menikmati Vivi yang berjibaku menahan tangis supaya tidak meluber semakin deras. Gadis unik, anek, tapi penuh semangat. Ia menyeringai."Kalau mendengar sesuatu, jangan sepotong-potong. Duduk, biar kujelaskan. Kalau enggak mau duduk. kita udaham, bagaimana?"Diancam begitu perlahan Vivi duduk, mengusap air mata sambil mengatur napas sesengakan, mendapati Anjas menulis sesuatu di kertas, lalu mendorong benda itu di atas meja."Baca baik-baik."Vivi membaca tu
Sasa dan Mimi menghujani Anjas dengan berpuluh pertanyaan, seperti polisi mengintrogasi penjahat. Mereka tak peduli pada banyak mata yang mengintip di sekitar,juga telinga yang mencuri dengar. Seisi kafe gaduh oleh suara mereka. Hanya Vivi yang bengong sambil memandang jengah kedua gadis sinting."Jadi Mas editor?" pertanyaan Sasa begitu antusias, raut wajah berseri-seri ketika Anjas mengangguk kalem sambil tersenyum."Pantas Vivi minta dibuatkan review--""Apaan sih," sela Vivi.. "Kak, kenalin, ini sahabat-sahabatku. Sasa dan Mimi.""Kan tadi udah kenalan," keluh Mimi.Vivi menjawab, "Ye, kan belum dikenalin.""Sudah, sudah, jangan bertengkar," sela Anjas, menaruh kertas putih dan pena ke atas meja. "Vi, kamu sudah membaca beberapa novel yang aku suruh baca, kan?"Vivi menangguk menaruh kertas ke meja yang sama. Beberapa judul cerita telah diconteng, tanda jika sudah dibaca. Aslinya tak satupun ia baca. Menurut Vivi, Anjas h
Anjas berdiri di depan meja kasir. Dua pelayan menanti dengan senyum. Ia memilih makanan untuk dibawa pulang. Raut wajah nampak bingung memilih yang mana, hingga menunjuk sebuah paket nasi kotak. "Aku tahu kamu bakal membeli makanan untuk Anis," ujar Ismed, berdiri di samping Anjas, tersenyum pada pelayan. "Kopi hitam, dibawa pulang, ya." Tanpa menoleh Anjas menanggapi ucapan Ismed dengan suara dingin. "Kenapa kau biarkan dia menunggu sendiri, tanpa sarapan dan makan siang? Harusnya kau menjaganya, kan?" "Aku sudah berusaha tapi dia menolak. Katanya baru mau makan setelah bertemu denganmu." "Supir yang baik. Kau lebih loyal dari anjing peliharaan," ejek Anjas. Ismed menyeringai sinis, sambil meneguk koi hitam. Ia tak beranjak walau telah mendapat minuman pesanan. "Setidaknya sebagai asisten pribadi aku peduli pada gadis malang itu. Tugasku menjaga, menemani, dan harusnya mematahkan tulang orang yang membuatnya susah, seperti dirimu." A
Ismed berusaha menarik mundur Anis, tapi gadis itu terus meronta.Beberapa orang keluar dari kamar mereka untuk mengintip sumber kegaduhan, tapi semua itu tak berarti apapun pada gadis yang sangat ingin bertemu Anjas."Lepas, aku bilang lepas!""Nona, jika terus seperti ini pihak apartemen bisa memanggil sekuriti. Anda tak ingin membuat Tuan besar malu, kan?"Mendengar kalimat Tuan besar Anis menghentakkan kedua tangan, hingga dominasi Ismed luput. Ia membenahi pakaian, memandang judes pemuda yang juga tengah membenahi jas. Ia melangkah pelan semakin cepat menuju lift.Semasuknya di sana, ia memencet kasar tombol lift berulang. Pintu lift nyaris menutup sempurna, tapi sepatu kulit warna hitam mengkilat menahan pintu, Ismed ikut masuk ke dalam."Kau, gunakan tangga."Ismed nekar masuk, menekan tombol hingga pintu tertutup sempurna. "Terlanjur masuk. Lagi pula nanti jika kita tak bertemu di lantai satu, malah gawat." Ia pindah ke belakang Anis,
Anjas duduk di sofa nyaman. Dua pria berjas berdiri di belakang. Beberapa gadis yang duduk tak jauh dari tempatnya duduk berbisik-bisik sambil tertawa genit. Ketika Anjas menoleh, mereka tersenyum tak berani memandang balik. Mungkin karena penampilan Anjas kali ini? Dia memakai kaos lengan panjang dengan kerah membentuk V, berlapis sweeter bentuk rompi. Celana panjang kain hitam serasi dengan pantofel yang ia kenakan. Tiba-tiba wajah kedua gadis berubah menjadi wajah Anis dan Vivi. anjas menggeleng pelan, sedikit menunduk mengurut kening. Ia lanjut membaca. "Psst, gadis aneh tadi siapa ya? Katanya mau bertemu pacar, gitu," bisik seorang gadis kepada pacarnya, melintas santai di depan Anjas. "Enggak tahu juga. Tapi heboh banget," jawab pemuda, mengajak pacarnya duduk di sofa sebelah Anjas. Pengumuman terdengar nyaring. Sebentar lagi pesawat akan berangkat. Anjas hanya membawa hp, juga tas satchel hitam. Sebelum pergi ia
Motor yang Vivi kendarai, sampai di lahan parkir apartemen Anjas. Dia melepas helm sambil berlari kecil menuju gedung. Ia tak peduli pada Mimi dan Efendi yang baru datang melintas di samping mengendarai motor mereka. "Astagfirullah, Vivi tunggu!" Sasa memungut helm yang Vivi lepas. Yang dipanggil benar-benar tak mendengar ucapan, malah nyelonong masuk seorang diri ke dalam gedung. "Vivi, tunggu dulu, jangan bergerak sendiri seperti ini!" sentak Sasa, mengekor. Di depan lift, Vivi memencet tombol berulang kali bagai tiada hari esok. "Cepet ... cepetan!" Pintu lift terasa lama terbuka, bagai seabad dia menanti. Kesal Vivi memukul tembok. "Vivi!" sentak Sasa, menahan kedua tangan sahabatnya. "Jangan seperti ini, malu dilihat orang." Vivi memandang sekitar. Dua sekuriti berada di dekatnya. Banyak mata pengunjung melihat dan mereka berbisik-bisik. Bahkan beberapa orang di kafe apartemen berkumpul di dekat kaca jendela memandang aneh k
"Itu siapa?" bisik Alvin sambil memandang Efendi. "Jadi, dia cowok yang kamu suka? Orang Timur Tengah?" Vivi menggeleng sambil tertawa kecil. "Bukan lah. Dia Ismed, temannya Kak Anis. Sebentar ya, Vin. aku ke sana dulu." "Jangan pergi, di sini banyak wartawan, nanti mereka bisa berpikir macam-macam kalau kamu menemui cowok itu." "Tapi--" "Nanti ya, setelah wawancara selesai, baru temui dia." Vivi memandang sekitar. Wartawan memang banyak mengerumuni mereka, membuatnya susah untuk bergerak. Terlebih Ismed terjebak di kerumunan, tertahan oleh pihak keamanan. Ismed bisa bertahan di sana menunggu. Vivi memberi kode anggukan pada pemuda itu hingga membuatnya sedikit tenang. Para wartawan tak memberi kesempatan untuk Alvin dan Vivi pergi, memaksa mereka dikawal para pengawal berpakaian safari hitam menuju lahan parkir mobil. Mereka semakin jauh dari Ismed. Di kejauhan anggota band Miracle Never Die yang lain nyaris mendapat perlakuan sama se
Alvin membuka pintu kamar hotel, menaruh tas ransel ke dalam kamar. Cukup besar kamar itu juga adem karena embusan angin dari AC."Nah Vi, Bu, selama di Malang, kalian tinggal di sini, ya. Tenang saja, semua biaya Alvin yang tanggung."Ibu tertawa kecil menepuk-nepuk pipi pemuda itu. "Kamu sudah bisa mentraktir rupanya, ya." Beliau memandang seisi kamar, duduk di tepi kasur besar empuk di tengah ruang. Beliau melihat Alvin membuka pintu kamar mandi."Nah, ini kamar mandinya, Bu.""Iya Nak, terima kasih. Tante mau istirahat dulu." Beliau mendapati anak gadisnya berdiri sambil tertunduk malu, begitu juga Alvin yang nampak tak tenang. "Sudah, kalian pergi main sana, bebas mau ke mana saja asal Vivi harus kembali ke kamar ini sebelum jam sepuluh malam, mengerti?"Alvin mengangguk kecil."Ibu beneran enggak ikut nonton konser Alvin?" tanya Vivi, raut wajahnya penuh harap. Ia mengambil lembut jemari tangan Ibu.Beliau menggeleng. "Ibu
Banyak orang hilir mudik, tapi tidak satu pun yang dia kenal. Secangkir kopi panas dan sepiring jamur goreng menghias meja. Sekantung plastik putih berada di atas kursi sebelah kursi yang diduduki Ismed. Dia bersenandung pelan mengamati lift dan pintu masuk apartemen, berharap Anjas cepat pulang. Sesuai janji dia ingin mengganti hp milik Anjas yang rusak karena insiden malam kemarin.Pengunjung kafe semakin sedikit. Pejalan kaki di lobby pun mulai jarang. Tak terasa tiga gelas kopi kosong menghias meja. Hingga saat ini belum nampak sosok yang ditunggu. Ismed memandang jam di layar hp. Angka 23.45 memaksa suara decak kesal keluar dari bibirnya."Mana sih, kok lama. Apa dia menginap di rumah Vivi?" Senyumnya mereka membayangkan hal itu. Baru saja hendak bangkit, sosok yang dinanti tiba.Perban melingkar di kening. Anjas melangkah pelan dibantu satpam. Beberapa orang di belakang meja resepsionis bergegas turut membantu."Ya Tuhan." Ismed bu
Terdengar suara obrolan dari lorong. Banyak sampul buku terbitan Rayon menghias dinding ruang berdinding putih. Di ruang lumayan luas itu, Sasa duduk berjajar dengan Anjas dan Efendi, menanti seorang pria duduk di balik meja. Pria itu membaca dengan seksama draft di tangan sembari sesekali mengangguk, tersenyum. "Bagus ini jalan ceritanya. Sudah matang sekali dalam penulisan dan plotnya mengalir. Pembentukan karakter pun nyaris sempurna. Hanya sedikit kesalahan dalam penggunaan kalimat berdasar KBBI. Apa kamu yang ngedit, Njas?" Anjas mengangguk. "Cuma sedikit. Mayoritas isi draft dibuat oleh Sasa sendiri." "Benar begitu. Mbak?" Sasa mengangguk kecil. Wajahnya memerah malu, tertunduk tiada berani memandang langsung pria ramah berkemeja lengan pendek yang sembari tadi memandang kagum pada Sasa. "Kenapa kok enggak pernah mengirim kemari?" tanya pria ramah. Sasa tak menjawab, mungkin karena dia sungkan. Anjas tahu jika Sasa
Vivi menemui tamu yang Kakak maksud. Sosok itu berdiri membelakangi pintu, memakai denim hitam, celana jeans biru muda pudar, kupluk biru tua dan bersenandung kecil. Kedua tangan berada di belakang pinggang memegang setangkai bunga merah.April sengaja tak bersuara pergi dari sana, menepuk pundak Vivi."Siapa?" bisik Vivi."Cari tahu sendiri."Perlahan Vivi mendekat. Pasti Anjas. Ya, siapa lagi. Pikirannya sekarang penuh oleh pria berkacamata itu. Walau dia tahu tinggi badan mereka tak sama, tetapi harapnya terlalu besar hingga tercetus untuk menebak. Lalu bunga yang pemuda itu bawa, bunga kenangan Vivi dan Anjas. Pasti dia."Kak Anjas?"Pemuda itu berbalik. Senyum lebar gigi putih terlihat jelas. Ia melambai. "Hai Vi.""Ya Tuhan, Alvin? Kok bisa?" Vivi bingung karena baru saja melihat sosok pemuda itu di tv. "Bukannya baru wawancara--""Itu kan kemarin. Sehabis wawancara, aku tanya sama wartawan ada apa dan dia mencerita
Berita di TV tentang Anis membuat Anjas tersenyum puas. Dia bangkit dari duduk di sofa, melangkah ringan menuju balkon.Dia berdiri di sana. Angin sejuk pagi menerpa wajah, membuat rambut bergerak-gerak. Cahaya matahari baru terbit menebar hangat nikmat, sampai meresap ke hati. Tak sabar ingin bertemu Vivi, memberi kabar gembira.Ketika hendak masuk ke ruang, sebuah mobil Pajero hitam menyita perhatian. Mobil itu parkir di dekat pohon mangga di lahan parkir depan gedung. Pengemudi mobil turun. Seorang pria berjas hitam mendongak, melambai kecil ke arahnya. Anjas tahu pagi ini dia bakal kedatangan seorang tamu.Dia turun menuju kafe lantai bawah. Di sana Ismed duduk seorang diri ditemani dua cangkir kopi di meja. Kafe masih sepi, hanya beberapa kursi terisi pelanggan. Suara obrolan kecil mengiringi langkahnya.Melihat Anjas, ia tersenyum melambai kecil. Anjas menyeringai karena tingkah pria itu. Ia duduk di kursi depan Ismed."Sudah kubelikan
Suara gemercik air berasal dari arah dapur. Air dingin menerpa kulit tangan. Vivi sibuk mencuci piring seorang diri. Rencananya sehabis ini dia bakal kerja bakti bersama April dan ibu bersih-bersih rumah. Sekali lagi dia memandang layar hp.Dia berharap Anjas menghubungi, setidaknya mengirim pesan, tetapi tidak. Semua harap itu sirna. Ia menghela napas. Kenapa masih berharap? Anjas telah kembali bersama Anis. Dia telah meninggalkan kapal yang tenggelam, bernama kapal Vivi dan melompat ke kapal yang besar, kapal yang membawanya berlayar ke samudera bahagia..Matanya berkedip dengan cepat. Bibir bergetar. Vivi menutup mulut supaya suara tangis tidak terdengar.Sakit hatinya. Walau mencoba percaya jika apa yang dia lihat menyembunyikan suatu alasan, tetap saja ... rasanya seperti berjalan di ribuan duri kaktus. Sebegitu jahat Anjas hingga setelah berjuang bersama, sekarang dengan mudah membuangnya?Pasti ada penjelasan kenapa pemuda itu tak bisa