Perkataan Mimi membuat Vivi dan Sasa bertukar pandang bingung, terlebih sahabat mereka itu menarik lengan mereka.
"Ayo duduk dulu. Aku jelasin."
Keduanya menurut seperti murid TK disuruh guru untuk duduk. Di mata mereka Mimi memang spesial. Cowok mana yang tidak takluk oleh Ratu Tomboy Sejagat? Anak basket? Mimi pernah suka sama senior, dia menantang basket dan cowok itu tunduk. Anak band? Ada murid SMA yang ditaklukkan dengan cara dia ikut bermain gitar. Seorang dokter? Dulu Mimi pura-pura sakit dan berhasil memacari dokter muda itu. Semua cowok-cowok itu hanya bertahan seminggu jadi pacarnya, lalu secara sepihak dia memutuskan mereka. Benar-benar playgirl sejati.
Sekarang keduanya menanti apa yang akan Mimi ucapkan.
Dan tak butuh waktu lama untuk gadis itu berucap. "Jangan mengejar cogan, tapi buat mereka penasaran dengan kita."
"Penasaran gimana?" selidik Vivi.
"Ya jangan jadi murahan. Intinya--"
"Intinya nge-drama, ya kan?" sela Sasa. "Dah ah, kelamaan. Mi, sorry, cowok ini beda seperti cowok yang kamu taklukkan. Biasanya kamu tau di mana cowok-cowok itu berada, tapi ini beda. Kita enggak tau apa-apa tentangnya, kecuali dari akun sosmed, ya kan Vi?"
"Ho o, setuju. Lagian cowok-cowok itu takluk kan karena kamu memang ... apa kata mereka, Sa?" tanya Vivi.
"Menggairahkan, seperti kuda liar."
"Heh," sela Mimi. "Siapa yang bilang gitu? Enak aja kuda liar."
"Ye semua cowok yang pacaran sama kamu," sahut Sasa, sesekali dia mengamati cowok yang sedang duduk membaca buku di kursi dekat tempat gym. "Dah ah, keburu kabur tuh cowok. Ada cara ampuh enggak? Minimal kita bisa kenalan gitu."
"Mi, buruan, ada cara instan enggak?" sambung Vivi. "Cepet dong, mikir aja lama banget, kek mikir jawaban soal Matematika."
Mimi memandang datar keduanya bergantian, lalu menyeringai kecil. "Mau instan?"
"Iya," jawab Vivi dan Sasa serempak.
"Ada caranya, mudah banget. Salah satu dari kalian pura-pura jatuh. Nanti, ada alasan nih buat kalian berkenalan--"
"Oalah, cuma itu?" Sasa menyela ucapan Mimi. "Kalau itu sih, dari baca novel teenfiction juga banyak! cliche sekali!"
"Tunggu." Vivi menarik lengan sasa. "Siapa yang jatuhin diri? Kamu apa Vivi? Janagn jatuh berdua."
Sasa menjawab, "Ya aku lah."
"Enak banget, ntar kamu dong yang mendominasi," ujar Vivi. "Aku sama Mimi jadi kambing putih."
"Ya itu urusanmu. Dah dulu, buru-buru nih."
Vivi menarik lengan Sasa, ia hendak maju duluan, tapi Sasa menarik balik, maju mendahului. Merasa dizalimi, Vivi menarik kasar lengan Sasa sampai gadis itu nyaris jatuh. Terus saja begitu hingga Mimi merekam semua kejadian itu pakai hp.
"Bagus! Buat instastory-ku! Hajar Vi! Yak, jambak rambutnya, Sa!" Sebagai teman yang baik, setelah puas menari-nari di atas penderitaan teman, juga karena mulai terciptanya kerumunan di sekitar mereka, Mimi melerai mereka juga. Dia seperti wasit tinju ketika kedua petinju saling gigit telinga.
Dia mendorong keduanya hingga saling menjauh. "Sudah sudah, woi! Malu dilihat orang! Dari pada ribut, mending suit deh. Yang menang, yang jatuh. Ayo, aku jadi wasit."
Saran bagus memang jarang dilewatkan. Baik Sasa dan Vivi memasang ancang-ancang, mengepal seperti Goku hendak melancarkan serangan kamehameha. Memang urat malu keduanya sudah lama putus.
"Suit!" Keduanya langsung memamerkan senjata masing-masing.
Vivi dengan telunjuk panjang sementara Sasa kelingking manis, tapi langsung diganti pakai jempol gede.
"Yey aku menang!"
"Apaan menang! Kelingking tadi! Mi, lihat kan, kelingking."
Mimi menarik keduanya supaya tidak baku hantam. "Sekali lagi sekali lagi."
Kali ini Vivi melancarkan serangan jempol, tapi Sasa sigap memamerkan kelingking. Vivi langsung ganti menjadi telunjuk.
"Tuh kan curang!" keluh Sasa.
"Eh, kamu duluan yang curang, dasar produk Micin!" sentak Vivi.
"Micin ..." Sasa baru sadar jika namanya mirip nama produk micin. "Oo dasar karakter 'Final Fantasy 9'!"
Vivi yang dulu pernah main game itu di PS1, tau siapa yang Sasa maksud dan itu membuat wajahnya semakin memerah."Apa? Enak aja! Aku mati dong!"
"Mau bernasib seperti dia? Sini, aku bantu!"
"Diam!" sentak Mimi, melirik ke Vivi dan Sasa secara bergantian. "Dah gini aja, kita adu pakai koin. Kalau garuda, Vivi maju, kalau sebaliknya, Sasa maju."
Ketiga gadis memandang koin di telapak tangan Mimi. Koin itu dilempar ke atas dan gagal mendarat di telapak tangan, jatuh menggelinding hingga nyangkut di permen karet, berdiri dengan bagian sisi menjulang ke angkasa.
Ketiganya bertukar pandang bingung. Sepertinya memang ada iblis yang bermain-main di sini, berusaha merusak persahabatan mereka. Vivi berinisiatif berjalan cepat mendekati cowok ganteng yang menjadi target, peduli setan dengan Sasa dan Mimi.
"Vivi, tunggu!"
Yang dipanggil enggan menoleh, fokus pada sosok target yang bakal menopang badannya kelak. Ketika sampai di sebelah pemuda itu, Vivi pura-pura tersandung, niatnya supaya jatuh ke pangkuan cowok di sebelah, eh dari belakang malah bokongnya ditendang Sasa. Sigap Vivi menarik kaki gadis itu hingga keduanya jatuh bersamaan di lantai.
Keduanya jatuh berpelukan, sama-sama berdiri dan saling beradu argumen dengan hinaan yang kalau didengar malah seperti lolongan guguk. Mimi kembali menengahi, tapi keduanya tak mau mendengar, apalagi mau diam. Mimi mengambil gelas berisi air teh, menciprati muka kedua sahabatnya baru mereka bungkam.
"Malu-maluin aja! Sudah sini, biar aku kenalkan langsung!" Mimi memandu kedua gadis untuk menoleh ke arah cowok di sebelah mereka.
Namun, pemuda itu lenyap bagai ditelan bumi. Ketiganya memandang sekitar, berusaha mencari jejak si ganteng. Hanya Vivi yang mengamati meja yang menjadi tempat singgah cowok itu. Terdapat buku Kejora jilid tiga di sana, kena tumpahan teh. Diam-diam ia memungut buku, pelan-pelan melangkah menjauh dari kedua sahabat, sambil memastikan baik Sasa dan Mimi tidak mengikuti dari belakang. Segera dia membawa kabur buku itu, pergi sendiri tak peduli pada kedua sahabatnya. Terutama pada Sasa. Kali ini dia menganggap gadis itu sebagai rival.
Vivi menerka cowok itu pasti datang memakai motor. Jika begitu hanya ada dua tujuan si cowok sekarang. Lahan parkir di luar mall atau lahan parkir bawah tanah mall. Pilihannya tiba pada lahan parkir bawah tanah. Dengan harap-harap cemas ia menaiki lift, memencet tombol paling bawah, yang akan membuat lift membawanya langsung ke tempat tujuan.
Selama menanti dia tak tenang, selalu bergerak sambil memasang wajah cemas seperti orang menahan berak. Ketika pintu lift terbuka, ia mendobrak keluar, hingga membuat beberapa orang di depan nyaris jatuh.
"Heh! Setan! Hati-hati dong."
Vivi tak peduli dengan ucapan para pemakai lift, dia menerawang jauh ke seantero lahan parkir bawah tanah yang pengap, berbau bensin dan oli, juga berisik oleh suara menggema kendaraan. Banyak motor berjajar rapi, beberapa kendaraan baru datang dan banyak yang hendak pergi. Belum lagi puluhan pengunjung mall berlalu lalang. Andai ada alat pendeteksi wajah pasti lebih gampang menemukan sosok pemuda itu. Syukur keberuntungan berpihak kepadanya.
Sosok itu sedang sibuk mengambil helm dari dalam jok motor. Dari jauh saja sudah beda sendiri, walau kurus tapi badan itu membentuk keindahan di atas rata-rata.
Tanpa malu Vivi melambai. "Kak Mas Oppa Ganteng! Bukumu ketinggalan, nih!" berteriak sambil berlari menghampiri.
Suara itu membuat banyak orang yang merasa ganteng menoleh bingung. Dia berlari penuh keceriaan menghampiri pemuda misterius.Yang dipanggil mengamati tingkah gadis tak tau malu yang sekarang berdiri di sebelah, dengan terengah sampai terbungkuk-bungkuk mengatur napas. Cowok itu cuek, lanjut melakukan aktifitas menutup jok motor.
Setelah napas kembali teratur, Vivi menyodorkan buku Kejora kepada pemuda itu. "Ini mas, bukumu tadi ketinggalan di meja foodcourt dekat gym. Untung yang menemukan gadis baik jadi bisa selamat nih buku mahal."
Dengan mata sipit, pemuda mengamati wajah Vivi, lalu berkata, "Loh, kamu kan yang tempo hari di toko buku? Stalking ya!"
"Stalking? enggak kok, ini cuma takdir." Vivi memberi senyum sehat sambil menodongkan buku ke pemuda di depannya. "Mas, kenalan dong, namaku Vivi--"
Dengan gerak lugas dan ketus pemuda itu mengambil buku. "Jangan mengikuti orang, mengerti?"
Cukup kasar dia membuang buku tebal ke dinding hingga buku jatuh masuk tong sampah di bawah. Cekatan pula dia duduk di jok motor, tak peduli pada gadis yang masih bingung dengan apa yang dilihat barusan. Vivi tak menyangka pemuda itu begitu ketus, kelewat dingin. Dia memungut buku dalam tong sampah, menghampiri pemuda itu lagi.
Tanpa malu Vivi menepuk punggung pemilik buku. "Mas Kak Oppa, ini kenapa dibuang? Mahal loh."
Pemuda tetap cuek, tak menganggap Vivi ada. Jelas membuat gadis itu semakin bingung. Yang dia tahu pertemuan mereka karena buku Kejora, buku mahal nan langka, sekarang buku itu malah dibuang.
"Mas, ini kenapa dibuang? Mas marah, ya? Atau jijik karena buku ini aku pegang tadi?" Wajah Vivi layu seperti bunga bakung di malam hari. Bibirnya melengkung ke atas dan tangan yang bebas berusaha merebut kunci di motor, supaya cowok itu tidak lari.
Pemuda di atas motor urung pergi, sepertinya hati pemuda itu lemah karena tersentuh oleh aksi Vivi. Dia menyingkirkan dengan pelan tangan yang sembari tadi bergerilya berusaha mengambil kunci motor.
"Apa aku menjijikkan?" tanya vivi. "Padahal aku tuh mau kenalan."
"Oke kita kenalan, namaku Anjas. Kamu enggak menjijikkan, tapi buku itu yang memuakkan." Anjas mengambil buku di tangan Vivi. Dengan tenaga anak gym dia mampu merobek kasar benda itu jadi dua bagian, lalu menaruh buku ke tangan gadis itu. "Tolong buang buku hina ini. Dan tolong, jangan pernah menemuiku lagi."
Kalimat terakhir membuat Vivi terbakar amarah. "Sombong banget sih, jadi cowok, Mas? Mas tuh ganteng, tinggi, cool, tapi jangan jual mahal juga lah, ntar enggak laku loh."
"Cerewet."
Dikatai begitu, Vivi kesal hingga tak sengaja memutar gas. Motor tunggangan pemuda itu melesat seorang-orangnya menabrak kendaraan yang terparkir di seberang sana.
Mulut Vivi menganga lebar, lebar banget selebar terowongan kereta api, dan tidak bergerak melihat motor jatuh. Untung pengemudinya baik-baik saja, tapi beberapa motor di sekitar ikut jatuh. Seperti domino efek motor yang jatuh menimpa motor lain dan membuat motor lain jatuh, hingga akhirnya puluhan motor jatuh. Vivi cukup cerdas untuk kabur.
"Eh Vi, ada apa?" Sasa dan Mimi baru keluar lift, tak tahu kenapa banyak orang teriak-teriak dan pemuda dalam helm menunjuk ke arah Vivi. "Vi, jangan-jangan itu cowok--"
"Sudah sudah, ayo kabur. Sudah cukup." Vivi menggiring kedua gadis kabur.
"Heh Celeng!" teriak Anjas berusaha mengejar Vivi, tapi tertahan oleh orang-orang di sana.
Ketiga gadis berlari kencang, berusaha kabur dari sana. Untung motor mereka parkir di halaman depan mall.
"Vi, kamu apain cogan itu sampai mengejar kita? Hebat kamu Vi!" Mimi yang tak tahu menahu bertepuk tangan heboh sendiri.
Andai tertangkap, Vivi membayangkan hukuman apa yang menanti.
Di bawah naungan langit yang sama, beda tempat dan beda suasana.April tampil cantik dengan gaun sabrina hitam panjang, duduk manis di jok depan mobil Camry keluaran terbaru warna hitam. Sesekali ia menoleh ke arah kursi kemudi sambil tertawa mendengar ucapan pemuda gendut berkaca mata, keturunan Tiongkok berpipi tembem lucu yang memakai kemeja dengan rompi sweeter tanpa lengan. Dia Rafa Rafi, mau dipanggil Rafa bisa, Rafi juga tak apa."Your so beautiful," puji Rafa."Thank you.""Jadi, buat apa nih, nyari editor?"April menjelaskan duduk perkara pada Rafa, mulai dari Vivi yang aneh sampai masalah plagiat dan penulis novel. Rafa mendengar dengan baik sekali, kadang memberi tanggapan dengan anggukan tetap fokus pada jalan di depan."... gitu." April menutup curhat dengan helaan napas berat, lalu bertanya, "Bagaimana, bisa bantu enggak?""Bantu gimana?" Rafa diam cukup lama hingga ketika sampai di lampu merah, mobil b
Setelah pulang dari mall, Vivi mengunci diri dalam kamar. Ia duduk di kasur menelungkup kepala ke antara dua kaki yang dilipat. Dadanya berdebar-debar ketika membayangkan kejadian di lahan parkir bawah tanah mall. Bukan hanya motor punya Anjas, tetapi beberapa motor lain pasti rusak. Dia benar-benar menjadi anak nakal di sana. Bagaimana jika para pemilik motor yang rusak menagih uang kompensasi? Vivi hanya mahasiswi yang belum mandiri, masih bergantung kepada orang tua. Apa yang ibu akan katakan ketika mengetahui hal ini? "Vi? Ada apa, Nak?" Suara ibu terdengar dari luar kamar, mengiringi ketukan lembut pintu. "Kamu kenapa, kok langsung masuk kamar? Sasa sama Mimi datang tuh. Vi, kamu mau menemui mereka?" Sayup terdengar suara Mimi di luar sana. "Sudah tidur mungkin, Tante. Tadi habis main kejar-kejaran soalnya jadi Vivi kecapekan. Kalau begitu kami pamit pulang dulu, permisi." Keadaan kembali sunyi hingga sayup terdengar suara TV dari luar kamar. Cuk
Vivi belum tau pasti editor itu gadis atau laki. Walau demikian dia tetap bersemangat untuk menemui editor. Menurutnya ini adalah jalan untuk menuju kesuksesan. Ia sangat berharap editor itu mampu mengajari tentang dunia literasi. Karena alasan itu, dia mengenakan pakaian terbaik milik Kakak, pakaian sopan serba tertutup. Blouse lengan panjang berwarna vanilla dengan bawahan celana jeans dan sepatu ket. Ia ingin tampil sesempurna mungkin dan membentuk image baik di pertemuan pertama. Setelah siap, Vivi pergi menemui editor di tempat mereka janjian. Di dalam kafe, dia duduk dekat jendela sambil menonton banyak pejalan kaki berhilir-mudik di trotoar. Aroma pastri memberi nuansa nikmat. Obrolan lembut dari pelanggan pun tidak menghalangi suara musik yang menyapa telinga. Seorang pelayan berkemeja panjang putih dengan rompi sweeter tanpa lengan datang menghampiri Vivi. Dia mentoel lengan gadis itu memakai ujung tumpul pena, membuat yang ditoel menol
Betapa terkejut Anjas mendapati Vivi keluar dari kafe sampai nyaris menjatuhkan hp. Dia tak menyangka gadis sial masih nekat stalking. Ini kesempatan untuk memarahinya karena aksi di mall benar-benar membuat sengsara. Ia bangkit hendak mengejar, tapi urung karena mendapati stop map warna kuning tergeletak di meja yang baru saja gadis itu tinggal. Sesuai perjanjian harusnya gadis yang bakal dia ditemui membawa stopmap warna itu. Dia belum percaya jika gadis itu Vivi, berdoa supaya semua isi pikiran tidak benar. Untuk itu dia pindah duduk ke kursi yang masih hangat bekas dipakai Vivi. Setelah memakai kacamata baca, Anjas mulai membaca satu persatu halaman dalam stopmap, mulai dari kalimat pembuka sampai penutup. Cekatan dia mencoret-coret kalimat memakai pena, hingga kertas draft menjadi seperti canvas berisi lukisan tinta hitam. Dengan kasar ia menaruh stopmap kembali ke meja. Lemas Anjas menghela napas, bersandar pada sandaran kursi sambil memijat kedua
April terpaksa merayu Rafa untuk membuat janji baru dengan Anjas. Syukurlah, semua bisa berjalan dengan baik. Karena kesibukan Anjas, pertemuan dijadwal ulang, tepatnya beberapa hari kedepan.April menyampaikan berita ini ketika Vivi baru pulang dari kampus, ia mencegat adiknya di muka anak tangga paling bawah, menggenggam kedua pundak gadis itu."Ingat, kamu harus bertemu dengannya, enggak peduli dia siapa, mengerti?" Pesan April, mewanti-wanti adiknya."Siap, Kak." Vivi sampai memberi hormat pada gadis di hadapannya.Setelah kejadian tempo hari, dia memang bersemangat untuk bertemu Anjas karena pemuda itu benar-benar punya niat baik untuk membantunya. Anggapan itu karena draft dalam stopmap Vivi benar-benar dikoreksi olehnya.Hari demi hari berlalu. Keanehan demi keanehan terjadi pada diri Vivi. Dia yang terkenal hiperaktif sekarang seperti kambing hendak disembelih buat kurban, tapi kalau kambing mungkin diamnya sedih, tak ada nafsu hidup, kalau
Anjas bengong melihat betapa cerah wajah Vivi ketika menjawab tadi. Sekilas ia teringat akan sosok yang dulu memiliki senyum tak kalah indah. Sosok yang sempat sangat dia sayangi, tetapi sekarang menjadi setan yang sangat dibenci, hingga ingin memakannya mentah-mentah."Romance itu genre, kan?" tanya Vivi, dengan wajah polos menyertai ucapan.Anjas terkekeh. Genre pilihan Vivi sangat sering dia dengar sampai membuat muak. "Kenapa harus Romance? Kenapa bukan Fantasy? Kenapa bukan History?""Karena Romance indah, banyak cinta dan uwu-uwu. Semua manusia pasti memiliki kisah cinta, kan? Kakak juga pasti punya. Jadi bakal mudah menulis novel Romance, percaya deh."Vivi menangkap perubahan raut wajah Anjas yang tadi ramah kembali dingin. Ia sadar jika telah berbuat salah, tapi apa? Kenapa? Mungkin karena sombong? Dia memilih bertanya dari pada tersesat dalam pikiran. "Kenapa Kak?""Premis apa yang ingin kamu buat untuk novel Romance?" lanjut Anjas, kali
Vivi memandang Anjas tanpa kedip. Kedua tangan mengepal. Dia tak ingin berakhir seperti ini. Terlalu jauh untuk kembali. BErapa banyak pengorbanan yang ia beri. Tak sadar air mata mengalir di pipi.Anjas bangkit menarik lengan Vivi supaya mau duduk, tapi gagal.Vivi menepis tangan Anjas. "Aku enggak mau berhenti. Kakak membuatku ingat alasan menulis. Membuatku mengerti walau baru dikit. Kenapa sekarang malah disuruh berhenti? Maaf kalau aku bodoh--"Anjas duduk kembali. Cukup lama menikmati Vivi yang berjibaku menahan tangis supaya tidak meluber semakin deras. Gadis unik, anek, tapi penuh semangat. Ia menyeringai."Kalau mendengar sesuatu, jangan sepotong-potong. Duduk, biar kujelaskan. Kalau enggak mau duduk. kita udaham, bagaimana?"Diancam begitu perlahan Vivi duduk, mengusap air mata sambil mengatur napas sesengakan, mendapati Anjas menulis sesuatu di kertas, lalu mendorong benda itu di atas meja."Baca baik-baik."Vivi membaca tu
Sasa dan Mimi menghujani Anjas dengan berpuluh pertanyaan, seperti polisi mengintrogasi penjahat. Mereka tak peduli pada banyak mata yang mengintip di sekitar,juga telinga yang mencuri dengar. Seisi kafe gaduh oleh suara mereka. Hanya Vivi yang bengong sambil memandang jengah kedua gadis sinting."Jadi Mas editor?" pertanyaan Sasa begitu antusias, raut wajah berseri-seri ketika Anjas mengangguk kalem sambil tersenyum."Pantas Vivi minta dibuatkan review--""Apaan sih," sela Vivi.. "Kak, kenalin, ini sahabat-sahabatku. Sasa dan Mimi.""Kan tadi udah kenalan," keluh Mimi.Vivi menjawab, "Ye, kan belum dikenalin.""Sudah, sudah, jangan bertengkar," sela Anjas, menaruh kertas putih dan pena ke atas meja. "Vi, kamu sudah membaca beberapa novel yang aku suruh baca, kan?"Vivi menangguk menaruh kertas ke meja yang sama. Beberapa judul cerita telah diconteng, tanda jika sudah dibaca. Aslinya tak satupun ia baca. Menurut Vivi, Anjas h
Anjas duduk di sofa nyaman. Dua pria berjas berdiri di belakang. Beberapa gadis yang duduk tak jauh dari tempatnya duduk berbisik-bisik sambil tertawa genit. Ketika Anjas menoleh, mereka tersenyum tak berani memandang balik. Mungkin karena penampilan Anjas kali ini? Dia memakai kaos lengan panjang dengan kerah membentuk V, berlapis sweeter bentuk rompi. Celana panjang kain hitam serasi dengan pantofel yang ia kenakan. Tiba-tiba wajah kedua gadis berubah menjadi wajah Anis dan Vivi. anjas menggeleng pelan, sedikit menunduk mengurut kening. Ia lanjut membaca. "Psst, gadis aneh tadi siapa ya? Katanya mau bertemu pacar, gitu," bisik seorang gadis kepada pacarnya, melintas santai di depan Anjas. "Enggak tahu juga. Tapi heboh banget," jawab pemuda, mengajak pacarnya duduk di sofa sebelah Anjas. Pengumuman terdengar nyaring. Sebentar lagi pesawat akan berangkat. Anjas hanya membawa hp, juga tas satchel hitam. Sebelum pergi ia
Motor yang Vivi kendarai, sampai di lahan parkir apartemen Anjas. Dia melepas helm sambil berlari kecil menuju gedung. Ia tak peduli pada Mimi dan Efendi yang baru datang melintas di samping mengendarai motor mereka. "Astagfirullah, Vivi tunggu!" Sasa memungut helm yang Vivi lepas. Yang dipanggil benar-benar tak mendengar ucapan, malah nyelonong masuk seorang diri ke dalam gedung. "Vivi, tunggu dulu, jangan bergerak sendiri seperti ini!" sentak Sasa, mengekor. Di depan lift, Vivi memencet tombol berulang kali bagai tiada hari esok. "Cepet ... cepetan!" Pintu lift terasa lama terbuka, bagai seabad dia menanti. Kesal Vivi memukul tembok. "Vivi!" sentak Sasa, menahan kedua tangan sahabatnya. "Jangan seperti ini, malu dilihat orang." Vivi memandang sekitar. Dua sekuriti berada di dekatnya. Banyak mata pengunjung melihat dan mereka berbisik-bisik. Bahkan beberapa orang di kafe apartemen berkumpul di dekat kaca jendela memandang aneh k
"Itu siapa?" bisik Alvin sambil memandang Efendi. "Jadi, dia cowok yang kamu suka? Orang Timur Tengah?" Vivi menggeleng sambil tertawa kecil. "Bukan lah. Dia Ismed, temannya Kak Anis. Sebentar ya, Vin. aku ke sana dulu." "Jangan pergi, di sini banyak wartawan, nanti mereka bisa berpikir macam-macam kalau kamu menemui cowok itu." "Tapi--" "Nanti ya, setelah wawancara selesai, baru temui dia." Vivi memandang sekitar. Wartawan memang banyak mengerumuni mereka, membuatnya susah untuk bergerak. Terlebih Ismed terjebak di kerumunan, tertahan oleh pihak keamanan. Ismed bisa bertahan di sana menunggu. Vivi memberi kode anggukan pada pemuda itu hingga membuatnya sedikit tenang. Para wartawan tak memberi kesempatan untuk Alvin dan Vivi pergi, memaksa mereka dikawal para pengawal berpakaian safari hitam menuju lahan parkir mobil. Mereka semakin jauh dari Ismed. Di kejauhan anggota band Miracle Never Die yang lain nyaris mendapat perlakuan sama se
Alvin membuka pintu kamar hotel, menaruh tas ransel ke dalam kamar. Cukup besar kamar itu juga adem karena embusan angin dari AC."Nah Vi, Bu, selama di Malang, kalian tinggal di sini, ya. Tenang saja, semua biaya Alvin yang tanggung."Ibu tertawa kecil menepuk-nepuk pipi pemuda itu. "Kamu sudah bisa mentraktir rupanya, ya." Beliau memandang seisi kamar, duduk di tepi kasur besar empuk di tengah ruang. Beliau melihat Alvin membuka pintu kamar mandi."Nah, ini kamar mandinya, Bu.""Iya Nak, terima kasih. Tante mau istirahat dulu." Beliau mendapati anak gadisnya berdiri sambil tertunduk malu, begitu juga Alvin yang nampak tak tenang. "Sudah, kalian pergi main sana, bebas mau ke mana saja asal Vivi harus kembali ke kamar ini sebelum jam sepuluh malam, mengerti?"Alvin mengangguk kecil."Ibu beneran enggak ikut nonton konser Alvin?" tanya Vivi, raut wajahnya penuh harap. Ia mengambil lembut jemari tangan Ibu.Beliau menggeleng. "Ibu
Banyak orang hilir mudik, tapi tidak satu pun yang dia kenal. Secangkir kopi panas dan sepiring jamur goreng menghias meja. Sekantung plastik putih berada di atas kursi sebelah kursi yang diduduki Ismed. Dia bersenandung pelan mengamati lift dan pintu masuk apartemen, berharap Anjas cepat pulang. Sesuai janji dia ingin mengganti hp milik Anjas yang rusak karena insiden malam kemarin.Pengunjung kafe semakin sedikit. Pejalan kaki di lobby pun mulai jarang. Tak terasa tiga gelas kopi kosong menghias meja. Hingga saat ini belum nampak sosok yang ditunggu. Ismed memandang jam di layar hp. Angka 23.45 memaksa suara decak kesal keluar dari bibirnya."Mana sih, kok lama. Apa dia menginap di rumah Vivi?" Senyumnya mereka membayangkan hal itu. Baru saja hendak bangkit, sosok yang dinanti tiba.Perban melingkar di kening. Anjas melangkah pelan dibantu satpam. Beberapa orang di belakang meja resepsionis bergegas turut membantu."Ya Tuhan." Ismed bu
Terdengar suara obrolan dari lorong. Banyak sampul buku terbitan Rayon menghias dinding ruang berdinding putih. Di ruang lumayan luas itu, Sasa duduk berjajar dengan Anjas dan Efendi, menanti seorang pria duduk di balik meja. Pria itu membaca dengan seksama draft di tangan sembari sesekali mengangguk, tersenyum. "Bagus ini jalan ceritanya. Sudah matang sekali dalam penulisan dan plotnya mengalir. Pembentukan karakter pun nyaris sempurna. Hanya sedikit kesalahan dalam penggunaan kalimat berdasar KBBI. Apa kamu yang ngedit, Njas?" Anjas mengangguk. "Cuma sedikit. Mayoritas isi draft dibuat oleh Sasa sendiri." "Benar begitu. Mbak?" Sasa mengangguk kecil. Wajahnya memerah malu, tertunduk tiada berani memandang langsung pria ramah berkemeja lengan pendek yang sembari tadi memandang kagum pada Sasa. "Kenapa kok enggak pernah mengirim kemari?" tanya pria ramah. Sasa tak menjawab, mungkin karena dia sungkan. Anjas tahu jika Sasa
Vivi menemui tamu yang Kakak maksud. Sosok itu berdiri membelakangi pintu, memakai denim hitam, celana jeans biru muda pudar, kupluk biru tua dan bersenandung kecil. Kedua tangan berada di belakang pinggang memegang setangkai bunga merah.April sengaja tak bersuara pergi dari sana, menepuk pundak Vivi."Siapa?" bisik Vivi."Cari tahu sendiri."Perlahan Vivi mendekat. Pasti Anjas. Ya, siapa lagi. Pikirannya sekarang penuh oleh pria berkacamata itu. Walau dia tahu tinggi badan mereka tak sama, tetapi harapnya terlalu besar hingga tercetus untuk menebak. Lalu bunga yang pemuda itu bawa, bunga kenangan Vivi dan Anjas. Pasti dia."Kak Anjas?"Pemuda itu berbalik. Senyum lebar gigi putih terlihat jelas. Ia melambai. "Hai Vi.""Ya Tuhan, Alvin? Kok bisa?" Vivi bingung karena baru saja melihat sosok pemuda itu di tv. "Bukannya baru wawancara--""Itu kan kemarin. Sehabis wawancara, aku tanya sama wartawan ada apa dan dia mencerita
Berita di TV tentang Anis membuat Anjas tersenyum puas. Dia bangkit dari duduk di sofa, melangkah ringan menuju balkon.Dia berdiri di sana. Angin sejuk pagi menerpa wajah, membuat rambut bergerak-gerak. Cahaya matahari baru terbit menebar hangat nikmat, sampai meresap ke hati. Tak sabar ingin bertemu Vivi, memberi kabar gembira.Ketika hendak masuk ke ruang, sebuah mobil Pajero hitam menyita perhatian. Mobil itu parkir di dekat pohon mangga di lahan parkir depan gedung. Pengemudi mobil turun. Seorang pria berjas hitam mendongak, melambai kecil ke arahnya. Anjas tahu pagi ini dia bakal kedatangan seorang tamu.Dia turun menuju kafe lantai bawah. Di sana Ismed duduk seorang diri ditemani dua cangkir kopi di meja. Kafe masih sepi, hanya beberapa kursi terisi pelanggan. Suara obrolan kecil mengiringi langkahnya.Melihat Anjas, ia tersenyum melambai kecil. Anjas menyeringai karena tingkah pria itu. Ia duduk di kursi depan Ismed."Sudah kubelikan
Suara gemercik air berasal dari arah dapur. Air dingin menerpa kulit tangan. Vivi sibuk mencuci piring seorang diri. Rencananya sehabis ini dia bakal kerja bakti bersama April dan ibu bersih-bersih rumah. Sekali lagi dia memandang layar hp.Dia berharap Anjas menghubungi, setidaknya mengirim pesan, tetapi tidak. Semua harap itu sirna. Ia menghela napas. Kenapa masih berharap? Anjas telah kembali bersama Anis. Dia telah meninggalkan kapal yang tenggelam, bernama kapal Vivi dan melompat ke kapal yang besar, kapal yang membawanya berlayar ke samudera bahagia..Matanya berkedip dengan cepat. Bibir bergetar. Vivi menutup mulut supaya suara tangis tidak terdengar.Sakit hatinya. Walau mencoba percaya jika apa yang dia lihat menyembunyikan suatu alasan, tetap saja ... rasanya seperti berjalan di ribuan duri kaktus. Sebegitu jahat Anjas hingga setelah berjuang bersama, sekarang dengan mudah membuangnya?Pasti ada penjelasan kenapa pemuda itu tak bisa