Keinginannya untuk segera kembali ke Jakarta ternyata tidak terjadi secepat perkiraannya. Tepat pukul tujuh malam, Rangga turun dari dalam perut burung besi yang mengantarnya dari Singapura. Ada rasa lega melingkupinya, memikirkan menit-menit pertemuannya dengan istri tercintanya setelah berpisah dan dipenuhi rasa khawatir.
“Kamu bisa kembali. Besok, temui sekretaris saya di kantor. Dia akan memberikan gaji dan bonusmu,” ucap Rangga pada Nurul.
“Baik, terima kasih banyak, Pak.” Nurul mengangguk hormat sebelum masuk ke dalam taksi yang sudah Potter siapkan untuknya.
“Potter, hubungi Reno. Ajak dia bertemu di tempat biasa. Aku merasa tidak akan sanggup mengatakan semua dalam kondisi sadar. Aku ingin minum sedikit.”
Potter hanya mengangguk seraya membuka pintu mobil untuk bosnya. Ia berdiri diam dan menata hatinya sebelum menekan nomor atasannya. Bebannya memang tidak sebesar Rangga, tapi Potter tahu bahwa apa yang akan di
“Mau ke mana kamu?” ulang Galih saat Rangga tak segera menjawabnya. “Mencari orang yang membuat Maura dan orang-orangku celaka.” “Papa sudah minta Martin untuk menangkap Toni, orang yang melakukan semua ini. Kamu, tetap di sini!” tunjuk Galih pada Rangga. “Pa, Rangga tidak bisa hanya diam di sini. Rangga bisa menemukan Toni lebih cepat dari orang suruhan Papa.” Rangga tetap berkeras. “Mereka memang tidak bisa mengalahkan kecepatanmu dalam mencari orang, tapi mereka bisa melakukannya tanpa melanggar hukum. Jangan mendebat Papa!” hardik Galih. Siapa yang tidak kenal Ranggapati? Siapa yang tidak tahu caranya menyelesaikan masalah? Orang terdekatnya tahu betul bagaimana Rangga membalas orang yang menyinggungnya, apalagi sekarang, Maura yang jadi korban. “Jangan menambah masalah! Ingat, istrimu sedang hamil. Prioritasmu sekarang adalah dia, bukan melampiaskan marahmu.” Rangga menghela napas dalam seraya memejamkan matanya. Hati keci
Food Court Plaza Himalaya, 09.00 amSeorang pria duduk gelisah di salah satu stan makanan nusantara. Kepalanya tak henti menoleh ke samping dan belakang, seolah mencari seseorang yang dikenalnya. Kupluk jaketnya hampir menutup separuh wajahnya yang menggunakan kacamata hitam. Dari penampilannya, pria ini mengesankan tidak ingin ada orang lain yang mengenalinya, tapi penyangga lengan yang digunakannya sangat mencolok.Setiap dua detik, dia akan melirik arloji atau memeriksa ponselnya. Kegelisahannya memuncak saat orang yang ditunggunya tak kunjung datang, bahkan setelah terlambat tiga puluh menit dari yang disepakati. Jemarinya cekatan menari di atas papan tombol ponselnya.“Halo, saya sudah menunggu lebih dari satu jam. Kapan Anda datang?” tanya pria itu saat panggilannya diterima.Tidak ada jawaban dari seberang, hanya suara bising alunan musik rock dari Deep Purple seolah sengaja menyambutnya.“Halo, halo!”Bug.
Remasan di bahunya membuat Maura menoleh, Rangga sedang mengirimkan isyarat melalui sentuhan dan tatapan matanya. ‘Apa dia menyuruhku diam? Berbohong? Tapi kenapa?’“Maaf, bisa kita lanjutkan setelah dokter memeriksa kondisi istri saya?” tawar Rangga.Dua petugas itu saling pandang, tapi tidak bisa memaksa karena Maura korban sekaligus saksi, bukan tersangka. “Baik, kami tunggu di luar,” putus Anton akhirnya. Pria yang usianya jauh lebih tua di atas Rangga itu menepuk bahu rekannya, mengajaknya keluar bersama.“Pak, dari gelagatnya, sepertinya ingin menyusun siasat dengan kedok pemeriksaan dokter,” ujar petugas yang lebih muda pada Anton.Anton melirik, merasa tertarik dengan ketajaman insting rekan barunya. “Biar saja, kita yang salah waktu. Coba kamu tanyakan ke anak2, apa saja yang sudah Hans ceritakan.”Polisi muda itu segera melaksanakan perintah seniornya. Setelah beberapa menit berb
Kediaman Danutirta“Oma,” sapa Yuki sambil menempati kursinya.“Ya, Sayang?”“Bunda mana? Sejak kemarin, Yuki belum melihatnya.” Gadis kecil itu menatap Hanna sambil meraih sebuah roti lapis alpukat kesukaannya.“Sore ini kamu akan melihat Bunda,” jawab Hanna diplomatis, tidak berbohong, tapi juga tidak memberitahukan yang terjadi pada Maura.“Selamat pagi, Yuki!” Alina mencubit pipi gembil yang sibuk mengunyah hingga memerah.“Awh, sakit, Aunt!” protes Yuki sambil menggosok pipinya yang sakit.“Hehehe, maaf. Hari ini, Onti yang akan mengantarmu ke sekolah. Suka gak?” Alina meraih selembar roti dan botol selai cokelat.“Suka, tapi kenapa dengan Paman Reno? Apa dia juga belum pulang?”“Paman Reno sedang memeriksa pekerjaannya di hotel, jadi tidak bisa mengantarmu. Ayo, segera habiskan sarapanmu. Kita berangkat setelah ini
Alina menatap Reno penuh tanya. “Apa kau sudah tahu pelakunya?”“Belum. Rangga sibuk mengurus Maura, sedangkan aku sibuk mengurus dua anak buahku yang terluka. Kami belum sempat menyelidikinya secara detail dan polisi sudah mulai turun tangan.”“Tunggu.” Wajah Alina mengkerut curiga. “Kalian tidak berencana menyembunyikan sesuatu seperti kata Maura, ‘kan? Ingat, Papa sudah menekankan untuk tidak ikut campur urusan ini.”Reno meraih bahu Alina. “Ya, kamu tenang saja. Kami tidak berencana menyembunyikan sesuatu, malah sebaliknya, membantu polisi mengungkap sesuatu.”“Tidak.” Alina menjauh melepaskan diri. “Itu termasuk ikut campur. Papa tidak akan suka dengan keputusan kalian. Sebaiknya kamu bujuk Bang Rangga untuk menyerahkan semuanya pada pihak berwajib, jangan campur tangan.”Reno tidak menjawab.“Ren, jawab aku.”“Aku tidak bi
Picollo berusaha keras menarik tubuhnya duduk saat melihat Maura mengunjunginya. “Nyonya, bagaimana kondisi bahu dan kaki Anda?”“Ckckck, jelas jauh lebih baik dari kondisimu,” decak Maura kagum. “Bagaimana denganmu? Aku baru saja mengunjungi Hulk, dia masih tak sadarkan diri,” papar Maura tanpa diminta.“Saya baik-baik saja, Nyonya.”“Baik-baik saja? Patah tulang kaki masih bisa bilang baik-baik saja? Sepertinya Reno melatih kalian menjadi robot yang tidak bisa merasakan sakit, ya?” omel Maura antara kesal dan kasihan.“Dia berkata jujur padamu,” serobot Rangga. “Setelah keluar dari sini, dia harus menanggung kemarahanku karena tangannya sudah berani menyentuhmu.”Netra Maura membola mendengar kalimat penuh ancaman yang Rangga lontarkan. “Maka aku harus menghukummu karena tidak ada bersamaku saat itu, hingga pria lain yang harus menangkap tubuhku,” anca
Rangga memejamkan mata. Berusaha keras mengingat wajah yang menyiratkan marah dan dendam ke arahnya, mengingat dua nama yang sedang digumamkannya dalam hati berulang kali, Toni Satria, Ratri Puspita.Rangga bukan termasuk pria tampan dengan kecerdasan rata-rata. IQ superior miliknya, tidak akan mungkin mudah melupakan sesuatu, terlebih yang akan menimbulkan amarah seperti yang tergambar di wajah Toni saat melihatnya. Pasti ada yang salah dengan memorinya, ada yang menghapusnya atau Rangga yang sengaja menutup akses ke sana.Sekelebat bayangan terlintas, seperti melihat tayangan film bisu hitam putih yang populer di tahun 1920-an. Kepala Rangga berdenyut nyeri, seolah tayangan itu menyakiti otaknya.Flashback on“Rangganya satu pendukungnya banyak! Rangganya satu three point-nya banyak! RANGGA, RANGGA, RANGGA, HU!” teriakan yel-yel kemenangan untuk Rangga terus bergema di GOR Perjuangan saat Rangga berhasil mencetak three po
GD Grup“Bil, Papa ada di dalam?”Nabila tersentak dan buru-buru berdiri mendengar Rangga menegurnya. “Ada, Pak. Sedang bersama Pak Martin.”Rangga mengabaikan kalimat terakhir yang dikatakan sekretarisnya itu, kalimat yang bermaksud memintanya untuk menunggu sampai Martin keluar. Bagi Rangga saat ini, tidak ada yang lebih penting dibanding rasa ingin tahunya tentang kejadian di GOR Perjuangan yang hilang tanpa bekas dari ingatannya.Ceklek.Rangga membuka pintu dengan kasar yang segera disambut dengan tatapan tajam dari ayahnya. Bukan tanpa alasan Galih melakukannya, ia adalah pria yang terlahir dari keluarga berdarah ningrat yang mendapatkan pelajaran kesopanan dan tata krama sebagai pelajajaran tersendiri. Dan tindakan Rangga barusan, jauh dari kata sopan.“Pa, ada yang mau Rangga bicarakan.”Galih hampir membuka mulutnya untuk menegur sikap putranya, tapi tatapan Rangga padanya membuat Galih men