Di bawah naungan langit yang sama, beda tempat dan beda suasana.
April tampil cantik dengan gaun sabrina hitam panjang, duduk manis di jok depan mobil Camry keluaran terbaru warna hitam. Sesekali ia menoleh ke arah kursi kemudi sambil tertawa mendengar ucapan pemuda gendut berkaca mata, keturunan Tiongkok berpipi tembem lucu yang memakai kemeja dengan rompi sweeter tanpa lengan. Dia Rafa Rafi, mau dipanggil Rafa bisa, Rafi juga tak apa.
"Your so beautiful," puji Rafa.
"Thank you."
"Jadi, buat apa nih, nyari editor?"
April menjelaskan duduk perkara pada Rafa, mulai dari Vivi yang aneh sampai masalah plagiat dan penulis novel. Rafa mendengar dengan baik sekali, kadang memberi tanggapan dengan anggukan tetap fokus pada jalan di depan.
"... gitu." April menutup curhat dengan helaan napas berat, lalu bertanya, "Bagaimana, bisa bantu enggak?"
"Bantu gimana?" Rafa diam cukup lama hingga ketika sampai di lampu merah, mobil berhenti, baru menjawab. "Aku punya kenalan penerbit, tapi novelnya harus ori dan bagus."
"Haduh, berat Fa, enggak punya jalan keluar yang lain, apa? Ayolah, kamu kan biasanya cerdas."
Cukup lama Rafa berpikir hingga nyaris lima menit baru dia memberi jawaban. "Kalau begitu coba aku kenalkan sama editor nomor satu di Indonesia."
"Hah? Emang ada peringkat editor di Indonesia?"
Rafa menggeleng sambil tertawa renyah. "Intinya dia tuh top markotop. Kamu tahu enggak, novel Kejora buku satu sampai dua, dia yang ngedit."
"Yakin, dia mau menolong Vivi?"
Rafa tak sempat menjawab pertanyaan itu karena Mobil mewah yang dikemudikan masuk ke lahan parkir. Di sana seorang tukang parkir meniup peluit sambil menggerak-gerakkan telapak tangan, membantu mobil untuk parkir. Cukup banyak mobil-mobil mewah berjajar di sana, dan banyak wanita bergaun pesta juga pemuda berpakaian formal berjalan menuju arah gedung megah.
Setelah selesai memarkir mobil, dengan penuh perhatian Rafa membukakan pintu untuk sang bidadari, tangan kanannya memayungi April supaya tidak kejedot ketika turun dari mobil. Keduanya bergandengan tangan masuk ke gedung mewah menuju ballroom.
Suara obrolan dan musik slow jazz menyambut keduanya. Beberapa gadis yang dikenal mendekat memeluk April selayaknya sahabat. Gadis yang tak kalah cantik memandang ujung sepatu hak tinggi hitam sampai ke wajah April.
"Duh, cantik banget pakai gaun begini, biasanya juga kaos oblongan ya," ujar Airin, dari nada bcara, gadis itu benar-benar tulus memuji.
"Biasanya enggak cantik, ya?" sindir pemuda kekar yang bersalaman dengan April, lalu menyalami Rafa.
"Bukan gitu, Nyet. Biasanya enggak pakai banget," sahut Airin.
Pemuda yang dipanggil Nyet menepuk-nepuk perut Rafa. "April, buruan nikah, sampai bunting gini, tanggung jawab!"
"Ye, bunting dibuat sendiri kok aku yang disalahi." April tertawa bersama mereka, teman-teman kuliah dan beberapa senior.
"Psst, jangan asal bacot," bisik Rafa. "Ntar dikira kita mengejek mempelai wanita, loh."
Mereka bungkam menutup mulut, memandang sekitar.
Hari ini pernikahan salah satu junior mereka, yang ... well, hamil duluan. Gadis itu anak pejabat, kaya raha, juga cantik, cowoknya seorang berandal, masih pakai anting gede yang membuat daun telinga berlubang bundar luas, berwajah burik. Jomplang banget. Kedua orang tua gadis itu juga tak merestui hubungan mereka hingga perut anaknya semakin besar.
"Pinter yang cowoknya," ujar Nyet, berdiri dalam balut jas hitam sambil memasukkan satu tangan ke saku celana, lalu meneguk wine merah. Ia tak henti mengamati tubuh indah April, terutama kulit yang terpampang. "Kamu cantik sekali, Pril."
"Biasa aja. Airin juga cantik."
Keduanya mengamati Airin yang tengah mengambil makanan bersama Rafa.
"Well, tidak seterek macam kamu. Lihat badanmu, lekuk kurva dengan dada bundar indah. Pas di tanganku."
April mencubit keras pinggang si Nyet. Banyak cowok yang sependapat dengan Nyet, hanya saja April lebih memilih masa depan dari pada kesenangan dunia. Dia hafal cowok-cowok banyak yang bejat seperti mempelai pria di atas pelaminan. Rafa pun tidak berbeda, tapi setidaknya dengan badan buntal seperti itu April mampu menekan nafsu hingga sampai sekarang mereka tak pernah melebihi pegangan tangan, pelukan dan kecupan di bibir.
"Kapan nyusul nih?" tegur seorang gadis yang menghampiri April dari samping.
"Nyusul apaan?"
"Menyusul sama Rafa ke pelaminan. Pacaran mulu, cepetan nikah."
"Dia mau nikah sama aku, cuma sungkan sama Rafa mau mutusin, ye kan?" celetuk Nyet, gurauan yang menantang lirik dari Airin yang baru datang membawa makanan.
"Aku sih oke aja, kalau mau malah besok nikah juga enggak apa-apa, cuma calon mempelainya tuh," celetuk Rafa, berdiri di sebelah April sambil membawa piring penuh makanan.
"Dah enggak usah bercanda terus, fokus ke pesta." Begitu cara April mengalihkan pembicaraan. Terus terang dia masih enggan menikah. Banyak hal yang menjadi alasan, salah satunya masih ingin melajang.
ketika acara foto-foto, Rafa dan April duduk bersebelahan di kursi lipat di sudut ruang, menikmati hidangan sambil menyaksikan keurakan teman-teman yang memenuhi pelaminan.
"Masalah editor, menurutmu bagaimana, Fa?" tanya April.
"Vivi buat novel tentang apa?" Selidik Rafa.
April bingung harus menjawab apa. Di lain sisi ia ingin berbagi info, tapi di sisi lain juga malu. Novel yang ditulis adiknya amburadul seperti tempat pembuangan akhir sampah di DKI Jakarta.
Diamnya April mengundang Rafa untuk lanjut bicara, "Kalau mau dibantu, ya setidaknya harus terbuka, Pril. Tenang aja, Vivi sudah kuanggap sebagai adik sendiri sejak masih kuliah dulu. Ingat kan?"
April mengangguk kecil. Ia sangat ingat betapa sayangnya Rafa kepada keluarganya. Sejak dulu, setiap datang ke rumah, cowok ini selalu membawa hadiah untuk Ibu dan Bapak dan untuk Vivi selalu dihadiahi boneka, makanan, juga kaset-kaset DVD. Cara ampuh guna membuat keluarga April bertekuk lutut dan memuji Rafa sebagai anak baik.
"Semenjak lulus SMA Vivi keranjingan menulis di aplikasi online," jawab April.
"Bagus dong."
"Ya bagus kalau dia menulis dengan benar, tapi tulisannya tuh jelek banget. Tau sendiri, dia malas membaca, maunya serba instan. Lah kasarannya mau makan mie instan juga harus dimasak dulu, kan?"
"Ya enggak lah, aku loh sering makan mie instan cuma kuremas-remas, terus kasih bumbu ... ya, kamu benar, bahkan makan mie instan juga harus dimasuk dulu."
"Vivi beberapa minggu terakhir mulai gila," ujar April.
"Loh, bukannya dulu pernah test ke rumah sakit jiwa hasilnya negatif?" Rafa kembali diam sesaat, khawatir akan lirikan tajam gadis di sebelahnya itu. "Terus-terus, gimana?"
"Ya gila aja, dia membuat banyak akun palsu, bukan cuma untuk promosi, tapi memfollow akun utama dia, memberi vote, dan menambah jumlah viewer. Aku enggak ingin dia terjebak dalam dunia halusinasi buatannya sendiri. Parahnya dia ... plagiat, mungkin sih."
"Plagiat, merampok karya orang lain, gitu? Jadi ceritamu tadi serius?"
April mengangguk. "Sebagai Kakak aku enggak mau dia menyesal kelak. Aku mau dia berusaha dengan sungguh-sungguh di jalan yang benar. Percuma banyak yang baca, banyak vote, tapi palsu, atau kelak jika sukses sekalipun pasti rasanya bakal hambar."
Rafa mengangguk kecil. Melihat mata April mulai sayu, ia menggenggam telapak tangan gadis itu, sambil menjawab, "Kamu santai saja, semua bakal baik-baik saja. Kan ada aku di sini, ya."
"Makasih Fa, kamu emang cowok terbaik yang pernah kutemui. Jadi, kapan kita bisa bertemu dengan editor itu?"
"Tapi enggak gratis."
"Maksudmu?"
"Ya aku bisa mengenalkan Vivi dengan editor yang kubilang tadi, tapi kamu harus mau menikah denganku, minimal tunangan, lah."
"Kok gini sih." April menarik tangannya. "Kamu kan tau, aku ingin kuliah dulu, membangun karir."
"Iya tau, tapi kamu juga harus tau. Di dunia ini banyak serigala. Bagaimana kalau kamu dimakan? Aku bagaimana? Setidaknya ikat hubungan, tunangan. Kedua orang tua kita harus ketemu."
"Maksa--"
"Iya, aku maksa. Karena aku enggak mau kehilangan kamu, Pril."
Wajah Rafa benar-benar serius, tiada tekuk sedikit pun di kulit mengkilapnya. April was-was, bagaimana kelak jika terkekang? Terlebih untuk menikah. Dia bukan hanya menikahi Rafa, tapi juga keluarga Rafa.Terlepas dari itu hati kecil April berbunga-bunga. Kesungguhan cowok ini untuk membangun keluarga benar-benar berani.
April menjawab, "Well ... tunangan."
"YES!"
"Heh, malu." April memandang sekitar, banyak orang menoleh, berbisik-bisik pula. Ia kembali fokus pada Rafa. "Tapi tunangan dulu, enggak mau nikah buru-buru."
"Enggak apa-apa, yang penting ada ikatan dan kejelasan. Kalau sudah begini kan tandanya kamu serius--"
"Dan aku baru mau bertunangan jika editormu benar-benar mampu membuat Vivi sukses menulis novel. Bagaimana?"
Tanpa berpikir panjang Rafa menjawab, "Deal!"
Dengan begini Rafa berhasil mendapat apa yang dia mau, begitu pula dengan April. Sehabis bubar pesta, April benar-benar memanfaatkan keadaan. Dia membawa Rafa ke sebuah mall megah, membeli tas branded, baju branded, bahkan iphone terbaru, plus perhiasan mahal. Tak lupa dia membeli boneka kelinci raksasa juga makanan kesukaan ibu, getuk goreng. Rafa sendiri tak masalah akan hal ini, bahkan dia membelikan sepatu baru untuk April, Ibu, Vivi, juga Bapak. Orang yang sedang bahagia memang pemurah hatinya.
"Pril, kalau kamu mau nikah, aku udah siapin apartemen, mobil, sama uang tabungan. Nanti pesta kita di pulau private, terus bulan madu ke Bulan."
April terkekeh. "Ngarang ah, masak ke bulan."
"Serius. Sekarang ada tuh, tour bulan. Terus pulangnya, kita keliling dunia. Kemanapun kamu mau, akan kuturuti."
Keduanya pulang pada jam malam. Mobil berhenti di depan pintu gerbang rumah April. Rafa membawa nyaris semua barang bawaan bertemu Ibu yang langsung disalami tangannya. Tak lama-lama Rafa berada di sana, karena sudah malam.
"Salam buat Vivi, ya," ujar Rafa, memacu mobil sambil melambai kepada kedua wanita yang melambai di teras rumah. Setelah mobil menghilang dari jangkauan mata, Ibu dan April masuk ke rumah.
"Bu, Vivi mana? Kok rumah sepi banget? Sudah pulang, kan?" tanya April, sambil menutup pintu rumah.
"Sudah kok, dia di kamar tuh. Mau apa?"
"Ada deh."
"Jangan diganggu. Sepertinya dia sedang badmood."
"Oke."
April bergegas menuju kamar Vivi. Dia mengetuk beberapa kali pintu kamar, semakin kencang sampai berbunyi seperti orang menggedor pintu. "Vi, Kakak masuk ya! Ini ada hadiah nih buat kamu, dari Rafa. Vi? Beneran masuk loh ini."
Beruntung pintu tidak dikunci sehingga April bisa masuk. Dia menyalakan lampu kamar, menaruh boneka kelinci raksasa ke atas meja belajar. "Vi--ya Tuhan, kamu kenapa?"
Setelah pulang dari mall, Vivi mengunci diri dalam kamar. Ia duduk di kasur menelungkup kepala ke antara dua kaki yang dilipat. Dadanya berdebar-debar ketika membayangkan kejadian di lahan parkir bawah tanah mall. Bukan hanya motor punya Anjas, tetapi beberapa motor lain pasti rusak. Dia benar-benar menjadi anak nakal di sana. Bagaimana jika para pemilik motor yang rusak menagih uang kompensasi? Vivi hanya mahasiswi yang belum mandiri, masih bergantung kepada orang tua. Apa yang ibu akan katakan ketika mengetahui hal ini? "Vi? Ada apa, Nak?" Suara ibu terdengar dari luar kamar, mengiringi ketukan lembut pintu. "Kamu kenapa, kok langsung masuk kamar? Sasa sama Mimi datang tuh. Vi, kamu mau menemui mereka?" Sayup terdengar suara Mimi di luar sana. "Sudah tidur mungkin, Tante. Tadi habis main kejar-kejaran soalnya jadi Vivi kecapekan. Kalau begitu kami pamit pulang dulu, permisi." Keadaan kembali sunyi hingga sayup terdengar suara TV dari luar kamar. Cuk
Vivi belum tau pasti editor itu gadis atau laki. Walau demikian dia tetap bersemangat untuk menemui editor. Menurutnya ini adalah jalan untuk menuju kesuksesan. Ia sangat berharap editor itu mampu mengajari tentang dunia literasi. Karena alasan itu, dia mengenakan pakaian terbaik milik Kakak, pakaian sopan serba tertutup. Blouse lengan panjang berwarna vanilla dengan bawahan celana jeans dan sepatu ket. Ia ingin tampil sesempurna mungkin dan membentuk image baik di pertemuan pertama. Setelah siap, Vivi pergi menemui editor di tempat mereka janjian. Di dalam kafe, dia duduk dekat jendela sambil menonton banyak pejalan kaki berhilir-mudik di trotoar. Aroma pastri memberi nuansa nikmat. Obrolan lembut dari pelanggan pun tidak menghalangi suara musik yang menyapa telinga. Seorang pelayan berkemeja panjang putih dengan rompi sweeter tanpa lengan datang menghampiri Vivi. Dia mentoel lengan gadis itu memakai ujung tumpul pena, membuat yang ditoel menol
Betapa terkejut Anjas mendapati Vivi keluar dari kafe sampai nyaris menjatuhkan hp. Dia tak menyangka gadis sial masih nekat stalking. Ini kesempatan untuk memarahinya karena aksi di mall benar-benar membuat sengsara. Ia bangkit hendak mengejar, tapi urung karena mendapati stop map warna kuning tergeletak di meja yang baru saja gadis itu tinggal. Sesuai perjanjian harusnya gadis yang bakal dia ditemui membawa stopmap warna itu. Dia belum percaya jika gadis itu Vivi, berdoa supaya semua isi pikiran tidak benar. Untuk itu dia pindah duduk ke kursi yang masih hangat bekas dipakai Vivi. Setelah memakai kacamata baca, Anjas mulai membaca satu persatu halaman dalam stopmap, mulai dari kalimat pembuka sampai penutup. Cekatan dia mencoret-coret kalimat memakai pena, hingga kertas draft menjadi seperti canvas berisi lukisan tinta hitam. Dengan kasar ia menaruh stopmap kembali ke meja. Lemas Anjas menghela napas, bersandar pada sandaran kursi sambil memijat kedua
April terpaksa merayu Rafa untuk membuat janji baru dengan Anjas. Syukurlah, semua bisa berjalan dengan baik. Karena kesibukan Anjas, pertemuan dijadwal ulang, tepatnya beberapa hari kedepan.April menyampaikan berita ini ketika Vivi baru pulang dari kampus, ia mencegat adiknya di muka anak tangga paling bawah, menggenggam kedua pundak gadis itu."Ingat, kamu harus bertemu dengannya, enggak peduli dia siapa, mengerti?" Pesan April, mewanti-wanti adiknya."Siap, Kak." Vivi sampai memberi hormat pada gadis di hadapannya.Setelah kejadian tempo hari, dia memang bersemangat untuk bertemu Anjas karena pemuda itu benar-benar punya niat baik untuk membantunya. Anggapan itu karena draft dalam stopmap Vivi benar-benar dikoreksi olehnya.Hari demi hari berlalu. Keanehan demi keanehan terjadi pada diri Vivi. Dia yang terkenal hiperaktif sekarang seperti kambing hendak disembelih buat kurban, tapi kalau kambing mungkin diamnya sedih, tak ada nafsu hidup, kalau
Anjas bengong melihat betapa cerah wajah Vivi ketika menjawab tadi. Sekilas ia teringat akan sosok yang dulu memiliki senyum tak kalah indah. Sosok yang sempat sangat dia sayangi, tetapi sekarang menjadi setan yang sangat dibenci, hingga ingin memakannya mentah-mentah."Romance itu genre, kan?" tanya Vivi, dengan wajah polos menyertai ucapan.Anjas terkekeh. Genre pilihan Vivi sangat sering dia dengar sampai membuat muak. "Kenapa harus Romance? Kenapa bukan Fantasy? Kenapa bukan History?""Karena Romance indah, banyak cinta dan uwu-uwu. Semua manusia pasti memiliki kisah cinta, kan? Kakak juga pasti punya. Jadi bakal mudah menulis novel Romance, percaya deh."Vivi menangkap perubahan raut wajah Anjas yang tadi ramah kembali dingin. Ia sadar jika telah berbuat salah, tapi apa? Kenapa? Mungkin karena sombong? Dia memilih bertanya dari pada tersesat dalam pikiran. "Kenapa Kak?""Premis apa yang ingin kamu buat untuk novel Romance?" lanjut Anjas, kali
Vivi memandang Anjas tanpa kedip. Kedua tangan mengepal. Dia tak ingin berakhir seperti ini. Terlalu jauh untuk kembali. BErapa banyak pengorbanan yang ia beri. Tak sadar air mata mengalir di pipi.Anjas bangkit menarik lengan Vivi supaya mau duduk, tapi gagal.Vivi menepis tangan Anjas. "Aku enggak mau berhenti. Kakak membuatku ingat alasan menulis. Membuatku mengerti walau baru dikit. Kenapa sekarang malah disuruh berhenti? Maaf kalau aku bodoh--"Anjas duduk kembali. Cukup lama menikmati Vivi yang berjibaku menahan tangis supaya tidak meluber semakin deras. Gadis unik, anek, tapi penuh semangat. Ia menyeringai."Kalau mendengar sesuatu, jangan sepotong-potong. Duduk, biar kujelaskan. Kalau enggak mau duduk. kita udaham, bagaimana?"Diancam begitu perlahan Vivi duduk, mengusap air mata sambil mengatur napas sesengakan, mendapati Anjas menulis sesuatu di kertas, lalu mendorong benda itu di atas meja."Baca baik-baik."Vivi membaca tu
Sasa dan Mimi menghujani Anjas dengan berpuluh pertanyaan, seperti polisi mengintrogasi penjahat. Mereka tak peduli pada banyak mata yang mengintip di sekitar,juga telinga yang mencuri dengar. Seisi kafe gaduh oleh suara mereka. Hanya Vivi yang bengong sambil memandang jengah kedua gadis sinting."Jadi Mas editor?" pertanyaan Sasa begitu antusias, raut wajah berseri-seri ketika Anjas mengangguk kalem sambil tersenyum."Pantas Vivi minta dibuatkan review--""Apaan sih," sela Vivi.. "Kak, kenalin, ini sahabat-sahabatku. Sasa dan Mimi.""Kan tadi udah kenalan," keluh Mimi.Vivi menjawab, "Ye, kan belum dikenalin.""Sudah, sudah, jangan bertengkar," sela Anjas, menaruh kertas putih dan pena ke atas meja. "Vi, kamu sudah membaca beberapa novel yang aku suruh baca, kan?"Vivi menangguk menaruh kertas ke meja yang sama. Beberapa judul cerita telah diconteng, tanda jika sudah dibaca. Aslinya tak satupun ia baca. Menurut Vivi, Anjas h
Anjas berdiri di depan meja kasir. Dua pelayan menanti dengan senyum. Ia memilih makanan untuk dibawa pulang. Raut wajah nampak bingung memilih yang mana, hingga menunjuk sebuah paket nasi kotak. "Aku tahu kamu bakal membeli makanan untuk Anis," ujar Ismed, berdiri di samping Anjas, tersenyum pada pelayan. "Kopi hitam, dibawa pulang, ya." Tanpa menoleh Anjas menanggapi ucapan Ismed dengan suara dingin. "Kenapa kau biarkan dia menunggu sendiri, tanpa sarapan dan makan siang? Harusnya kau menjaganya, kan?" "Aku sudah berusaha tapi dia menolak. Katanya baru mau makan setelah bertemu denganmu." "Supir yang baik. Kau lebih loyal dari anjing peliharaan," ejek Anjas. Ismed menyeringai sinis, sambil meneguk koi hitam. Ia tak beranjak walau telah mendapat minuman pesanan. "Setidaknya sebagai asisten pribadi aku peduli pada gadis malang itu. Tugasku menjaga, menemani, dan harusnya mematahkan tulang orang yang membuatnya susah, seperti dirimu." A
Anjas duduk di sofa nyaman. Dua pria berjas berdiri di belakang. Beberapa gadis yang duduk tak jauh dari tempatnya duduk berbisik-bisik sambil tertawa genit. Ketika Anjas menoleh, mereka tersenyum tak berani memandang balik. Mungkin karena penampilan Anjas kali ini? Dia memakai kaos lengan panjang dengan kerah membentuk V, berlapis sweeter bentuk rompi. Celana panjang kain hitam serasi dengan pantofel yang ia kenakan. Tiba-tiba wajah kedua gadis berubah menjadi wajah Anis dan Vivi. anjas menggeleng pelan, sedikit menunduk mengurut kening. Ia lanjut membaca. "Psst, gadis aneh tadi siapa ya? Katanya mau bertemu pacar, gitu," bisik seorang gadis kepada pacarnya, melintas santai di depan Anjas. "Enggak tahu juga. Tapi heboh banget," jawab pemuda, mengajak pacarnya duduk di sofa sebelah Anjas. Pengumuman terdengar nyaring. Sebentar lagi pesawat akan berangkat. Anjas hanya membawa hp, juga tas satchel hitam. Sebelum pergi ia
Motor yang Vivi kendarai, sampai di lahan parkir apartemen Anjas. Dia melepas helm sambil berlari kecil menuju gedung. Ia tak peduli pada Mimi dan Efendi yang baru datang melintas di samping mengendarai motor mereka. "Astagfirullah, Vivi tunggu!" Sasa memungut helm yang Vivi lepas. Yang dipanggil benar-benar tak mendengar ucapan, malah nyelonong masuk seorang diri ke dalam gedung. "Vivi, tunggu dulu, jangan bergerak sendiri seperti ini!" sentak Sasa, mengekor. Di depan lift, Vivi memencet tombol berulang kali bagai tiada hari esok. "Cepet ... cepetan!" Pintu lift terasa lama terbuka, bagai seabad dia menanti. Kesal Vivi memukul tembok. "Vivi!" sentak Sasa, menahan kedua tangan sahabatnya. "Jangan seperti ini, malu dilihat orang." Vivi memandang sekitar. Dua sekuriti berada di dekatnya. Banyak mata pengunjung melihat dan mereka berbisik-bisik. Bahkan beberapa orang di kafe apartemen berkumpul di dekat kaca jendela memandang aneh k
"Itu siapa?" bisik Alvin sambil memandang Efendi. "Jadi, dia cowok yang kamu suka? Orang Timur Tengah?" Vivi menggeleng sambil tertawa kecil. "Bukan lah. Dia Ismed, temannya Kak Anis. Sebentar ya, Vin. aku ke sana dulu." "Jangan pergi, di sini banyak wartawan, nanti mereka bisa berpikir macam-macam kalau kamu menemui cowok itu." "Tapi--" "Nanti ya, setelah wawancara selesai, baru temui dia." Vivi memandang sekitar. Wartawan memang banyak mengerumuni mereka, membuatnya susah untuk bergerak. Terlebih Ismed terjebak di kerumunan, tertahan oleh pihak keamanan. Ismed bisa bertahan di sana menunggu. Vivi memberi kode anggukan pada pemuda itu hingga membuatnya sedikit tenang. Para wartawan tak memberi kesempatan untuk Alvin dan Vivi pergi, memaksa mereka dikawal para pengawal berpakaian safari hitam menuju lahan parkir mobil. Mereka semakin jauh dari Ismed. Di kejauhan anggota band Miracle Never Die yang lain nyaris mendapat perlakuan sama se
Alvin membuka pintu kamar hotel, menaruh tas ransel ke dalam kamar. Cukup besar kamar itu juga adem karena embusan angin dari AC."Nah Vi, Bu, selama di Malang, kalian tinggal di sini, ya. Tenang saja, semua biaya Alvin yang tanggung."Ibu tertawa kecil menepuk-nepuk pipi pemuda itu. "Kamu sudah bisa mentraktir rupanya, ya." Beliau memandang seisi kamar, duduk di tepi kasur besar empuk di tengah ruang. Beliau melihat Alvin membuka pintu kamar mandi."Nah, ini kamar mandinya, Bu.""Iya Nak, terima kasih. Tante mau istirahat dulu." Beliau mendapati anak gadisnya berdiri sambil tertunduk malu, begitu juga Alvin yang nampak tak tenang. "Sudah, kalian pergi main sana, bebas mau ke mana saja asal Vivi harus kembali ke kamar ini sebelum jam sepuluh malam, mengerti?"Alvin mengangguk kecil."Ibu beneran enggak ikut nonton konser Alvin?" tanya Vivi, raut wajahnya penuh harap. Ia mengambil lembut jemari tangan Ibu.Beliau menggeleng. "Ibu
Banyak orang hilir mudik, tapi tidak satu pun yang dia kenal. Secangkir kopi panas dan sepiring jamur goreng menghias meja. Sekantung plastik putih berada di atas kursi sebelah kursi yang diduduki Ismed. Dia bersenandung pelan mengamati lift dan pintu masuk apartemen, berharap Anjas cepat pulang. Sesuai janji dia ingin mengganti hp milik Anjas yang rusak karena insiden malam kemarin.Pengunjung kafe semakin sedikit. Pejalan kaki di lobby pun mulai jarang. Tak terasa tiga gelas kopi kosong menghias meja. Hingga saat ini belum nampak sosok yang ditunggu. Ismed memandang jam di layar hp. Angka 23.45 memaksa suara decak kesal keluar dari bibirnya."Mana sih, kok lama. Apa dia menginap di rumah Vivi?" Senyumnya mereka membayangkan hal itu. Baru saja hendak bangkit, sosok yang dinanti tiba.Perban melingkar di kening. Anjas melangkah pelan dibantu satpam. Beberapa orang di belakang meja resepsionis bergegas turut membantu."Ya Tuhan." Ismed bu
Terdengar suara obrolan dari lorong. Banyak sampul buku terbitan Rayon menghias dinding ruang berdinding putih. Di ruang lumayan luas itu, Sasa duduk berjajar dengan Anjas dan Efendi, menanti seorang pria duduk di balik meja. Pria itu membaca dengan seksama draft di tangan sembari sesekali mengangguk, tersenyum. "Bagus ini jalan ceritanya. Sudah matang sekali dalam penulisan dan plotnya mengalir. Pembentukan karakter pun nyaris sempurna. Hanya sedikit kesalahan dalam penggunaan kalimat berdasar KBBI. Apa kamu yang ngedit, Njas?" Anjas mengangguk. "Cuma sedikit. Mayoritas isi draft dibuat oleh Sasa sendiri." "Benar begitu. Mbak?" Sasa mengangguk kecil. Wajahnya memerah malu, tertunduk tiada berani memandang langsung pria ramah berkemeja lengan pendek yang sembari tadi memandang kagum pada Sasa. "Kenapa kok enggak pernah mengirim kemari?" tanya pria ramah. Sasa tak menjawab, mungkin karena dia sungkan. Anjas tahu jika Sasa
Vivi menemui tamu yang Kakak maksud. Sosok itu berdiri membelakangi pintu, memakai denim hitam, celana jeans biru muda pudar, kupluk biru tua dan bersenandung kecil. Kedua tangan berada di belakang pinggang memegang setangkai bunga merah.April sengaja tak bersuara pergi dari sana, menepuk pundak Vivi."Siapa?" bisik Vivi."Cari tahu sendiri."Perlahan Vivi mendekat. Pasti Anjas. Ya, siapa lagi. Pikirannya sekarang penuh oleh pria berkacamata itu. Walau dia tahu tinggi badan mereka tak sama, tetapi harapnya terlalu besar hingga tercetus untuk menebak. Lalu bunga yang pemuda itu bawa, bunga kenangan Vivi dan Anjas. Pasti dia."Kak Anjas?"Pemuda itu berbalik. Senyum lebar gigi putih terlihat jelas. Ia melambai. "Hai Vi.""Ya Tuhan, Alvin? Kok bisa?" Vivi bingung karena baru saja melihat sosok pemuda itu di tv. "Bukannya baru wawancara--""Itu kan kemarin. Sehabis wawancara, aku tanya sama wartawan ada apa dan dia mencerita
Berita di TV tentang Anis membuat Anjas tersenyum puas. Dia bangkit dari duduk di sofa, melangkah ringan menuju balkon.Dia berdiri di sana. Angin sejuk pagi menerpa wajah, membuat rambut bergerak-gerak. Cahaya matahari baru terbit menebar hangat nikmat, sampai meresap ke hati. Tak sabar ingin bertemu Vivi, memberi kabar gembira.Ketika hendak masuk ke ruang, sebuah mobil Pajero hitam menyita perhatian. Mobil itu parkir di dekat pohon mangga di lahan parkir depan gedung. Pengemudi mobil turun. Seorang pria berjas hitam mendongak, melambai kecil ke arahnya. Anjas tahu pagi ini dia bakal kedatangan seorang tamu.Dia turun menuju kafe lantai bawah. Di sana Ismed duduk seorang diri ditemani dua cangkir kopi di meja. Kafe masih sepi, hanya beberapa kursi terisi pelanggan. Suara obrolan kecil mengiringi langkahnya.Melihat Anjas, ia tersenyum melambai kecil. Anjas menyeringai karena tingkah pria itu. Ia duduk di kursi depan Ismed."Sudah kubelikan
Suara gemercik air berasal dari arah dapur. Air dingin menerpa kulit tangan. Vivi sibuk mencuci piring seorang diri. Rencananya sehabis ini dia bakal kerja bakti bersama April dan ibu bersih-bersih rumah. Sekali lagi dia memandang layar hp.Dia berharap Anjas menghubungi, setidaknya mengirim pesan, tetapi tidak. Semua harap itu sirna. Ia menghela napas. Kenapa masih berharap? Anjas telah kembali bersama Anis. Dia telah meninggalkan kapal yang tenggelam, bernama kapal Vivi dan melompat ke kapal yang besar, kapal yang membawanya berlayar ke samudera bahagia..Matanya berkedip dengan cepat. Bibir bergetar. Vivi menutup mulut supaya suara tangis tidak terdengar.Sakit hatinya. Walau mencoba percaya jika apa yang dia lihat menyembunyikan suatu alasan, tetap saja ... rasanya seperti berjalan di ribuan duri kaktus. Sebegitu jahat Anjas hingga setelah berjuang bersama, sekarang dengan mudah membuangnya?Pasti ada penjelasan kenapa pemuda itu tak bisa