Kalau tidak salah satu minggu telah berlalu, kurang lebih sih begitu. Setelah pertemuan pertama dengan 'calon Imam' pilihan Vivi, gadis itu baper abis. Ya, namanya juga Vivi. Melihat cowok bening sipit langsung jatuh hati.
Akan tetapi rasa bapernya itu sedikit ternistakan oleh banyak hal.
Sekarang dia duduk di kursi putar di dalam kamar menutup buku Kejora.
"Apaan nih buku, kok beda banget sama seri satu dan dua." Dia cemberut setelah membaca buku yang kata orang bagus tapi ... "Bagusan kisah cintaku dan Om Mas Ganteng di toko buku."
Vivi tersenyum ala bunga puteri malu. Padahal hanya disentuh oleh angin pagi, kedua tangannya menutup menyangga dagu, mendongak, sambil senyum sendiri. Semua gara-gara kenangan itu. Wajahnya ganteng banget, badan juga atletis abis, mana suaranya itu loh membuat Vivi berdebar-debar. Yup, Vivi sedang mengagumi cowok di toko buku. "Mungkin dia sedang di sana lagi."
Buru-buru Vivi ke toko buku, hal yang sangat jarang dia lakukan. Padahal belum mandi tapi Vivi PD saja. Sesampainya di toko buku dia memandang sekitar. Tidak ada yang di cari, malah mendengar keluh kesal beberapa orang penjaga toko.
"Bukunya jelek, nyesel aku beli," ujar seorang penjaga toko.
"Sudah mahal, eh begitu saja isinya. Padahal seri satu dan dua bagus loh."
"Iya," Vivi ikut nimbrung, sok kenal sok dekat. "Nyesal banget kemarin tuh sampai antri panas-panasan, eh isinya cuma seperti itu."
Kedua penjaga toko pada awalnya bersikap biasa-biasa saja, tapi mereka mulai ingat siapa Vivi. Keduanya bertindak cepat menggiring Vivi keluar dari toko.
"Apaan sih Mbak!" keluh Vivi cemberut. Masak dia didorong pakai sapu seperti kecoa mati.
"Eh Mbak, Mbak tuh ada di daftar blacklist kami," ujar penjaga pertama. "Mana bau lagi, belum mandi ya?"
"Masak?" Vivi dengan santainya menjawab. "Kalian salah orang kali, kan dede cewek baik, enggak pernah--"
"Cewek baik apaan, tuh!" Petugas kedua menuding tembok. Di sana terpajang pigura foto Vivi sedang cubit-cubitan pipi sama Sasa. "Masih mau bilang apa lagi?"
"Waduh, dede pemes. Enggak mau minta tanda tangan, Mbak--"
"udah sana pulang, minta digetok nih bocah!" keluh petugas yang membawa sapu membuat Vivi buru-buru kabur naik motor kembali ke sarangnya.
Vivi sampai di rumah melangkah lemas seperti mayat hidup kembali ke kamar. Dia melempar buku yang tadi berada di meja ke atas kasur, lalu bersiap untuk menulis. "Kalau penulis buku burik saja bisa pemes, kenapa aku tidak bisa pemes dengan mahakaryaku ini?" gumamnya sembari membuka laptop siap melanjut menulis buku cerita.
Dia mengecek jumlah follower di akun baca-tulis. Mendapati jumlah follower berkurang satu membuatnya mendesah lemas. Dia hafal jumlah follower karena angkanya kemarin cuma sembilan dan sekarang menjadi tujuh. Eh, berarti kurang dua biji! "Cepet banget unfollow. Padahal mereka kan yang minta follow, nanti follow balik. Kampret."
"Kenapa, Vi? Kok pagi-pagi sudah berkicau? Laper?" April menyelonong masuk seperti di kamar sendiri duduk di tepi kasur. "Pinjam buku, ya." Dia langsung memangku buku Kejora seri tiga.
Vivi menoleh sebentar ke sana lalu kembali cemberut memandang layar laptop. Mood-nya menulis hilang, bawaan ingin menghujat tapi menghujat siapa?
Oh iya, lupa. April itu Kakak kandung yang sangat beda jauh dari adiknya. Badannya mirip peragawati, langsing, dada kencang, kulit kuning langsat terawat, rambut hitam panjang, dan pinggang aduhai. Vivi yakin besok kalau besar juga pasti akan memiliki body seperti itu walau dia malas berolah raga, tidak bisa berenang, dan malas diet. Dia yakin badan itu faktor gen. Walau kata orang bukan, Vivi tetap yakin! Pokoknya dia besok juga pasti akan menjadi idaman cowok, entah kapan.
"Sudah selesai baca bukunya?" tanya April.
"Sudah."
"Wih, cepat banget."
"Belum tamat, males, burik soalnya." Kepala Vivi jatuh ke atas meja tertarik gravitasi.
"Kenapa sih, kok lemas banget?" selidik April bertambah kepo. "Baru diputusin pacar? Oh sorry, jomblo mana punya pacar." tawanya terdengar lugas seperti dedemit. Sayang sekali usahanya memancing masalah gagal. "Kenapa Vi? Kalau ada masalah jangan dipendam sendiri, nanti berpengaruh pada kejiwaan. Curhat saja, biar plong, biar lega, enteng."
Vivi mau curhat apa? salah-salah malah dijadikan amunisi untuk ejekan.
April mendekatinya berdiri di belakang kursi sambil mengamati laptop. Begini-begini dia sayang kok sama Vivi. Suara tawa kecil April mulai terdengar mengusik ketenteraman. "Widih, keren. Jadi kamu menulis cerita?"
"Iya." Vivi menghela napas pendek. "Menurut Kakak bagaimana ceritaku, apa yang kurang?"
"Sebentar aku baca dulu." April melepas charger laptop memangku benda itu sambil duduk bersila kaki di atas kasur Vivi. Dengan mata sipitnya ia membaca tulisan Vivi yang mampu merubah senyum menjadi rengutan sempurna.
"Bagaimana Kak, bagus? Bagus dong, buatanku kok." tanya Vivi. "Apa mungkin yang baca kurang karena kurang promo?"
April menaruh laptop ke samping lalu memijat kening sembari memejamkan mata. Vivi menebak ini akan menjadi hal buruk, tapi siapa tahu April cuma bercanda melakukan hal ini.
"Bagaimana, Kak?"
"Kamu mau jawaban jujur apa jawaban normal?"
"Apaan jujur, normal, bedanya apa?"
"Kalau normal, wah, tulisannya bagus banget. Semangat ya! Begitu, komentar normal orang malas baca ketika dipaksa untuk komentar."
Rata-rata Vivi membaca komentar seperti itu dari teman-teman yang dia paksa untuk membaca mahakaryanya. Apa mereka benar-benar membaca? "Terus yang komentar jujur?"
"Novel apaan nih! Jelek bangeti. Tulisan murid SD lebih rapi susunan kalimatnya. Plot cerita amburadul, POV saja tidak jelas pakai yang mana, dan nama karakter bisa berubah sendiri, dari pertama Ahmed jadi Memed."
Vivi tertampar lahir dan batin hingga bengong gagal kedip memandang Kakaknya bangkit menaruh laptop ke meja.
"Kalau memang niat menulis cerita, perbanyak baca, minimal paham apa itu dialog, narasi, juga jelas mau menulis apa, dikira gampang apa menulis cerita—"
"Sok tahu." Vivi kebakaran jenggot. "Emang Kakak penulis? Emang Kakak editor? Emang Kakak pernah buat buku cerita? Sudah terbit berapa kali? Belum kan? Kalau begitu enggak usah sok ngajarin deh, sendirinya juga enggak punya skill apa-apa, sombong banget!"
Mata April berputar di tempat. "Nyesel Kakak baca tulisanmu. Bukannya dapat senang malah sekarang jadi pusing." Nyaris dia berhasil keluar dari sana dengan membawa buku, tapi Vivi merebut buku yang ia pegang. "Lah, kok diambil lagi?"
"Bodo amat, salah siapa mengejek orang seenak udel sendiri! Dah sana keluar! Nggak usah pinjam bukuku lagi! Dasar Kakak jelek!" Dengan kasar Vivi mendorong April ke lorong lalu membanting pintu dengan keras sebelum mengunci rapat benda itu. Mau bagaimana lagi, April tidak sengaja membakar Vivi hidup-hidup dengan ucapannya tadi.
April menggedor-gedor pintu dari luar sambil berteriak, dia tidak akan menyerah begitu saja sebelummendapat buku itu. "Vivi! Pinjam! Yaelah pelit banget jadi orang. Sumpahin bisulan kau!"
"Biarin! Kakak jelek, sumpahin semeblit sampai besok pagi!"
Menurut Vivi Kakaknya bodoh, tidak paham apa yang dia mau. Padahal Vivi benar-benar ingin menjadi penulis hebat. Dia mencurahkan semua kemampuan ke dalam cerita yang dia tulis. Baginya, novel tersebut adalah bayi, tidak ada yang boleh menghina bahkan Kakak sekalipun.
Dia duduk merengut sambil bersila tangan di depan dada, memandang tulisan di laptop. Apa seburuk yang April kata? Ah bukan, semua karena kurang promosi saja, bukan karena tulisannya jelek.
Hari berganti dengan normal. Di kampus, Vivi masih terjebak perang dingin dengan Sasa. Mimi jadi korban terjebak di antara dua sahabat,mending kalau dua sahabatnya itu cowok ganteng, lah ini dua cewek pecicilan.
Sebagai pihak netral Mimi bagai burung merpati pengantar pesan, bolak-balik menyalurkan ucapan kedua sahabat karena walau mereka selalu bersama, tapi saling tidak mengakui keberadaan lawan.
"Mimi, sudah dapat kelompok buat tugas Pengantar Ilmu Hukum, belum?" tanya Vivi, biasanya Sasa menawari, tapi sekarang dia terpaksa mencari kelompok.
Mimi mengangguk. "Sama Sasa. Kurang satu member, mau ikut?"
"Mimi, kamu ngomong sama siapa?" Sasa menaik turunkan kaca mata lalu mengendus-endus sesuatu di sekitar Vivi. "Kok bau tai ayam, ya? Ada berak berjalan."
Vivi tidak mau kalah. "Mi, kamu dengar? Seperti ada lubang pantat bicara, bau mencret."
Seisi kelas suka banget menonton acara seperti ini, mereka memang hobi melihat drama.
Dengan kasar Mimi menggebrak meja hingga suaranya mengundang mata dari seluruh penghuni kelas menoleh ke arahnya. Sambil mengelus telapak tangan yang memerah, dia memandang bergantian Vivi dan Sasa. "Ayo baikan! Dikira enak apa, terjebak dalam perang dua kampret. Ayo baikan atau kalian bisa ucapkan selamat tinggal pada persahabatan!"
Sasa dan Vivi saling pandang tapi keduanya berat mengangkat tangan. Biasa, ego.
"Kalau enggak mau baikan, aku bakalan menganggap kalian sudah punah, mengerti?" bisik Mimi, dia berhasil membuat keduanya bersalaman selama sedetik lalu
Mimi manggut-manggut. "Nah, begini kan enak. Tenteram."
"Yah, bubar," keluh teman-teman, mereka kecewa tontonan tadi telah usai anti klimaks.
Buku Kejora menjadi senjata untuk memulai percakapan. Vivi tadi membawa Buku itu ke kampus supaya tidak dikuasai Kakak. Sekarang dia menaruh benda itu ke atas meja, mendorong mendekati Sasa.
"Apaan nih?" Sasa bingung mendapati buku itu.
"Buat kamu. Maaf."
Sasa mengambil buku, buru-buru memasukan dalam tas. Sepertinya buku itu obat manjur untuk mengembalikan hubungan persahabatan. "Santai aja, aku juga salah kemarin."
"Sa, kemarin di toko buku kamu membahas masalah promo."
"Oh, cara promo yang baik dan benar?" Sasa berdeham biar terdengar keren. "Ada triknya. Begini, di aplikasi itu, satu akun bisa promo sepuluh kali ke wall orang. Kamu juga bisa gabung grup kepenulisan di f******k, promo di sana. Sudah buat akun promo?" Sasa berbaik hati meminjamkan akun-nya. "Pakai itu aja, sudah tidak aku pakai lagi."
Mendapat akun baru Vivi langsung promo. Ketika asik-asiknya promo pakai akun baru, tidak sengaja jarinya menekan tombol vote ke novel miliknya sendiri, jumlah vote di novelnya bertambah. Vivi merenung sesaat. Otak yang biasanya cuma dipakai menghalu hal-hal tentang cowok ganteng sekarang berpikir keras hingga senyum nakal muncul di bibir. Dia menekan follow dan jumlah follower-nya berkurang, lalu dia menekan lagi follow, jumlah followernya bertambah.
"Oh, jadi begini cara kerjanya. Kok tidak kepikiran dari kemarin, ya?"
"Apaan, kok cengar-cengir sendiri?" selidik Sasa, belum paham maksud Vivi.
Jangan ditiru ya, tingkah si Vivi.
Senyum jahat muncul di bibir. Ia tertawa seperti professor jahat berhasil membuat senjata pemusnah dan siap menterror kota.Vivi menemukan cara super hebat untuk membuat novel yang ia tulis mendapat banyak vote, juga kehujanan komentar positif, sekaligus menambah banyak follower. Sebenarnya ini cara yang ... yang penting berhasil.Dimulai dari membuat ratusan akun kloningan. Semua itu bukan hanya untuk promo, tetapi memberi vote palsu, komentar palsu, juga follower palsu. Dalam waktu singkat novel abal-abal yang dia tulis masuk peringkat sepuluh besar dalam aplikasi tulis menulis online.Di kampus, ketika waktu pergantian mata kuliah, Vivi gaduh sendiri di depan kelas yang nyaris kosong ditinggal penghuni ke kantin. Dia berdiri seperti artis, tapi hanya beberapa orang yang peduli.Sambil memamerkan layar hp, dia berkata, “Hai, guys and girls, lihat nih, followerku sudah banyak banget. Terus yang vote juga ratusan. Mereka semua suka sama kar
Malam semakin larut. Vivi duduk di kursi belajar dalam kamar fokus pada layar laptop di atas meja. Kepalanya mengangguk-angguk kecil mendengar lagu SHINee, boy band Korea Selatan favoritnya.Dia sedang stalking akun facebook penulis yang karyanya ia colong. Dengan tabah ia membuka satu-satu akun bernama Efendi, hingga sampai juga ke sebuah akun penulis itu. Dengan akun palsu Vivi meng-add dia jadi teman, berharap bisa mengetahui lebih banyak sosok itu.First impression dari Vivi untuknya, Efendi cowok baik, ramah dan cukup supel. Dia enggak garing, terus terang ia sangat nyaman mengobrol dengan cowok itu. Tidak nampak kesedihan dari pesan-pesan balasan yang ia terima.Iseng-iseng dia mengunjungi akun Efendi di aplikasi tulis menulis. Mau tau, sejauh mana terror follower Mimi menggempur akun itu.Vivi membaca beberapa komentar barbar di novel, juga di wall, dan semua itu membuatnya menghela napas juga memaksa bibir bergetar. Semakin lama ia
Perkataan Mimi membuat Vivi dan Sasa bertukar pandang bingung, terlebih sahabat mereka itu menarik lengan mereka."Ayo duduk dulu. Aku jelasin."Keduanya menurut seperti murid TK disuruh guru untuk duduk. Di mata mereka Mimi memang spesial. Cowok mana yang tidak takluk oleh Ratu Tomboy Sejagat? Anak basket? Mimi pernah suka sama senior, dia menantang basket dan cowok itu tunduk. Anak band? Ada murid SMA yang ditaklukkan dengan cara dia ikut bermain gitar. Seorang dokter? Dulu Mimi pura-pura sakit dan berhasil memacari dokter muda itu. Semua cowok-cowok itu hanya bertahan seminggu jadi pacarnya, lalu secara sepihak dia memutuskan mereka. Benar-benar playgirl sejati.Sekarang keduanya menanti apa yang akan Mimi ucapkan.Dan tak butuh waktu lama untuk gadis itu berucap. "Jangan mengejar cogan, tapi buat mereka penasaran dengan kita.""Penasaran gimana?" selidik Vivi."Ya jangan jadi murahan. Intinya--""Intinya nge-drama, ya kan?" sela S
Di bawah naungan langit yang sama, beda tempat dan beda suasana.April tampil cantik dengan gaun sabrina hitam panjang, duduk manis di jok depan mobil Camry keluaran terbaru warna hitam. Sesekali ia menoleh ke arah kursi kemudi sambil tertawa mendengar ucapan pemuda gendut berkaca mata, keturunan Tiongkok berpipi tembem lucu yang memakai kemeja dengan rompi sweeter tanpa lengan. Dia Rafa Rafi, mau dipanggil Rafa bisa, Rafi juga tak apa."Your so beautiful," puji Rafa."Thank you.""Jadi, buat apa nih, nyari editor?"April menjelaskan duduk perkara pada Rafa, mulai dari Vivi yang aneh sampai masalah plagiat dan penulis novel. Rafa mendengar dengan baik sekali, kadang memberi tanggapan dengan anggukan tetap fokus pada jalan di depan."... gitu." April menutup curhat dengan helaan napas berat, lalu bertanya, "Bagaimana, bisa bantu enggak?""Bantu gimana?" Rafa diam cukup lama hingga ketika sampai di lampu merah, mobil b
Setelah pulang dari mall, Vivi mengunci diri dalam kamar. Ia duduk di kasur menelungkup kepala ke antara dua kaki yang dilipat. Dadanya berdebar-debar ketika membayangkan kejadian di lahan parkir bawah tanah mall. Bukan hanya motor punya Anjas, tetapi beberapa motor lain pasti rusak. Dia benar-benar menjadi anak nakal di sana. Bagaimana jika para pemilik motor yang rusak menagih uang kompensasi? Vivi hanya mahasiswi yang belum mandiri, masih bergantung kepada orang tua. Apa yang ibu akan katakan ketika mengetahui hal ini? "Vi? Ada apa, Nak?" Suara ibu terdengar dari luar kamar, mengiringi ketukan lembut pintu. "Kamu kenapa, kok langsung masuk kamar? Sasa sama Mimi datang tuh. Vi, kamu mau menemui mereka?" Sayup terdengar suara Mimi di luar sana. "Sudah tidur mungkin, Tante. Tadi habis main kejar-kejaran soalnya jadi Vivi kecapekan. Kalau begitu kami pamit pulang dulu, permisi." Keadaan kembali sunyi hingga sayup terdengar suara TV dari luar kamar. Cuk
Vivi belum tau pasti editor itu gadis atau laki. Walau demikian dia tetap bersemangat untuk menemui editor. Menurutnya ini adalah jalan untuk menuju kesuksesan. Ia sangat berharap editor itu mampu mengajari tentang dunia literasi. Karena alasan itu, dia mengenakan pakaian terbaik milik Kakak, pakaian sopan serba tertutup. Blouse lengan panjang berwarna vanilla dengan bawahan celana jeans dan sepatu ket. Ia ingin tampil sesempurna mungkin dan membentuk image baik di pertemuan pertama. Setelah siap, Vivi pergi menemui editor di tempat mereka janjian. Di dalam kafe, dia duduk dekat jendela sambil menonton banyak pejalan kaki berhilir-mudik di trotoar. Aroma pastri memberi nuansa nikmat. Obrolan lembut dari pelanggan pun tidak menghalangi suara musik yang menyapa telinga. Seorang pelayan berkemeja panjang putih dengan rompi sweeter tanpa lengan datang menghampiri Vivi. Dia mentoel lengan gadis itu memakai ujung tumpul pena, membuat yang ditoel menol
Betapa terkejut Anjas mendapati Vivi keluar dari kafe sampai nyaris menjatuhkan hp. Dia tak menyangka gadis sial masih nekat stalking. Ini kesempatan untuk memarahinya karena aksi di mall benar-benar membuat sengsara. Ia bangkit hendak mengejar, tapi urung karena mendapati stop map warna kuning tergeletak di meja yang baru saja gadis itu tinggal. Sesuai perjanjian harusnya gadis yang bakal dia ditemui membawa stopmap warna itu. Dia belum percaya jika gadis itu Vivi, berdoa supaya semua isi pikiran tidak benar. Untuk itu dia pindah duduk ke kursi yang masih hangat bekas dipakai Vivi. Setelah memakai kacamata baca, Anjas mulai membaca satu persatu halaman dalam stopmap, mulai dari kalimat pembuka sampai penutup. Cekatan dia mencoret-coret kalimat memakai pena, hingga kertas draft menjadi seperti canvas berisi lukisan tinta hitam. Dengan kasar ia menaruh stopmap kembali ke meja. Lemas Anjas menghela napas, bersandar pada sandaran kursi sambil memijat kedua
April terpaksa merayu Rafa untuk membuat janji baru dengan Anjas. Syukurlah, semua bisa berjalan dengan baik. Karena kesibukan Anjas, pertemuan dijadwal ulang, tepatnya beberapa hari kedepan.April menyampaikan berita ini ketika Vivi baru pulang dari kampus, ia mencegat adiknya di muka anak tangga paling bawah, menggenggam kedua pundak gadis itu."Ingat, kamu harus bertemu dengannya, enggak peduli dia siapa, mengerti?" Pesan April, mewanti-wanti adiknya."Siap, Kak." Vivi sampai memberi hormat pada gadis di hadapannya.Setelah kejadian tempo hari, dia memang bersemangat untuk bertemu Anjas karena pemuda itu benar-benar punya niat baik untuk membantunya. Anggapan itu karena draft dalam stopmap Vivi benar-benar dikoreksi olehnya.Hari demi hari berlalu. Keanehan demi keanehan terjadi pada diri Vivi. Dia yang terkenal hiperaktif sekarang seperti kambing hendak disembelih buat kurban, tapi kalau kambing mungkin diamnya sedih, tak ada nafsu hidup, kalau
Anjas duduk di sofa nyaman. Dua pria berjas berdiri di belakang. Beberapa gadis yang duduk tak jauh dari tempatnya duduk berbisik-bisik sambil tertawa genit. Ketika Anjas menoleh, mereka tersenyum tak berani memandang balik. Mungkin karena penampilan Anjas kali ini? Dia memakai kaos lengan panjang dengan kerah membentuk V, berlapis sweeter bentuk rompi. Celana panjang kain hitam serasi dengan pantofel yang ia kenakan. Tiba-tiba wajah kedua gadis berubah menjadi wajah Anis dan Vivi. anjas menggeleng pelan, sedikit menunduk mengurut kening. Ia lanjut membaca. "Psst, gadis aneh tadi siapa ya? Katanya mau bertemu pacar, gitu," bisik seorang gadis kepada pacarnya, melintas santai di depan Anjas. "Enggak tahu juga. Tapi heboh banget," jawab pemuda, mengajak pacarnya duduk di sofa sebelah Anjas. Pengumuman terdengar nyaring. Sebentar lagi pesawat akan berangkat. Anjas hanya membawa hp, juga tas satchel hitam. Sebelum pergi ia
Motor yang Vivi kendarai, sampai di lahan parkir apartemen Anjas. Dia melepas helm sambil berlari kecil menuju gedung. Ia tak peduli pada Mimi dan Efendi yang baru datang melintas di samping mengendarai motor mereka. "Astagfirullah, Vivi tunggu!" Sasa memungut helm yang Vivi lepas. Yang dipanggil benar-benar tak mendengar ucapan, malah nyelonong masuk seorang diri ke dalam gedung. "Vivi, tunggu dulu, jangan bergerak sendiri seperti ini!" sentak Sasa, mengekor. Di depan lift, Vivi memencet tombol berulang kali bagai tiada hari esok. "Cepet ... cepetan!" Pintu lift terasa lama terbuka, bagai seabad dia menanti. Kesal Vivi memukul tembok. "Vivi!" sentak Sasa, menahan kedua tangan sahabatnya. "Jangan seperti ini, malu dilihat orang." Vivi memandang sekitar. Dua sekuriti berada di dekatnya. Banyak mata pengunjung melihat dan mereka berbisik-bisik. Bahkan beberapa orang di kafe apartemen berkumpul di dekat kaca jendela memandang aneh k
"Itu siapa?" bisik Alvin sambil memandang Efendi. "Jadi, dia cowok yang kamu suka? Orang Timur Tengah?" Vivi menggeleng sambil tertawa kecil. "Bukan lah. Dia Ismed, temannya Kak Anis. Sebentar ya, Vin. aku ke sana dulu." "Jangan pergi, di sini banyak wartawan, nanti mereka bisa berpikir macam-macam kalau kamu menemui cowok itu." "Tapi--" "Nanti ya, setelah wawancara selesai, baru temui dia." Vivi memandang sekitar. Wartawan memang banyak mengerumuni mereka, membuatnya susah untuk bergerak. Terlebih Ismed terjebak di kerumunan, tertahan oleh pihak keamanan. Ismed bisa bertahan di sana menunggu. Vivi memberi kode anggukan pada pemuda itu hingga membuatnya sedikit tenang. Para wartawan tak memberi kesempatan untuk Alvin dan Vivi pergi, memaksa mereka dikawal para pengawal berpakaian safari hitam menuju lahan parkir mobil. Mereka semakin jauh dari Ismed. Di kejauhan anggota band Miracle Never Die yang lain nyaris mendapat perlakuan sama se
Alvin membuka pintu kamar hotel, menaruh tas ransel ke dalam kamar. Cukup besar kamar itu juga adem karena embusan angin dari AC."Nah Vi, Bu, selama di Malang, kalian tinggal di sini, ya. Tenang saja, semua biaya Alvin yang tanggung."Ibu tertawa kecil menepuk-nepuk pipi pemuda itu. "Kamu sudah bisa mentraktir rupanya, ya." Beliau memandang seisi kamar, duduk di tepi kasur besar empuk di tengah ruang. Beliau melihat Alvin membuka pintu kamar mandi."Nah, ini kamar mandinya, Bu.""Iya Nak, terima kasih. Tante mau istirahat dulu." Beliau mendapati anak gadisnya berdiri sambil tertunduk malu, begitu juga Alvin yang nampak tak tenang. "Sudah, kalian pergi main sana, bebas mau ke mana saja asal Vivi harus kembali ke kamar ini sebelum jam sepuluh malam, mengerti?"Alvin mengangguk kecil."Ibu beneran enggak ikut nonton konser Alvin?" tanya Vivi, raut wajahnya penuh harap. Ia mengambil lembut jemari tangan Ibu.Beliau menggeleng. "Ibu
Banyak orang hilir mudik, tapi tidak satu pun yang dia kenal. Secangkir kopi panas dan sepiring jamur goreng menghias meja. Sekantung plastik putih berada di atas kursi sebelah kursi yang diduduki Ismed. Dia bersenandung pelan mengamati lift dan pintu masuk apartemen, berharap Anjas cepat pulang. Sesuai janji dia ingin mengganti hp milik Anjas yang rusak karena insiden malam kemarin.Pengunjung kafe semakin sedikit. Pejalan kaki di lobby pun mulai jarang. Tak terasa tiga gelas kopi kosong menghias meja. Hingga saat ini belum nampak sosok yang ditunggu. Ismed memandang jam di layar hp. Angka 23.45 memaksa suara decak kesal keluar dari bibirnya."Mana sih, kok lama. Apa dia menginap di rumah Vivi?" Senyumnya mereka membayangkan hal itu. Baru saja hendak bangkit, sosok yang dinanti tiba.Perban melingkar di kening. Anjas melangkah pelan dibantu satpam. Beberapa orang di belakang meja resepsionis bergegas turut membantu."Ya Tuhan." Ismed bu
Terdengar suara obrolan dari lorong. Banyak sampul buku terbitan Rayon menghias dinding ruang berdinding putih. Di ruang lumayan luas itu, Sasa duduk berjajar dengan Anjas dan Efendi, menanti seorang pria duduk di balik meja. Pria itu membaca dengan seksama draft di tangan sembari sesekali mengangguk, tersenyum. "Bagus ini jalan ceritanya. Sudah matang sekali dalam penulisan dan plotnya mengalir. Pembentukan karakter pun nyaris sempurna. Hanya sedikit kesalahan dalam penggunaan kalimat berdasar KBBI. Apa kamu yang ngedit, Njas?" Anjas mengangguk. "Cuma sedikit. Mayoritas isi draft dibuat oleh Sasa sendiri." "Benar begitu. Mbak?" Sasa mengangguk kecil. Wajahnya memerah malu, tertunduk tiada berani memandang langsung pria ramah berkemeja lengan pendek yang sembari tadi memandang kagum pada Sasa. "Kenapa kok enggak pernah mengirim kemari?" tanya pria ramah. Sasa tak menjawab, mungkin karena dia sungkan. Anjas tahu jika Sasa
Vivi menemui tamu yang Kakak maksud. Sosok itu berdiri membelakangi pintu, memakai denim hitam, celana jeans biru muda pudar, kupluk biru tua dan bersenandung kecil. Kedua tangan berada di belakang pinggang memegang setangkai bunga merah.April sengaja tak bersuara pergi dari sana, menepuk pundak Vivi."Siapa?" bisik Vivi."Cari tahu sendiri."Perlahan Vivi mendekat. Pasti Anjas. Ya, siapa lagi. Pikirannya sekarang penuh oleh pria berkacamata itu. Walau dia tahu tinggi badan mereka tak sama, tetapi harapnya terlalu besar hingga tercetus untuk menebak. Lalu bunga yang pemuda itu bawa, bunga kenangan Vivi dan Anjas. Pasti dia."Kak Anjas?"Pemuda itu berbalik. Senyum lebar gigi putih terlihat jelas. Ia melambai. "Hai Vi.""Ya Tuhan, Alvin? Kok bisa?" Vivi bingung karena baru saja melihat sosok pemuda itu di tv. "Bukannya baru wawancara--""Itu kan kemarin. Sehabis wawancara, aku tanya sama wartawan ada apa dan dia mencerita
Berita di TV tentang Anis membuat Anjas tersenyum puas. Dia bangkit dari duduk di sofa, melangkah ringan menuju balkon.Dia berdiri di sana. Angin sejuk pagi menerpa wajah, membuat rambut bergerak-gerak. Cahaya matahari baru terbit menebar hangat nikmat, sampai meresap ke hati. Tak sabar ingin bertemu Vivi, memberi kabar gembira.Ketika hendak masuk ke ruang, sebuah mobil Pajero hitam menyita perhatian. Mobil itu parkir di dekat pohon mangga di lahan parkir depan gedung. Pengemudi mobil turun. Seorang pria berjas hitam mendongak, melambai kecil ke arahnya. Anjas tahu pagi ini dia bakal kedatangan seorang tamu.Dia turun menuju kafe lantai bawah. Di sana Ismed duduk seorang diri ditemani dua cangkir kopi di meja. Kafe masih sepi, hanya beberapa kursi terisi pelanggan. Suara obrolan kecil mengiringi langkahnya.Melihat Anjas, ia tersenyum melambai kecil. Anjas menyeringai karena tingkah pria itu. Ia duduk di kursi depan Ismed."Sudah kubelikan
Suara gemercik air berasal dari arah dapur. Air dingin menerpa kulit tangan. Vivi sibuk mencuci piring seorang diri. Rencananya sehabis ini dia bakal kerja bakti bersama April dan ibu bersih-bersih rumah. Sekali lagi dia memandang layar hp.Dia berharap Anjas menghubungi, setidaknya mengirim pesan, tetapi tidak. Semua harap itu sirna. Ia menghela napas. Kenapa masih berharap? Anjas telah kembali bersama Anis. Dia telah meninggalkan kapal yang tenggelam, bernama kapal Vivi dan melompat ke kapal yang besar, kapal yang membawanya berlayar ke samudera bahagia..Matanya berkedip dengan cepat. Bibir bergetar. Vivi menutup mulut supaya suara tangis tidak terdengar.Sakit hatinya. Walau mencoba percaya jika apa yang dia lihat menyembunyikan suatu alasan, tetap saja ... rasanya seperti berjalan di ribuan duri kaktus. Sebegitu jahat Anjas hingga setelah berjuang bersama, sekarang dengan mudah membuangnya?Pasti ada penjelasan kenapa pemuda itu tak bisa