Maura sedang berada di dalam gudang penyimpanan bersama Rita, asisten koki yang bertanggung jawab atas keluar masuk barang di dalam gudang, mencari sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk.
“Rita, bukankah kita sudah lima tahun lebih beralih pada bahan makanan organik? Kenapa bisa ada makanan kaleng? Kadaluarsa lagi! Lalu ini apa? Jamur truffle enam ons raib tanpa ada rinciannya.” Maura benar-benar marah kali ini. Buku stok gudang dilemparnya ke atas meja.
“Ma-maaf, Bu. Saya kurang tahu. Satu minggu ini saya cuti karena menikah. Hari ini baru pertama kali saya masuk kerja lagi,” jawab Rita ketakutan.
“Siapa yang bertanggung jawab tentang stok gudang selama kamu cuti?!”
“Chef Hans yang turun langsung memeriksa selama saya tidak ada.”
“Paman Hans?” ulang Maura memastikan. Ia teringat sikap aneh Hans saat bertemu dengannya tadi. “Ya, sudah. Kamu bisa pergi.”
Maura meraih ponsel
Hans dibawa masuk ke dalam ruangan yang berisi tiga pria kekar lainnya, makin takutlah dia. Picollo mendudukkan Hans di sebuah kursi yang ditempatkan di tengah ruangan. Pria paruh baya itu mulai gelisah dan terus memberontak.“Diam!” bentak Picollo.“Tenang, Pic. Biarkan Maura yang bertindak.” Reno menegur sikap Picollo yang dinilainya terlalu kasar.“Maura, to-tolong lepaskan Paman. Su-sungguh, Paman tidak tahu a-apa yang sedang terjadi,” gagap Hans ketakutan.“Paman, aku hanya ingin Paman menjawab beberapa pertanyaan dariku.” Maura menarik sebuah kursi lain dan menempatkannya di depan Hans. “Hans Suroso yang aku kenal adalah seorang koki yang jujur dan tekun. Sedang yang aku temui hari ini, tidak menggambarkan Paman Hans yang aku kenal. Ada apa ini, Paman?”Hans tahu, cepat atau lambat semua ini akan terbongkar. Selama dua tahun Maura bergabung dengan Orion, sudah terkenal bahwa gadis mu
Kamar Hotel Singapura Di ranjang ukuran besar dengan sprei putih khas kamar hotel, Rangga meregangkan otot punggungnya yang terasa kaku. Dua hari tidur tanpa Maura di sisinya, membuat hatinya dingin. Begitu besar pengaruh wanita mungil itu dalam kehidupan Rangga. Setelah menghabiskan waktu duduk diam di taman Rumah Sakit, Rangga memutuskan untuk kembali ke hotel. Ia butuh mengistirahatkan tubuhnya, terlebih mentalnya. Berdua dengan Vivian dalam satu ruangan membuat dadanya seperti terhimpit. Sebelum meninggalkan Rumah Sakit, Rangga menyempatkan diri menemui Allen dan meminta penjelasan tentang kondisi Vivian. Rencananya, besok siang Rangga akan terbang ke Jakarta untuk membantu Reno menyelesaikan masalah. Namun, kata-kata Allen membuatnya ragu. “Tubuhnya tidak merespon transfusi, dapat dilihat dari jumlah leukosit yang terus meningkat sedangkan sel darah merahnya terus turun. Kami masih usahakan berbagai cara untuk menyelamatkannya.” Begitu kata Allen
Satu jam kemudian, Allen keluar bersama tiga suster dari dalam kamar Vivian. Peluh membasahi wajah dan pakaian keempat wanita itu.“Bagaimana Bu Vivi, Dok?” tanya Nurul cepat.“Maaf, kami kehilangannya.” Allen menunduk memberi hormat bersama tiga rekan lainnya. “Kami akan urus jenazahnya dulu. Mau dibawa pulang ke Jakarta atau dimakamkan di sini?”Tidak ada yang berani menjawab. Semua mata tertuju pada Rangga yang masih tertunduk sambil meremas kertas dan ponsel di tangannya.“Kremasi. Kami akan bawa abunya untuk dimakamkan di Jakarta,” ucap Rangga dengan suara berat.“Baik, segera kami siapkan.”****Hotel Orion, Jakarta“Tolong temani saya ke dapur,” pinta Maura pada Picollo yang berdiri di sampingnya. “Saya tidak tahan melihat Reno menekan Paman Hans,” imbuh Maura sedikit berbisik.“Baik, Nyonya.” Picollo mengangguk menyang
“Tuan Hans Suroso, sekali lagi saya tanya. Siapa yang menyuruh Anda?!” bentak Reno lebih keras dari sebelum-sebelumnya.Hans mengkerut sambil terus menggelengkan kepalanya.“Anda keras kepala juga, rupanya. Kalau begitu, saya terpaksa menghentikan pengobatan putri Anda satu-satunya.” Reno berlagak memainkan ponsel dan menghubungi seseorang.“Tidak! Jangan lakukan itu. Saya mohon.” Hans berusaha menggapai tangan Reno yang memegang ponsel. “Saya, saya akan katakan semuanya. Tolong, jangan hentikan obatnya!” Hans menangkup kedua tangannya penuh permohonan.Reno menyeringai. Penjahat kelas kakap saja bisa dikorek semua rahasianya, apalagi seorang Hans yang baru terjun ke dunia hitam dan itupun Reno yakin karena terpaksa atau ketidaksengajaan.“Katakan!”“Saat saya mencuri jamur di gudang, seseorang memergokinya dan mengancam saya akan melaporkan pada Pak Armand kalau saya tidak ma
“Dolf, kau menyisir area depan. Aku belakang. Dia tidak akan mungkin lolos, kecuali melompat dari lantai dua.” Hulk menginstruksikan sesuai dengan apa yang Reno perintahkan. Dua taekwondoin yang mengantongi sabuk hitam dengan empat strip putih itu mulai bergerak ke tempat yang telah disepakati. Dolfin menyisir restoran, minibar, lobi sampai pada pintu masuk utama, sedangkan Hulk menyisir gudang penyimpanan, dapur, laundry sampai ke pintu keluar bagian belakang. Hulk berpapasan dengan salah satu karyawan hotel yang berjalan keluar dari arah dapur. Awalnya Hulk hanya mengangguk sopan saat mereka berpapasan, sampai ia menyadari sesuatu tentang pria itu. “Tunggu!” panggil Hulk menghentikan langkah karyawan hotel. Pria itu berhenti, tapi tidak segera berbalik, membuat Hulk meningkatkan kewaspadaannya. “Hei,” panggil Hulk lagi seraya bergerak perlahan menghampiri pria yang tetap diam itu. Sret. Pria itu berbalik sambil mengulas senyum. “Ada
Perasaan Reno makin tak karuan, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat manakala matanya menangkap pergerakan di bawah rak perkakas, di antara tumpukan benda keras.“Pic!” seru Reno bergegas mendekat. “Jangan bergerak. Aku akan mengeluarkanmu!”“Nyo-nya,” lirih Picollo nyaris tak tertangkap indera pendengar.“Jangan banyak bicara, aku akan mengeluarkanmu.” Reno berdiri, mengambil ancang-ancang untuk menggeser rak yang menindih Picollo. “Hyaa ...! Akhh ...!”Sraakk ... krakk ... prang ...Rak perkakas bergeser satu jengkal, menyisakan celah sempit untuk Reno masuk. Reno menyelinap perlahan masuk di bawah reruntuhan rak dan berlutut di samping Picollo.“Apa yang kau rasakan? Ada yang patah? Aku akan mengeluarkanmu.” Reno bersiap membalik badan Picollo, membantunya bangkit.Tap.Pic menahan pergelangan tangan Reno. “Pak, ujung rak itu.” Picollo me
Keinginannya untuk segera kembali ke Jakarta ternyata tidak terjadi secepat perkiraannya. Tepat pukul tujuh malam, Rangga turun dari dalam perut burung besi yang mengantarnya dari Singapura. Ada rasa lega melingkupinya, memikirkan menit-menit pertemuannya dengan istri tercintanya setelah berpisah dan dipenuhi rasa khawatir.“Kamu bisa kembali. Besok, temui sekretaris saya di kantor. Dia akan memberikan gaji dan bonusmu,” ucap Rangga pada Nurul.“Baik, terima kasih banyak, Pak.” Nurul mengangguk hormat sebelum masuk ke dalam taksi yang sudah Potter siapkan untuknya.“Potter, hubungi Reno. Ajak dia bertemu di tempat biasa. Aku merasa tidak akan sanggup mengatakan semua dalam kondisi sadar. Aku ingin minum sedikit.”Potter hanya mengangguk seraya membuka pintu mobil untuk bosnya. Ia berdiri diam dan menata hatinya sebelum menekan nomor atasannya. Bebannya memang tidak sebesar Rangga, tapi Potter tahu bahwa apa yang akan di
“Mau ke mana kamu?” ulang Galih saat Rangga tak segera menjawabnya. “Mencari orang yang membuat Maura dan orang-orangku celaka.” “Papa sudah minta Martin untuk menangkap Toni, orang yang melakukan semua ini. Kamu, tetap di sini!” tunjuk Galih pada Rangga. “Pa, Rangga tidak bisa hanya diam di sini. Rangga bisa menemukan Toni lebih cepat dari orang suruhan Papa.” Rangga tetap berkeras. “Mereka memang tidak bisa mengalahkan kecepatanmu dalam mencari orang, tapi mereka bisa melakukannya tanpa melanggar hukum. Jangan mendebat Papa!” hardik Galih. Siapa yang tidak kenal Ranggapati? Siapa yang tidak tahu caranya menyelesaikan masalah? Orang terdekatnya tahu betul bagaimana Rangga membalas orang yang menyinggungnya, apalagi sekarang, Maura yang jadi korban. “Jangan menambah masalah! Ingat, istrimu sedang hamil. Prioritasmu sekarang adalah dia, bukan melampiaskan marahmu.” Rangga menghela napas dalam seraya memejamkan matanya. Hati keci
Vila Danutirta, Bandung“Gimana, Han? sudah dapat tiket pesawatnya?” tanya Jelita gelisah. “Kasihan Alina dan Rangga, mereka belum pernah menemani ibu bersalin, pasti bingung dan panik.” Jelita mondar-mandir seperti kain pel.“Belum, Bu. Penerbangan hari ini penuh semua. Tiket kereta juga ludes sampai besok,” lapor Hanna tak kalah gelisah.“Haduh ... kenapa bisa habis semua di saat seperti ini? Galih, kamu sudah hubungi Galih dan Reno? Biasanya otak pria bisa berpikir cepat saat situasi mendesak begini.”Hanna menggeleng. “Mas Galih dan Reno sedang berada di kawasan proyek, Bu. Ponselnya dinonaktifkan.”“Astaga, ya Allah Gusti ...! Kok bisa barengan begini, sih?!” Jelita menepuk kedua pahanya putus asa.Yuki yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, hanya bengong sambil kepalanya bergerak mengikuti Hanna dan Jelita bergantian.Jelita melambaikan tangannya denga
Rangga sedang iseng mengintip isi kantong belanjaan yang tergeletak di atas ranjang manakala telinganya mendengar seruan panik dari dalam kamar mandi. Rangga bergegas ke kamar mandi, melihat Maura sedang berdiri berpegang erat pada pinggiran wastafel, tapi mimiknya tidak menyiratkan kesakitan, membuat Rangga menurunkan kewaspadaannya.“Ada apa?” tanya Rangga tenang.“Balonnya meletus,” ucap Maura bingung.Rangga mengedarkan pandangan ke arah langit-langit, mencari bohlam yang pecah. “Mana? Gak ada yang pecah, kok.”“Ini, yang di sini.” Maura menunjuk ke bawah kakinya.“Astaga! Ini balon apa yang pecah, kok isinya air keruh?!” panik Rangga. “Jangan-jangan ... ini ketuban, ya?” tebak Rangga sambil menatap Maura meminta penjelasan.“Sepertinya begitu.”Rangga bergegas mengangkat Maura, membawanya keluar dan membaringkannya di ranjang.“Jangan
“Hoek, hoek!” Maura bersandar lemas di depan pantry dengan kran menyala deras. Di sampingnya, Alina dengan telaten memijat lembut tengkuknya. “Maura kenapa, Al?” Rangga yang penuh keringat setelah bermain tenis bersama Kirman terlihat cemas. “Entahlah, sejak tadi pagi sudah begini.” Alina meraih selembar tisu untuk mengusap peluh yang membasahi leher dan dahi Maura. “Sini, biar aku saja.” Rangga menggantikan Alina, memijit tengkuk dan mengusap peluh. “Masih mau muntah?” tanyanya lembut. Maura menggeleng. “Aku mau duduk, Kak.” Rangga dengan sigap menggendong Maura, membawanya ke kursi goyang kayu kesayangan eyang kakungnya. “Duduk sini dulu, aku ambilkan minum.” “Aku mau teh lemon madu hangat,” sahut Maura cepat. “Oke, segera datang.” Rangga melesat kembali ke dapur bersih dan sibuk menyiapkan teh yang Maura minta. “Kak, apa masih ingin muntah? Perlu aku ambilkan baskom kecil?” tanya Alina seraya mendekat.
Rangga, Hanna dan Galih kompak mengernyit jijik melihat isi gelas yang Jelita sodorkan ke depan Maura. Sedangkan wanita hamil itu, dengan mata membeliak, mengintip ke dalam gelas dan penasaran pada isinya.“Sudah, jangan intip-intip. Minum!” desak Jelita lagi.Maura memasang wajah memelas. “Eyang, boleh tidak kita lewati saja tradisi yang ini?”Jelita menggeleng.“Kalau minumnya setelah makan?” tawar Maura lagi.“Bisa-bisa kamu makin eneg dan muntah nanti,” celetuk Rangga, membayangkan dirinya yang meminum ramuan Jelita.Maura mendelik marah ke arah Rangga yang memasang wajah tanpa dosa. “Kalau begitu, biar dia saja yang mewakili Maura, Eyang!” ketus Maura sambil terus menatap Rangga kesal.“Hush! Yang hamil kamu, yang lahiran kamu, masa’ iya yang minum jamu Rangga?” Jelita tersenyum memahami kekesalan Maura, tapi gelas di tangannya tetap teguh di depan waja
Jelita tersentak melihat Maura berdiri di tengah ruangan dengan lengan menggamit Rangga dan tangan lainnya menggandeng Yuki. Di belakangnya, ada Hanna dan Galih. “Lho, kalian?” heran Jelita sampai tidak bisa berkata-kata. Warsih yang pertama kali tanggap, menarik lengan Kirman dan Barno untuk membawa koper tamunya masuk. “Ayo, kopernya diurus dulu,” bisiknya memberi perintah. “Trus, urusan cacing ini gimana, Mbak?” protes Barno. “Tahan dulu!” hardik Warsih sambil melotot kesal. “Ehhem! Kalian ke belakang dulu, buatkan Maura minuman hangat.” Kumpulan abdi dalem itu pun membubarkan diri dengan wajah penasaran tentang apa yang terjadi pada majikannya. Jelita berdiri, mempersilakan tamunya duduk di sofa tengah. Sikapnya kaku dan canggung, membuat Galih dan lainnya merasa makin bersalah. “Kenapa tiba-tiba datang tanpa kasih tahu dulu? Ada apa?” tanya Jelita datar. Galih dan Hanna duduk mengapit Jelita. “Bu, kami datang untuk
Puri Mangkunegaran 15, Yogyakarta“Sih, Warsih! Ayo, jangan lama-lama. Keburu siang nanti.” Jelita berpaling ke belakang sambil merapikan sanggulnya.Warsih tergopoh-gopoh masuk dari pintu belakang. “Maaf, Ndoro. Saya baru selesai bantu Kirman motong ayam,” ujarnya sambil membenahi kebayanya yang berantakan.“Ya, sudah. Tolong kamu panggilkan Barno, minta dia untuk mengantar kita ke pasar.” Jelita menjinjing tas belanja yang terbuat dari anyaman plastik warna-warni kesayangannya dan berjalan mendahului Warsih ke teras.Nyatanya, Barno sedang sibuk mengelap mobil kuno warna hijau pastel yang bagian atasnya berbentuk lengkung. Melihat majikannya mendekat, Barno bergegas membuka pintu penumpang.“Sudah selesai bersih-bersihnya?” tanya Jelita seraya memeriksa hasil kerja abdinya.“Sampun, Ndoro.” Barno memeras kanebo sebelum memasukkannya ke dalam kotak plastik warna k
“Kenapa? Gak suka aku temani? Atau aku ganggu momen kamu ketemuan sama mantan pacar?” goda Rangga dengan wajah serius.“Kamu becanda apa beneran, sih? Kok serius banget mukanya?” panik Maura. “Aku ketemuan sama Rissa, bukan Evan, itupun karena gak sengaja. Dan Evan bukan mantan pacarku, Kak.”Rangga tergelak. “Oke, percaya. Masih mau ngobrol atau kita pulang sekarang?” tawar Rangga seraya bangkit dari kursi. Ekor matanya menangkap sososk Evan sedang mencari mereka.“Pulang.” Maura meraih tasnya dan mencium pipi Rissa sekilas. “Kapan-kapan kita sambung lagi,” pamitnya.Sret.Sejurus kemudian, Maura sudah berada dalam dekapan lengan kokoh Rangga. Kedua matanya melebar seolah bertanya apa yang sedang Rangga lakukan.“Biar lebih cepat!” sahut Rangga singkat. “Mang, tolong belanjaannya, ya.”Jajang keluar dari balik pilar besar dan mengangguk sa
Ibu jari Galih berhenti bergerak, diam terpaku di tulang pipi Hanna. Jelas sekali bahwa dia terkejut mendengar berita perihal kepulangan Jelita.“Ibu pulang? Kapan? Kenapa?”“Pagi tadi, kata Jajang. Alasan pastinya aku tidak tahu, tapi dari nada bicaranya saat menelfonku pagi ini, sepertinya ibu kecewa pada kita.” Hanna tertunduk sedih. “Selama lebih tiga puluh tahun menjadi menantunya, belum pernah aku dengar nada kecewanya terlontar untukku.”“Han, lihat aku.” Galih menarik dagu Hanna naik. “Kita tidak bisa selalu memuaskan orang lain. Tidak apa-apa terkadang salah dan mengecewakan, kita manusia.”Hanna tahu, suaminya berusaha menghiburnya, tapi kata-katanya makin membuat Hanna terbebani. “Apa kamu tahu salah kita di mana, Mas? Apa karena kita tidak memberitahunya tentang Alina? Aku tidak menyangka ibu akan begitu kecewa, padahal—.”“Stt, sudah. Jangan terus memik
Ruang VVIPAlina sudah kembali ke ruang perawatan. Dua jam di dalam ruang tindakan, membuat Maura menggigil karena terpaan AC dan ingatan masa lalu yang menghantuinya tanpa henti. Hanna tampak cemas melihat anak dan menantunya sama-sama pucat.“Ra, apa perlu mama minta Tante Siska buka satu kamar buat kamu?” Hanna meremas jemari Maura yang dingin.“Tidak perlu, Ma. Sebentar lagi juga mendingan,” kilah Maura sambil memasang senyum.“Ren, Reno!” Hanna meninggikan suaranya agar Reno terbangun.“Ehh, ya? Ada apa, Ma?” gagap Reno.“Ada apa gimana, sih? Tolong kamu jaga Alina, ini Maura kedinginan.” Hanna kesal dengan sikap menantunya.Reno bergegas menghampiri ranjang dan memeriksa keadaan istrinya. Sesekali menutup mulutnya yang tidak berhenti menguap.Beruntung Rangga datang dan mengambil alih perawatan Maura, meringankan kecemasan Hanna. Ketika dua pasang anak mantunya s