Home / All / Lady Bug / 8. Kafe dan Dia

Share

8. Kafe dan Dia

Author: WarmIceBoy
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Vivi belum tau pasti editor itu gadis atau laki. Walau demikian dia tetap bersemangat untuk menemui editor. Menurutnya ini adalah jalan untuk menuju kesuksesan. Ia sangat berharap editor itu mampu mengajari tentang dunia literasi.

Karena alasan itu, dia mengenakan pakaian terbaik milik Kakak, pakaian sopan serba tertutup. Blouse lengan panjang berwarna vanilla dengan bawahan celana jeans dan sepatu ket. Ia ingin tampil sesempurna mungkin dan membentuk image baik di pertemuan pertama.

Setelah siap, Vivi pergi menemui editor di tempat mereka janjian. 

Di dalam kafe, dia duduk dekat jendela sambil menonton banyak pejalan kaki berhilir-mudik di trotoar. Aroma pastri memberi nuansa nikmat. Obrolan lembut dari pelanggan pun tidak menghalangi suara musik yang menyapa telinga.

Seorang pelayan berkemeja panjang putih dengan rompi sweeter tanpa lengan datang menghampiri Vivi. Dia mentoel lengan gadis itu memakai ujung tumpul pena, membuat yang ditoel menoleh.

"Mau pesan apa, Mbak?" 

"Nanti saja. Ini sedang nunggu orang, Kak," jawab Vivi.

Pelayan mengangguk kecil lalu memandang sekitar. Betapa padatnya kafe di jam sore, nyaris tiada kursi kosong tersisa. Dia sedikit membungkuk untuk berbisik pada gadis itu.

"Maaf Mbak, sebenarnya aku ditegur bos. Disuruh bilang kepada Mbak, kalau enggak pesan apa-apa silahkan tunggu di luar. Kasihan pelanggan lain ingin masuk, malah harus menunggu karena tak ada kursi kosong."

Vivi panik. Segera dia membaca kertas menu yang sembari tadi menanti di atas meja. "O-oh, begitu ya. K-kalau begitu anu, ini, ahm, aku pesan ... ada milk shake?"

"Ada Mbak, mau dicampur buah--"

"Harganya?"

Gadis pelayan menarik lembut kertas daftar harga di meja, menunjuk beberapa jenis milk shake dengan bervariasi harga. Mulai paling murah sepuluh ribu rupiah sampai paling mahal dua puluh ribu rupiah.

"Jadi Mbak milih yang mana?"

"Yang strawberry saja, Kak."

"Baik kalau begitu, makanannya mau pesan apa, Mbak?"

"Aduh, ntar saja ya. Serius aku sedang nunggu orang."

"Baiklah kalau begitu, mohon ditunggu ya. Pesanan akan segera tiba."

Pelayan itu bergegas pergi menuju bagian belakang kafe.

Waktu berjalan lumayan cepat. Vivi mengamati jam tangan untuk yang kesepuluh kali. Jarum pendek menunjuk angka empat, sementara jarum panjang menunjuk angka sepuluh. Sesuai janji pertemuan akan berlangsung tepat pukul empat sore. Kurang setengah jam lagi dia bakal melihat seperti apa sosok editor.

Pelayan tadi muncul lagi membawa baki stainless berisi gelas panjang besar tunggal pesanan Vivi. 

"Ini Mbak, pesanannya." Gadis pelayan menaruh gelas itu ke atas meja plastik berukiran di depan Vivi. Gelas berisi susu berwarna pucat dengan bintik-bintik merah muda. Ada es batu tenggelam dan timbul di sana.

Pelayan tak langsung pergi, malah memandang ke arah pintu sambil berbisik pada Vivi. "Cowok itu bukan, yang Mbak tunggu?"

Vivi menoleh ke arah dekat pintu masuk kafe. Sosok familiar berdiri di sana, bersandar tembok sambil memandang layar android yang dipegang. Pemuda berkacamata dalam balut denim biru panjang dan celana jeans panjang biru muda.

"Mau dipanggilkan, Mbak?" goda pelayan. "Kasihan loh, dia dari tadi menunggu di sana."

"Ehm enggak usah, bukan kok, bukan dia yang aku tunggu." Walau sebenarnya Vivi ingin ke sana, tapi menahan diri karena sedang menanti orang super penting. 

"Ouh." Raut wajah pelayan kecewa. "Kalau begitu permisi Mbak, selamat menikmati."

Pelayan pergi kembali ke belakang meja bar menghampiri seorang pelayan lain yang sedang mengelap gelas. Keduanya berbisik-bisik hingga mengundang bartender ikut nimbrung. Ketiganya mengamati Vivi dan pemuda di dekat pintu sambil tertawa kecil. 

Vivi menoleh ke arah pintu masuk, mengintip sosok yang menjadi boyfriend imaginary-nya. Andai malam itu tidak berulah dengan merusak banyak motor di mall, sekarang pasti dia bakal menghampiri Anjas sekedar untuk menegur. Namun saat ini dia hanya berharap Anjas tidak melihatnya, supaya tidak meminta pertanggung jawaban untuk masalah di mall.

Waktu bergerak lambat. Jarum jam tangan tepat menunjuk angka empat. Vivi menoleh kencang ke arah pintu kafe. Apa sosok yang ia nanti berbadan gendut? Tua? Muda? Atau malah biasa-biasa saja? Seorang wanita atau pria? Semua pertanyaan membuat perutnya terasa hampa.

Tiba-tiba Anjas masuk kafe, duduk di kursi dekat pintu utama. Sontak Vivi membuang wajah supaya tidak terlihat olehnya.

Sesekali Vivi menoleh ke belakang untuk mengintip sosok pemuda yang sekarang sedang membaca menu sambil mengobrol dengan gadis pelayan. Sepertinya dia memesan sesuatu.

Apa mungkin Anjas sedang nge-date? pikiran Vivi mulai bermain tebak-tebakan. 

Satu jam berlalu. Pengunjung kafe datang dan pergi silih berganti. Mana sosok itu? Sesuai perjanjian, si editor akan datang dengan membawa mawar merah. Prediksi Vivi pasti editor akan memakai hiasan bunga mawar merah di bagian dada. Sementara sesuai rencana Vivi membawa stop map kuning, yang sekarang ditaruh di meja. 

"Gantengnya," bisik gadis pengunjung di meja sebelah Vivi, berbisik-bisik bersama teman. 

"Mana bawa bunga lagi, apa dia janjian mau nge-date?"

"Beruntung banget ceweknya, ya, dapat cowok yang romantis."

Vivi enggan menoleh, tapi bunga? Bunga apa? Ketika memandang ke arah Anjas, dia mendapati bunga mawar merah terkapar di atas meja. Kebetulan saja, pasti kebetulan. Pasti dia menanti pacarnya. Anjas bukan editor. 

Tiba-tiba hp Vivi dalam tas berbunyi nyaring, membuat getaran kencang. April menelepon. Secepat mungin dia mengangkat telepon. "Hallo, ada apa Kak?"

"Bagaimana, sudah ketemu sama editornya, belum?"

"Belum, Kak."

"Loh, emang kamu di mana?" Suara Kakak terdengar khawatir. "Enggak salah tempat pertemuan, kan? Coba cek nama kafenya."

"Enggak kok, ini di kafe yang dibuat janjian. Ramai banget sih, mungkin--"

April memotong ucapan Vivi. "Aneh banget, harusnya dia sudah datang. Tadi Rafa bilang editornya menunggumu. Coba cari, gih. Kasihan kalau dia harus menunggu lama-lama."

"Oke--eh, tunggu dulu. Emang editornya seperti apa?"

"Yaelah, kan sudah dibilangin, dia bawa bunga mawar merah! Coba cek sekitar. Jangan berpangku tangan aja."

"Iya iya, ini juga sedang mencari. Halo kak? Cih kok dimatiin,sih? Dasar cewek tua enggak jelas."

Setelah menyimpan hp ke tas, dia menoleh ke segala arah untuk mencari sosok si pembawa bunga mawar merah, tapi tidak ada bunga lain kecuali di meja Anjas. Sekarang badannya bergetar hebat. Keringat dingin bercucuran keluar dari semua pori-pori. Sekarnag dia yakin jika Anjas adalah editor yang ditunggu. Bagaimana jika ditagih biaya ganti rugi? 

Vivi memilih pilihan terbaik yang ada dalam benak, keahlian warisan turun temurun. Dia kabur dari sana tanpa menoleh sedikit pun. Dengan mengendarai motor matik punya Kakak, ia benar-benar pergi lupa akan tujuan awal ke sana untuk apa. 

Sesampai di rumah, langit telah gelap. Ia memarkir motor di pelataran depan rumah, mendapati April menanti duduk di kursi teras rumah.

Kakaknya mengamati setiap gerak-gerik Vivi, sampai adiknya itu duduk di kursi kayu teras, terpisah satu meja kayu dari kursi yang April duduki. 

"Loh, kok lemes? draft-mu habis dihancurin, ya, sama editor. Sudah Kakak bilang, tulisanmu itu jelek banget. Sudahlah, semangat, dia pasti akan membantu hingga kamu mengerti--"

"Enggak kok. Tadi aku cabut duluan dari sana."

Spontal suara April mengegas. "Loh? Gimana sih? Enggak ketemu?"

"Sepertinya ketemu, cuma ya gitu--"

"Astaga Vivi." April mengelus dada sambil menggeleng kecil. "Kamu tau enggak dia tuh orang sibuk. Susah banget memaksa dia buat ketemuan."

"Ya mau bagaimana lagi," jawab Vivi. "Dia tuh cowok yang aku ceritain tempo hari."

"Yang mana? Tunggu, cowok yang motornya kamu rusakin?" 

Vivi mengangguk pelan. "Aku takut, nanti kalau dia minta ganti bagaimana?"

"Kamu sih, pakai main-main begituan. Kek kurang asupan cogan aja," sahut April ketus. "Tunggu di sini, jangan ke mana-mana!"

Vivi menanti kakaknya yang masuk ke rumah, tak lama kemudian dia keluar membawa helm bersama Ibu. 

"Mau ke mana," tanya Ibu, ketika April mencium tangannya. "Sudah mau Isya ini. Vivi, baru pulang, Nak?"

"Iya, tapi mau pergi lagi," jawab April. "Assalamualaikum."

Vivi cemberut ogah-ogahan ikut, tapi April memberi lirikan serigala murka, membuatnya tak berkutik mau dibonceng Kakak pergi. Motor itu kembali pergi dari rumah.

"Mau ke mana?" tanya Vivi.

"Ke kafe tadi."

"Kak, nanti kalau ditangkap polisi gimana?"

"Santai aja, polisinya malas nangkap kamu."

"Ih, Kakak!"

"Santai, kamu tenang aja, masalah itu sudah diatur."

Pernyataan yang bukan memberi rasa tenang, malah membuat Vivi bertanya-tanya. Ia semakin tak mengerti kenapa April bersikap santai. Sesampainya di kafe, sosok Anjas telah pergi. Kursi yang tadi ditempati pun sekarang diduduki orang lain.

"Kamu sih!" sentak April. "Kalau begini kan kasihan tuh cowok."

"Mbak, nyari barang yang tertinggal?" Seorang gadis pelayan membawa stop map milik Vivi yang tadi benar-benar lupa tidak dibawa pulang. "Ini, tadi cowoknya yang memberi kami stop map ini, juga bunga merah ini."

Vivi membuka stop map, mendapati draft novel dicoret-coret, pada halaman terakhir tertulis dengan huruf besar. Rusak! Novel sampah! Lusa kita bertemu di sini, jangan kabur!

WarmIceBoy

Perjalanan Vivi menuju cita-cita baru dimulai. Terima kasih sudah mau membaca sampai di sini, sekiranya sudi meluangkan beberapa koin untuk membaca cerita ini sampai tamat. Santai saja, cerita ini di bawah lima puluh bab, kok. Semoga kalian mau membaca sampai habis ya. Jangan lupa tinggalkan saran dan kritik, juga kesan dan pesan untuk penulis, ya. Sekali lagi terima kasih. Salam literasi :)

| 1

Related chapters

  • Lady Bug   9. Apapun

    Betapa terkejut Anjas mendapati Vivi keluar dari kafe sampai nyaris menjatuhkan hp. Dia tak menyangka gadis sial masih nekat stalking. Ini kesempatan untuk memarahinya karena aksi di mall benar-benar membuat sengsara. Ia bangkit hendak mengejar, tapi urung karena mendapati stop map warna kuning tergeletak di meja yang baru saja gadis itu tinggal. Sesuai perjanjian harusnya gadis yang bakal dia ditemui membawa stopmap warna itu. Dia belum percaya jika gadis itu Vivi, berdoa supaya semua isi pikiran tidak benar. Untuk itu dia pindah duduk ke kursi yang masih hangat bekas dipakai Vivi. Setelah memakai kacamata baca, Anjas mulai membaca satu persatu halaman dalam stopmap, mulai dari kalimat pembuka sampai penutup. Cekatan dia mencoret-coret kalimat memakai pena, hingga kertas draft menjadi seperti canvas berisi lukisan tinta hitam. Dengan kasar ia menaruh stopmap kembali ke meja. Lemas Anjas menghela napas, bersandar pada sandaran kursi sambil memijat kedua

  • Lady Bug   10. Alasan Menulis

    April terpaksa merayu Rafa untuk membuat janji baru dengan Anjas. Syukurlah, semua bisa berjalan dengan baik. Karena kesibukan Anjas, pertemuan dijadwal ulang, tepatnya beberapa hari kedepan.April menyampaikan berita ini ketika Vivi baru pulang dari kampus, ia mencegat adiknya di muka anak tangga paling bawah, menggenggam kedua pundak gadis itu."Ingat, kamu harus bertemu dengannya, enggak peduli dia siapa, mengerti?" Pesan April, mewanti-wanti adiknya."Siap, Kak." Vivi sampai memberi hormat pada gadis di hadapannya.Setelah kejadian tempo hari, dia memang bersemangat untuk bertemu Anjas karena pemuda itu benar-benar punya niat baik untuk membantunya. Anggapan itu karena draft dalam stopmap Vivi benar-benar dikoreksi olehnya.Hari demi hari berlalu. Keanehan demi keanehan terjadi pada diri Vivi. Dia yang terkenal hiperaktif sekarang seperti kambing hendak disembelih buat kurban, tapi kalau kambing mungkin diamnya sedih, tak ada nafsu hidup, kalau

  • Lady Bug   11. Editor Vivi

    Anjas bengong melihat betapa cerah wajah Vivi ketika menjawab tadi. Sekilas ia teringat akan sosok yang dulu memiliki senyum tak kalah indah. Sosok yang sempat sangat dia sayangi, tetapi sekarang menjadi setan yang sangat dibenci, hingga ingin memakannya mentah-mentah."Romance itu genre, kan?" tanya Vivi, dengan wajah polos menyertai ucapan.Anjas terkekeh. Genre pilihan Vivi sangat sering dia dengar sampai membuat muak. "Kenapa harus Romance? Kenapa bukan Fantasy? Kenapa bukan History?""Karena Romance indah, banyak cinta dan uwu-uwu. Semua manusia pasti memiliki kisah cinta, kan? Kakak juga pasti punya. Jadi bakal mudah menulis novel Romance, percaya deh."Vivi menangkap perubahan raut wajah Anjas yang tadi ramah kembali dingin. Ia sadar jika telah berbuat salah, tapi apa? Kenapa? Mungkin karena sombong? Dia memilih bertanya dari pada tersesat dalam pikiran. "Kenapa Kak?""Premis apa yang ingin kamu buat untuk novel Romance?" lanjut Anjas, kali

  • Lady Bug   12. Ketahuan

    Vivi memandang Anjas tanpa kedip. Kedua tangan mengepal. Dia tak ingin berakhir seperti ini. Terlalu jauh untuk kembali. BErapa banyak pengorbanan yang ia beri. Tak sadar air mata mengalir di pipi.Anjas bangkit menarik lengan Vivi supaya mau duduk, tapi gagal.Vivi menepis tangan Anjas. "Aku enggak mau berhenti. Kakak membuatku ingat alasan menulis. Membuatku mengerti walau baru dikit. Kenapa sekarang malah disuruh berhenti? Maaf kalau aku bodoh--"Anjas duduk kembali. Cukup lama menikmati Vivi yang berjibaku menahan tangis supaya tidak meluber semakin deras. Gadis unik, anek, tapi penuh semangat. Ia menyeringai."Kalau mendengar sesuatu, jangan sepotong-potong. Duduk, biar kujelaskan. Kalau enggak mau duduk. kita udaham, bagaimana?"Diancam begitu perlahan Vivi duduk, mengusap air mata sambil mengatur napas sesengakan, mendapati Anjas menulis sesuatu di kertas, lalu mendorong benda itu di atas meja."Baca baik-baik."Vivi membaca tu

  • Lady Bug   13. Tiga Gadis

    Sasa dan Mimi menghujani Anjas dengan berpuluh pertanyaan, seperti polisi mengintrogasi penjahat. Mereka tak peduli pada banyak mata yang mengintip di sekitar,juga telinga yang mencuri dengar. Seisi kafe gaduh oleh suara mereka. Hanya Vivi yang bengong sambil memandang jengah kedua gadis sinting."Jadi Mas editor?" pertanyaan Sasa begitu antusias, raut wajah berseri-seri ketika Anjas mengangguk kalem sambil tersenyum."Pantas Vivi minta dibuatkan review--""Apaan sih," sela Vivi.. "Kak, kenalin, ini sahabat-sahabatku. Sasa dan Mimi.""Kan tadi udah kenalan," keluh Mimi.Vivi menjawab, "Ye, kan belum dikenalin.""Sudah, sudah, jangan bertengkar," sela Anjas, menaruh kertas putih dan pena ke atas meja. "Vi, kamu sudah membaca beberapa novel yang aku suruh baca, kan?"Vivi menangguk menaruh kertas ke meja yang sama. Beberapa judul cerita telah diconteng, tanda jika sudah dibaca. Aslinya tak satupun ia baca. Menurut Vivi, Anjas h

  • Lady Bug   14. Senandung Masa Lalu

    Anjas berdiri di depan meja kasir. Dua pelayan menanti dengan senyum. Ia memilih makanan untuk dibawa pulang. Raut wajah nampak bingung memilih yang mana, hingga menunjuk sebuah paket nasi kotak. "Aku tahu kamu bakal membeli makanan untuk Anis," ujar Ismed, berdiri di samping Anjas, tersenyum pada pelayan. "Kopi hitam, dibawa pulang, ya." Tanpa menoleh Anjas menanggapi ucapan Ismed dengan suara dingin. "Kenapa kau biarkan dia menunggu sendiri, tanpa sarapan dan makan siang? Harusnya kau menjaganya, kan?" "Aku sudah berusaha tapi dia menolak. Katanya baru mau makan setelah bertemu denganmu." "Supir yang baik. Kau lebih loyal dari anjing peliharaan," ejek Anjas. Ismed menyeringai sinis, sambil meneguk koi hitam. Ia tak beranjak walau telah mendapat minuman pesanan. "Setidaknya sebagai asisten pribadi aku peduli pada gadis malang itu. Tugasku menjaga, menemani, dan harusnya mematahkan tulang orang yang membuatnya susah, seperti dirimu." A

  • Lady Bug   15. Hobi Baru

    Ismed berusaha menarik mundur Anis, tapi gadis itu terus meronta.Beberapa orang keluar dari kamar mereka untuk mengintip sumber kegaduhan, tapi semua itu tak berarti apapun pada gadis yang sangat ingin bertemu Anjas."Lepas, aku bilang lepas!""Nona, jika terus seperti ini pihak apartemen bisa memanggil sekuriti. Anda tak ingin membuat Tuan besar malu, kan?"Mendengar kalimat Tuan besar Anis menghentakkan kedua tangan, hingga dominasi Ismed luput. Ia membenahi pakaian, memandang judes pemuda yang juga tengah membenahi jas. Ia melangkah pelan semakin cepat menuju lift.Semasuknya di sana, ia memencet kasar tombol lift berulang. Pintu lift nyaris menutup sempurna, tapi sepatu kulit warna hitam mengkilat menahan pintu, Ismed ikut masuk ke dalam."Kau, gunakan tangga."Ismed nekar masuk, menekan tombol hingga pintu tertutup sempurna. "Terlanjur masuk. Lagi pula nanti jika kita tak bertemu di lantai satu, malah gawat." Ia pindah ke belakang Anis,

  • Lady Bug   16. Gathering Storm

    Anjas berharap Vivi bisa menunjukkan perkembangan yang besar. Ia memperhatikan gadis itu menulis. Senyumnya muncul karena raut wajah serius yang ia lihat. Tiba-tiba bayang masa lalu muncul.Dulu Anis juga seperti ini, bersemangat dalam menulis. Sontak ia menggeleng pelan, melepas kacamata, mengurut pelan kening."Kak," tegur Sasa, mengeluarkan beberapa halaman kertas dari tasnya. "Kalau Kakak ada waktu, bisa baca draft ini.""Draft? Coba mana." Ia menerima tumpukan kertas milik Sasa, memasang kembali kaca mata. Sambil menunggu Vivi menulis, Anjas membaca isi draft.Sebuah cerita bergenre romance islamiah buatan Sasa membuatnya tertarik. Cukup unik kisah itu. Pada part satu menceritakan tentang seorang gadis nakal yang dikirim ke asrama Gontor, untuk mendapat pendidikan. Ia mengangguk-angguk membuka halaman selanjutnya."Ceritanya bagus."Raut wajah Sasa sumringah."Bener, Kak? Kakak enggak bohong? M-maksudku, Kakak enggak berusaha menghiburkan bela

Latest chapter

  • Lady Bug   45. FIN

    Anjas duduk di sofa nyaman. Dua pria berjas berdiri di belakang. Beberapa gadis yang duduk tak jauh dari tempatnya duduk berbisik-bisik sambil tertawa genit. Ketika Anjas menoleh, mereka tersenyum tak berani memandang balik. Mungkin karena penampilan Anjas kali ini? Dia memakai kaos lengan panjang dengan kerah membentuk V, berlapis sweeter bentuk rompi. Celana panjang kain hitam serasi dengan pantofel yang ia kenakan. Tiba-tiba wajah kedua gadis berubah menjadi wajah Anis dan Vivi. anjas menggeleng pelan, sedikit menunduk mengurut kening. Ia lanjut membaca. "Psst, gadis aneh tadi siapa ya? Katanya mau bertemu pacar, gitu," bisik seorang gadis kepada pacarnya, melintas santai di depan Anjas. "Enggak tahu juga. Tapi heboh banget," jawab pemuda, mengajak pacarnya duduk di sofa sebelah Anjas. Pengumuman terdengar nyaring. Sebentar lagi pesawat akan berangkat. Anjas hanya membawa hp, juga tas satchel hitam. Sebelum pergi ia

  • Lady Bug   44. Bandara

    Motor yang Vivi kendarai, sampai di lahan parkir apartemen Anjas. Dia melepas helm sambil berlari kecil menuju gedung. Ia tak peduli pada Mimi dan Efendi yang baru datang melintas di samping mengendarai motor mereka. "Astagfirullah, Vivi tunggu!" Sasa memungut helm yang Vivi lepas. Yang dipanggil benar-benar tak mendengar ucapan, malah nyelonong masuk seorang diri ke dalam gedung. "Vivi, tunggu dulu, jangan bergerak sendiri seperti ini!" sentak Sasa, mengekor. Di depan lift, Vivi memencet tombol berulang kali bagai tiada hari esok. "Cepet ... cepetan!" Pintu lift terasa lama terbuka, bagai seabad dia menanti. Kesal Vivi memukul tembok. "Vivi!" sentak Sasa, menahan kedua tangan sahabatnya. "Jangan seperti ini, malu dilihat orang." Vivi memandang sekitar. Dua sekuriti berada di dekatnya. Banyak mata pengunjung melihat dan mereka berbisik-bisik. Bahkan beberapa orang di kafe apartemen berkumpul di dekat kaca jendela memandang aneh k

  • Lady Bug   43. Truth

    "Itu siapa?" bisik Alvin sambil memandang Efendi. "Jadi, dia cowok yang kamu suka? Orang Timur Tengah?" Vivi menggeleng sambil tertawa kecil. "Bukan lah. Dia Ismed, temannya Kak Anis. Sebentar ya, Vin. aku ke sana dulu." "Jangan pergi, di sini banyak wartawan, nanti mereka bisa berpikir macam-macam kalau kamu menemui cowok itu." "Tapi--" "Nanti ya, setelah wawancara selesai, baru temui dia." Vivi memandang sekitar. Wartawan memang banyak mengerumuni mereka, membuatnya susah untuk bergerak. Terlebih Ismed terjebak di kerumunan, tertahan oleh pihak keamanan. Ismed bisa bertahan di sana menunggu. Vivi memberi kode anggukan pada pemuda itu hingga membuatnya sedikit tenang. Para wartawan tak memberi kesempatan untuk Alvin dan Vivi pergi, memaksa mereka dikawal para pengawal berpakaian safari hitam menuju lahan parkir mobil. Mereka semakin jauh dari Ismed. Di kejauhan anggota band Miracle Never Die yang lain nyaris mendapat perlakuan sama se

  • Lady Bug   42. Cinta Alvin

    Alvin membuka pintu kamar hotel, menaruh tas ransel ke dalam kamar. Cukup besar kamar itu juga adem karena embusan angin dari AC."Nah Vi, Bu, selama di Malang, kalian tinggal di sini, ya. Tenang saja, semua biaya Alvin yang tanggung."Ibu tertawa kecil menepuk-nepuk pipi pemuda itu. "Kamu sudah bisa mentraktir rupanya, ya." Beliau memandang seisi kamar, duduk di tepi kasur besar empuk di tengah ruang. Beliau melihat Alvin membuka pintu kamar mandi."Nah, ini kamar mandinya, Bu.""Iya Nak, terima kasih. Tante mau istirahat dulu." Beliau mendapati anak gadisnya berdiri sambil tertunduk malu, begitu juga Alvin yang nampak tak tenang. "Sudah, kalian pergi main sana, bebas mau ke mana saja asal Vivi harus kembali ke kamar ini sebelum jam sepuluh malam, mengerti?"Alvin mengangguk kecil."Ibu beneran enggak ikut nonton konser Alvin?" tanya Vivi, raut wajahnya penuh harap. Ia mengambil lembut jemari tangan Ibu.Beliau menggeleng. "Ibu

  • Lady Bug   41. Perjuangan Ismed

    Banyak orang hilir mudik, tapi tidak satu pun yang dia kenal. Secangkir kopi panas dan sepiring jamur goreng menghias meja. Sekantung plastik putih berada di atas kursi sebelah kursi yang diduduki Ismed. Dia bersenandung pelan mengamati lift dan pintu masuk apartemen, berharap Anjas cepat pulang. Sesuai janji dia ingin mengganti hp milik Anjas yang rusak karena insiden malam kemarin.Pengunjung kafe semakin sedikit. Pejalan kaki di lobby pun mulai jarang. Tak terasa tiga gelas kopi kosong menghias meja. Hingga saat ini belum nampak sosok yang ditunggu. Ismed memandang jam di layar hp. Angka 23.45 memaksa suara decak kesal keluar dari bibirnya."Mana sih, kok lama. Apa dia menginap di rumah Vivi?" Senyumnya mereka membayangkan hal itu. Baru saja hendak bangkit, sosok yang dinanti tiba.Perban melingkar di kening. Anjas melangkah pelan dibantu satpam. Beberapa orang di belakang meja resepsionis bergegas turut membantu."Ya Tuhan." Ismed bu

  • Lady Bug   40. Usai

    Terdengar suara obrolan dari lorong. Banyak sampul buku terbitan Rayon menghias dinding ruang berdinding putih. Di ruang lumayan luas itu, Sasa duduk berjajar dengan Anjas dan Efendi, menanti seorang pria duduk di balik meja. Pria itu membaca dengan seksama draft di tangan sembari sesekali mengangguk, tersenyum. "Bagus ini jalan ceritanya. Sudah matang sekali dalam penulisan dan plotnya mengalir. Pembentukan karakter pun nyaris sempurna. Hanya sedikit kesalahan dalam penggunaan kalimat berdasar KBBI. Apa kamu yang ngedit, Njas?" Anjas mengangguk. "Cuma sedikit. Mayoritas isi draft dibuat oleh Sasa sendiri." "Benar begitu. Mbak?" Sasa mengangguk kecil. Wajahnya memerah malu, tertunduk tiada berani memandang langsung pria ramah berkemeja lengan pendek yang sembari tadi memandang kagum pada Sasa. "Kenapa kok enggak pernah mengirim kemari?" tanya pria ramah. Sasa tak menjawab, mungkin karena dia sungkan. Anjas tahu jika Sasa

  • Lady Bug   39. Kenangan Indah

    Vivi menemui tamu yang Kakak maksud. Sosok itu berdiri membelakangi pintu, memakai denim hitam, celana jeans biru muda pudar, kupluk biru tua dan bersenandung kecil. Kedua tangan berada di belakang pinggang memegang setangkai bunga merah.April sengaja tak bersuara pergi dari sana, menepuk pundak Vivi."Siapa?" bisik Vivi."Cari tahu sendiri."Perlahan Vivi mendekat. Pasti Anjas. Ya, siapa lagi. Pikirannya sekarang penuh oleh pria berkacamata itu. Walau dia tahu tinggi badan mereka tak sama, tetapi harapnya terlalu besar hingga tercetus untuk menebak. Lalu bunga yang pemuda itu bawa, bunga kenangan Vivi dan Anjas. Pasti dia."Kak Anjas?"Pemuda itu berbalik. Senyum lebar gigi putih terlihat jelas. Ia melambai. "Hai Vi.""Ya Tuhan, Alvin? Kok bisa?" Vivi bingung karena baru saja melihat sosok pemuda itu di tv. "Bukannya baru wawancara--""Itu kan kemarin. Sehabis wawancara, aku tanya sama wartawan ada apa dan dia mencerita

  • Lady Bug   38. Tiga Hari Terakhir

    Berita di TV tentang Anis membuat Anjas tersenyum puas. Dia bangkit dari duduk di sofa, melangkah ringan menuju balkon.Dia berdiri di sana. Angin sejuk pagi menerpa wajah, membuat rambut bergerak-gerak. Cahaya matahari baru terbit menebar hangat nikmat, sampai meresap ke hati. Tak sabar ingin bertemu Vivi, memberi kabar gembira.Ketika hendak masuk ke ruang, sebuah mobil Pajero hitam menyita perhatian. Mobil itu parkir di dekat pohon mangga di lahan parkir depan gedung. Pengemudi mobil turun. Seorang pria berjas hitam mendongak, melambai kecil ke arahnya. Anjas tahu pagi ini dia bakal kedatangan seorang tamu.Dia turun menuju kafe lantai bawah. Di sana Ismed duduk seorang diri ditemani dua cangkir kopi di meja. Kafe masih sepi, hanya beberapa kursi terisi pelanggan. Suara obrolan kecil mengiringi langkahnya.Melihat Anjas, ia tersenyum melambai kecil. Anjas menyeringai karena tingkah pria itu. Ia duduk di kursi depan Ismed."Sudah kubelikan

  • Lady Bug   37. Angin Kebenaran

    Suara gemercik air berasal dari arah dapur. Air dingin menerpa kulit tangan. Vivi sibuk mencuci piring seorang diri. Rencananya sehabis ini dia bakal kerja bakti bersama April dan ibu bersih-bersih rumah. Sekali lagi dia memandang layar hp.Dia berharap Anjas menghubungi, setidaknya mengirim pesan, tetapi tidak. Semua harap itu sirna. Ia menghela napas. Kenapa masih berharap? Anjas telah kembali bersama Anis. Dia telah meninggalkan kapal yang tenggelam, bernama kapal Vivi dan melompat ke kapal yang besar, kapal yang membawanya berlayar ke samudera bahagia..Matanya berkedip dengan cepat. Bibir bergetar. Vivi menutup mulut supaya suara tangis tidak terdengar.Sakit hatinya. Walau mencoba percaya jika apa yang dia lihat menyembunyikan suatu alasan, tetap saja ... rasanya seperti berjalan di ribuan duri kaktus. Sebegitu jahat Anjas hingga setelah berjuang bersama, sekarang dengan mudah membuangnya?Pasti ada penjelasan kenapa pemuda itu tak bisa

DMCA.com Protection Status