“Ren, lakukan sesuatu untuk saya.”
Reno mendengarkan dengan seksama semua ucapan ayah mertuanya sambil menganggukkan kepalanya tanda mengerti, kemudian berkata, “Baik, Pak. Saya mengerti.”
Begitu ekor matanya menangkap kelebat sosok Rangga, Reno segera memasukkan ponselnya dan merapikan pakaiannya.
“Ayo, kita kembali ke gudang!” teriak Rangga pada Reno yang sudah berdiri di samping sedan mewah warna hitam miliknya.
Tanpa banyak berkata, Reno menuruti perintah Rangga dengan mengarahkan kendaraannya ke area basemen gedung GD Grup. Toni masih pada posisinya, duduk terikat tali tambang sebesar jari orang dewasa ditemani Potter yang masih sibuk dengan gawainya.
Sraakk ....
Rangga menarik sebuah kursi sampai ke depan Toni dan duduk di atasnya. “Jawab pertanyaanku. Siapa yang menyuruhmu melakukan ini semua?”
Toni hanya menyeringai sekilas kemudian berpaling.
“Aku mungkin lupa detai
Kediaman Danutirta Jajang dan Yuni bergegas menghampiri mobil SUV warna putih milik Alina yang dikemudikan Dolfin, saat melihat mobil itu memasuki halaman. Dolfin memarkir mobil tepat di depan tangga teras menuju rumah utama. Pria muda itu segera turun dan membuka bagasi untuk menurunkan kursi roda Maura dan menyerahkannya pada Jajang. “Ini kenapa ada kursi roda segala, Den?” heran Jajang, tapi tak urung menerimanya dan meletakkannya di ujung tangga paling atas. Dolfin tidak menjawab, hanya berpindah ke samping pintu penumpang dan membuka pintu agar Alina turun, hingga tersisa Maura sendiri di dalam mobil. “Sok atuh, Neng Maura-nya dibantu turun.” Jajang menatap tajam ke arah Dolfin yang hanya berdiri diam di samping pintu yang terbuka. “Tolong bantu saya turun,” pinta Maura mengulurkan tangannya. “Maaf, Nyonya. Saya tidak berani melakukannya. Bagaimana kalau Mamang saja yang membantu turun?” tawar Dolfin. Alina paham
“Apa Rangga juga tahu tentang Damian? Eyang, tolong jawab Anggi!”“Apa yang Bambang tahu, Rangga dan Galih pasti juga tahu. Eyang hanya bisa bilang, sudahi semuanya sebelum terlambat.”Anggita mencermati ekspresi wanita yang dipanggilnya dengan sebutan eyang itu. datar dan dingin, tidak ada kehangatan yang biasanya dia temukan di antara kemarahan yang acapkali Anggita terima dari eyangnya. Kali ini, Jelita sungguh kecewa padanya, Anggita lihat itu.Anggita bergegas menghampiri Jelita dan meraih kedua tangan kurus namun tegas yang sedang mengepal menahan marah. “Eyang, tolong bantu Anggi kali ini saja. Anggi benar-benar mencintai Damian. Tidak ada maksud lain, Eyang. Hanya masalah hati,” rengek Anggi berusaha mencari simpati.“Gadis Bodoh! Masih saja menutupi kesalahanmu. Masih tidak mau mengaku?”“Eyang, mengaku apalagi?” Anggi menggoyang kedua tangan Jelita perlahan, membujuknya dengan ma
“Yuki, buka pintunya. Panda mau bicara.”Hening, tidak ada jawaban.“Yuki, kau dengar? Buka pintunya.”Klek.“Kenapa selalu mengunci diri saat ada masalah?” tegur Rangga seraya mengangkat Yuki dalam gendongannya. “Bukankah kau sudah cukup besar untuk menghadapi masalah?”Yuki mendorong dada Rangga dan merosot turun. “Kalau kalian semua menganggapku sudah cukup besar untuk menghadapi masalah, kenapa harus merahasiakan kematian Mama dariku?” tanya Yuki dengan mata melotot kesal.Rangga duduk di ranjang kecil terbungkus selimut tebal warna merah muda bergambar salah satu tokoh film Barbie. “Duduk sini, kita bicara.”Yuki patuh.“Dengar, kami tidak bermaksud menyembunyikannya darimu. Hanya saja, waktunya tidak tepat. Kau tahu sendiri, Bunda dan Paman Reno sibuk mengurus kekacauan Orion sejak turun dari pesawat. Aku yang membawa abunya kembali ke Jakarta.
“Hahh?! Bagaimana bisa mereka tahu hubunganmu dengan pria itu?” Burhan menegakkan punggungnya. “Bukankah aku sudah bilang untuk berhati-hati?! Ceroboh!”“Pa, hentikan marahmu. Tolong pikirkan bagaimana jalan keluarnya,” rengek Anggita sambil menggeser duduknya merapat pada ayahnya.Burhan kembali menyesap anggurnya perlahan dengan seringai tertahan. “Tunggu saja tanggal mainnya.”***Tok tok tok.“Masuk.”Klek.“Bun!” Kepala Yuki menyembul dari celah pintu yang terbuka. “Boleh aku masuk?”Maura mengangkat kepalanya dari bantal dan menarik tubuhnya duduk. “Kemarilah.” Maura merentangkan kedua lengannya lebar, mengundang Yuki masuk dalam pelukan.“Bunda, aku sudah siap,” tutur Yuki seraya memeluk pinggang Maura erat.“Hmm?” heran Maura dengan dahi mengkerut. “Siap untuk?”“
Kantor Presdir GD Grup“Sejauh mana pergerakan mereka sekarang?”“Sesuai perkiraan kita, mereka membeli tiga puluh persen saham Orion menggunakan nama pinjaman. Lalu, bagaimana sekarang?” tanya Reno sambil terus menekuri grafik saham dari layar gawainya.“Biarkan mereka merasa di awang-awang untuk sementara waktu. Kau teruskan saja membeli saham pabrik pengolahan kayu yang aku sebutkan. Sebentar lagi, kita beri pertunjukkan yang menarik dalam rapat direksi tahun ini.” Rangga menyeringai penuh arti.Sejak Rangga melihat kedekatan Anggita dan Damian dalam foto yang Potter ambil secara sembunyi-sembunyi, Rangga meminta Reno menyelidiki hubungan keduanya. Dari penyelidikan itu, diketahui bahwa Damian, Anggita dan Burhan bekerja sama melakukan sesuatu untuk menjatuhkan GD Grup.“Kau lanjutkan saja diam-diam. Aku akan balas setimpal atas apa yang mereka lakukan pada Maura, Pic dan Hulk. Lihat saja nanti.”
“Apa maksudnya ini?! Siapa kalian?!” bentak Maura marah.“Oh ya, hampir saja lupa. Tentunya semua yang hadir di sini bertanya-tanya, siapa kami dan untuk apa kami datang. Perkenalkan, saya Anggita Danutirta perwakilan Eleven Corp Australia.”“Tidak perlu bertele-tele. Katakan saja apa maksud kedatangan kalian!” tukas Maura geram.“Danutirta? Bukankah itu artinya mereka satu keluarga? Ada apa ini sebenarnya?”“Ya, benar. Apa mereka saling tikung? Padahal satu keluarga, ya?”Mulut mulai bergunjing seiring pengakuan Anggita tentang identitasnya. Beberapa orang saling pandang dengan tatapan curiga, membuat Maura makin jengah.Damian melanjutkan menarik sandaran kursi dan mendudukkan dirinya dengan penuh gaya. Bibirnya menyeringai penuh kemenangan ke arah Rangga yang sejak tadi hanya diam.“Saya Damian Harrison, pemilik 30% saham Orion yang artinya pemilik saham terbesar. De
“Bajingan kau, Rob! Aku menyuruhmu membeli saham Orion, bukan menjual saham Eleven. Jelaskan padaku, Bangsat!” hardik Damian seraya melempar map yang berisi beberapa lembar kertas ke dada bidang Robert.“Maaf, tapi aku hanya melakukan apa yang menjadi wasiat Vivian. Aku tidak bisa membiarkanmu hancur dan terjerumus karena rayuan perempuan lain, Dami.”“Apa maksudmu?!” bentak Damian lagi.“Mungkin kau lupa, saham Eleven tidak pernah benar-benar atas namamu, Dam. Kedua orang tuamu menyerahkan sahamnya atas nama Vivian dan Yuki. Kau hanya punya hak operasional bukan hak milik. Dan Vivian ingin aku menjual semua saham atas namanya dan Yuki pada Ranggapati. Aku hanya,”“Dasar bajingan!”Bug!Damian melayangkan sebuah pukulan ke rahang Robert sebelum pria itu menyelesaikan kalimatnya. “Jangan kau pikir aku tidak tahu, Bangsat! Kau menyimpan perasaan pada istriku! Dasar bajingan!&rdq
Teriakan Rangga hampir memecahkan gendang telinga saat matanya melihat Damian makin kuat mendorong kepala Maura dan mencekik lehernya. Sekelebat bayangan berhasil di tangkap ekor mata Damian, tapi sayang, gerakannya kurang tangkas menghindari tendangan kaki Reno.Desh!Dengan satu tangan menumpu pada meja lebar di depannya, Reno melompati meja dengan kaki kiri lurus terjulur ke depan menghantam belakang kepala Damian.“Arghh ...!” Damian terhuyung ke belakang seraya memegangi kepalanya.“Ringkus dia, Pak!” seru Reno pada Anton yang sudah berdiri siaga di ambang pintu.“Maura, Maura!” Rangga menopang kepala Maura yang terkulai. “Apa kau baik-baik saja?” tanyanya cemas.“A-air,” sahut Maura serak.“Ambilkan air!” teriak Rangga memberi perintah pada siapa saja yang mendengar.Langkah kaki takut-takut bergerak mendekat. Tangan kanan yang gemetar, mengulurkan bo
Vila Danutirta, Bandung“Gimana, Han? sudah dapat tiket pesawatnya?” tanya Jelita gelisah. “Kasihan Alina dan Rangga, mereka belum pernah menemani ibu bersalin, pasti bingung dan panik.” Jelita mondar-mandir seperti kain pel.“Belum, Bu. Penerbangan hari ini penuh semua. Tiket kereta juga ludes sampai besok,” lapor Hanna tak kalah gelisah.“Haduh ... kenapa bisa habis semua di saat seperti ini? Galih, kamu sudah hubungi Galih dan Reno? Biasanya otak pria bisa berpikir cepat saat situasi mendesak begini.”Hanna menggeleng. “Mas Galih dan Reno sedang berada di kawasan proyek, Bu. Ponselnya dinonaktifkan.”“Astaga, ya Allah Gusti ...! Kok bisa barengan begini, sih?!” Jelita menepuk kedua pahanya putus asa.Yuki yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, hanya bengong sambil kepalanya bergerak mengikuti Hanna dan Jelita bergantian.Jelita melambaikan tangannya denga
Rangga sedang iseng mengintip isi kantong belanjaan yang tergeletak di atas ranjang manakala telinganya mendengar seruan panik dari dalam kamar mandi. Rangga bergegas ke kamar mandi, melihat Maura sedang berdiri berpegang erat pada pinggiran wastafel, tapi mimiknya tidak menyiratkan kesakitan, membuat Rangga menurunkan kewaspadaannya.“Ada apa?” tanya Rangga tenang.“Balonnya meletus,” ucap Maura bingung.Rangga mengedarkan pandangan ke arah langit-langit, mencari bohlam yang pecah. “Mana? Gak ada yang pecah, kok.”“Ini, yang di sini.” Maura menunjuk ke bawah kakinya.“Astaga! Ini balon apa yang pecah, kok isinya air keruh?!” panik Rangga. “Jangan-jangan ... ini ketuban, ya?” tebak Rangga sambil menatap Maura meminta penjelasan.“Sepertinya begitu.”Rangga bergegas mengangkat Maura, membawanya keluar dan membaringkannya di ranjang.“Jangan
“Hoek, hoek!” Maura bersandar lemas di depan pantry dengan kran menyala deras. Di sampingnya, Alina dengan telaten memijat lembut tengkuknya. “Maura kenapa, Al?” Rangga yang penuh keringat setelah bermain tenis bersama Kirman terlihat cemas. “Entahlah, sejak tadi pagi sudah begini.” Alina meraih selembar tisu untuk mengusap peluh yang membasahi leher dan dahi Maura. “Sini, biar aku saja.” Rangga menggantikan Alina, memijit tengkuk dan mengusap peluh. “Masih mau muntah?” tanyanya lembut. Maura menggeleng. “Aku mau duduk, Kak.” Rangga dengan sigap menggendong Maura, membawanya ke kursi goyang kayu kesayangan eyang kakungnya. “Duduk sini dulu, aku ambilkan minum.” “Aku mau teh lemon madu hangat,” sahut Maura cepat. “Oke, segera datang.” Rangga melesat kembali ke dapur bersih dan sibuk menyiapkan teh yang Maura minta. “Kak, apa masih ingin muntah? Perlu aku ambilkan baskom kecil?” tanya Alina seraya mendekat.
Rangga, Hanna dan Galih kompak mengernyit jijik melihat isi gelas yang Jelita sodorkan ke depan Maura. Sedangkan wanita hamil itu, dengan mata membeliak, mengintip ke dalam gelas dan penasaran pada isinya.“Sudah, jangan intip-intip. Minum!” desak Jelita lagi.Maura memasang wajah memelas. “Eyang, boleh tidak kita lewati saja tradisi yang ini?”Jelita menggeleng.“Kalau minumnya setelah makan?” tawar Maura lagi.“Bisa-bisa kamu makin eneg dan muntah nanti,” celetuk Rangga, membayangkan dirinya yang meminum ramuan Jelita.Maura mendelik marah ke arah Rangga yang memasang wajah tanpa dosa. “Kalau begitu, biar dia saja yang mewakili Maura, Eyang!” ketus Maura sambil terus menatap Rangga kesal.“Hush! Yang hamil kamu, yang lahiran kamu, masa’ iya yang minum jamu Rangga?” Jelita tersenyum memahami kekesalan Maura, tapi gelas di tangannya tetap teguh di depan waja
Jelita tersentak melihat Maura berdiri di tengah ruangan dengan lengan menggamit Rangga dan tangan lainnya menggandeng Yuki. Di belakangnya, ada Hanna dan Galih. “Lho, kalian?” heran Jelita sampai tidak bisa berkata-kata. Warsih yang pertama kali tanggap, menarik lengan Kirman dan Barno untuk membawa koper tamunya masuk. “Ayo, kopernya diurus dulu,” bisiknya memberi perintah. “Trus, urusan cacing ini gimana, Mbak?” protes Barno. “Tahan dulu!” hardik Warsih sambil melotot kesal. “Ehhem! Kalian ke belakang dulu, buatkan Maura minuman hangat.” Kumpulan abdi dalem itu pun membubarkan diri dengan wajah penasaran tentang apa yang terjadi pada majikannya. Jelita berdiri, mempersilakan tamunya duduk di sofa tengah. Sikapnya kaku dan canggung, membuat Galih dan lainnya merasa makin bersalah. “Kenapa tiba-tiba datang tanpa kasih tahu dulu? Ada apa?” tanya Jelita datar. Galih dan Hanna duduk mengapit Jelita. “Bu, kami datang untuk
Puri Mangkunegaran 15, Yogyakarta“Sih, Warsih! Ayo, jangan lama-lama. Keburu siang nanti.” Jelita berpaling ke belakang sambil merapikan sanggulnya.Warsih tergopoh-gopoh masuk dari pintu belakang. “Maaf, Ndoro. Saya baru selesai bantu Kirman motong ayam,” ujarnya sambil membenahi kebayanya yang berantakan.“Ya, sudah. Tolong kamu panggilkan Barno, minta dia untuk mengantar kita ke pasar.” Jelita menjinjing tas belanja yang terbuat dari anyaman plastik warna-warni kesayangannya dan berjalan mendahului Warsih ke teras.Nyatanya, Barno sedang sibuk mengelap mobil kuno warna hijau pastel yang bagian atasnya berbentuk lengkung. Melihat majikannya mendekat, Barno bergegas membuka pintu penumpang.“Sudah selesai bersih-bersihnya?” tanya Jelita seraya memeriksa hasil kerja abdinya.“Sampun, Ndoro.” Barno memeras kanebo sebelum memasukkannya ke dalam kotak plastik warna k
“Kenapa? Gak suka aku temani? Atau aku ganggu momen kamu ketemuan sama mantan pacar?” goda Rangga dengan wajah serius.“Kamu becanda apa beneran, sih? Kok serius banget mukanya?” panik Maura. “Aku ketemuan sama Rissa, bukan Evan, itupun karena gak sengaja. Dan Evan bukan mantan pacarku, Kak.”Rangga tergelak. “Oke, percaya. Masih mau ngobrol atau kita pulang sekarang?” tawar Rangga seraya bangkit dari kursi. Ekor matanya menangkap sososk Evan sedang mencari mereka.“Pulang.” Maura meraih tasnya dan mencium pipi Rissa sekilas. “Kapan-kapan kita sambung lagi,” pamitnya.Sret.Sejurus kemudian, Maura sudah berada dalam dekapan lengan kokoh Rangga. Kedua matanya melebar seolah bertanya apa yang sedang Rangga lakukan.“Biar lebih cepat!” sahut Rangga singkat. “Mang, tolong belanjaannya, ya.”Jajang keluar dari balik pilar besar dan mengangguk sa
Ibu jari Galih berhenti bergerak, diam terpaku di tulang pipi Hanna. Jelas sekali bahwa dia terkejut mendengar berita perihal kepulangan Jelita.“Ibu pulang? Kapan? Kenapa?”“Pagi tadi, kata Jajang. Alasan pastinya aku tidak tahu, tapi dari nada bicaranya saat menelfonku pagi ini, sepertinya ibu kecewa pada kita.” Hanna tertunduk sedih. “Selama lebih tiga puluh tahun menjadi menantunya, belum pernah aku dengar nada kecewanya terlontar untukku.”“Han, lihat aku.” Galih menarik dagu Hanna naik. “Kita tidak bisa selalu memuaskan orang lain. Tidak apa-apa terkadang salah dan mengecewakan, kita manusia.”Hanna tahu, suaminya berusaha menghiburnya, tapi kata-katanya makin membuat Hanna terbebani. “Apa kamu tahu salah kita di mana, Mas? Apa karena kita tidak memberitahunya tentang Alina? Aku tidak menyangka ibu akan begitu kecewa, padahal—.”“Stt, sudah. Jangan terus memik
Ruang VVIPAlina sudah kembali ke ruang perawatan. Dua jam di dalam ruang tindakan, membuat Maura menggigil karena terpaan AC dan ingatan masa lalu yang menghantuinya tanpa henti. Hanna tampak cemas melihat anak dan menantunya sama-sama pucat.“Ra, apa perlu mama minta Tante Siska buka satu kamar buat kamu?” Hanna meremas jemari Maura yang dingin.“Tidak perlu, Ma. Sebentar lagi juga mendingan,” kilah Maura sambil memasang senyum.“Ren, Reno!” Hanna meninggikan suaranya agar Reno terbangun.“Ehh, ya? Ada apa, Ma?” gagap Reno.“Ada apa gimana, sih? Tolong kamu jaga Alina, ini Maura kedinginan.” Hanna kesal dengan sikap menantunya.Reno bergegas menghampiri ranjang dan memeriksa keadaan istrinya. Sesekali menutup mulutnya yang tidak berhenti menguap.Beruntung Rangga datang dan mengambil alih perawatan Maura, meringankan kecemasan Hanna. Ketika dua pasang anak mantunya s