Kediaman Danutirta
“Oma,” sapa Yuki sambil menempati kursinya.
“Ya, Sayang?”
“Bunda mana? Sejak kemarin, Yuki belum melihatnya.” Gadis kecil itu menatap Hanna sambil meraih sebuah roti lapis alpukat kesukaannya.
“Sore ini kamu akan melihat Bunda,” jawab Hanna diplomatis, tidak berbohong, tapi juga tidak memberitahukan yang terjadi pada Maura.
“Selamat pagi, Yuki!” Alina mencubit pipi gembil yang sibuk mengunyah hingga memerah.
“Awh, sakit, Aunt!” protes Yuki sambil menggosok pipinya yang sakit.
“Hehehe, maaf. Hari ini, Onti yang akan mengantarmu ke sekolah. Suka gak?” Alina meraih selembar roti dan botol selai cokelat.
“Suka, tapi kenapa dengan Paman Reno? Apa dia juga belum pulang?”
“Paman Reno sedang memeriksa pekerjaannya di hotel, jadi tidak bisa mengantarmu. Ayo, segera habiskan sarapanmu. Kita berangkat setelah ini
Alina menatap Reno penuh tanya. “Apa kau sudah tahu pelakunya?”“Belum. Rangga sibuk mengurus Maura, sedangkan aku sibuk mengurus dua anak buahku yang terluka. Kami belum sempat menyelidikinya secara detail dan polisi sudah mulai turun tangan.”“Tunggu.” Wajah Alina mengkerut curiga. “Kalian tidak berencana menyembunyikan sesuatu seperti kata Maura, ‘kan? Ingat, Papa sudah menekankan untuk tidak ikut campur urusan ini.”Reno meraih bahu Alina. “Ya, kamu tenang saja. Kami tidak berencana menyembunyikan sesuatu, malah sebaliknya, membantu polisi mengungkap sesuatu.”“Tidak.” Alina menjauh melepaskan diri. “Itu termasuk ikut campur. Papa tidak akan suka dengan keputusan kalian. Sebaiknya kamu bujuk Bang Rangga untuk menyerahkan semuanya pada pihak berwajib, jangan campur tangan.”Reno tidak menjawab.“Ren, jawab aku.”“Aku tidak bi
Picollo berusaha keras menarik tubuhnya duduk saat melihat Maura mengunjunginya. “Nyonya, bagaimana kondisi bahu dan kaki Anda?”“Ckckck, jelas jauh lebih baik dari kondisimu,” decak Maura kagum. “Bagaimana denganmu? Aku baru saja mengunjungi Hulk, dia masih tak sadarkan diri,” papar Maura tanpa diminta.“Saya baik-baik saja, Nyonya.”“Baik-baik saja? Patah tulang kaki masih bisa bilang baik-baik saja? Sepertinya Reno melatih kalian menjadi robot yang tidak bisa merasakan sakit, ya?” omel Maura antara kesal dan kasihan.“Dia berkata jujur padamu,” serobot Rangga. “Setelah keluar dari sini, dia harus menanggung kemarahanku karena tangannya sudah berani menyentuhmu.”Netra Maura membola mendengar kalimat penuh ancaman yang Rangga lontarkan. “Maka aku harus menghukummu karena tidak ada bersamaku saat itu, hingga pria lain yang harus menangkap tubuhku,” anca
Rangga memejamkan mata. Berusaha keras mengingat wajah yang menyiratkan marah dan dendam ke arahnya, mengingat dua nama yang sedang digumamkannya dalam hati berulang kali, Toni Satria, Ratri Puspita.Rangga bukan termasuk pria tampan dengan kecerdasan rata-rata. IQ superior miliknya, tidak akan mungkin mudah melupakan sesuatu, terlebih yang akan menimbulkan amarah seperti yang tergambar di wajah Toni saat melihatnya. Pasti ada yang salah dengan memorinya, ada yang menghapusnya atau Rangga yang sengaja menutup akses ke sana.Sekelebat bayangan terlintas, seperti melihat tayangan film bisu hitam putih yang populer di tahun 1920-an. Kepala Rangga berdenyut nyeri, seolah tayangan itu menyakiti otaknya.Flashback on“Rangganya satu pendukungnya banyak! Rangganya satu three point-nya banyak! RANGGA, RANGGA, RANGGA, HU!” teriakan yel-yel kemenangan untuk Rangga terus bergema di GOR Perjuangan saat Rangga berhasil mencetak three po
GD Grup“Bil, Papa ada di dalam?”Nabila tersentak dan buru-buru berdiri mendengar Rangga menegurnya. “Ada, Pak. Sedang bersama Pak Martin.”Rangga mengabaikan kalimat terakhir yang dikatakan sekretarisnya itu, kalimat yang bermaksud memintanya untuk menunggu sampai Martin keluar. Bagi Rangga saat ini, tidak ada yang lebih penting dibanding rasa ingin tahunya tentang kejadian di GOR Perjuangan yang hilang tanpa bekas dari ingatannya.Ceklek.Rangga membuka pintu dengan kasar yang segera disambut dengan tatapan tajam dari ayahnya. Bukan tanpa alasan Galih melakukannya, ia adalah pria yang terlahir dari keluarga berdarah ningrat yang mendapatkan pelajaran kesopanan dan tata krama sebagai pelajajaran tersendiri. Dan tindakan Rangga barusan, jauh dari kata sopan.“Pa, ada yang mau Rangga bicarakan.”Galih hampir membuka mulutnya untuk menegur sikap putranya, tapi tatapan Rangga padanya membuat Galih men
“Ren, lakukan sesuatu untuk saya.”Reno mendengarkan dengan seksama semua ucapan ayah mertuanya sambil menganggukkan kepalanya tanda mengerti, kemudian berkata, “Baik, Pak. Saya mengerti.”Begitu ekor matanya menangkap kelebat sosok Rangga, Reno segera memasukkan ponselnya dan merapikan pakaiannya.“Ayo, kita kembali ke gudang!” teriak Rangga pada Reno yang sudah berdiri di samping sedan mewah warna hitam miliknya.Tanpa banyak berkata, Reno menuruti perintah Rangga dengan mengarahkan kendaraannya ke area basemen gedung GD Grup. Toni masih pada posisinya, duduk terikat tali tambang sebesar jari orang dewasa ditemani Potter yang masih sibuk dengan gawainya.Sraakk ....Rangga menarik sebuah kursi sampai ke depan Toni dan duduk di atasnya. “Jawab pertanyaanku. Siapa yang menyuruhmu melakukan ini semua?”Toni hanya menyeringai sekilas kemudian berpaling.“Aku mungkin lupa detai
Kediaman Danutirta Jajang dan Yuni bergegas menghampiri mobil SUV warna putih milik Alina yang dikemudikan Dolfin, saat melihat mobil itu memasuki halaman. Dolfin memarkir mobil tepat di depan tangga teras menuju rumah utama. Pria muda itu segera turun dan membuka bagasi untuk menurunkan kursi roda Maura dan menyerahkannya pada Jajang. “Ini kenapa ada kursi roda segala, Den?” heran Jajang, tapi tak urung menerimanya dan meletakkannya di ujung tangga paling atas. Dolfin tidak menjawab, hanya berpindah ke samping pintu penumpang dan membuka pintu agar Alina turun, hingga tersisa Maura sendiri di dalam mobil. “Sok atuh, Neng Maura-nya dibantu turun.” Jajang menatap tajam ke arah Dolfin yang hanya berdiri diam di samping pintu yang terbuka. “Tolong bantu saya turun,” pinta Maura mengulurkan tangannya. “Maaf, Nyonya. Saya tidak berani melakukannya. Bagaimana kalau Mamang saja yang membantu turun?” tawar Dolfin. Alina paham
“Apa Rangga juga tahu tentang Damian? Eyang, tolong jawab Anggi!”“Apa yang Bambang tahu, Rangga dan Galih pasti juga tahu. Eyang hanya bisa bilang, sudahi semuanya sebelum terlambat.”Anggita mencermati ekspresi wanita yang dipanggilnya dengan sebutan eyang itu. datar dan dingin, tidak ada kehangatan yang biasanya dia temukan di antara kemarahan yang acapkali Anggita terima dari eyangnya. Kali ini, Jelita sungguh kecewa padanya, Anggita lihat itu.Anggita bergegas menghampiri Jelita dan meraih kedua tangan kurus namun tegas yang sedang mengepal menahan marah. “Eyang, tolong bantu Anggi kali ini saja. Anggi benar-benar mencintai Damian. Tidak ada maksud lain, Eyang. Hanya masalah hati,” rengek Anggi berusaha mencari simpati.“Gadis Bodoh! Masih saja menutupi kesalahanmu. Masih tidak mau mengaku?”“Eyang, mengaku apalagi?” Anggi menggoyang kedua tangan Jelita perlahan, membujuknya dengan ma
“Yuki, buka pintunya. Panda mau bicara.”Hening, tidak ada jawaban.“Yuki, kau dengar? Buka pintunya.”Klek.“Kenapa selalu mengunci diri saat ada masalah?” tegur Rangga seraya mengangkat Yuki dalam gendongannya. “Bukankah kau sudah cukup besar untuk menghadapi masalah?”Yuki mendorong dada Rangga dan merosot turun. “Kalau kalian semua menganggapku sudah cukup besar untuk menghadapi masalah, kenapa harus merahasiakan kematian Mama dariku?” tanya Yuki dengan mata melotot kesal.Rangga duduk di ranjang kecil terbungkus selimut tebal warna merah muda bergambar salah satu tokoh film Barbie. “Duduk sini, kita bicara.”Yuki patuh.“Dengar, kami tidak bermaksud menyembunyikannya darimu. Hanya saja, waktunya tidak tepat. Kau tahu sendiri, Bunda dan Paman Reno sibuk mengurus kekacauan Orion sejak turun dari pesawat. Aku yang membawa abunya kembali ke Jakarta.