Food Court Plaza Himalaya, 09.00 am
Seorang pria duduk gelisah di salah satu stan makanan nusantara. Kepalanya tak henti menoleh ke samping dan belakang, seolah mencari seseorang yang dikenalnya. Kupluk jaketnya hampir menutup separuh wajahnya yang menggunakan kacamata hitam. Dari penampilannya, pria ini mengesankan tidak ingin ada orang lain yang mengenalinya, tapi penyangga lengan yang digunakannya sangat mencolok.
Setiap dua detik, dia akan melirik arloji atau memeriksa ponselnya. Kegelisahannya memuncak saat orang yang ditunggunya tak kunjung datang, bahkan setelah terlambat tiga puluh menit dari yang disepakati. Jemarinya cekatan menari di atas papan tombol ponselnya.
“Halo, saya sudah menunggu lebih dari satu jam. Kapan Anda datang?” tanya pria itu saat panggilannya diterima.
Tidak ada jawaban dari seberang, hanya suara bising alunan musik rock dari Deep Purple seolah sengaja menyambutnya.
“Halo, halo!”
Bug.
Remasan di bahunya membuat Maura menoleh, Rangga sedang mengirimkan isyarat melalui sentuhan dan tatapan matanya. ‘Apa dia menyuruhku diam? Berbohong? Tapi kenapa?’“Maaf, bisa kita lanjutkan setelah dokter memeriksa kondisi istri saya?” tawar Rangga.Dua petugas itu saling pandang, tapi tidak bisa memaksa karena Maura korban sekaligus saksi, bukan tersangka. “Baik, kami tunggu di luar,” putus Anton akhirnya. Pria yang usianya jauh lebih tua di atas Rangga itu menepuk bahu rekannya, mengajaknya keluar bersama.“Pak, dari gelagatnya, sepertinya ingin menyusun siasat dengan kedok pemeriksaan dokter,” ujar petugas yang lebih muda pada Anton.Anton melirik, merasa tertarik dengan ketajaman insting rekan barunya. “Biar saja, kita yang salah waktu. Coba kamu tanyakan ke anak2, apa saja yang sudah Hans ceritakan.”Polisi muda itu segera melaksanakan perintah seniornya. Setelah beberapa menit berb
Kediaman Danutirta“Oma,” sapa Yuki sambil menempati kursinya.“Ya, Sayang?”“Bunda mana? Sejak kemarin, Yuki belum melihatnya.” Gadis kecil itu menatap Hanna sambil meraih sebuah roti lapis alpukat kesukaannya.“Sore ini kamu akan melihat Bunda,” jawab Hanna diplomatis, tidak berbohong, tapi juga tidak memberitahukan yang terjadi pada Maura.“Selamat pagi, Yuki!” Alina mencubit pipi gembil yang sibuk mengunyah hingga memerah.“Awh, sakit, Aunt!” protes Yuki sambil menggosok pipinya yang sakit.“Hehehe, maaf. Hari ini, Onti yang akan mengantarmu ke sekolah. Suka gak?” Alina meraih selembar roti dan botol selai cokelat.“Suka, tapi kenapa dengan Paman Reno? Apa dia juga belum pulang?”“Paman Reno sedang memeriksa pekerjaannya di hotel, jadi tidak bisa mengantarmu. Ayo, segera habiskan sarapanmu. Kita berangkat setelah ini
Alina menatap Reno penuh tanya. “Apa kau sudah tahu pelakunya?”“Belum. Rangga sibuk mengurus Maura, sedangkan aku sibuk mengurus dua anak buahku yang terluka. Kami belum sempat menyelidikinya secara detail dan polisi sudah mulai turun tangan.”“Tunggu.” Wajah Alina mengkerut curiga. “Kalian tidak berencana menyembunyikan sesuatu seperti kata Maura, ‘kan? Ingat, Papa sudah menekankan untuk tidak ikut campur urusan ini.”Reno meraih bahu Alina. “Ya, kamu tenang saja. Kami tidak berencana menyembunyikan sesuatu, malah sebaliknya, membantu polisi mengungkap sesuatu.”“Tidak.” Alina menjauh melepaskan diri. “Itu termasuk ikut campur. Papa tidak akan suka dengan keputusan kalian. Sebaiknya kamu bujuk Bang Rangga untuk menyerahkan semuanya pada pihak berwajib, jangan campur tangan.”Reno tidak menjawab.“Ren, jawab aku.”“Aku tidak bi
Picollo berusaha keras menarik tubuhnya duduk saat melihat Maura mengunjunginya. “Nyonya, bagaimana kondisi bahu dan kaki Anda?”“Ckckck, jelas jauh lebih baik dari kondisimu,” decak Maura kagum. “Bagaimana denganmu? Aku baru saja mengunjungi Hulk, dia masih tak sadarkan diri,” papar Maura tanpa diminta.“Saya baik-baik saja, Nyonya.”“Baik-baik saja? Patah tulang kaki masih bisa bilang baik-baik saja? Sepertinya Reno melatih kalian menjadi robot yang tidak bisa merasakan sakit, ya?” omel Maura antara kesal dan kasihan.“Dia berkata jujur padamu,” serobot Rangga. “Setelah keluar dari sini, dia harus menanggung kemarahanku karena tangannya sudah berani menyentuhmu.”Netra Maura membola mendengar kalimat penuh ancaman yang Rangga lontarkan. “Maka aku harus menghukummu karena tidak ada bersamaku saat itu, hingga pria lain yang harus menangkap tubuhku,” anca
Rangga memejamkan mata. Berusaha keras mengingat wajah yang menyiratkan marah dan dendam ke arahnya, mengingat dua nama yang sedang digumamkannya dalam hati berulang kali, Toni Satria, Ratri Puspita.Rangga bukan termasuk pria tampan dengan kecerdasan rata-rata. IQ superior miliknya, tidak akan mungkin mudah melupakan sesuatu, terlebih yang akan menimbulkan amarah seperti yang tergambar di wajah Toni saat melihatnya. Pasti ada yang salah dengan memorinya, ada yang menghapusnya atau Rangga yang sengaja menutup akses ke sana.Sekelebat bayangan terlintas, seperti melihat tayangan film bisu hitam putih yang populer di tahun 1920-an. Kepala Rangga berdenyut nyeri, seolah tayangan itu menyakiti otaknya.Flashback on“Rangganya satu pendukungnya banyak! Rangganya satu three point-nya banyak! RANGGA, RANGGA, RANGGA, HU!” teriakan yel-yel kemenangan untuk Rangga terus bergema di GOR Perjuangan saat Rangga berhasil mencetak three po
GD Grup“Bil, Papa ada di dalam?”Nabila tersentak dan buru-buru berdiri mendengar Rangga menegurnya. “Ada, Pak. Sedang bersama Pak Martin.”Rangga mengabaikan kalimat terakhir yang dikatakan sekretarisnya itu, kalimat yang bermaksud memintanya untuk menunggu sampai Martin keluar. Bagi Rangga saat ini, tidak ada yang lebih penting dibanding rasa ingin tahunya tentang kejadian di GOR Perjuangan yang hilang tanpa bekas dari ingatannya.Ceklek.Rangga membuka pintu dengan kasar yang segera disambut dengan tatapan tajam dari ayahnya. Bukan tanpa alasan Galih melakukannya, ia adalah pria yang terlahir dari keluarga berdarah ningrat yang mendapatkan pelajaran kesopanan dan tata krama sebagai pelajajaran tersendiri. Dan tindakan Rangga barusan, jauh dari kata sopan.“Pa, ada yang mau Rangga bicarakan.”Galih hampir membuka mulutnya untuk menegur sikap putranya, tapi tatapan Rangga padanya membuat Galih men
“Ren, lakukan sesuatu untuk saya.”Reno mendengarkan dengan seksama semua ucapan ayah mertuanya sambil menganggukkan kepalanya tanda mengerti, kemudian berkata, “Baik, Pak. Saya mengerti.”Begitu ekor matanya menangkap kelebat sosok Rangga, Reno segera memasukkan ponselnya dan merapikan pakaiannya.“Ayo, kita kembali ke gudang!” teriak Rangga pada Reno yang sudah berdiri di samping sedan mewah warna hitam miliknya.Tanpa banyak berkata, Reno menuruti perintah Rangga dengan mengarahkan kendaraannya ke area basemen gedung GD Grup. Toni masih pada posisinya, duduk terikat tali tambang sebesar jari orang dewasa ditemani Potter yang masih sibuk dengan gawainya.Sraakk ....Rangga menarik sebuah kursi sampai ke depan Toni dan duduk di atasnya. “Jawab pertanyaanku. Siapa yang menyuruhmu melakukan ini semua?”Toni hanya menyeringai sekilas kemudian berpaling.“Aku mungkin lupa detai
Kediaman Danutirta Jajang dan Yuni bergegas menghampiri mobil SUV warna putih milik Alina yang dikemudikan Dolfin, saat melihat mobil itu memasuki halaman. Dolfin memarkir mobil tepat di depan tangga teras menuju rumah utama. Pria muda itu segera turun dan membuka bagasi untuk menurunkan kursi roda Maura dan menyerahkannya pada Jajang. “Ini kenapa ada kursi roda segala, Den?” heran Jajang, tapi tak urung menerimanya dan meletakkannya di ujung tangga paling atas. Dolfin tidak menjawab, hanya berpindah ke samping pintu penumpang dan membuka pintu agar Alina turun, hingga tersisa Maura sendiri di dalam mobil. “Sok atuh, Neng Maura-nya dibantu turun.” Jajang menatap tajam ke arah Dolfin yang hanya berdiri diam di samping pintu yang terbuka. “Tolong bantu saya turun,” pinta Maura mengulurkan tangannya. “Maaf, Nyonya. Saya tidak berani melakukannya. Bagaimana kalau Mamang saja yang membantu turun?” tawar Dolfin. Alina paham
Vila Danutirta, Bandung“Gimana, Han? sudah dapat tiket pesawatnya?” tanya Jelita gelisah. “Kasihan Alina dan Rangga, mereka belum pernah menemani ibu bersalin, pasti bingung dan panik.” Jelita mondar-mandir seperti kain pel.“Belum, Bu. Penerbangan hari ini penuh semua. Tiket kereta juga ludes sampai besok,” lapor Hanna tak kalah gelisah.“Haduh ... kenapa bisa habis semua di saat seperti ini? Galih, kamu sudah hubungi Galih dan Reno? Biasanya otak pria bisa berpikir cepat saat situasi mendesak begini.”Hanna menggeleng. “Mas Galih dan Reno sedang berada di kawasan proyek, Bu. Ponselnya dinonaktifkan.”“Astaga, ya Allah Gusti ...! Kok bisa barengan begini, sih?!” Jelita menepuk kedua pahanya putus asa.Yuki yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, hanya bengong sambil kepalanya bergerak mengikuti Hanna dan Jelita bergantian.Jelita melambaikan tangannya denga
Rangga sedang iseng mengintip isi kantong belanjaan yang tergeletak di atas ranjang manakala telinganya mendengar seruan panik dari dalam kamar mandi. Rangga bergegas ke kamar mandi, melihat Maura sedang berdiri berpegang erat pada pinggiran wastafel, tapi mimiknya tidak menyiratkan kesakitan, membuat Rangga menurunkan kewaspadaannya.“Ada apa?” tanya Rangga tenang.“Balonnya meletus,” ucap Maura bingung.Rangga mengedarkan pandangan ke arah langit-langit, mencari bohlam yang pecah. “Mana? Gak ada yang pecah, kok.”“Ini, yang di sini.” Maura menunjuk ke bawah kakinya.“Astaga! Ini balon apa yang pecah, kok isinya air keruh?!” panik Rangga. “Jangan-jangan ... ini ketuban, ya?” tebak Rangga sambil menatap Maura meminta penjelasan.“Sepertinya begitu.”Rangga bergegas mengangkat Maura, membawanya keluar dan membaringkannya di ranjang.“Jangan
“Hoek, hoek!” Maura bersandar lemas di depan pantry dengan kran menyala deras. Di sampingnya, Alina dengan telaten memijat lembut tengkuknya. “Maura kenapa, Al?” Rangga yang penuh keringat setelah bermain tenis bersama Kirman terlihat cemas. “Entahlah, sejak tadi pagi sudah begini.” Alina meraih selembar tisu untuk mengusap peluh yang membasahi leher dan dahi Maura. “Sini, biar aku saja.” Rangga menggantikan Alina, memijit tengkuk dan mengusap peluh. “Masih mau muntah?” tanyanya lembut. Maura menggeleng. “Aku mau duduk, Kak.” Rangga dengan sigap menggendong Maura, membawanya ke kursi goyang kayu kesayangan eyang kakungnya. “Duduk sini dulu, aku ambilkan minum.” “Aku mau teh lemon madu hangat,” sahut Maura cepat. “Oke, segera datang.” Rangga melesat kembali ke dapur bersih dan sibuk menyiapkan teh yang Maura minta. “Kak, apa masih ingin muntah? Perlu aku ambilkan baskom kecil?” tanya Alina seraya mendekat.
Rangga, Hanna dan Galih kompak mengernyit jijik melihat isi gelas yang Jelita sodorkan ke depan Maura. Sedangkan wanita hamil itu, dengan mata membeliak, mengintip ke dalam gelas dan penasaran pada isinya.“Sudah, jangan intip-intip. Minum!” desak Jelita lagi.Maura memasang wajah memelas. “Eyang, boleh tidak kita lewati saja tradisi yang ini?”Jelita menggeleng.“Kalau minumnya setelah makan?” tawar Maura lagi.“Bisa-bisa kamu makin eneg dan muntah nanti,” celetuk Rangga, membayangkan dirinya yang meminum ramuan Jelita.Maura mendelik marah ke arah Rangga yang memasang wajah tanpa dosa. “Kalau begitu, biar dia saja yang mewakili Maura, Eyang!” ketus Maura sambil terus menatap Rangga kesal.“Hush! Yang hamil kamu, yang lahiran kamu, masa’ iya yang minum jamu Rangga?” Jelita tersenyum memahami kekesalan Maura, tapi gelas di tangannya tetap teguh di depan waja
Jelita tersentak melihat Maura berdiri di tengah ruangan dengan lengan menggamit Rangga dan tangan lainnya menggandeng Yuki. Di belakangnya, ada Hanna dan Galih. “Lho, kalian?” heran Jelita sampai tidak bisa berkata-kata. Warsih yang pertama kali tanggap, menarik lengan Kirman dan Barno untuk membawa koper tamunya masuk. “Ayo, kopernya diurus dulu,” bisiknya memberi perintah. “Trus, urusan cacing ini gimana, Mbak?” protes Barno. “Tahan dulu!” hardik Warsih sambil melotot kesal. “Ehhem! Kalian ke belakang dulu, buatkan Maura minuman hangat.” Kumpulan abdi dalem itu pun membubarkan diri dengan wajah penasaran tentang apa yang terjadi pada majikannya. Jelita berdiri, mempersilakan tamunya duduk di sofa tengah. Sikapnya kaku dan canggung, membuat Galih dan lainnya merasa makin bersalah. “Kenapa tiba-tiba datang tanpa kasih tahu dulu? Ada apa?” tanya Jelita datar. Galih dan Hanna duduk mengapit Jelita. “Bu, kami datang untuk
Puri Mangkunegaran 15, Yogyakarta“Sih, Warsih! Ayo, jangan lama-lama. Keburu siang nanti.” Jelita berpaling ke belakang sambil merapikan sanggulnya.Warsih tergopoh-gopoh masuk dari pintu belakang. “Maaf, Ndoro. Saya baru selesai bantu Kirman motong ayam,” ujarnya sambil membenahi kebayanya yang berantakan.“Ya, sudah. Tolong kamu panggilkan Barno, minta dia untuk mengantar kita ke pasar.” Jelita menjinjing tas belanja yang terbuat dari anyaman plastik warna-warni kesayangannya dan berjalan mendahului Warsih ke teras.Nyatanya, Barno sedang sibuk mengelap mobil kuno warna hijau pastel yang bagian atasnya berbentuk lengkung. Melihat majikannya mendekat, Barno bergegas membuka pintu penumpang.“Sudah selesai bersih-bersihnya?” tanya Jelita seraya memeriksa hasil kerja abdinya.“Sampun, Ndoro.” Barno memeras kanebo sebelum memasukkannya ke dalam kotak plastik warna k
“Kenapa? Gak suka aku temani? Atau aku ganggu momen kamu ketemuan sama mantan pacar?” goda Rangga dengan wajah serius.“Kamu becanda apa beneran, sih? Kok serius banget mukanya?” panik Maura. “Aku ketemuan sama Rissa, bukan Evan, itupun karena gak sengaja. Dan Evan bukan mantan pacarku, Kak.”Rangga tergelak. “Oke, percaya. Masih mau ngobrol atau kita pulang sekarang?” tawar Rangga seraya bangkit dari kursi. Ekor matanya menangkap sososk Evan sedang mencari mereka.“Pulang.” Maura meraih tasnya dan mencium pipi Rissa sekilas. “Kapan-kapan kita sambung lagi,” pamitnya.Sret.Sejurus kemudian, Maura sudah berada dalam dekapan lengan kokoh Rangga. Kedua matanya melebar seolah bertanya apa yang sedang Rangga lakukan.“Biar lebih cepat!” sahut Rangga singkat. “Mang, tolong belanjaannya, ya.”Jajang keluar dari balik pilar besar dan mengangguk sa
Ibu jari Galih berhenti bergerak, diam terpaku di tulang pipi Hanna. Jelas sekali bahwa dia terkejut mendengar berita perihal kepulangan Jelita.“Ibu pulang? Kapan? Kenapa?”“Pagi tadi, kata Jajang. Alasan pastinya aku tidak tahu, tapi dari nada bicaranya saat menelfonku pagi ini, sepertinya ibu kecewa pada kita.” Hanna tertunduk sedih. “Selama lebih tiga puluh tahun menjadi menantunya, belum pernah aku dengar nada kecewanya terlontar untukku.”“Han, lihat aku.” Galih menarik dagu Hanna naik. “Kita tidak bisa selalu memuaskan orang lain. Tidak apa-apa terkadang salah dan mengecewakan, kita manusia.”Hanna tahu, suaminya berusaha menghiburnya, tapi kata-katanya makin membuat Hanna terbebani. “Apa kamu tahu salah kita di mana, Mas? Apa karena kita tidak memberitahunya tentang Alina? Aku tidak menyangka ibu akan begitu kecewa, padahal—.”“Stt, sudah. Jangan terus memik
Ruang VVIPAlina sudah kembali ke ruang perawatan. Dua jam di dalam ruang tindakan, membuat Maura menggigil karena terpaan AC dan ingatan masa lalu yang menghantuinya tanpa henti. Hanna tampak cemas melihat anak dan menantunya sama-sama pucat.“Ra, apa perlu mama minta Tante Siska buka satu kamar buat kamu?” Hanna meremas jemari Maura yang dingin.“Tidak perlu, Ma. Sebentar lagi juga mendingan,” kilah Maura sambil memasang senyum.“Ren, Reno!” Hanna meninggikan suaranya agar Reno terbangun.“Ehh, ya? Ada apa, Ma?” gagap Reno.“Ada apa gimana, sih? Tolong kamu jaga Alina, ini Maura kedinginan.” Hanna kesal dengan sikap menantunya.Reno bergegas menghampiri ranjang dan memeriksa keadaan istrinya. Sesekali menutup mulutnya yang tidak berhenti menguap.Beruntung Rangga datang dan mengambil alih perawatan Maura, meringankan kecemasan Hanna. Ketika dua pasang anak mantunya s