Anjas bengong melihat betapa cerah wajah Vivi ketika menjawab tadi. Sekilas ia teringat akan sosok yang dulu memiliki senyum tak kalah indah. Sosok yang sempat sangat dia sayangi, tetapi sekarang menjadi setan yang sangat dibenci, hingga ingin memakannya mentah-mentah.
"Romance itu genre, kan?" tanya Vivi, dengan wajah polos menyertai ucapan.
Anjas terkekeh. Genre pilihan Vivi sangat sering dia dengar sampai membuat muak. "Kenapa harus Romance? Kenapa bukan Fantasy? Kenapa bukan History?"
"Karena Romance indah, banyak cinta dan uwu-uwu. Semua manusia pasti memiliki kisah cinta, kan? Kakak juga pasti punya. Jadi bakal mudah menulis novel Romance, percaya deh."
Vivi menangkap perubahan raut wajah Anjas yang tadi ramah kembali dingin. Ia sadar jika telah berbuat salah, tapi apa? Kenapa? Mungkin karena sombong? Dia memilih bertanya dari pada tersesat dalam pikiran. "Kenapa Kak?"
"Premis apa yang ingin kamu buat untuk novel Romance?" lanjut Anjas, kali
Vivi memandang Anjas tanpa kedip. Kedua tangan mengepal. Dia tak ingin berakhir seperti ini. Terlalu jauh untuk kembali. BErapa banyak pengorbanan yang ia beri. Tak sadar air mata mengalir di pipi.Anjas bangkit menarik lengan Vivi supaya mau duduk, tapi gagal.Vivi menepis tangan Anjas. "Aku enggak mau berhenti. Kakak membuatku ingat alasan menulis. Membuatku mengerti walau baru dikit. Kenapa sekarang malah disuruh berhenti? Maaf kalau aku bodoh--"Anjas duduk kembali. Cukup lama menikmati Vivi yang berjibaku menahan tangis supaya tidak meluber semakin deras. Gadis unik, anek, tapi penuh semangat. Ia menyeringai."Kalau mendengar sesuatu, jangan sepotong-potong. Duduk, biar kujelaskan. Kalau enggak mau duduk. kita udaham, bagaimana?"Diancam begitu perlahan Vivi duduk, mengusap air mata sambil mengatur napas sesengakan, mendapati Anjas menulis sesuatu di kertas, lalu mendorong benda itu di atas meja."Baca baik-baik."Vivi membaca tu
Sasa dan Mimi menghujani Anjas dengan berpuluh pertanyaan, seperti polisi mengintrogasi penjahat. Mereka tak peduli pada banyak mata yang mengintip di sekitar,juga telinga yang mencuri dengar. Seisi kafe gaduh oleh suara mereka. Hanya Vivi yang bengong sambil memandang jengah kedua gadis sinting."Jadi Mas editor?" pertanyaan Sasa begitu antusias, raut wajah berseri-seri ketika Anjas mengangguk kalem sambil tersenyum."Pantas Vivi minta dibuatkan review--""Apaan sih," sela Vivi.. "Kak, kenalin, ini sahabat-sahabatku. Sasa dan Mimi.""Kan tadi udah kenalan," keluh Mimi.Vivi menjawab, "Ye, kan belum dikenalin.""Sudah, sudah, jangan bertengkar," sela Anjas, menaruh kertas putih dan pena ke atas meja. "Vi, kamu sudah membaca beberapa novel yang aku suruh baca, kan?"Vivi menangguk menaruh kertas ke meja yang sama. Beberapa judul cerita telah diconteng, tanda jika sudah dibaca. Aslinya tak satupun ia baca. Menurut Vivi, Anjas h
Anjas berdiri di depan meja kasir. Dua pelayan menanti dengan senyum. Ia memilih makanan untuk dibawa pulang. Raut wajah nampak bingung memilih yang mana, hingga menunjuk sebuah paket nasi kotak. "Aku tahu kamu bakal membeli makanan untuk Anis," ujar Ismed, berdiri di samping Anjas, tersenyum pada pelayan. "Kopi hitam, dibawa pulang, ya." Tanpa menoleh Anjas menanggapi ucapan Ismed dengan suara dingin. "Kenapa kau biarkan dia menunggu sendiri, tanpa sarapan dan makan siang? Harusnya kau menjaganya, kan?" "Aku sudah berusaha tapi dia menolak. Katanya baru mau makan setelah bertemu denganmu." "Supir yang baik. Kau lebih loyal dari anjing peliharaan," ejek Anjas. Ismed menyeringai sinis, sambil meneguk koi hitam. Ia tak beranjak walau telah mendapat minuman pesanan. "Setidaknya sebagai asisten pribadi aku peduli pada gadis malang itu. Tugasku menjaga, menemani, dan harusnya mematahkan tulang orang yang membuatnya susah, seperti dirimu." A
Ismed berusaha menarik mundur Anis, tapi gadis itu terus meronta.Beberapa orang keluar dari kamar mereka untuk mengintip sumber kegaduhan, tapi semua itu tak berarti apapun pada gadis yang sangat ingin bertemu Anjas."Lepas, aku bilang lepas!""Nona, jika terus seperti ini pihak apartemen bisa memanggil sekuriti. Anda tak ingin membuat Tuan besar malu, kan?"Mendengar kalimat Tuan besar Anis menghentakkan kedua tangan, hingga dominasi Ismed luput. Ia membenahi pakaian, memandang judes pemuda yang juga tengah membenahi jas. Ia melangkah pelan semakin cepat menuju lift.Semasuknya di sana, ia memencet kasar tombol lift berulang. Pintu lift nyaris menutup sempurna, tapi sepatu kulit warna hitam mengkilat menahan pintu, Ismed ikut masuk ke dalam."Kau, gunakan tangga."Ismed nekar masuk, menekan tombol hingga pintu tertutup sempurna. "Terlanjur masuk. Lagi pula nanti jika kita tak bertemu di lantai satu, malah gawat." Ia pindah ke belakang Anis,
Anjas berharap Vivi bisa menunjukkan perkembangan yang besar. Ia memperhatikan gadis itu menulis. Senyumnya muncul karena raut wajah serius yang ia lihat. Tiba-tiba bayang masa lalu muncul.Dulu Anis juga seperti ini, bersemangat dalam menulis. Sontak ia menggeleng pelan, melepas kacamata, mengurut pelan kening."Kak," tegur Sasa, mengeluarkan beberapa halaman kertas dari tasnya. "Kalau Kakak ada waktu, bisa baca draft ini.""Draft? Coba mana." Ia menerima tumpukan kertas milik Sasa, memasang kembali kaca mata. Sambil menunggu Vivi menulis, Anjas membaca isi draft.Sebuah cerita bergenre romance islamiah buatan Sasa membuatnya tertarik. Cukup unik kisah itu. Pada part satu menceritakan tentang seorang gadis nakal yang dikirim ke asrama Gontor, untuk mendapat pendidikan. Ia mengangguk-angguk membuka halaman selanjutnya."Ceritanya bagus."Raut wajah Sasa sumringah."Bener, Kak? Kakak enggak bohong? M-maksudku, Kakak enggak berusaha menghiburkan bela
Pertemuan demi pertemuan terjadi. Vivi patuh pada ajaran Anjas karena belum mengerti teknik menulis yang benar. Jangankan KBBI, beda narasi dan dialog tag saja belum paham. Syukur berkat skill dan kesabaran di atas rata-rata, Anjas berhasil membimbing.Anjas pula memuji draft milik Sasa, hingga membuatnya berani mengirim draft ke publisher Mayor.Semua berjalan dengan mulus hingga memasuki bagian proses meracik plot dan karakterisasi tokoh dalam cerita yang Vivi tulis. Mulai tercipta riak diantara mereka.Vivi merasa ini kisah nyata berbasis kejadian masa lalu, dia lebih mengenal diri sendiri juga cowok yang ada di masa lalu. Ia juga lebih paham kejadian apa yang terjadi kala itu dan menganggap Anjas sok tahu karena mengatur ini dan itu. Proses ini melelahkan, dua kali pertemuan mereka seperti berjalan di tempat.Hari ini pun tak berbeda dengan kemarin. Keduanya debat hingga menyita banyak perhatian dari pengunjung juga pelayan."Yang benar dong ka
Hari ini Vivi menemui Anjas seorang diri di restoran tempat biasa mereka berkumpul. Ia duduk di kursi, berayun kaki sambil menonton TV. Suara senandung lembut keluar dari mulut ketika kepala bergerak pelan ke kiri dan kanan.Band Miracle Never Die sedang tampil di TV. Bukan hanya Vivi, beberapa gadis pengunjung juga gadis pelayan fokus ke layar menikmati penampilan mereka. Anggota band terdiri dari vokalis, gitaris, keyboardis, drummer, semua tampan dan keren. Yang menjadi sorotan utama adalah Alvin. Vokalis muda yang memiliki suara merdu. Ia bernyanyi dengan lepas. Selain itu juga penampilan mirip aktor Korea muda membuat pamor melesat seperti roket menuju bintang di angkasa. Ia juga ditawari main di film layar lebar.Namun, yang membuat pemuda itu menjadi idola Vivi karena nama. Alvin Alvaro, nama yang sama dengan cowok masa lalu cinta pertama. Nama itu pasaran, kan? Lagi pula seingatnya Alvin dulu kurus dan berkulit warna sawo mata
Cahaya hangat matahari pagi menyusup melalui sela pintu kaca koridor yang terbuka sedikit menerpa kulit kuning langsat Vivi. Suara senandungnya menggema pelan ketika ia memilih pakaian. Beberapa helai kemeja milik Kakak terkapar di kasur. Beberapa lagi berada di atas meja belajar.Dia mencoba memakai baju blouse besar lengan panjang sutera berwarna vanila yang membuat penampilan tambah imut di depan kaca. Ini date pertama dengan seorang cowok spesial, seseorang yang dikagumi pada pandangan pertama.Ia tahu jika mungkin Anjas melakukan hal ini ada maksud lain. Mungkin untuk memanas-manasi Anis. Siapa yang peduli? Bukan salahnya jika kelak pemuda itu takluk akan kemanisannya. Memikirkan hal itu membuat Vivi tersenyum sinis."Gayamu Vi, kek tokoh antagonis mau nyiksa protagonis.""Apaan sih!" keluh Vivi kepada Kakaknya yang berdiri bersandar daun pintu kamar."Pake tabir surya." Sebotol lotion April lempar ke muka adiknya. "Ntar mau main ke mana aja?"
Anjas duduk di sofa nyaman. Dua pria berjas berdiri di belakang. Beberapa gadis yang duduk tak jauh dari tempatnya duduk berbisik-bisik sambil tertawa genit. Ketika Anjas menoleh, mereka tersenyum tak berani memandang balik. Mungkin karena penampilan Anjas kali ini? Dia memakai kaos lengan panjang dengan kerah membentuk V, berlapis sweeter bentuk rompi. Celana panjang kain hitam serasi dengan pantofel yang ia kenakan. Tiba-tiba wajah kedua gadis berubah menjadi wajah Anis dan Vivi. anjas menggeleng pelan, sedikit menunduk mengurut kening. Ia lanjut membaca. "Psst, gadis aneh tadi siapa ya? Katanya mau bertemu pacar, gitu," bisik seorang gadis kepada pacarnya, melintas santai di depan Anjas. "Enggak tahu juga. Tapi heboh banget," jawab pemuda, mengajak pacarnya duduk di sofa sebelah Anjas. Pengumuman terdengar nyaring. Sebentar lagi pesawat akan berangkat. Anjas hanya membawa hp, juga tas satchel hitam. Sebelum pergi ia
Motor yang Vivi kendarai, sampai di lahan parkir apartemen Anjas. Dia melepas helm sambil berlari kecil menuju gedung. Ia tak peduli pada Mimi dan Efendi yang baru datang melintas di samping mengendarai motor mereka. "Astagfirullah, Vivi tunggu!" Sasa memungut helm yang Vivi lepas. Yang dipanggil benar-benar tak mendengar ucapan, malah nyelonong masuk seorang diri ke dalam gedung. "Vivi, tunggu dulu, jangan bergerak sendiri seperti ini!" sentak Sasa, mengekor. Di depan lift, Vivi memencet tombol berulang kali bagai tiada hari esok. "Cepet ... cepetan!" Pintu lift terasa lama terbuka, bagai seabad dia menanti. Kesal Vivi memukul tembok. "Vivi!" sentak Sasa, menahan kedua tangan sahabatnya. "Jangan seperti ini, malu dilihat orang." Vivi memandang sekitar. Dua sekuriti berada di dekatnya. Banyak mata pengunjung melihat dan mereka berbisik-bisik. Bahkan beberapa orang di kafe apartemen berkumpul di dekat kaca jendela memandang aneh k
"Itu siapa?" bisik Alvin sambil memandang Efendi. "Jadi, dia cowok yang kamu suka? Orang Timur Tengah?" Vivi menggeleng sambil tertawa kecil. "Bukan lah. Dia Ismed, temannya Kak Anis. Sebentar ya, Vin. aku ke sana dulu." "Jangan pergi, di sini banyak wartawan, nanti mereka bisa berpikir macam-macam kalau kamu menemui cowok itu." "Tapi--" "Nanti ya, setelah wawancara selesai, baru temui dia." Vivi memandang sekitar. Wartawan memang banyak mengerumuni mereka, membuatnya susah untuk bergerak. Terlebih Ismed terjebak di kerumunan, tertahan oleh pihak keamanan. Ismed bisa bertahan di sana menunggu. Vivi memberi kode anggukan pada pemuda itu hingga membuatnya sedikit tenang. Para wartawan tak memberi kesempatan untuk Alvin dan Vivi pergi, memaksa mereka dikawal para pengawal berpakaian safari hitam menuju lahan parkir mobil. Mereka semakin jauh dari Ismed. Di kejauhan anggota band Miracle Never Die yang lain nyaris mendapat perlakuan sama se
Alvin membuka pintu kamar hotel, menaruh tas ransel ke dalam kamar. Cukup besar kamar itu juga adem karena embusan angin dari AC."Nah Vi, Bu, selama di Malang, kalian tinggal di sini, ya. Tenang saja, semua biaya Alvin yang tanggung."Ibu tertawa kecil menepuk-nepuk pipi pemuda itu. "Kamu sudah bisa mentraktir rupanya, ya." Beliau memandang seisi kamar, duduk di tepi kasur besar empuk di tengah ruang. Beliau melihat Alvin membuka pintu kamar mandi."Nah, ini kamar mandinya, Bu.""Iya Nak, terima kasih. Tante mau istirahat dulu." Beliau mendapati anak gadisnya berdiri sambil tertunduk malu, begitu juga Alvin yang nampak tak tenang. "Sudah, kalian pergi main sana, bebas mau ke mana saja asal Vivi harus kembali ke kamar ini sebelum jam sepuluh malam, mengerti?"Alvin mengangguk kecil."Ibu beneran enggak ikut nonton konser Alvin?" tanya Vivi, raut wajahnya penuh harap. Ia mengambil lembut jemari tangan Ibu.Beliau menggeleng. "Ibu
Banyak orang hilir mudik, tapi tidak satu pun yang dia kenal. Secangkir kopi panas dan sepiring jamur goreng menghias meja. Sekantung plastik putih berada di atas kursi sebelah kursi yang diduduki Ismed. Dia bersenandung pelan mengamati lift dan pintu masuk apartemen, berharap Anjas cepat pulang. Sesuai janji dia ingin mengganti hp milik Anjas yang rusak karena insiden malam kemarin.Pengunjung kafe semakin sedikit. Pejalan kaki di lobby pun mulai jarang. Tak terasa tiga gelas kopi kosong menghias meja. Hingga saat ini belum nampak sosok yang ditunggu. Ismed memandang jam di layar hp. Angka 23.45 memaksa suara decak kesal keluar dari bibirnya."Mana sih, kok lama. Apa dia menginap di rumah Vivi?" Senyumnya mereka membayangkan hal itu. Baru saja hendak bangkit, sosok yang dinanti tiba.Perban melingkar di kening. Anjas melangkah pelan dibantu satpam. Beberapa orang di belakang meja resepsionis bergegas turut membantu."Ya Tuhan." Ismed bu
Terdengar suara obrolan dari lorong. Banyak sampul buku terbitan Rayon menghias dinding ruang berdinding putih. Di ruang lumayan luas itu, Sasa duduk berjajar dengan Anjas dan Efendi, menanti seorang pria duduk di balik meja. Pria itu membaca dengan seksama draft di tangan sembari sesekali mengangguk, tersenyum. "Bagus ini jalan ceritanya. Sudah matang sekali dalam penulisan dan plotnya mengalir. Pembentukan karakter pun nyaris sempurna. Hanya sedikit kesalahan dalam penggunaan kalimat berdasar KBBI. Apa kamu yang ngedit, Njas?" Anjas mengangguk. "Cuma sedikit. Mayoritas isi draft dibuat oleh Sasa sendiri." "Benar begitu. Mbak?" Sasa mengangguk kecil. Wajahnya memerah malu, tertunduk tiada berani memandang langsung pria ramah berkemeja lengan pendek yang sembari tadi memandang kagum pada Sasa. "Kenapa kok enggak pernah mengirim kemari?" tanya pria ramah. Sasa tak menjawab, mungkin karena dia sungkan. Anjas tahu jika Sasa
Vivi menemui tamu yang Kakak maksud. Sosok itu berdiri membelakangi pintu, memakai denim hitam, celana jeans biru muda pudar, kupluk biru tua dan bersenandung kecil. Kedua tangan berada di belakang pinggang memegang setangkai bunga merah.April sengaja tak bersuara pergi dari sana, menepuk pundak Vivi."Siapa?" bisik Vivi."Cari tahu sendiri."Perlahan Vivi mendekat. Pasti Anjas. Ya, siapa lagi. Pikirannya sekarang penuh oleh pria berkacamata itu. Walau dia tahu tinggi badan mereka tak sama, tetapi harapnya terlalu besar hingga tercetus untuk menebak. Lalu bunga yang pemuda itu bawa, bunga kenangan Vivi dan Anjas. Pasti dia."Kak Anjas?"Pemuda itu berbalik. Senyum lebar gigi putih terlihat jelas. Ia melambai. "Hai Vi.""Ya Tuhan, Alvin? Kok bisa?" Vivi bingung karena baru saja melihat sosok pemuda itu di tv. "Bukannya baru wawancara--""Itu kan kemarin. Sehabis wawancara, aku tanya sama wartawan ada apa dan dia mencerita
Berita di TV tentang Anis membuat Anjas tersenyum puas. Dia bangkit dari duduk di sofa, melangkah ringan menuju balkon.Dia berdiri di sana. Angin sejuk pagi menerpa wajah, membuat rambut bergerak-gerak. Cahaya matahari baru terbit menebar hangat nikmat, sampai meresap ke hati. Tak sabar ingin bertemu Vivi, memberi kabar gembira.Ketika hendak masuk ke ruang, sebuah mobil Pajero hitam menyita perhatian. Mobil itu parkir di dekat pohon mangga di lahan parkir depan gedung. Pengemudi mobil turun. Seorang pria berjas hitam mendongak, melambai kecil ke arahnya. Anjas tahu pagi ini dia bakal kedatangan seorang tamu.Dia turun menuju kafe lantai bawah. Di sana Ismed duduk seorang diri ditemani dua cangkir kopi di meja. Kafe masih sepi, hanya beberapa kursi terisi pelanggan. Suara obrolan kecil mengiringi langkahnya.Melihat Anjas, ia tersenyum melambai kecil. Anjas menyeringai karena tingkah pria itu. Ia duduk di kursi depan Ismed."Sudah kubelikan
Suara gemercik air berasal dari arah dapur. Air dingin menerpa kulit tangan. Vivi sibuk mencuci piring seorang diri. Rencananya sehabis ini dia bakal kerja bakti bersama April dan ibu bersih-bersih rumah. Sekali lagi dia memandang layar hp.Dia berharap Anjas menghubungi, setidaknya mengirim pesan, tetapi tidak. Semua harap itu sirna. Ia menghela napas. Kenapa masih berharap? Anjas telah kembali bersama Anis. Dia telah meninggalkan kapal yang tenggelam, bernama kapal Vivi dan melompat ke kapal yang besar, kapal yang membawanya berlayar ke samudera bahagia..Matanya berkedip dengan cepat. Bibir bergetar. Vivi menutup mulut supaya suara tangis tidak terdengar.Sakit hatinya. Walau mencoba percaya jika apa yang dia lihat menyembunyikan suatu alasan, tetap saja ... rasanya seperti berjalan di ribuan duri kaktus. Sebegitu jahat Anjas hingga setelah berjuang bersama, sekarang dengan mudah membuangnya?Pasti ada penjelasan kenapa pemuda itu tak bisa